Surah An-Nisa, yang berarti "Wanita", merupakan salah satu surah Madaniyah yang sarat dengan ajaran mengenai tatanan kehidupan sosial, hukum, dan etika dalam masyarakat Islam. Ayat-ayat 21 hingga 30 dari surah ini memberikan panduan penting mengenai hubungan antarmanusia, khususnya terkait dengan pernikahan, hak-hak, dan kewajiban. Pemahaman mendalam terhadap ayat-ayat ini tidak hanya memperkaya khazanah keilmuan kita, tetapi juga menjadi pegangan dalam mengarungi kehidupan sehari-hari agar senantiasa berada dalam ridha Allah SWT.
Ayat ini secara tegas melarang seorang suami untuk mengambil kembali mahar atau pemberian lain yang sudah diserahkan kepada istrinya jika ia berniat untuk mengganti istrinya dengan wanita lain. Ini adalah bentuk perlindungan terhadap hak-hak istri dan menegaskan pentingnya menjaga amanah serta kejujuran dalam sebuah ikatan pernikahan. Pengambilan kembali harta tersebut dianggap sebagai perbuatan bohong dan dosa yang jelas.
Ayat-ayat selanjutnya secara rinci membahas larangan menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah, kakek, anak, cucu, saudara kandung, saudara ayah, saudara ibu, anak saudara laki-laki, anak saudara perempuan, ibu angkat, saudara sesusuan, ibu mertua, anak tiri dari istri yang kamu campuri (tetapi jika belum kamu campuri, maka tidak ada dosa bagi kamu), (dan) istri anak kandungmu, serta mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 22 dan 23 menyajikan daftar panjang wanita-wanita yang haram dinikahi (mahram). Ini adalah fondasi penting dalam membangun keluarga yang suci dan terhormat. Larangan ini bertujuan untuk menjaga kemurnian nasab, mencegah kekacauan sosial, dan melindungi kehormatan wanita. Adanya larangan menikahi dua wanita yang bersaudara sekaligus juga menunjukkan perhatian Islam terhadap keharmonisan dalam rumah tangga.
Ayat 24 menjelaskan kehalalan wanita selain dari yang disebutkan itu, dengan syarat beriman dan mahar yang telah ditentukan. Juga dijelaskan mengenai wanita budak yang dimiliki, serta bagaimana cara mempergaulinya. Ayat 25 menegaskan bahwa wanita budak yang beriman dan bertaubat lebih baik daripada wanita merdeka yang tidak beriman, serta menjelaskan hukum mengenai budak perempuan yang berzina.
Bagian ini melanjutkan pembahasan mengenai pernikahan, membuka peluang bagi pria untuk menikahi wanita lain yang tidak termasuk dalam kategori mahram, dengan syarat-syarat tertentu seperti keimanan dan pemberian mahar. Pengaturan mengenai wanita budak menunjukkan realitas sosial pada masa itu, namun tetap diiringi dengan prinsip keadilan dan keimanan. Perbandingan antara budak beriman dan wanita merdeka yang tidak beriman menekankan bahwa nilai seseorang di hadapan Allah tidak semata-mata ditentukan oleh status sosial, melainkan oleh keimanan dan ketakwaan.
Ayat 26-27 mengajak kaum mukminin untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dan memohon agar dijelaskan hukum-hukum yang paling penting. Allah berkehendak untuk menjelaskan kepada mereka dan menunjukkan jalan-jalan orang yang terdahulu dari mereka, serta menerima taubat mereka. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dua ayat ini berfungsi sebagai jembatan, menekankan kembali pentingnya takwa dan kerinduan untuk memahami ajaran-Nya. Allah menegaskan bahwa syariat diturunkan untuk kemaslahatan umat manusia, sebagai bentuk kasih sayang-Nya. Dengan memahami dan mengamalkan hukum-hukum-Nya, umat Islam akan senantiasa berada dalam bimbingan yang benar dan mendapatkan ampunan serta rahmat-Nya.
Ayat 28 memberikan keringanan bagi kaum laki-laki mengenai beban pernikahan, khususnya bagi mereka yang tidak mampu. Allah tidak ingin membebani mereka dengan sesuatu yang di luar kemampuan. Ayat 29 melarang kaum mukminin memakan harta sesama dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali melalui perdagangan yang dilakukan atas dasar suka sama suka. Terakhir, ayat 30 menegaskan bahwa barangsiapa berbuat demikian karena melanggar hukum Allah dan lalim, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka.
Ayat 28 menunjukkan betapa Allah Maha Pengasih dan Penyayang, memberikan kemudahan dalam menjalankan syariat-Nya sesuai dengan kemampuan individu. Ayat 29 dan 30 memberikan peringatan keras mengenai larangan mencari rezeki dengan cara yang haram dan menzalimi orang lain. Transaksi ekonomi dalam Islam harus didasari oleh kejujuran, kerelaan, dan tidak merugikan pihak manapun. Pelanggaran terhadap prinsip ini akan berujung pada siksa neraka, sebagai konsekuensi logis dari perbuatan zalim.
Secara keseluruhan, Surah An-Nisa ayat 21-30 memberikan pondasi etika dan hukum yang kokoh dalam membangun masyarakat yang adil, harmonis, dan bermartabat. Mulai dari aturan pernikahan, perlindungan hak-hak individu, hingga larangan terhadap praktik ekonomi yang batil, semua bertujuan untuk menciptakan tatanan kehidupan yang diridhai oleh Allah SWT. Mempelajari dan mengamalkan ayat-ayat ini adalah cerminan ketaatan dan upaya kita untuk menjadi hamba-Nya yang lebih baik.