Konsep Kesucian Tanah Haram
Surah At-Taubah, yang merupakan salah satu surah Madaniyah, memiliki keunikan dan otoritas yang sangat tinggi dalam penetapan hukum-hukum syariat. Surah ini dikenal pula dengan nama ‘Al-Bara’ah’ (Pemutusan Hubungan), karena di dalamnya terkandung deklarasi pemutusan perjanjian damai dengan kaum musyrikin yang telah berulang kali melanggar janji mereka. Ayat-ayatnya, diturunkan setelah Fathu Makkah dan menjelang Haji Wada', memberikan landasan final mengenai status kaum musyrikin di tengah masyarakat Islam, khususnya terkait akses mereka ke pusat ibadah umat Muslim.
Ayat ke-28 dari Surah At-Taubah adalah poros pembahasan mengenai batasan fisik dan spiritual Tanah Suci. Ayat ini tidak hanya menetapkan larangan hukum (hukm syar'i) tetapi juga menyinggung kekhawatiran ekonomi yang mungkin timbul akibat penerapan larangan tersebut, sekaligus memberikan jaminan rezeki dari Allah SWT. Memahami ayat ini memerlukan analisis mendalam terhadap konteks historis, linguistik, dan implikasi fiqih yang diturunkan oleh para ulama mazhab. Kajian ini bertujuan mengurai setiap dimensi dari ayat yang monumental ini, memastikan pemahaman yang komprehensif sesuai dengan tradisi tafsir Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Ayat yang menjadi fokus kajian ini adalah Surah At-Taubah ayat 28:
Ayat ini diturunkan pada periode penting dalam sejarah Islam, yaitu setelah penaklukan Makkah (Fathu Makkah) pada tahun 8 H, dan sebelum Haji terakhir yang dipimpin oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq pada tahun 9 H (yang dikenal sebagai tahun deklarasi Bara’ah). Sebelumnya, orang-orang musyrik masih diizinkan memasuki Makkah dan bahkan melakukan ritual haji mereka sendiri, seringkali dengan cara yang bertentangan dengan ajaran tauhid.
Konteks langsung dari ayat ini terkait erat dengan pengumuman yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib RA atas perintah Rasulullah SAW di Makkah. Pengumuman tersebut memberikan batas waktu empat bulan kepada kaum musyrikin untuk memutuskan apakah mereka akan memeluk Islam atau bersiap menghadapi konsekuensi perang, kecuali bagi mereka yang memiliki perjanjian damai yang belum dicederai. Ayat 28 ini menjadi pelengkap dari deklarasi tersebut, menetapkan batas waktu bagi akses mereka ke Makkah.
Sebelum turunnya ayat ini, perdagangan dan ritual di sekitar Ka'bah masih melibatkan partisipasi aktif kaum musyrikin. Mereka membawa patung, melakukan thawaf dalam keadaan telanjang (sebagian suku), dan membawa barang dagangan. Setelah penetapan larangan ini, seluruh bentuk praktik kesyirikan di Tanah Haram dihilangkan secara permanen. Frasa "sesudah tahun ini" (بعد عامهم هذا) secara universal dipahami merujuk pada tahun 9 H, sehingga larangan tersebut mulai berlaku sepenuhnya pada tahun 10 H (Tahun Haji Wada').
Untuk memahami kedalaman hukum ayat ini, perlu diurai empat istilah krusial yang digunakan oleh Al-Qur'an.
Secara terminologis, *Mushrikun* merujuk pada mereka yang menyekutukan Allah SWT dalam ibadah (syirk akbar), termasuk penyembah berhala, bintang, atau dewa-dewa selain Allah. Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks fikih, larangan ini sering diperluas oleh sebagian ulama Hanbali hingga mencakup seluruh non-Muslim, namun interpretasi yang lebih sempit dan kuat berfokus pada mereka yang melakukan syirik secara eksplisit, meskipun implikasi larangan ini terhadap Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) juga menjadi perdebatan sengit yang akan diulas dalam bagian fikih.
Penggunaan istilah *Mushrikun* dalam konteks ini sangat spesifik, menandakan bahwa keberadaan mereka di pusat tauhid, yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS, adalah sebuah kontradiksi fundamental yang harus diakhiri. Larangan ini adalah pemurnian ideologis Tanah Suci.
Kata kunci *Najasun* (نَجَسٌ) memicu diskusi panjang di kalangan ulama: apakah yang dimaksud adalah najis fisik (*najasah hissiyah*) atau najis ideologis/kepercayaan (*najasah ma’nawiyah*).
Kesimpulan utama dari terminologi ini adalah bahwa larangan tersebut bersifat ideologis dan perlindungan terhadap kesucian tauhid di tempat yang paling mulia di muka bumi.
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan larangan mendekati *Masjid al-Haram*. Namun, terdapat perbedaan interpretasi mengenai batasan geografis yang dimaksud:
Dalam praktik saat ini, interpretasi yang melarang non-Muslim memasuki seluruh Tanah Haram Makkah adalah yang diterapkan secara resmi.
Bagian kedua ayat ini merupakan jaminan ilahi. Pada masa itu, Makkah adalah pusat dagang regional. Kehadiran para peziarah musyrik dari berbagai suku membawa keuntungan ekonomi yang besar melalui perdagangan, sewa penginapan, dan jasa lainnya. Para Sahabat khawatir bahwa setelah larangan tersebut diberlakukan, perekonomian Makkah akan lumpuh. Allah SWT kemudian memberikan jawaban langsung: "Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena terputusnya hubungan dagang), maka kelak Allah akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki."
Jaminan ini menunjukkan bahwa ketaatan terhadap perintah Allah harus didahulukan di atas segala pertimbangan duniawi. Allah menggantikan kerugian ekonomi yang ditakutkan dengan keberkahan dari sumber lain, seperti meningkatnya kunjungan peziarah Muslim, dibukanya jalur perdagangan baru (misalnya dengan Yaman atau Syam), atau melalui ghanimah (harta rampasan perang) di masa depan. Ini adalah pelajaran abadi tentang tawakkal dan mendahulukan agama.
Para ulama tafsir telah membahas ayat ini dengan detail luar biasa, menggarisbawahi pentingnya pemurnian Makkah.
At-Tabari menekankan bahwa ayat ini adalah perintah wajib yang menghapus semua kebiasaan pra-Islam. Ia mengumpulkan riwayat yang menunjukkan bahwa kekhawatiran Sahabat tentang kemiskinan (akibat kehilangan pasar) adalah nyata. At-Tabari menegaskan bahwa kata *Najasun* (najis) merujuk pada kekotoran ideologis (syirik) dan bukan fisik. Beliau juga mencatat bahwa setelah larangan ini diterapkan, Allah segera membuka pintu rezeki melalui sumber-sumber yang tidak terduga, memenuhi janji-Nya.
Tabari juga menyajikan pandangan yang luas mengenai penerapan larangan. Ia menyimpulkan bahwa batas waktu "setelah tahun ini" menegaskan urgensi dan ketegasan hukum ini, menandai akhir dari era toleransi terhadap syirik di pusat agama monoteistik.
Ibn Katsir, sebagaimana tradisi tafsir bil ma'tsur, menguatkan pandangan jumhur. Ia mencantumkan riwayat dari Ibn Abbas yang menegaskan bahwa Allah kemudian memperkaya kaum Muslimin melalui pembayaran jizyah dari Ahli Kitab dan ghanimah. Ini membuktikan pemenuhan janji Allah terhadap kekhawatiran ekonomi.
Mengenai ruang lingkup larangan, Ibn Katsir cenderung mendukung pandangan bahwa larangan tersebut mencakup seluruh Tanah Haram, berdasarkan hadis-hadis yang menekankan kesucian Makkah secara keseluruhan. Ia menekankan bahwa Makkah dan Tanah Haram adalah tempat yang secara eksklusif didedikasikan untuk ibadah kepada Allah semata.
Al-Qurtubi memberikan analisis fikih yang sangat mendalam. Ia membahas perbedaan pendapat mengenai apakah larangan tersebut berlaku untuk Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) juga, atau hanya terbatas pada penyembah berhala (*watsaniyyah*). Al-Qurtubi mencatat bahwa Imam Malik berpendapat larangan ini mencakup semua non-Muslim, baik musyrikin maupun Ahli Kitab, di Tanah Haram Makkah. Namun, ia juga mencatat pandangan lain yang membedakan Ahli Kitab karena mereka pada dasarnya mengikuti wahyu, meskipun dianggap sesat.
Al-Qurtubi menyimpulkan bahwa meskipun Ahli Kitab tidak disebut *Mushrikun* dalam pengertian penyembah berhala, keyakinan trinitas (bagi Nasrani) atau penolakan kenabian Muhammad SAW membawa mereka ke dalam kategori yang memiliki kekotoran akidah, meskipun larangan masuk ke Tanah Haram tetap lebih ketat diterapkan pada penyembah berhala murni.
Ar-Razi terkenal dengan pendekatan rasional dan teologisnya. Ia menganalisis istilah *Najasun* dari sudut pandang filosofis dan syar'i. Ar-Razi berargumen kuat bahwa kenajisan di sini adalah kenajisan spiritual, karena jika ia adalah najis fisik, maka setiap orang yang bersentuhan dengan mereka harus berwudhu, dan ini tidak pernah diperintahkan oleh Syariat.
Ar-Razi juga membahas hikmah di balik larangan tersebut:
Pendekatan Ar-Razi memperkuat bahwa tujuan utama ayat ini adalah menjaga integritas akidah dan spiritualitas tempat suci tersebut, bukan hanya masalah sanitasi fisik.
Ayat 28 Surah At-Taubah menjadi sumber hukum primer dalam fiqih mengenai status non-Muslim di Tanah Haram dan masjid-masjid pada umumnya. Terdapat tiga isu fiqih utama yang diturunkan dari ayat ini.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, batasan larangan ini memicu perbedaan tajam di antara empat mazhab utama:
Pandangan Hanafi adalah yang paling longgar mengenai non-Muslim di luar Makkah. Mereka berpendapat bahwa larangan mendekati *Masjidil Haram* hanya berlaku di dalam batas-batas Masjidil Haram itu sendiri, dan bukan seluruh Tanah Haram. Mereka juga berpendapat bahwa Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) boleh memasuki masjid-masjid lain di luar Makkah, asalkan ada izin atau keperluan mendesak, karena Ahli Kitab tidak tergolong *Mushrikun* secara mutlak dalam konteks fikih umum, meskipun larangan di Makkah tetap ketat.
Imam Malik berpendapat bahwa larangan ini mencakup seluruh Tanah Haram Makkah (Al-Haram Al-Makki). Selain itu, mereka umumnya melarang non-Muslim (termasuk Ahli Kitab) memasuki masjid-masjid di luar Makkah, kecuali dengan alasan mendesak dan izin penguasa Muslim, tetapi tetap mensyaratkan mereka tidak berada dalam keadaan junub.
Mazhab Syafi'i membagi isu ini. Pendapat terkuat (mu’tamad) adalah larangan total bagi non-Muslim (termasuk Ahli Kitab) untuk memasuki seluruh Tanah Haram Makkah. Mereka berpegang pada prinsip keutamaan tauhid di wilayah tersebut. Namun, mengenai masjid-masjid lain di luar Makkah, pandangan Syafi'i cenderung membolehkan non-Muslim memasukinya jika ada kebutuhan (seperti untuk mendengarkan dakwah atau berdiskusi) asalkan mereka tidak menodai kesucian tempat tersebut, karena ayat ini spesifik merujuk pada Masjidil Haram.
Mazhab Hanbali (seperti yang diwakili oleh Imam Ahmad) memiliki pandangan yang paling ketat. Mereka melarang non-Muslim, baik musyrikin maupun Ahli Kitab, untuk memasuki Tanah Haram Makkah. Bahkan dalam beberapa riwayat, mereka juga melarang non-Muslim memasuki seluruh masjid, baik di Makkah maupun di luar Makkah, karena kenajisan akidah (*najasah ma’nawiyah*) yang dibawa oleh ayat ini. Namun, pendapat yang lebih lentur dalam mazhab ini membolehkan Ahli Kitab memasuki masjid di luar Makkah jika ada izin dan keperluan.
Kesimpulan Fiqih: Meskipun terdapat perbedaan mengenai masjid-masjid di luar Makkah, terdapat ijma' (konsensus) di kalangan mazhab empat bahwa non-Muslim, terutama penyembah berhala, dilarang memasuki Tanah Haram Makkah setelah tahun 9 H.
Pertanyaan mendasar adalah: apakah Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) termasuk dalam kategori *Mushrikun* yang dilarang?
Oleh karena itu, dalam konteks Tanah Haram, istilah *Mushrikun* diartikan secara luas untuk mencakup semua yang tidak menganut Tauhid murni Islam.
Jika mendekat saja dilarang, maka tentu saja tinggal atau menetap di Tanah Haram juga dilarang. Para ulama sepakat bahwa non-Muslim tidak boleh menetap di Makkah. Ini merupakan bagian dari pemurnian total yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau bersabda, “Tidak boleh berkumpul dua agama di Jazirah Arab.” Meskipun terjadi perdebatan mengenai batas Jazirah Arab, konsensus mengenai Makkah dan Tanah Haram sangat kuat: tidak boleh ada tempat tinggal permanen non-Muslim di sana.
Larangan ini menegaskan bahwa Makkah bukan hanya kota, melainkan sebuah wilayah hukum khusus yang aturannya ditetapkan secara ilahi, tempat di mana kedaulatan Islam dan Tauhid harus ditegakkan tanpa kompromi.
Bagian kedua dari ayat 28 adalah bukti keutuhan Al-Qur’an dalam menangani aspek spiritual dan material kehidupan manusia. Kekhawatiran Sahabat adalah hal yang wajar; ekonomi Makkah sangat bergantung pada pasar musiman (suq) selama haji.
Ayat ini mengajarkan bahwa hukum syar'i tidak boleh digadaikan demi keuntungan ekonomi sesaat. Jika ketaatan kepada Allah menuntut pengorbanan finansial, maka pengorbanan itu harus dilakukan, dan Allah pasti akan menggantinya. Ini adalah ujian keimanan dan tawakkal (ketergantungan penuh kepada Allah).
Janji Allah dalam frasa "فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ" (maka kelak Allah akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya) terwujud dalam beberapa bentuk:
Penyertaan "إِن شَاءَ" (jika Dia menghendaki) pada akhir janji ini bukan berarti janji tersebut bersifat opsional, melainkan sebagai penegasan bahwa kekayaan dan rezeki sepenuhnya berada di bawah kehendak dan kekuasaan Allah (masyi'ah). Ini mencegah umat Islam jatuh ke dalam kesombongan setelah memperoleh rezeki, dan mengingatkan bahwa kemakmuran adalah karunia, bukan hak yang dijamin otomatis.
Ar-Razi menjelaskan bahwa penyebutan ini adalah pengingat teologis yang fundamental: bahkan janji rezeki pun tetap terikat pada kehendak Allah, menggarisbawahi ke-Maha Kuasaan-Nya. Ini juga menunjukkan bahwa peningkatan kekayaan tidak selalu datang secara instan, tetapi "kelak" (فَسَوْفَ), sesuai dengan waktu dan cara yang ditentukan oleh kebijaksanaan ilahi (Hakimun).
Hukum yang ditetapkan oleh Surah At-Taubah ayat 28 terus diterapkan secara ketat oleh Kerajaan Arab Saudi sebagai penjaga Dua Kota Suci. Implikasi hukum ini memiliki dampak signifikan pada kebijakan modern terkait akses dan pariwisata.
Pemerintah Saudi mengaplikasikan pandangan yang paling ketat, melarang non-Muslim memasuki seluruh batas-batas Tanah Haram Makkah (yang ditandai dengan miqat dan batas-batas wilayah hukum). Larangan ini mencakup semua bentuk kunjungan, baik untuk pariwisata, bisnis, maupun sekadar transit. Ini adalah implementasi langsung dari tafsir yang menganggap Tanah Haram sebagai wilayah eksklusif bagi umat Islam demi menjaga kesucian akidahnya.
Sementara larangan di Makkah mutlak, perdebatan fiqih mengenai izin masuk non-Muslim ke masjid-masjid di luar Makkah tetap relevan di seluruh dunia Islam. Sebagian besar negara Muslim modern mengadopsi pandangan yang lebih fleksibel (seperti Syafi'i atau Hanafi), yang membolehkan non-Muslim memasuki masjid di luar Makkah untuk tujuan edukasi, diplomasi, atau untuk menunjukkan citra toleran Islam, asalkan mereka menghormati kesucian tempat tersebut dan didampingi.
Dalam konteks globalisasi, ayat ini menjadi pengingat penting tentang batas-batas sakral. Makkah adalah simbol global Tauhid murni. Larangan ini bukan bertujuan diskriminasi personal, melainkan merupakan upaya perlindungan terhadap inti spiritual dan identitas akidah umat Islam. Hal ini serupa dengan bagaimana negara-negara memiliki zona keamanan atau wilayah kedaulatan yang aksesnya dibatasi secara ketat.
Kekuatan hukum ayat ini memastikan bahwa di tengah pluralitas dan interaksi global, ada satu tempat di bumi yang harus tetap murni dan eksklusif sebagai pusat ibadah bagi mereka yang bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.
Meskipun terdapat perbedaan interpretasi mengenai wilayah Jazirah Arab secara keseluruhan (apakah Yaman, Oman, dan lainnya termasuk dalam larangan menetap), konsensus tetap teguh bahwa tidak ada non-Muslim yang diizinkan untuk tinggal permanen di Hijaz (termasuk Makkah dan Madinah), meskipun mereka diizinkan bekerja sebagai pekerja sementara atau musafir.
Ketetapan ini didasarkan pada keinginan Nabi Muhammad SAW untuk memurnikan Jazirah Arab dari syirik dan memastikan wilayah tersebut menjadi benteng keimanan yang tak tergoyahkan. Penerapan hukum ini merupakan manifestasi dari ketaatan historis terhadap wasiat Nabi SAW.
Surah At-Taubah ayat 28 adalah salah satu perintah ilahi yang paling tegas dan final dalam Syariat Islam. Ia menetapkan larangan permanen bagi kaum musyrikin untuk memasuki Masjidil Haram dan seluruh Tanah Haram Makkah.
Analisis mendalam terhadap tafsir dan fiqih ayat ini menegaskan bahwa larangan tersebut berakar pada kenajisan ideologis (*najasah ma’nawiyah*) syirik. Meskipun detail penerapan di luar Makkah bervariasi antar mazhab, ketegasan hukum di Tanah Suci tetap menjadi pilar utama dalam pemeliharaan identitas dan kesucian Islam.
Kekuatan ayat ini, yang diturunkan pada akhir periode kenabian, menutup babak interaksi politik dan agama yang kompleks di Jazirah Arab, dan memulai era baru di mana Tauhid menjadi satu-satunya panji yang diizinkan berkibar di Tanah Suci.
Kajian ini disusun berdasarkan rujukan utama dari kitab-kitab tafsir klasik (seperti Jami'ul Bayan fi Ta'wilil Qur'an, Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, dan Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim) serta karya-karya fiqih dari madzhab empat.