Ilustrasi simbolis perlindungan Ilahi di Gua Tsur, yang menjadi fokus utama dalam Q.S. At-Taubah ayat 40.
Surah At-Taubah ayat 40 (Q.S. 9:40) merupakan salah satu ayat Al-Qur’an yang memiliki kekayaan makna historis, teologis, dan spiritual yang luar biasa. Ayat ini secara spesifik mengabadikan momen kritis dalam sejarah Islam—peristiwa Hijrah Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Madinah. Lebih dari sekadar catatan perjalanan, ayat ini adalah manifestasi konkret dari konsep tawakkal (penyerahan diri total kepada Allah), sakinah (ketenangan Ilahi), dan bukti nyata akan janji Allah untuk menolong hamba-Nya yang berada dalam kebenaran, bahkan di tengah kepungan bahaya yang paling mencekam.
Analisis terhadap ayat ini membutuhkan penelusuran mendalam terhadap konteks pewahyuannya, penafsiran linguistik dari setiap frasa kuncinya, serta implikasi praktis dan spiritual yang berkelanjutan bagi umat Muslim sepanjang masa. Ayat ini berdiri sebagai pilar utama yang menjelaskan bahwa kekuatan fisik, jumlah pengikut, atau strategi manusiawi semata tidak akan pernah mampu melampaui keagungan dan ketepatan perencanaan Ilahi.
Ayat ini diturunkan pada masa-masa menjelang Perang Tabuk (sekitar tahun 9 H), di mana kaum Muslimin diperintahkan untuk berjihad, tetapi banyak di antara mereka yang enggan, malas, dan mencari alasan. Allah menegur mereka dengan mengingatkan bahwa jika mereka menolak menolong Nabi, maka Allah sendiri yang akan senantiasa menolongnya, sebagaimana yang telah terjadi pada masa-masa paling sulit dan genting di awal dakwah Islam—peristiwa Hijrah.
Setelah bertahun-tahun penindasan di Makkah, Quraisy mencapai titik di mana mereka sepakat untuk membunuh Nabi Muhammad ﷺ. Mereka merencanakan pembunuhan kolektif agar tanggung jawab darah terbagi di antara semua kabilah. Dalam konteks yang sangat berbahaya ini, perintah hijrah turun. Peristiwa yang diabadikan dalam ayat 40 ini bukanlah awal hijrah, melainkan fase paling krusial dari perjalanan tersebut: persembunyian di Gua Tsur.
Frasa "ثَانِىَ ٱثْنَيْنِ" (salah seorang dari dua orang) secara definitif merujuk pada Nabi Muhammad ﷺ dan sahabat setianya, Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang dipilih Nabi untuk menemaninya dalam perjalanan yang sangat berisiko ini. Kisah persembunyian mereka di Gua Tsur adalah ujian tertinggi bagi persahabatan, keimanan, dan tawakkal. Abu Bakar mengorbankan segalanya, bahkan nyawanya, demi keselamatan Nabi. Ia membersihkan gua dari binatang buas dan serangga, dan ketika mereka bersembunyi selama tiga hari tiga malam, Abu Bakar berada dalam ketakutan yang mendalam, bukan karena dirinya, melainkan karena keselamatan Rasulullah ﷺ.
Pengejar dari Quraisy yang dipimpin oleh para pelacak handal, berhasil sampai tepat di depan Gua Tsur. Jarak antara kaki para pengejar dan tempat persembunyian Nabi dan Abu Bakar hanya beberapa langkah. Inilah momen ketakutan Abu Bakar memuncak, yang kemudian memicu dialog abadi yang diabadikan dalam ayat ini.
Setiap kata dalam Q.S. 9:40 adalah permata yang mengandung pelajaran mendalam. Tafsir harus berfokus pada makna tersurat dan tersirat dari janji-janji Allah yang terkandung di dalamnya.
(Jika kamu tidak menolongnya, maka sesungguhnya Allah telah menolongnya.)
Ayat dibuka dengan teguran keras kepada kaum Muslimin yang enggan berperang. Allah menunjukkan bahwa Dia tidak bergantung pada bantuan manusia. Jika manusia lalai, pertolongan Ilahi bersifat mutlak. Bagian ini mengingatkan bahwa bahkan di saat Nabi paling terasing dan terancam (hanya ditemani satu orang), pertolongan Allah (Nushrullah) sudah terjadi dan terbukti efektif.
(Salah seorang dari dua orang)
Para ulama sepakat bahwa frasa ini memberikan penghormatan tertinggi kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Statusnya sebagai "tsaniyal itsnain" (yang kedua dari dua orang) menempatkannya pada kedudukan yang tak tertandingi di antara para sahabat. Momen ini menjadi dalil utama bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai keutamaan (Fadhilah) Abu Bakar di atas seluruh sahabat lainnya. Mereka berdua berada dalam bahaya yang sama, tetapi hanya satu yang memegang kunci ketenangan Ilahi.
('Janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Allah beserta kita.')
Ini adalah jantung dari ayat ini. Ketika Abu Bakar melihat kaki-kaki musuh tepat di atas kepala mereka, ia khawatir. Jawaban Nabi Muhammad ﷺ, "Lā tahzan," bukan sekadar penghiburan emosional, melainkan penegasan doktrin tauhid tertinggi. 'Jangan bersedih' karena Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya. Frasa "Innallaha ma'anā" (Sesungguhnya Allah bersama kita) merujuk pada Ma'iyyah Khassah (kebersamaan yang khusus), yaitu kebersamaan yang mengandung pertolongan, perlindungan, dan dukungan mutlak dari Allah, berbeda dengan Ma'iyyah Ammah (kebersamaan umum) di mana Allah mengetahui segala sesuatu.
(Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya (Sakinah) kepadanya)
1. Definisi Sakinah: Sakinah (ketenangan) adalah sebuah istilah Al-Qur'an yang merujuk pada ketenangan batin, keyakinan, dan rasa aman yang ditanamkan Allah di dalam hati hamba-Nya. Menurut sebagian besar mufassir, Sakinah ini diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang kemudian efeknya menular kepada Abu Bakar, menghilangkan rasa takutnya. Ketenangan ini sangat kuat sehingga memungkinkan Nabi ﷺ untuk tidur sejenak di tengah kepungan musuh.
2. Perdebatan Penerima Sakinah: Terdapat sedikit perbedaan pendapat ulama mengenai kepada siapa Sakinah itu diturunkan.
(dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya)
Tentara yang tidak terlihat ini, menurut tafsir, merujuk pada malaikat yang diutus untuk melindungi Gua Tsur. Namun, para ulama tafsir sejarah juga memasukkan elemen-elemen mukjizat yang membuat Quraisy gagal melihat ke dalam gua, seperti:
Ketiga hal ini, meskipun diperdebatkan validitas riwayatnya secara detail, berfungsi sebagai simbol dari "tentara yang tidak terlihat." Musuh menyimpulkan bahwa jika ada orang yang baru masuk, jaring pasti akan rusak dan burung merpati akan terbang. Perlindungan ini bersifat gaib, melampaui logika militer.
Bagian akhir dari ayat ini merangkum tujuan Ilahi di balik seluruh peristiwa: penetapan superioritas Kebenaran (Islam) atas kebatilan (kekafiran).
Ayat tersebut menyatakan: "وَجَعَلَ كَلِمَةَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱلسُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ ٱللَّهِ هِىَ ٱلْعُلْيَا" (Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi).
1. Kalimat Kafirin (Seruan Orang Kafir): Merujuk pada rencana jahat mereka, sumpah mereka untuk membunuh Nabi, upaya mereka melacak jejak, dan propaganda mereka melawan Islam. Semua rencana ini, meskipun pada awalnya tampak kuat dan terorganisir, dihancurkan oleh perlindungan sederhana di dalam gua.
2. Kalimat Allah (Seruan Allah): Merujuk pada Islam, tauhid, janji pertolongan, dan keberhasilan misi kenabian. Keberhasilan Nabi mencapai Madinah dan mendirikan negara Islam membuktikan bahwa Kalimat Allah-lah yang menang. Meskipun Nabi berada di bawah ancaman fisik, kedaulatan moral dan spiritual Islam tetap tertinggi.
Ayat ditutup dengan dua asmaul husna: وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana).
Al-'Aziz (Maha Perkasa): Menegaskan bahwa pertolongan Allah datang dari kekuatan yang tak terkalahkan. Tidak ada kekuatan di bumi, betapapun kuatnya pengejaran Quraisy, yang mampu mengatasi keperkasaan Allah. Keperkasaan-Nya adalah sumber pertolongan yang tidak membutuhkan tentara manusia.
Al-Hakim (Maha Bijaksana): Menunjukkan bahwa meskipun cara pertolongan-Nya mungkin terlihat tidak logis (bersembunyi di gua selama tiga hari), terdapat hikmah dan perencanaan sempurna di baliknya. Kebijaksanaan-Nya menjamin bahwa hasil akhir dari peristiwa Hijrah adalah kemenangan jangka panjang bagi Islam.
Ayat ini mengajarkan keseimbangan sempurna antara tawakkal kepada Allah dan mengambil sebab (usaha) manusiawi. Hijrah bukanlah peristiwa pasif; ia melibatkan perencanaan yang teliti.
Nabi Muhammad ﷺ tidak hanya menunggu mukjizat. Beliau melakukan serangkaian langkah strategis yang menunjukkan kesungguhan dalam mengambil sebab:
Semua usaha ini menunjukkan bahwa tawakkal tidak berarti fatalisme; ia adalah penempatan hati pada Allah setelah mengerahkan segala daya upaya yang manusiawi.
Namun, semua usaha itu mencapai batasnya ketika pengejar tiba di mulut gua. Pada saat itulah peran tawakkal mengambil alih. Ketika secara logika manusiawi tidak ada lagi yang bisa dilakukan, Allah turun tangan. Keyakinan Nabi, "Innallaha ma'anā," adalah titik balik dari usaha kepada penyerahan diri total. Inilah hakikat tawakkal: keyakinan teguh bahwa pertolongan Allah adalah yang paling kuat, melebihi pertahanan fisik manapun.
Para mufassir besar memberikan bobot yang sangat besar pada Q.S. 9:40, menjadikannya salah satu ayat rujukan utama dalam bab iman dan pertolongan (Nushrah).
Imam Ibn Katsir menekankan bahwa ayat ini adalah dalil paling kuat atas kenabian Muhammad ﷺ, karena Allah sendiri yang menjamin keselamatan dan keberhasilannya di saat paling lemah. Mengenai Sakinah, Ibn Katsir menyatakan bahwa Sakinah adalah 'ketenangan dan kepastian' yang membuat Nabi ﷺ benar-benar tidak terganggu oleh ancaman fisik di luar gua. Bagi Ibn Katsir, mukjizat sejati adalah hilangnya penglihatan musuh meskipun mereka berdiri tepat di atas gua.
Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, menghabiskan bagian yang panjang untuk membahas keutamaan Abu Bakar, menyimpulkan bahwa tidak ada sahabat lain yang mendapatkan kedudukan setinggi ini dalam Al-Qur’an—disebut sebagai "sahabat" (teman) langsung oleh Nabi dalam konteks pertolongan Ilahi. Al-Qurtubi juga membahas implikasi fiqh mengenai perencanaan perjalanan dan penggunaan bantuan (seperti pemandu non-Muslim yang terpercaya).
Imam At-Thabari sangat fokus pada makna "Innallaha ma'anā." Beliau menjelaskan bahwa kebersamaan ini bukanlah sekadar kehadiran fisik atau pengetahuan Allah (yang umum bagi semua makhluk), tetapi kebersamaan yang aktif, di mana Allah menjamin perlindungan, dukungan, dan peneguhan. Ini adalah jaminan sukses bagi misi kenabian, yang diberikan secara langsung dan eksplisit kepada Nabi dan sahabatnya.
Dalam perspektif tasawuf, Sakinah yang diturunkan kepada Nabi dan dirasakan Abu Bakar adalah puncak dari fana' (peleburan diri) dalam kehendak Allah. Ketika seseorang mencapai tingkat keyakinan ini, rasa takut akan makhluk hilang sepenuhnya, karena hanya ada kesadaran akan kehadiran Pencipta. Gua Tsur menjadi lambang khalwah (pengasingan spiritual) yang melahirkan ketenangan abadi.
Meskipun Q.S. 9:40 mengisahkan peristiwa 14 abad yang lalu, relevansinya tetap terasa kuat dalam kehidupan Muslim modern, khususnya dalam menghadapi kesulitan, ujian, dan tantangan dakwah.
Pelajaran "Lā tahzan" adalah antidot terhadap kecemasan dan depresi kontemporer. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian ekonomi, politik, dan kesehatan, ayat ini mengajarkan bahwa kegelisahan adalah fitrah manusiawi, tetapi kita tidak boleh membiarkannya mengalahkan keyakinan. Selama usaha telah dimaksimalkan, hasilnya diserahkan kepada Allah. Ketenangan batin (Sakinah) adalah sumber daya terkuat yang dapat dimiliki seorang mukmin.
Ayat ini menunjukkan bahwa dua orang yang memiliki kualitas iman, strategi, dan tawakkal yang tinggi lebih berharga daripada seluruh pasukan yang lemah imannya. Dalam dakwah dan kepemimpinan, Q.S. 9:40 mengajarkan bahwa fokus harus diletakkan pada pemurnian niat dan penguatan kualitas moral, bukan semata-mata pada jumlah pengikut atau dukungan material.
Nabi Muhammad ﷺ menunjukkan teladan kepemimpinan tertinggi dalam krisis. Ketika orang yang ia pimpin (Abu Bakar) panik, Nabi tidak ikut panik, melainkan justru memberikan ketenangan. Pemimpin sejati adalah seseorang yang menjadi sumber Sakinah bagi pengikutnya, yang memiliki keyakinan kokoh dan mampu melihat pertolongan Allah di balik tirai musibah.
Q.S. 9:40 menguatkan keyakinan pada perlindungan gaib, namun tetap menghormati hukum sebab akibat. Ketika kita telah memenuhi semua sebab yang dapat kita lakukan, barulah kita berhak mengharapkan bantuan dari "tentara yang tidak terlihat." Ayat ini menolak pendekatan mistis pasif; ia mendorong aktivisme yang berbasis tauhid.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman ayat 40 Surah At-Taubah, perlu adanya penegasan ulang terhadap tiga tema sentral yang saling terkait: Tawakkal, Sakinah, dan Keperkasaan Allah (Al-Aziz).
Peristiwa ini bukan sekadar insiden kecil, melainkan gerbang yang memisahkan era penindasan di Makkah dengan era kejayaan di Madinah. Tanpa perlindungan Ilahi di Gua Tsur, Hijrah akan gagal, dan sejarah Islam mungkin akan berbeda. Allah memilih momen yang paling rentan untuk menunjukkan kekuatan-Nya, menegaskan bahwa kemuliaan agama ini tidak didasarkan pada kekuasaan manusiawi, melainkan pada jaminan langsung dari Pencipta semesta. Ini adalah pelajaran yang harus diinternalisasi oleh setiap Muslim: bahwa di tengah isolasi dan keputusasaan, janji Allah adalah satu-satunya realitas yang konstan.
Kemenangan militer baru didapatkan di Badar, namun kemenangan spiritual telah diraih di Gua Tsur melalui Sakinah. Ketenangan batin adalah prasyarat untuk kemenangan eksternal. Seseorang yang panik akan membuat keputusan yang buruk. Dengan dianugerahinya Sakinah, Nabi Muhammad ﷺ dan Abu Bakar mampu mempertahankan rasionalitas dan keyakinan mereka, meskipun kematian berada di ambang pintu. Ini mengajarkan bahwa dalam setiap perjuangan, mempertahankan ketenangan jiwa (thuma'ninah) adalah garis pertahanan pertama yang harus dijaga.
Konsep kebersamaan Allah (Ma'iyyah) yang diajarkan Nabi kepada Abu Bakar, "Innallaha ma'anā," harus menjadi moto bagi para pengemban dakwah. Ketika seorang dai atau aktivis Islam merasa terasing atau tertekan, ayat ini memberikan jaminan bahwa kerja keras mereka tidak sia-sia. Kebersamaan Allah ini adalah penghormatan tertinggi yang diberikan kepada mereka yang berjuang keras dan ikhlas. Mereka mungkin hanya berdua, atau bahkan sendiri, tetapi mereka adalah mayoritas karena Allah bersama mereka. Ini adalah prinsip yang memberikan daya tahan luar biasa pada gerakan Islam sepanjang sejarah.
Ayat ini juga menyoroti pentingnya persaudaraan sejati (ukhuwah) yang diwakili oleh hubungan Nabi dan Abu Bakar. Persahabatan mereka didasarkan pada iman yang dalam dan kesediaan berkorban. Abu Bakar adalah penjelmaan dari seorang pengikut yang sempurna: setia, berkorban, dan mampu menerima ketenangan dari pemimpinnya. Model persahabatan ini menjadi tolok ukur ideal dalam komunitas Muslim.
Pernyataan bahwa Kalimat Allah (Islam) akan selalu tinggi dan kalimat orang kafir akan selalu rendah memberikan perspektif jangka panjang (long-term vision) bagi umat. Mungkin ada periode di mana kebatilan tampak mendominasi, seperti saat Quraisy berhasil mengepung gua. Namun, ayat ini menjamin bahwa dominasi tersebut hanyalah ilusi sementara. Pada akhirnya, kebenaran akan menang. Keyakinan ini menghilangkan keputusasaan yang timbul dari kegagalan sesaat. Kemenangan Islam tidak diukur dari keberhasilan satu pertempuran, tetapi dari keberhasilan misi kenabian secara keseluruhan, yang telah dijamin oleh Allah sendiri.
Oleh karena itu, Q.S. At-Taubah 40 bukan hanya kisah masa lalu, melainkan pedoman abadi. Ia adalah cetak biru bagi setiap Muslim tentang bagaimana menghadapi ancaman, bagaimana menyeimbangkan usaha dengan tawakkal, dan bagaimana mencari Sakinah Ilahi di tengah badai kehidupan. Kekuatan ayat ini terletak pada pesannya yang universal: ketika manusia meninggalkanmu, Allah akan menolongmu, asalkan hatimu teguh dalam tauhid.
"Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Q.S. At-Taubah: 40)