Ilustrasi simbolis tentang pentingnya kesadaran saat mencapai puncak kesuksesan.
Surat An-Nasr (Pertolongan Allah), merupakan salah satu surat terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai penutup wahyu ilahi, surat ini sarat makna, bukan hanya sebagai kabar gembira atas kemenangan besar umat Islam di Madinah, tetapi juga sebagai pengingat penting akan hakikat pertolongan Ilahi. Namun, untuk memahami kedalaman pesannya, kita perlu menelusuri konteks yang mendahului turunnya surat ini. Apa yang terjadi di Jazirah Arab sesaat sebelum An-Nasr diturunkan?
Surat An-Nasr diturunkan sebagai respons langsung terhadap peristiwa monumental dalam sejarah Islam, yaitu Penaklukan Mekkah (Fathu Makkah). Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadan, tahun ke-8 Hijriah. Penaklukan ini bukanlah sekadar kemenangan militer; ia adalah klimaks dari perjuangan puluhan tahun melawan kaum Quraisy yang selama ini menjadi oposisi utama terhadap ajaran tauhid.
Sebelum Fathu Makkah, kaum Muslimin telah mengalami berbagai ujian berat, mulai dari penganiayaan, pengusiran dari Mekkah, hingga perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, pembangunan fondasi negara Islam terus menghadapi ancaman. Namun, ketika umat Islam akhirnya mampu memasuki Mekkah tanpa pertumpahan darah yang berarti—sesuai dengan strategi damai yang diterapkan Rasulullah—hal ini menandakan runtuhnya dominasi paganisme di pusat peradaban Arab.
Kondisi sebelum An-Nasr adalah ketika realitas politik Arab telah berubah drastis. Suku-suku di sekitar Mekkah yang sebelumnya ragu-ragu atau memusuhi Islam, kini mulai berbondong-bondong memeluk agama baru tersebut. Kemenangan ini membawa perasaan euforia, kekuasaan, dan pengakuan universal terhadap Islam sebagai kekuatan yang tak terhindarkan.
Dalam konteks inilah, turunnya An-Nasr berfungsi sebagai "rem" spiritual. Kemenangan yang luar biasa besar seringkali membawa konsekuensi psikologis yang berbahaya bagi individu maupun komunitas. Sifat manusia cenderung mudah terlena, merasa bahwa kesuksesan datang semata-mata karena kekuatan atau strategi mereka sendiri, dan lupa bahwa di balik setiap keberhasilan terdapat campur tangan dan pertolongan dari Sang Maha Kuasa.
Bagi para sahabat, yang baru saja menyaksikan mimpi panjang mereka terwujud—pembebasan Ka'bah dari berhala—godaan untuk bersikap sombong, merasa bahwa perjuangan telah berakhir, atau berpuas diri sangatlah besar. Mereka mungkin mulai merasakan kepuasan yang berlebihan terhadap pencapaian duniawi mereka.
Surat An-Nasr (yang artinya Pertolongan) datang untuk mengingatkan bahwa pencapaian ini bukanlah akhir dari segalanya, melainkan titik awal menuju tanggung jawab yang lebih besar. Pertolongan yang mereka terima adalah hak prerogatif Allah, bukan hasil mutlak usaha mereka semata.
Ayat-ayat An-Nasr secara eksplisit menyebutkan tiga hal utama yang harus dilakukan setelah menyaksikan pertolongan Allah datang:
Perintah untuk bertasbih (mengagungkan Allah) dan istighfar (memohon ampun) segera setelah kemenangan menunjukkan betapa bahayanya euforia sesaat. Istighfar di sini memiliki makna ganda: memohon ampun atas segala kekurangan dalam perjuangan yang telah dilakukan, dan memohon ampun karena potensi munculnya rasa takabur akibat kesuksesan yang diraih.
Banyak mufassir meyakini bahwa setelah turunnya An-Nasr, Nabi Muhammad SAW seringkali meningkatkan ibadah dan membaca ayat ini berulang kali dalam shalatnya, seolah-olah beliau menyadari bahwa surat ini adalah penanda penting dalam sejarah kenabian. Beberapa riwayat bahkan menyatakan bahwa setelah surat ini turun, Nabi seringkali banyak membaca tasbih dan istighfar, mempersiapkan diri untuk kembali kepada Allah SWT.
Oleh karena itu, memahami konteks sebelum An-Nasr adalah memahami bahwa surat tersebut ditujukan bukan hanya untuk merayakan sebuah penaklukan, melainkan sebagai pedoman abadi bagi setiap komunitas atau individu yang mencapai puncak keberhasilan. Sebelum kesuksesan memabukkan, sebelum pujian duniawi menutup pintu hati, seorang mukmin harus segera kembali bersujud, mengakui bahwa semua kekuatan dan kemenangan hanyalah titipan sesaat dari Allah SWT. Momen sebelum An-Nasr adalah momen ujian terbesar bagi keikhlasan, dan surat itu sendiri adalah panduan agar umat tidak tersesat dalam kemuliaan duniawi.