Dinamika Kekuasaan Presiden: Sebelum dan Sesudah Amandemen Konstitusi

LAMA BARU Keseimbangan Kekuasaan Eksekutif

Visualisasi Pergeseran Keseimbangan Kekuasaan

Konstitusi suatu negara adalah fondasi yang mengatur struktur pemerintahan dan pembagian kekuasaan. Di Indonesia, perubahan signifikan terjadi melalui serangkaian amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berlangsung dari tahun 1999 hingga 2002. Perubahan ini berdampak fundamental terhadap batasan dan implementasi kekuasaan Presiden. Memahami dinamika kekuasaan sebelum dan sesudah amandemen adalah kunci untuk mengapresiasi sistem ketatanegaraan saat ini.

Kekuasaan Presiden Sebelum Amandemen (UUD 1945 Asli)

Pada masa berlakunya UUD 1945 yang asli, sistem pemerintahan Indonesia secara tekstual menganut sistem presidensial, namun dalam praktiknya seringkali menunjukkan karakteristik yang lebih mengarah pada dominasi kekuasaan eksekutif. Presiden memiliki kedudukan yang sangat kuat, terkadang disebut sebagai "super-presiden" atau memiliki kekuasaan yang nyaris tak terbatas, terutama jika didukung oleh parlemen yang lemah atau berada dalam rezim otoriter.

Beberapa ciri dominasi kekuasaan tersebut meliputi:

Pada periode ini, prinsip checks and balances (saling mengawasi dan menyeimbangkan) belum terinstitusionalisasi secara kuat. Kekuatan legislatif dan yudikatif sangat bergantung pada kehendak politik Presiden.

Transformasi Kekuasaan Pasca-Amandemen UUD 1945

Amandemen UUD 1945 bertujuan utama untuk mengoreksi penyimpangan kekuasaan yang terjadi di masa lalu dan menguatkan prinsip negara demokrasi konstitusional. Pembatasan kekuasaan Presiden dilakukan secara sistematis untuk memastikan tidak ada lagi pemusatan kekuasaan yang berlebihan pada satu tangan.

Pembatasan Masa Jabatan

Salah satu perubahan paling krusial adalah penetapan batasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 7 UUD 1945 yang telah diamandemen dengan tegas menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Ini secara efektif mengakhiri era kepemimpinan tanpa batas waktu dan memberikan kepastian periodisasi kekuasaan.

Penguatan Lembaga Negara Lain

Amandemen juga secara dramatis memperkuat lembaga-lembaga negara yang bertugas mengawasi eksekutif:

  1. MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat): Peran MPR berubah dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara yang sejajar, dengan fungsi utama melantik Presiden/Wapres dan mengubah UUD.
  2. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat): Fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan (kontrol) terhadap Presiden dipertegas. Mekanisme impeachment (pemakzulan) diperjelas sebagai instrumen kontrol politik paling tinggi.
  3. Mahkamah Konstitusi (MK): Pembentukan MK memberikan kekuasaan baru kepada lembaga yudikatif untuk menguji undang-undang terhadap UUD (judicial review), yang secara langsung membatasi kekuasaan Presiden dalam membuat peraturan yang bertentangan dengan konstitusi.

Kekuasaan Presiden yang Dibatasi

Di bawah kerangka baru, kekuasaan Presiden tidak hilang, namun terikat pada batasan konstitusional yang ketat. Misalnya, dalam hal pembentukan undang-undang, Presiden kini harus mengajukan rancangan undang-undang bersama DPR. Selain itu, tanggung jawab administratif dan politik Presiden kini lebih jelas dipertanggungjawabkan kepada parlemen dan publik, bukan hanya kepada MPR. Keberadaan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang independen juga menjadi tambahan mekanisme eksternal yang mengawasi jalannya roda kekuasaan eksekutif.

Secara keseluruhan, transformasi kekuasaan Presiden pasca-amandemen adalah pergeseran dari sistem yang cenderung otoriter menuju sistem presidensial yang terkontrol secara konstitusional. Tujuannya adalah menciptakan pemerintahan yang lebih akuntabel, transparan, dan demokratis, di mana kekuasaan eksekutif tunduk pada supremasi hukum dan mekanisme *checks and balances* yang efektif.

🏠 Homepage