Kajian Mendalam tentang Pertolongan Ilahi di Gua Tsur
Alt Text: Ilustrasi simbolis Gua Tsur, melambangkan perlindungan ilahi dan ketenangan (Sakinah).
Surah At-Taubah (Pengampunan) adalah salah satu surah Madaniyah yang terakhir diturunkan, dikenal karena ketegasannya dalam menetapkan batas-batas iman dan mengumumkan pemutusan perjanjian dengan kaum musyrikin. Di tengah Surah yang penuh dengan perintah jihad dan pengawasan terhadap orang-orang munafik ini, terselip sebuah ayat monumental yang menjadi sumber inspirasi tak berkesudahan bagi umat Islam: Ayat ke-40.
Ayat ini bukan hanya catatan sejarah, melainkan pelajaran abadi tentang urgensi Tawakkul (penyerahan diri total kepada Allah), kekuatan persahabatan sejati dalam perjuangan agama, dan manifestasi nyata dari Pertolongan Allah (Nasrullah) yang datang dalam bentuk Ketenangan (Sakinah) saat bahaya mencapai puncaknya. QS At-Taubah 9:40 membawa kita kembali ke momen paling kritis dalam sejarah Islam, yakni peristiwa Hijrah, perpindahan monumental dari Makkah menuju Madinah, yang menjadi penentu nasib dakwah Rasulullah ﷺ.
Ayat ini menggambarkan sebuah skenario di mana Rasulullah ﷺ berada di titik terdesak, ditinggalkan oleh banyak orang yang enggan berjuang, namun Allah menegaskan bahwa Dia tidak pernah meninggalkannya.
Terjemahan Kementerian Agama RI:
Ayat ini diturunkan setelah Perang Tabuk, namun menceritakan kembali peristiwa fondasional yang terjadi sepuluh tahun sebelumnya: Hijrah. Hijrah terjadi setelah penindasan Quraisy Makkah mencapai klimaksnya. Setelah wafatnya Abu Thalib dan Khadijah, perlindungan terhadap Nabi ﷺ semakin lemah. Quraisy, yang menyadari bahwa Islam mulai menyebar ke Yatsrib (Madinah) melalui Bai’at Aqabah I dan II, memutuskan untuk mengakhiri dakwah Nabi Muhammad ﷺ selamanya. Mereka berkumpul di Darun Nadwah dan merencanakan pembunuhan kolektif agar pertumpahan darah dibagi rata di antara semua kabilah, sehingga Bani Hasyim tidak dapat menuntut balas kepada satu kabilah pun.
Allah SWT memberitahu Nabi ﷺ tentang rencana jahat ini. Dengan perintah ilahi, Nabi Muhammad ﷺ meninggalkan rumahnya di malam hari, setelah menugaskan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di ranjangnya demi mengelabui para pengejar. Strategi Hijrah Nabi ﷺ sangatlah cerdas dan terencana, menunjukkan bahwa tawakkul tidak menafikan usaha maksimal (ikhtiar):
Nabi ﷺ dan Abu Bakar RA bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari tiga malam. Inilah setting utama dari ayat 40 ini. Pengejar Quraisy, yang dipimpin oleh para pelacak jejak ahli, berhasil sampai tepat di mulut gua. Jarak mereka begitu dekat, sehingga Abu Bakar RA dapat mendengar suara langkah kaki mereka dan melihat ujung pakaian mereka. Inilah momen yang disebut dalam ayat, di mana keputusasaan dan ketakutan menyelimuti Abu Bakar, bukan karena takut mati, melainkan khawatir jika Rasulullah ﷺ tertangkap dan dakwah terhenti.
Pernyataan ini adalah teguran keras sekaligus penguatan iman. Ayat ini mengingatkan kaum Mukminin yang mungkin lalai atau enggan berjihad bahwa pertolongan Nabi Muhammad ﷺ tidak bergantung pada mereka. Allah memiliki kekuasaan mutlak untuk memberikan kemenangan, dan Dia telah membuktikannya di masa lalu—bahkan saat Nabi ﷺ berada dalam situasi paling genting tanpa bala bantuan manusia.
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa pertolongan Allah kepada Rasul-Nya pada momen Hijrah ini jauh lebih agung dan lebih hebat daripada pertolongan yang mungkin diberikan oleh seluruh pasukan kaum Mukminin di masa depan. Ini menunjukkan superioritas pertolongan Ilahi atas segala upaya manusia.
Frasa ini secara definitif merujuk pada dua orang yang berada di Gua Tsur, yaitu Nabi Muhammad ﷺ dan Abu Bakar As-Siddiq RA. Para ulama Ahli Sunnah Wal Jama’ah menjadikan frasa ini sebagai salah satu dalil paling kuat mengenai kemuliaan Abu Bakar As-Siddiq, menempatkannya pada posisi kehormatan tertinggi setelah para Nabi. Ia adalah satu-satunya manusia yang mendapatkan predikat 'teman kedua' dalam situasi yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan langsung dan pertolongan Allah.
Ini adalah inti spiritual dari ayat. Ucapan Nabi Muhammad ﷺ kepada Abu Bakar RA adalah manifestasi dari tawakkul yang sempurna. 'Jangan berdukacita' (La tahzan) adalah perintah untuk menghilangkan rasa takut duniawi, diikuti dengan alasan teologis yang pasti: 'Sesungguhnya Allah beserta kita' (Innal Laha ma'ana).
Lafazh *Sakinah* (Ketenangan) adalah anugerah spiritual yang luar biasa. Sakinah adalah rasa damai, tenteram, dan kepastian yang dicurahkan Allah ke dalam hati hamba-Nya pada saat-saat paling menegangkan. Mengenai subjek dari 'kepadanya' (merujuk pada siapa Sakinah diturunkan), terdapat dua pandangan utama di kalangan mufasir:
Meskipun ada perbedaan, intinya adalah bahwa ketenangan Ilahi hadir di dalam gua tersebut, menjaga kedua insan mulia itu dari kegelisahan dan rasa takut, dan memungkinkan mereka melewati ujian terberat tersebut dengan jiwa yang teguh.
Ini adalah bukti nyata Pertolongan Ghaib (tentara tak terlihat). Mayoritas mufasir menafsirkan *Jundun Lam Tarawha* ini merujuk kepada para Malaikat yang menjaga gua. Kisah-kisah yang terkenal tentang sarang laba-laba dan sarang burung merpati, meskipun diragukan keshahihan riwayatnya secara hadis, namun menjadi simbol yang kuat dalam tradisi tafsir mengenai cara kerja tentara ghaib ini: menutup jalur pandangan musuh, bahkan ketika mereka berdiri di hadapan pintu gua.
Pertolongan ini bersifat fisik (mengalihkan pandangan) dan psikologis (mengisi hati musuh dengan keraguan dan rasa putus asa), memastikan bahwa musuh yang sudah sangat dekat itu tidak melihat apa-apa selain kegelapan dan kekosongan.
Ayat ditutup dengan penegasan supremasi Allah. 'Kalimat orang kafir' adalah upaya mereka untuk membunuh Nabi ﷺ, memadamkan cahaya Islam, dan mempertahankan dominasi jahiliyah mereka. Allah merendahkan upaya ini menjadi upaya yang gagal total dan tidak bernilai.
Sebaliknya, 'Kalimat Allah' adalah agama-Nya, hukum-Nya, dan janji-Nya untuk memberikan kemenangan. Frasa ini menjadi janji universal bahwa meskipun musuh-musuh kebenaran berusaha keras, kebenaran (Islam) pasti akan unggul dan menjadi yang tertinggi di muka bumi, seperti yang terbukti melalui suksesnya Hijrah dan pendirian negara Madinah.
Kisah Gua Tsur adalah definisi sempurna dari Tawakkul. Meskipun Nabi ﷺ sepenuhnya berserah diri kepada Allah, beliau tidak mengabaikan perencanaan yang matang. Beliau menggunakan penunjuk jalan yang ahli (walau non-Muslim), bersembunyi di tempat terpencil, dan membangun jaringan intelijen rahasia. Tawakkul sejati bukan berarti diam menunggu mukjizat, melainkan mengikat unta (melakukan usaha) kemudian menyerahkan hasilnya kepada Sang Pencipta.
Dalam situasi hidup atau mati, kepemimpinan Nabi Muhammad ﷺ bersinar. Ketika Abu Bakar As-Siddiq RA, yang dikenal memiliki keimanan luar biasa, dilanda kecemasan manusiawi, Nabi ﷺ berperan sebagai sumber ketenangan dan kekuatan iman. Beliau tidak menunjukkan kepanikan sedikit pun, melainkan menggemakan kebenaran fundamental: "Sesungguhnya Allah bersama kita." Seorang pemimpin sejati adalah ia yang mampu menenangkan dan memperkuat mental pasukannya di bawah tekanan yang tak tertahankan.
Ayat 40 ini merupakan penghormatan abadi bagi Abu Bakar RA. Gelar *As-Siddiq* (Yang Membenarkan) benar-benar teruji di momen ini. Para ulama sepakat bahwa kebersamaan Abu Bakar dengan Nabi ﷺ di gua memiliki nilai ibadah yang tak terhingga. Ibnul Jauzi menyatakan bahwa menjadi sahabat Nabi ﷺ dalam kondisi aman sudah merupakan kehormatan, namun menjadi sahabat beliau dalam kondisi bahaya terbesar adalah derajat yang hanya diberikan kepada Abu Bakar.
Keputusan Nabi ﷺ memilih Abu Bakar, dan pengakuan Allah terhadapnya dengan frasa 'sahabatnya' (*lishahibihi*), membuktikan bahwa kedudukan spiritual dan kesetiaan Abu Bakar melampaui seluruh umat manusia saat itu, selain para Nabi.
Sakinah adalah pertolongan non-fisik yang paling berharga. Ia menunjukkan bahwa kemenangan pertama dan terpenting dalam perjuangan adalah kemenangan atas rasa takut dan kekhawatiran di dalam diri. Tanpa Sakinah, meskipun pengejar tidak menemukan mereka, kecemasan Abu Bakar bisa saja mengakibatkan kesalahan fatal, seperti suara keras atau gerakan tiba-tiba. Sakinah menjamin ketenangan batin yang absolut, yang merupakan dasar dari setiap pertolongan fisik.
Meskipun ayat ini diawali dengan teguran ("Jikalau kamu tidak menolongnya..."), esensinya adalah memotivasi kaum Mukminin untuk menegakkan kebenaran. Pertolongan Allah datang, tetapi bukan berarti umat Islam harus berpangku tangan. Peristiwa Hijrah mengajarkan bahwa saat Allah memutuskan untuk menolong, hasilnya sempurna. Namun, Mukmin tetap diwajibkan untuk berjuang dan menolong agama Allah sesuai kemampuan.
Peristiwa ini menetapkan prinsip-prinsip fiqih mengenai Hijrah:
Di dunia modern yang dipenuhi dengan kecemasan, tekanan finansial, dan kegelisahan psikologis, kisah Gua Tsur menjadi obat mujarab. Kekuatan 'La Tahzan' masih berlaku. Ketika seorang Mukmin merasa tertekan oleh krisis global, masalah pribadi, atau ancaman eksistensial, ia diingatkan bahwa obatnya bukanlah upaya manusia semata, tetapi mengakui 'Innal Laha ma'ana'. Ketenangan batin, Sakinah, adalah senjata spiritual yang mengalahkan semua kegelisahan.
Walaupun kita tidak melihat malaikat secara fisik hari ini, konsep *Jundun Lam Tarawha* tetap relevan. Allah senantiasa menolong hamba-Nya melalui cara-cara tak terduga: perubahan keadaan politik yang tiba-tiba, munculnya solusi yang tak terpikirkan, atau perlindungan dari bahaya yang sudah di ambang mata. Mukmin diajarkan untuk selalu optimis bahwa Pertolongan Allah hadir, bahkan jika mata kita tidak bisa melihat mekanismenya.
Para ulama tafsir telah menghabiskan banyak jilid untuk mengupas detail ayat yang sarat makna ini. Analisis mendalam mereka memberikan dimensi baru terhadap pemahaman kita:
Ibn Kathir sangat fokus pada pembuktian keutamaan Abu Bakar As-Siddiq. Beliau menegaskan bahwa ayat ini adalah bukti kuat keimanan Abu Bakar dan keintimannya dengan Nabi ﷺ. Ibn Kathir juga menekankan aspek pertolongan Allah yang bersifat ghaib, menggarisbawahi betapa mudahnya Allah melindungi Rasul-Nya, bahkan ketika pengejar berada sejengkal dari mereka. Beliau menyimpulkan bahwa jika Nabi ﷺ tidak ditolong oleh manusia, maka Allah adalah penolong yang tak tertandingi.
Al-Qurtubi memberikan perhatian lebih pada lafazh *Sakinah*. Beliau membahas perbedaan pendapat mengenai siapa yang menerima Sakinah (Nabi atau Abu Bakar) namun cenderung kepada pandangan bahwa Abu Bakar-lah yang membutuhkan ketenangan karena ia sedang cemas akan keselamatan Nabi ﷺ. Al-Qurtubi juga memperluas makna *Sakinah* sebagai 'keamanan' dan 'ketiadaan rasa takut', menjadikannya sebagai nikmat terbesar di tengah teror.
Imam At-Tabari, dengan metodenya yang berbasis riwayat, mengumpulkan berbagai narasi tentang peristiwa Gua Tsur. Beliau mengaitkan ayat ini secara langsung dengan ajakan jihad di awal Surah At-Taubah. At-Tabari menggunakan kisah ini untuk menampar orang-orang yang enggan berperang, mengingatkan mereka bahwa Nabi ﷺ telah menghadapi bahaya yang jauh lebih besar hanya berdua, dan Allah telah menjamin kemenangan baginya.
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di fokus pada makna tarbiyah (pendidikan) dari ayat ini. Beliau menekankan bahwa Allah tidak akan membiarkan Rasul-Nya sendirian. Ayat ini adalah jaminan permanen bagi para pembela kebenaran bahwa hasil perjuangan mereka berada di tangan Allah. Keberhasilan tidak diukur dari jumlah pendukung, melainkan dari kedekatan spiritual dengan Allah SWT.
Secara kolektif, para mufasir menyoroti bahwa QS 9:40 adalah ayat multidimensi: ia adalah sejarah, pujian untuk seorang Sahabat, doktrin teologis tentang Tawakkul, dan janji abadi tentang kemenangan kebenaran.
QS At-Taubah 9:40 adalah mercusuar harapan. Ia mengajarkan bahwa dalam setiap perjuangan, meskipun kita merasa kecil dan terkepung, ada kekuatan tak terbatas yang melindungi dan menopang. Peristiwa di Gua Tsur bukan sekadar mitos heroik; ia adalah kebenaran historis yang menetapkan cetak biru bagi setiap Mukmin yang menghadapi tantangan besar: kerjakan bagianmu dengan ikhtiar terbaik, yakini kebersamaan Allah, dan nantikan Sakinah yang akan menenangkan hatimu.
Klimaks dari ayat ini, penegasan bahwa 'Kalimat Allah itulah yang paling tinggi' (وكلمة الله هي العليا), adalah janji ilahi yang tidak pernah pudar. Meskipun hari ini umat Islam mungkin menghadapi berbagai bentuk tekanan, janji ini memastikan bahwa kebenaran Islam akan tetap tegak. Keperkasaan Allah (Al-Aziz) memastikan kemenangan ini tak terhindarkan, dan Kebijaksanaan-Nya (Al-Hakim) memastikan kemenangan ini terjadi pada waktu dan cara yang paling sempurna, sebagaimana terbukti di malam gelap gulita di pintu Gua Tsur.
Kisah ini adalah pengingat abadi bahwa yang terpenting bukanlah apa yang dilihat oleh mata manusia, tetapi apa yang diputuskan oleh kehendak Ilahi. Selama hati berpegang teguh pada tauhid, dan lisan senantiasa mengumandangkan 'Allah beserta kita,' maka tidak ada kekuatan di muka bumi yang mampu menembus perlindungan-Nya.
Kita menutup renungan ini dengan mengambil inspirasi dari ketenangan Abu Bakar setelah mendengar jaminan Nabi ﷺ. Dari sanalah lahir sebuah peradaban, yang berawal dari perlindungan di dalam gua yang tersembunyi, membuktikan bahwa fondasi kejayaan sejati adalah iman dan tawakkul yang murni.
***
Pendalaman terhadap setiap diksi dan frasa dalam ayat ini—dari penegasan pertolongan Allah yang independen (فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ), penghormatan terhadap pendamping sejati (ثَانِيَ اثْنَيْنِ), jaminan spiritual (لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا), pencurahan ketenangan (سَكِينَةُ), hingga mobilisasi tentara tak terlihat (بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا)—membuka cakrawala pemahaman bahwa strategi dan taktik Nabi Muhammad ﷺ didukung sepenuhnya oleh intervensi kosmik yang Maha Kuat.
Keagungan ayat ini seringkali dikaitkan dengan konteks hijrah saja, namun maknanya melampaui peristiwa sejarah tersebut. Ia adalah sebuah prinsip dasar teologi Islam: bahwa kebenaran akan selalu dilindungi, dan kegelisahan harus diatasi dengan kesadaran akan kehadiran Allah. Umat Islam di manapun berada diajarkan untuk menjadikan 'La Tahzan' sebagai mantra hati saat menghadapi kesulitan, mengetahui bahwa janji 'Innal Laha ma'ana' adalah jaminan pertolongan yang pasti datang, meskipun mungkin melalui cara-cara yang tidak pernah terbayangkan oleh logika manusia.
Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan kualitas iman kita sendiri. Ketika bahaya mengancam, apakah kita terpuruk dalam ketakutan atau bangkit dengan keyakinan seperti Abu Bakar yang, meskipun mendengar langkah kaki musuh, hatinya ditenangkan oleh janji Allah yang diucapkan Rasulullah ﷺ? Jawabannya terletak pada seberapa dalam kita memahami makna *Sakinah* dan seberapa besar kita mengandalkan *Nasrullah*.
Melalui ayat ini, Allah mengokohkan hati para pejuang kebenaran bahwa mereka tidak sendirian. Meskipun seluruh dunia bersekutu melawan mereka, pertolongan dari Yang Maha Kuasa adalah sumber kekuatan yang tak pernah kering. Dan di akhir perjalanan, sebagaimana ditegaskan, *Kalimat Allah* akan selalu menjadi yang tertinggi. Inilah esensi abadi dari QS At-Taubah 9:40.
Dari sudut pandang *Balaghah* (Retorika Bahasa Arab), QS 9:40 adalah mahakarya. Ayat ini menggunakan pengulangan lafazh dan struktur untuk memberikan efek dramatis dan teologis:
Pengulangan 'إِذْ' (ketika/yaitu) sebanyak tiga kali (إِذْ أَخْرَجَهُ, إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ, إِذْ يَقُولُ) berfungsi untuk mengikat tiga momen krusial dalam satu alur naratif yang cepat dan intens: pengusiran, persembunyian di gua, dan dialog menenangkan. Pengulangan ini mempertegas pentingnya setiap detail dalam rentetan peristiwa yang menunjukkan campur tangan Ilahi.
Perhatikan pula kontras yang tajam antara 'kalimat orang kafir' (السُّفْلَىٰ - yang paling rendah) dan 'kalimat Allah' (الْعُلْيَا - yang paling tinggi). Kontras ini bukan hanya mengenai nasib di dunia, tetapi juga mengenai nilai hakiki dan kekekalan. Rencana manusia, betapapun cermatnya, akan selalu berada di bawah kehendak Ilahi. Ini adalah penutup yang sempurna, menegaskan bahwa hasil akhir (kemenangan Islam) jauh lebih penting daripada upaya sementara musuh.
Konsep *Sakinah* yang diturunkan Allah tidak hanya muncul di Gua Tsur. Al-Qur'an menyebutkan Sakinah dalam beberapa momen krusial lainnya, membuktikan bahwa ia adalah mekanisme pertolongan Allah yang berulang bagi umat Islam yang tertekan:
Ini menunjukkan bahwa *Sakinah* di Gua Tsur adalah bagian dari pola bantuan ilahi yang lebih besar. Ia adalah penawar untuk kesedihan, kegelisahan, dan ketakutan, menjamin stabilitas psikologis yang mendahului kemenangan fisik.
Ayat ini juga memberikan pelajaran tentang akhlak dan penghargaan terhadap pendamping. Penghargaan Nabi ﷺ terhadap Abu Bakar RA, dan pengakuan Allah terhadapnya sebagai 'sahabatnya', mengajarkan umat Islam tentang pentingnya memilih pendamping yang benar dalam perjalanan hidup dan perjuangan. Abu Bakar bukan sekadar kawan seperjalanan, melainkan mitra spiritual yang berbagi beban risiko terbesar.
Sikap Rasulullah ﷺ yang langsung menenangkan Abu Bakar menunjukkan prioritasnya terhadap keadaan emosional sahabatnya, sebuah pelajaran kepemimpinan yang humanis. Fokus beliau bukanlah pada bahaya di luar, melainkan pada ketenangan di dalam, karena beliau tahu bahwa kekuatan sejati dimulai dari kedamaian hati.
Ayat 40 dari Surah At-Taubah, dengan kedalaman historis dan spiritualnya, tetap menjadi pilar utama dalam pemahaman konsep Tawakkul dan pertolongan Allah, mengukir kisah Gua Tsur sebagai monumen keabadian iman dan keberanian.