Surah An Nisa, yang berarti "Wanita," adalah surah kedua terpanjang dalam Al-Qur'an, setelah Surah Al-Baqarah. Ia merupakan surah Madaniyah, yang diturunkan setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Surah ini secara mendalam membahas berbagai aspek kehidupan seorang Muslim, mulai dari keyakinan, hukum, hingga pentingnya hubungan sosial. Empat ayat pertama dari Surah An Nisa menjadi pembuka yang sangat penting, memberikan landasan kokoh bagi kaum Muslimin dalam memahami identitas mereka sebagai hamba Allah dan kewajiban mereka terhadap sesama. Ayat-ayat ini menekankan prinsip kesatuan asal usul manusia, pentingnya menjaga hubungan kekeluargaan, serta kewajiban terhadap anak yatim dan kaum yang lemah.
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Wahai sekalian manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripada (diri) yang satu itu Allah menciptakan pasangannya; lalu daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Ayat pertama ini adalah seruan universal kepada seluruh umat manusia. Inti dari ayat ini adalah perintah untuk bertakwa kepada Allah. Ketakwaan bukanlah sekadar ucapan di lisan, melainkan sebuah kesadaran mendalam akan kebesaran Allah, ketaatan terhadap perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Allah mengingatkan bahwa seluruh manusia berasal dari satu sumber yang sama, yaitu Adam. Penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam menegaskan prinsip kesatuan asal usul dan pentingnya keberadaan pasangan dalam kehidupan. Dari pasangan pertama inilah, Allah memperkembangbiakkan manusia laki-laki dan perempuan dalam jumlah yang sangat banyak. Ini adalah bukti kebesaran dan kekuasaan-Nya. Lebih lanjut, ayat ini menekankan pentingnya menjaga hubungan silaturahmi, baik dengan sesama manusia maupun dengan kerabat. Pengawasan Allah yang senantiasa meliputi seluruh makhluk-Nya menjadi motivasi kuat untuk senantiasa berbuat baik dan menghindari keburukan.
وَءَاتُوا۟ ٱلْيَتَـٰمَىٰٓ أَمْوَٰلَهُمْ ۖ وَلَا تَاْكُلُوهَآ إِلَىٰٓ أَمْوَٰلِكُمْ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim itu harta mereka, dan jangan kamu menukar barangmu yang buruk dengan barang mereka yang baik. Dan jangan kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan demikian itu adalah dosa yang besar.
Melanjutkan pesan tentang kepedulian sosial, ayat kedua secara spesifik memerintahkan untuk menyerahkan harta milik anak yatim. Anak yatim adalah mereka yang kehilangan ayah sebelum mencapai usia dewasa. Dalam masa jahiliyah, harta anak yatim seringkali dizalimi dan diambil oleh orang yang lebih kuat. Islam datang membawa ajaran keadilan dan perlindungan bagi mereka yang lemah. Ayat ini tegas memerintahkan agar harta anak yatim diberikan sepenuhnya setelah mereka baligh dan mampu mengelolanya sendiri. Dilarang keras untuk mencampurkan harta mereka dengan harta sendiri yang buruk, apalagi memakannya. Mengambil harta anak yatim dianggap sebagai dosa besar yang tidak dapat ditoleransi. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga amanah dan hak-hak mereka yang tidak memiliki pelindung.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَـٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَـٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamu tidak berbuat aniaya.
Ayat ketiga mengalihkan fokus pada hukum pernikahan, khususnya terkait dengan kekhawatiran perlakuan tidak adil terhadap wanita. Ayat ini membuka peluang bagi pria untuk menikahi lebih dari satu wanita (poligami) dengan batasan hingga empat istri. Namun, ini dibarengi dengan syarat yang sangat berat, yaitu kemampuan untuk berlaku adil kepada semua istri, baik dalam hal nafkah, giliran, maupun perlakuan lahir batin. Jika dikhawatirkan tidak mampu berlaku adil, maka dianjurkan untuk menikahi satu orang saja. Ketidakadilan dalam pernikahan adalah dosa besar yang merusak keharmonisan rumah tangga dan masyarakat. Prinsip keadilan ini menjadi kunci utama dalam Islam terkait urusan rumah tangga dan pergaulan antar gender.
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَـٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نُفْلًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا
Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita sebagai pemberian yang wajib dari Allah, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) itu sebagai makanan yang sedap lagi baik.
Ayat keempat memberikan penegasan mengenai kewajiban memberikan mahar (maskawin) kepada wanita yang dinikahi. Mahar adalah hak mutlak istri yang wajib diberikan oleh suami sebagai bentuk penghargaan dan kesungguhan dalam pernikahan. Mahar bukan sekadar simbol, melainkan suatu kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah. Ayat ini juga menjelaskan bahwa jika sang istri dengan rela hati menghibahkan sebagian atau seluruh maharnya kembali kepada suami, maka suami boleh menerimanya sebagai rezeki yang halal dan baik. Ini menunjukkan kebebasan istri dalam mengelola haknya dan kemuliaan suami yang tidak memaksa.
وَلَا تُؤْتُوا۟ ٱلسُّفَهَآءَ أَمْوَٰلَكُمُ ٱلَّتِى جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمْ قِيَـٰمًا وَٱرْزُقُوهُمْ فِيهَا وَٱكْسُوهُمْ وَقُولُوا۟ لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
Dan janganlah kamu berikan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (yang berada dalam genggaman) kamu yang dijadikan Allah penopang kehidupan. tetapi berilah mereka belanja dari (hasil) harta itu dan pakaiani dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Ayat kelima berfokus pada perlindungan harta dan tanggung jawab terhadap orang yang belum cakap mengelola harta. Kata "sufaha'" dalam ayat ini merujuk pada orang-orang yang belum dewasa (anak-anak) atau orang yang memiliki kelainan akal sehingga tidak mampu mengelola hartanya dengan baik. Allah memerintahkan agar harta yang dijadikan penopang kehidupan tidak diserahkan begitu saja kepada mereka yang belum mampu mengelolanya. Namun, bukan berarti mereka diabaikan. Sebaliknya, Allah memerintahkan untuk memberikan nafkah, pakaian, dan ucapan yang baik kepada mereka. Ini adalah bentuk kasih sayang dan pendidikan agar kelak mereka siap mengelola harta dengan bijak.
وَٱبْتَلُوا۟ ٱلْيَتَـٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَٱدْفَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ أَمْوَٰلَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَآ إِسْرَافًا وَدَرَبًا أَن يَكْبَرُوا۟ ۚ وَمَن كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُم إِلَيْهِمْ أَمْوَٰلَهُمْ فَأَشْهِدُوا۟ عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبًا
Dan ujilah (kemampuan) anak-anak yatim itu sampai mereka mencapai umur perkawinan. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka sudah cerdas (dewasa), maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) sebelum mereka dewasa dan janganlah (pula) kamu memakannya karena tergesa-gesa sedang mereka akan dewasa. Siapa yang kaya, hendaklah menahan diri (dari memakannya) dan siapa yang miskin, hendaklah memakannya menurut kadar yang patut. Lalu apabila kamu sudah menyerahkan kepada mereka harta-harta mereka, maka persaksikanlah dengan mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (perhitungan).
Ayat keenam kembali menegaskan tentang pengujian dan penyerahan harta anak yatim. Setelah mereka mencapai usia baligh (dewasa), wali atau pengasuh diwajibkan untuk menguji kematangan mereka dalam mengelola harta. Jika ternyata mereka telah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan dan kedewasaan (rusyd), maka harta mereka harus diserahkan sepenuhnya. Penting untuk diingat bahwa memakan harta anak yatim sebelum mereka dewasa atau karena tergesa-gesa adalah perbuatan yang dilarang. Bagi wali yang kaya, disunnahkan untuk menahan diri dari memakan harta anak yatim meskipun diizinkan dalam kadar yang wajar. Sebaliknya, bagi wali yang fakir, diizinkan untuk memakan harta tersebut seperlunya sesuai dengan kebiasaan yang baik. Terakhir, ayat ini memerintahkan untuk mengadakan saksi saat penyerahan harta kepada anak yatim sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Secara keseluruhan, ayat 1-6 dari Surah An Nisa memberikan panduan fundamental bagi kehidupan seorang Muslim. Ia menyoroti asal usul manusia, kewajiban bertakwa, pentingnya menjaga silaturahmi, perlindungan terhadap anak yatim, aturan dalam pernikahan, serta pengelolaan harta yang bijak. Ajaran-ajaran ini menjadi landasan moral dan etika yang kuat untuk membangun masyarakat yang adil, harmonis, dan penuh kasih sayang.