Pengantar: Esensi Imarah Masjid dalam Islam
Masjid, yang secara harfiah berarti tempat sujud, bukan hanya sekadar bangunan fisik. Dalam perspektif Islam, masjid adalah jantung komunitas, pusat pendidikan, dan sumber cahaya spiritual. Kemakmuran masjid, atau dikenal dengan istilah Imarah Masjid, jauh melampaui urusan pemeliharaan dinding dan atap. Imarah merujuk pada pemakmuran spiritual dan fungsional, menjadikannya pusat aktivitas tauhid.
Kedudukan orang-orang yang berhak dan pantas untuk memelihara dan memakmurkan rumah Allah ini merupakan masalah fundamental yang dibahas secara eksplisit dalam Al-Qur'an. Surat At-Taubah, ayat 18, berfungsi sebagai penentu kualifikasi ilahiah bagi siapa saja yang ingin mengambil peran sentral dalam kemakmuran masjid. Ayat ini datang sebagai jawaban tegas terhadap klaim orang-orang musyrik yang merasa berhak memelihara Masjidil Haram hanya karena tugas-tugas fisik seperti memberi minum jamaah haji, padahal mereka tidak memiliki pondasi keimanan yang benar.
Ayat ini menetapkan lima pilar tak terpisahkan—sebuah sistem kualifikasi spiritual, ritual, sosial, dan psikologis—yang harus dimiliki oleh seseorang yang mengklaim sebagai Ma'mur Masjid (pemakmur masjid). Kualifikasi ini bersifat inklusif dan mendalam, memastikan bahwa pengelola rumah Allah adalah mereka yang jiwanya telah selaras dengan kehendak-Nya.
Teks dan Terjemah QS At-Taubah Ayat 18
Analisis Mendalam Kriteria Pertama: Iman Kepada Allah dan Hari Akhir
Pilar pertama dan paling fundamental dalam ayat ini adalah Iman kepada Allah dan Hari Akhir (Man Amana Billahi wal Yaumil Akhir). Kualitas ini menempati urutan pertama karena tanpa pondasi keimanan yang kokoh, semua amal kebajikan, termasuk membangun dan memelihara masjid, menjadi sia-sia di hadapan Allah.
1. Pondasi Tauhid (Iman kepada Allah)
Keimanan yang dimaksud di sini bukanlah sekadar pengakuan lisan. Ini adalah keyakinan yang mengakar dan meliputi tiga dimensi tauhid:
- Tauhid Rububiyyah: Mengakui Allah sebagai Pencipta, Pengatur, dan Pemberi rezeki tunggal. Pemakmur masjid harus memahami bahwa kemakmuran masjid bukan berasal dari usaha mereka semata, melainkan dari izin dan kehendak Allah.
- Tauhid Uluhiyyah: Menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Ini memastikan bahwa semua aktivitas di masjid, mulai dari ibadah hingga manajemen, murni ditujukan untuk mencari ridha-Nya, bebas dari syirik, riya', atau kepentingan duniawi.
- Tauhid Asma wa Sifat: Mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna. Pengurus masjid yang sejati harus mencerminkan sifat-sifat keagungan Allah dalam etika kerjanya: adil, jujur, dan penuh kasih sayang dalam melayani jamaah.
Tafsir Ibnu Katsir menekankan bahwa iman yang dimaksud adalah iman yang membenarkan seluruh ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Jika keyakinan dasar ini rusak (seperti kasus kaum musyrikin yang merasa berhak memakmurkan Ka'bah padahal mereka menyekutukan Allah), maka segala kegiatan fisik di masjid tidak bernilai spiritual.
2. Konsekuensi Hari Akhir (Yaumil Akhir)
Keimanan kepada Hari Akhir adalah motor penggerak yang mengubah kegiatan fisik menjadi ibadah yang bermakna. Ketika seseorang yakin akan adanya pertanggungjawaban mutlak di Padang Mahsyar, ia akan melaksanakan tugas Imarah Masjid dengan penuh keikhlasan, ketelitian, dan integritas yang tinggi. Mereka menyadari bahwa gaji atau pujian manusia tidak sepenting pahala abadi.
Keyakinan ini menghasilkan dua dampak krusial:
- Motivasi Ikhlas: Semua pekerjaan, baik membersihkan karpet, mengatur keuangan, atau memberikan ceramah, dilakukan semata-mata mengharapkan balasan dari Allah, bukan ketenaran sosial.
- Ketegasan Moral: Keyakinan pada Hari Akhir mencegah pengurus masjid dari perilaku korup, menyalahgunakan dana, atau membiarkan bid'ah masuk ke dalam lingkup masjid, karena mereka takut akan hukuman di akhirat.
Iman, oleh karena itu, adalah akar. Jika akarnya kuat, maka pohon Imarah akan kokoh dan berbuah. Ayat ini mengajarkan bahwa spiritualitas harus mendahului fungsionalitas; hati yang bersih lebih utama daripada bangunan yang megah.
Analisis Mendalam Kriteria Kedua dan Ketiga: Shalat dan Zakat
Setelah meletakkan pondasi keimanan, ayat ini segera beralih kepada dua pilar ibadah praktis yang menjadi tolok ukur utama seorang Muslim yang bertanggung jawab: Shalat dan Zakat.
4. Menegakkan Shalat (Wa Aqaamas Shalaata)
Al-Qur'an menggunakan frasa Aqaamas Shalaata (menegakkan shalat), bukan sekadar Yushalli (melaksanakan shalat). Perbedaan ini mengandung makna yang sangat mendalam bagi seorang Ma'mur Masjid.
- Dimensi Individu (Ibadah Sejati): Menegakkan shalat berarti melaksanakannya secara konsisten, tepat waktu, dengan rukun dan syarat yang sempurna, serta dihiasi dengan khushu' (kekhusyukan). Seseorang yang mengurus rumah ibadah haruslah menjadi teladan utama dalam ibadah pribadi.
- Dimensi Institusional (Memastikan Pelaksanaannya): Bagi pengurus masjid, menegakkan shalat juga berarti memastikan bahwa shalat berjamaah dilaksanakan dengan tertib, khidmat, dan sesuai sunnah. Ini mencakup penyediaan sarana yang layak, penunjukan imam yang kompeten, dan pengaturan waktu yang memudahkan jamaah.
- Shalat sebagai Energi Masjid: Shalat adalah ibadah paling dasar di masjid. Jika orang yang memelihara masjid itu sendiri lalai dalam shalatnya, maka keberadaan masjid tersebut kehilangan esensinya. Shalat yang ditegakkan menjadi energi spiritual yang memancarkan cahaya ke seluruh komunitas. Para ulama tafsir kontemporer, seperti Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi, menekankan bahwa ‘menegakkan’ shalat mencerminkan dampak shalat dalam kehidupan sosial dan moral individu.
Inti dari kriteria ini adalah bahwa aktivitas fisik memelihara masjid harus didorong oleh kebutuhan spiritual untuk berada di dalam masjid, bukan sekadar tugas administratif.
5. Menunaikan Zakat (Wa Aataz Zakaata)
Kriteria ketiga adalah menunaikan zakat. Mengapa zakat, sebuah ibadah sosial-ekonomi, menjadi syarat bagi pemakmur masjid? Hubungan antara masjid dan zakat sangat erat, mencerminkan keseimbangan Islam antara dimensi spiritual dan sosial.
- Kepedulian Sosial: Masjid idealnya adalah pusat keadilan sosial. Kewajiban zakat memastikan bahwa Ma'mur Masjid memiliki kesadaran sosial yang tinggi dan tidak hanya fokus pada ritual semata. Mereka harus menjadi jembatan yang menghubungkan yang kaya dan yang miskin di komunitas.
- Integritas Finansial: Kriteria ini menyiratkan bahwa pengurus masjid adalah individu yang jujur dan bertanggung jawab terhadap hartanya sendiri, sehingga mereka juga dapat dipercaya mengelola aset dan dana masjid. Jika ia menunaikan hak Allah pada hartanya (zakat), ia pasti akan menunaikan hak Allah pada rumah-Nya.
- Penyucian Harta: Zakat berfungsi menyucikan harta. Pemakmur masjid yang bersih hartanya akan membawa keberkahan dalam pengelolaan masjid. Sebaliknya, orang yang enggan berzakat atau menggunakan harta haram untuk masjid, akan menghilangkan keberkahan dari Imarah tersebut.
Para ahli fiqih menyoroti bahwa zakat, meskipun merupakan ibadah harta, sering disebut berdampingan dengan shalat, menunjukkan pentingnya praktik sosial dalam kesempurnaan iman. Masjid yang makmur harus menjadi teladan dalam pengelolaan dana zakat dan infaq secara transparan dan amanah.
Analisis Mendalam Kriteria Keempat: Tidak Takut Kecuali Kepada Allah (Khauf Illallah)
Pilar keempat adalah penegas ideologis yang memisahkan keimanan sejati dari kepura-puraan: Tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah (Wa Lam Yakhsya Illallah). Kriteria ini adalah puncak dari Tauhid dan merupakan prasyarat mutlak bagi kepemimpinan spiritual.
6. Konsep Khauf (Takut) dalam Imarah
Takut kepada Allah (Khauf Billah) adalah bentuk ketaatan tertinggi yang melahirkan keberanian (syaja'ah) dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Dalam konteks Imarah Masjid, keberanian ini diwujudkan dalam beberapa aspek:
- Keberanian Menegakkan Kebenaran: Pengurus masjid harus berani menyampaikan kebenaran, mencegah kemungkaran, dan menolak intervensi pihak luar (apakah itu pemerintah, kelompok tertentu, atau donatur besar) yang mencoba menyimpangkan fungsi masjid dari tujuan tauhidnya.
- Menolak Kompromi Aqidah: Ma'mur Masjid yang sejati tidak akan takut kehilangan jabatan atau pendanaan jika ia harus mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Mereka tidak gentar menghadapi tekanan sosial atau politik.
- Tawakkal Penuh: Jika mereka hanya takut kepada Allah, mereka akan bertawakkal sepenuhnya kepada-Nya dalam hal rezeki dan perlindungan. Ini membebaskan mereka dari perbudakan terhadap sumber daya manusiawi, memastikan bahwa kebijakan masjid didasarkan pada syariat, bukan pada kepentingan donatur.
Dalam sejarah turunnya ayat ini (konteks perselisihan tentang hak pemeliharaan Ka'bah), sifat Khauf Illallah menjadi pembeda utama. Orang musyrik takut kehilangan kedudukan dan keuntungan duniawi, sementara orang mukmin hanya takut akan murka Allah. Oleh karena itu, hanya yang jiwanya merdeka dari ketakutan manusiawi yang layak menjadi penjaga rumah kemerdekaan (masjid).
7. Dampak Psikologis pada Kepemimpinan
Kepemimpinan yang didasarkan pada Khauf Illallah akan menghasilkan transparansi dan akuntabilitas. Seseorang yang takut kepada Allah tidak akan melakukan penipuan, korupsi, atau penyimpangan, karena ia tahu bahwa Allah Maha Melihat. Ketakutan ini bukan ketakutan yang melumpuhkan, melainkan ketakutan yang memotivasi untuk berbuat yang terbaik dan benar.
Seorang pemimpin masjid yang memenuhi kriteria ini akan menjadi mercusuar moral. Mereka akan menjadi panutan dalam berinteraksi dengan komunitas dan dalam membuat keputusan yang berdampak pada keberlangsungan dakwah. Ketiadaan rasa takut kepada selain Allah memastikan kemurnian niat dan objektivitas dalam pengambilan keputusan di lingkungan masjid.
Kriteria Kelima: Harapan Mendapat Petunjuk (Penutup Ayat)
Ayat ini ditutup dengan kalimat yang memberikan pengharapan, bukan kepastian mutlak: Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (Fa 'Asaa Ulaa'ika an Yakuunuu minal Muhtadiin).
8. Makna 'Asaa (Diharapkan)
Penggunaan kata Fa 'Asaa (maka diharapkan) memiliki makna teologis yang penting. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ketika kata ini digunakan dalam konteks janji Allah, ia berfungsi sebagai kepastian yang lembut (yakni, jika mereka benar-benar memenuhi keempat kriteria sebelumnya, niscaya mereka akan mendapat petunjuk). Namun, penggunaan kata ‘diharapkan’ juga berfungsi sebagai peringatan:
- Menjauhi Kesombongan: Kriteria yang disebutkan bukan jaminan otomatis. Ia mencegah Ma'mur Masjid untuk merasa puas diri atau sombong atas amal mereka, karena hidayah dan petunjuk tetap berada di tangan Allah semata.
- Petunjuk sebagai Puncak: Petunjuk (Al-Hidayah) adalah hasil akhir dari kombinasi sempurna antara iman yang kokoh (Iman), ibadah yang konsisten (Shalat), tanggung jawab sosial (Zakat), dan integritas ideologis (Khauf Illallah). Orang yang telah memenuhi semua ini diharapakan menjadi orang yang paling berhak atas petunjuk dalam kehidupan mereka, baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Konteks Sejarah dan Fiqh: Mengapa Ayat Ini Turun?
Ayat 18 dari Surat At-Taubah tidak dapat dipisahkan dari ayat-ayat sebelumnya (khususnya ayat 17) yang secara tegas menolak hak orang musyrik untuk memakmurkan masjid, meskipun mereka melakukan tugas-tugas pelayanan fisik. Ayat 17 berbunyi: “Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, padahal mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir...”
9. Supremasi Iman di Atas Amal Fisik
Konteks turunnya ayat ini berhubungan dengan perdebatan pasca-Fathu Makkah (Pembebasan Mekkah). Para pemuka Quraisy yang belum masuk Islam, saat itu, masih berbangga dengan tugas mereka melayani peziarah, memberi minum (Siqayah), dan menjaga Ka'bah (Sidanah). Mereka berpendapat bahwa amal fisik ini setara atau bahkan lebih mulia dari keimanan.
QS 9:18 menghancurkan argumentasi ini. Ayat tersebut menetapkan bahwa fungsi utama Imarah Masjid adalah spiritual, bukan sekadar logistik. Meskipun pekerjaan fisik (membangun, membersihkan, merawat) diperlukan, pekerjaan itu hanya sah dan diterima jika didasari oleh Iman yang murni. Tanpa tauhid, segala upaya fisik di masjid hanyalah pekerjaan bangunan biasa, bukan ibadah.
10. Implikasi Hukum (Fiqh) Mengenai Imarah
Secara fiqh, ayat ini menetapkan kaidah penting:
- Penolakan Keterlibatan Non-Muslim: Mayoritas ulama menyimpulkan dari ayat ini bahwa pengelolaan dan kepemimpinan masjid secara mutlak harus dipegang oleh Muslim yang memenuhi kriteria iman. Meskipun Non-Muslim dapat dipekerjakan untuk pekerjaan teknis (seperti konstruksi), mereka tidak boleh memegang jabatan strategis dalam Imarah Masjid.
- Keutamaan Kualitas Diri: Ayat ini menempatkan kualitas spiritual dan moral seseorang (Iman, Khauf) di atas kualifikasi manajerial semata. Seorang manajer yang shalatnya lalai dan tidak takut kepada Allah tidak layak memimpin masjid, meskipun ia memiliki gelar administrasi tertinggi.
Dimensi Tarbiyah (Pendidikan Karakter) bagi Ma'mur Masjid
QS At-Taubah 18 adalah kurikulum karakter yang lengkap bagi setiap individu yang bercita-cita menjadi pelayan rumah Allah. Tarbiyah yang terkandung dalam ayat ini memastikan bahwa Ma'mur Masjid berfungsi sebagai contoh yang hidup bagi komunitas.
11. Sinergi Iman dan Amal
Ayat ini menyajikan formula sinergi antara qalbun salim (hati yang bersih) dan amalun shalih (amal yang benar). Iman adalah fondasi tak terlihat, sedangkan shalat dan zakat adalah manifestasi yang terlihat dari fondasi tersebut. Tanpa keselarasan ini, kemakmuran masjid akan timpang; ia mungkin megah secara fisik tetapi kosong secara spiritual.
12. Membangun Karakter Kepemimpinan yang Mandiri
Sifat Wa Lam Yakhsya Illallah mengajarkan kepemimpinan yang berani dan mandiri. Karakter ini sangat vital dalam dakwah kontemporer di mana masjid seringkali menghadapi tekanan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan pragmatis. Pemakmur masjid yang ideal adalah mereka yang berani:
- Menjaga netralitas masjid dari politik praktis.
- Mempertahankan standar ajaran yang benar, meskipun tidak populer.
- Menjadi suara keadilan, meskipun berisiko.
13. Masjid sebagai Sentra Keseimbangan Umat
Kombinasi Shalat (ibadah vertikal/hubungan dengan Allah) dan Zakat (ibadah horizontal/hubungan dengan sesama) yang dijadikan prasyarat Imarah, menunjukkan bahwa masjid harus menjadi sentra keseimbangan umat. Tugas Ma'mur Masjid adalah memastikan bahwa masjid tidak hanya menjadi tempat ibadah ritual, tetapi juga pusat pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan penyelesaian masalah sosial.
Penerapan Kontemporer Imarah Masjid
Dalam era modern, konsep Imarah Masjid tidak hanya terbatas pada tugas-tugas tradisional, tetapi meluas ke manajemen organisasi, teknologi, dan interaksi komunitas yang kompleks. Penerapan QS 9:18 memberikan panduan etis dan moral bagi manajemen masjid di abad ke-21.
14. Imarah Spiritual vs. Imarah Fisik
Sering terjadi, fokus Imarah bergeser hanya pada dimensi fisik: kemegahan bangunan, kebersihan, dan fasilitas mewah. QS 9:18 mengingatkan kita bahwa Imarah yang sesungguhnya adalah Imarah spiritual: jumlah jamaah shalat Subuh, kualitas pengajian, intensitas dzikir, dan transparansi keuangan.
Pengurus masjid modern harus mengukur keberhasilan bukan hanya dari besarnya donasi yang terkumpul (Imarah Fisik), tetapi dari dampak perubahan perilaku jamaah ke arah keimanan dan ketaqwaan yang lebih dalam (Imarah Spiritual). Kedua jenis Imarah ini harus berjalan seiring, didorong oleh kelima kriteria ilahiah tersebut.
15. Transparansi dan Akuntabilitas Zakat
Dalam konteks modern, penunaian zakat oleh Ma'mur Masjid juga tercermin dalam bagaimana mereka mengelola dana publik (infaq, sedekah, dan zakat). Kriteria Zakat menuntut adanya transparansi maksimal dalam pelaporan keuangan masjid. Pengelola harus memastikan bahwa setiap rupiah dana masjid dikelola dengan profesionalisme dan amanah yang mencerminkan ketakutan mereka hanya kepada Allah.
16. Peran Masjid dalam Menangkal Ketakutan Non-Ilahiah
Di masa penuh disrupsi informasi dan tekanan ideologis, masjid modern berperan penting dalam membumikan konsep Wa Lam Yakhsya Illallah. Masjid harus menjadi tempat perlindungan di mana umat belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada keberhasilan duniawi yang fana atau pada persetujuan manusia. Pengajaran di masjid harus fokus pada penguatan Tawhid untuk melawan ketakutan akan kemiskinan, kegagalan politik, atau intimidasi pihak lain, yang semuanya mengikis iman.
Dengan demikian, Ma'mur Masjid berfungsi sebagai dokter spiritual dan administrator sosial, yang memimpin dengan dasar keimanan yang tak tergoyahkan, ibadah yang teratur, kepedulian sosial yang nyata, dan keberanian moral yang total.
Penutup dan Sintesis Lima Pilar Kemakmuran
QS At-Taubah ayat 18 adalah manifesto bagi setiap Muslim yang berniat menjadi pelayan dan pemakmur rumah Allah. Ayat ini menawarkan panduan yang komprehensif, jauh melampaui kemampuan teknis atau kekayaan material. Ayat ini menyaring esensi kepemimpinan spiritual sejati, menjadikannya standar baku yang tak lekang oleh zaman.
Lima kriteria yang ditetapkan—Iman kepada Allah dan Hari Akhir, Penegakan Shalat, Penunaian Zakat, dan Khauf hanya kepada Allah—adalah lima pilar yang harus berdiri tegak secara simultan. Jika salah satu pilar ini roboh, maka kualitas Imarah Masjid pun akan menurun, dan harapan untuk termasuk dalam golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (minal Muhtadiin) akan pudar.
Pelajaran terpenting yang diwariskan oleh ayat ini adalah penekanan pada prioritas spiritual. Sebelum seorang Muslim memperbaiki batu bata masjid, ia harus terlebih dahulu memperbaiki hatinya. Sebelum ia mengumpulkan dana, ia harus memastikan keikhlasan niatnya. Kemakmuran fisik yang didirikan di atas fondasi iman yang lemah adalah bangunan yang rapuh. Sebaliknya, masjid yang dipelihara oleh mereka yang jiwanya telah makmur dengan tauhid, akan menjadi sumber petunjuk yang abadi bagi seluruh umat manusia.
Setiap Muslim yang berinteraksi dengan masjid—apakah sebagai pengurus harian, imam, donatur, atau jamaah biasa—diundang untuk merefleksikan kembali lima kriteria ini. Apakah kontribusi kita terhadap masjid didorong oleh keyakinan mendalam pada akhirat? Apakah shalat dan zakat kita mencerminkan integritas yang kita bawa ke dalam manajemen masjid? Dan yang terpenting, apakah kita telah membebaskan diri dari segala ketakutan duniawi, sehingga hanya takut akan keagungan Allah semata?