Surah At-Taubah, yang secara harfiah berarti 'Pengampunan' atau 'Taubat', menempati posisi ke-9 dalam susunan mushaf Al-Qur'an. Ia merupakan salah satu surah Madaniyah yang paling panjang dan padat, diturunkan setelah peristiwa penting seperti penaklukan Makkah dan, terutama, menjelang atau sesudah Ekspedisi Tabuk—peristiwa besar yang menguji iman dan memisahkan barisan kaum Muslimin yang tulus dari mereka yang munafik.
Keunikan yang paling mencolok dari surah ini adalah ketiadaannya permulaan dengan Basmalah (Bismillahir Rahmaanir Rahiim). Para ulama tafsir sepakat bahwa hal ini disebabkan oleh konten utama surah, yaitu Bara’ah (Pernyataan Pemutusan Hubungan atau Disavowal). Basmalah mengandung makna rahmat dan belas kasihan Allah, sementara At-Taubah dimulai dengan proklamasi kemarahan, peringatan keras, dan pemutusan janji dengan kaum musyrikin yang telah melanggar kesepakatan damai.
Proklamasi ini bersifat mutlak dan tegas. Surah ini bukan hanya sekadar catatan sejarah konflik, tetapi merupakan blueprint abadi tentang bagaimana masyarakat Islam harus berinteraksi dengan perjanjian damai, bagaimana mendefinisikan musuh internal (munafik), dan bagaimana mempertahankan kesucian akidah di tengah godaan duniawi. At-Taubah berfungsi sebagai pedoman yang menuntut keikhlasan total dalam setiap aspek kehidupan dan perjuangan seorang mukmin.
Secara garis besar, Surah At-Taubah berdiri di atas tiga pilar tematik yang saling terkait:
Ilustrasi simbolis pemutusan janji, tema sentral dalam ayat-ayat awal Surah At-Taubah.
Pembukaan surah (Ayat 1-5) adalah pengumuman paling keras dalam Al-Qur'an. Ini adalah ultimatum dari Allah dan Rasul-Nya kepada kaum musyrikin yang telah berulang kali melanggar janji mereka, terutama setelah Perjanjian Hudaibiyah yang mereka sendiri telah cabik-cabik. Allah memberikan masa tenggang (empat bulan) agar mereka dapat meninjau kembali posisi mereka. Masa ini dikenal sebagai periode "empat bulan perjalanan" atau ashhurul hurum (bulan-bulan suci) tambahan untuk menyelesaikan urusan.
"Maka apabila telah habis bulan-bulan Haram itu, bunuhlah orang-orang musyrikin di mana saja kamu jumpai mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian." (At-Taubah: 5)
Ayat ini, yang sering disalahpahami, harus dibaca dalam konteks sejarah yang sangat spesifik. Ini adalah hukuman bagi mereka yang berkhianat secara aktif dan militer. Ini bukan perintah untuk perang tanpa pandang bulu, melainkan deklarasi bahwa perjanjian damai telah batal karena pihak lain telah melanggarnya dan memulai permusuhan. Bagi mereka yang tulus bertobat, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, jalan ampunan tetap terbuka (Ayat 5).
Kontrasnya, Ayat 6 menunjukkan keadilan Islam yang luar biasa, bahkan di tengah deklarasi perang. Jika seorang musyrik meminta perlindungan (Isti'jarah) agar dapat mendengarkan kalam Allah, kaum Muslimin wajib melindunginya, membawanya ke tempat yang aman, dan baru melepaskannya setelah ia mendengarkan dakwah. Prinsip ini menunjukkan bahwa tujuan akhir bukanlah pembinasaan, melainkan penyampaian kebenaran (Hidayah).
Setelah menyatakan pemutusan hubungan, surah ini menjelaskan mengapa orang-orang musyrik ini tidak pantas lagi mendapatkan perjanjian (Ayat 7-10). Mereka digambarkan sebagai kelompok yang tidak pernah menghormati ikatan kekeluargaan atau perjanjian (illa wa la dzimmah) terhadap kaum Muslimin. Mereka adalah agresor yang menipu dan merendahkan. Hal ini membenarkan tindakan keras yang diumumkan pada ayat-ayat pembuka, karena keamanan komunitas Muslim tidak dapat dijamin selama pengkhianatan terus berlanjut.
Setelah penetapan kerangka politik dan keamanan, surah beralih ke motivasi internal. Bagian ini mendesak kaum Mukmin untuk berjuang dan menempatkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya, sebuah tema yang menjadi sangat relevan selama masa-masa sulit.
Surah ini merujuk secara eksplisit pada Pertempuran Hunain, yang terjadi segera setelah Penaklukan Makkah. Dalam pertempuran ini, kaum Muslimin awalnya merasa percaya diri karena jumlah mereka yang besar. Namun, mereka mengalami kekalahan di awal pertempuran. Allah menggunakan kisah ini untuk mengajarkan sebuah pelajaran fundamental: kemenangan sejati tidak datang dari jumlah atau kekuatan fisik, tetapi semata-mata dari pertolongan dan Sakinah (ketenangan) yang diturunkan oleh Allah. Ketergantungan pada kekuatan material adalah ciri khas bangsa-bangsa yang zalim, bukan ciri kaum mukmin.
"Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para Mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun..." (At-Taubah: 25)
Ayat 24 dikenal sebagai salah satu ayat paling tajam yang menguji keimanan seseorang terhadap dunia fana. Ia menyusun daftar delapan hal yang paling dicintai manusia—ayah, anak, saudara, istri, keluarga, harta kekayaan, perniagaan yang dikhawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang disukai—dan menantang Mukmin untuk memastikan apakah kecintaan mereka terhadap delapan hal ini melebihi kecintaan mereka kepada Allah, Rasul-Nya, dan berjuang di jalan-Nya.
Ayat ini secara psikologis menyentuh inti motivasi manusia. Jika salah satu dari delapan kecintaan duniawi ini menjadi penghalang untuk melaksanakan perintah Allah, maka iman orang tersebut berada dalam bahaya serius. Ini adalah peringatan bahwa iman adalah totalitas pengabdian, bukan sekadar ritual.
Surah ini kemudian menetapkan aturan kesucian Masjidil Haram (Ayat 28), melarang kaum musyrikin mendekatinya setelah tahun itu (Tahun 9 H). Kemudian, ia membahas perlawanan terhadap Yahudi dan Nasrani yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir (Ayat 29). Bagian ini berlanjut dengan kecaman keras terhadap praktik Nasi' (penambahan bulan) yang digunakan kaum musyrikin untuk memanipulasi waktu ibadah dan perang. Praktik ini dianggap sebagai penambahan dalam kekafiran yang mengganggu tatanan waktu Ilahi. Ini menegaskan bahwa hukum Allah harus ditaati secara utuh, tanpa modifikasi demi keuntungan duniawi.
Ilustrasi simbolis dari sifat mendua kaum munafik yang dibongkar oleh surah ini.
Bagian tengah Surah At-Taubah adalah yang paling ekstensif dan rinci. Ia secara rinci menggambarkan sifat, alasan, dan konsekuensi dari kemunafikan, menggunakan Ekspedisi Tabuk (tahun 9 H) sebagai latar belakang pengujian yang sempurna.
Ekspedisi Tabuk adalah perjalanan yang sangat berat—musim panas yang ekstrem, jarak yang jauh (ke perbatasan Bizantium), dan hasil panen yang sedang melimpah di Madinah, menyebabkan banyak orang enggan. Ayat 38 mengkritik keras mereka yang "berat melangkah ke bumi" (iththaqaltum ilal ardhi) ketika dipanggil untuk berjuang. Ini menunjukkan bahwa kecintaan pada kesenangan duniawi (hayatud dunya) telah mengalahkan janji akhirat.
Ayat-ayat ini menyajikan daftar perilaku yang secara kolektif mendefinisikan seorang munafik. Mereka adalah ahli dalam memberikan alasan palsu, bersumpah atas nama Allah untuk menyembunyikan niat buruk mereka, dan berharap bencana menimpa kaum Mukmin. Mereka takut pergi berperang tetapi menikmati gosip dan hasutan di Madinah.
Ciri-ciri krusial kaum munafik yang dibongkar meliputi:
Ayat 67 dan 68 menyajikan perbandingan tajam antara kaum munafik laki-laki dan perempuan (al-munafiquna wal-munafiqat)—semuanya saling mendukung dalam kejahatan, dan nasib mereka adalah neraka Jahanam. Ini adalah peringatan bahwa kemunafikan memiliki konsekuensi kolektif dan kekal.
Surah ini menyajikan beberapa studi kasus kemunafikan untuk memberikan pelajaran konkret:
Kisah Tha'labah adalah salah satu yang paling terkenal dalam tafsir At-Taubah. Ia adalah seorang yang miskin yang meminta Nabi SAW untuk mendoakannya agar kaya. Ketika ia menjadi kaya raya, ia lupa akan janjinya dan menolak menunaikan zakat. Allah kemudian mengungkapkan bahwa dosa terbesar Tha'labah bukanlah kekikiran, melainkan pelanggaran janji kepada Allah. Allah mengunci hati mereka karena mereka telah memungkiri janji mereka. Hal ini mengajarkan bahwa kekayaan yang diperoleh dengan janji palsu tidak akan membawa berkah.
Ayat-ayat ini membedakan antara mereka yang meminta izin tidak ikut perang karena alasan yang sah (sakit, tidak mampu, tidak punya bekal) dan mereka yang menggunakan alasan palsu. Bagi yang tulus dan tidak memiliki sarana, tidak ada dosa. Namun, dosa berada pada mereka yang kaya dan mampu, tetapi memilih untuk tinggal di belakang. Allah tidak akan memberikan jalan untuk mencela mereka yang berbuat baik (ma 'ala al-muhsinina min sabil).
Di tengah pembahasan kaum munafik, Surah At-Taubah menyisipkan ayat fundamental mengenai distribusi Zakat (Ayat 60). Ayat ini bukan hanya instruksi finansial, tetapi juga penetapan hukum syariah yang membatasi penggunaan dana Zakat secara eksklusif kepada delapan golongan (asnaf). Penetapan ini berfungsi sebagai penekanan bahwa harta dalam Islam memiliki fungsi sosial dan harus dikelola secara terpusat dan adil.
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat (amil), para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah (fi sabilillah) dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan." (At-Taubah: 60)
Penempatan ayat ini di tengah kecaman terhadap kaum munafik sangat signifikan. Kaum munafik seringkali mencela sistem zakat, menuduh Nabi SAW berlaku tidak adil dalam pembagiannya (Ayat 58). Dengan menyebutkan delapan asnaf ini, Allah menegaskan bahwa sistem ekonomi Islam itu adil, transparan, dan telah ditetapkan secara Ilahi, bukan berdasarkan keinginan pribadi.
Ayat 71 memuji kaum Mukmin laki-laki dan perempuan yang berlawanan dengan kaum munafik. Mereka saling melindungi (awliya'u ba'dhuhum li-ba'dh), memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat. Balasan mereka adalah surga Adn. Ini adalah kontras moral yang tajam: kemunafikan membawa perpecahan dan kehancuran, sementara keimanan sejati menghasilkan solidaritas dan kebahagiaan abadi.
Bagian akhir surah ini kembali ke inti nama surah itu sendiri—Taubat—dengan membahas kisah-kisah taubat yang diterima dan taubat yang ditolak, serta peran Masjid dalam masyarakat Islam.
Ayat 100 adalah pujian tertinggi bagi generasi pertama Islam: As-Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam) dari Muhajirin dan Ansar, serta mereka yang mengikuti mereka dengan ihsan. Allah menyatakan keridhaan-Nya atas mereka dan menjanjikan surga. Ayat ini menjadi dasar penting dalam akidah Islam mengenai keutamaan generasi awal, yang merupakan contoh nyata keikhlasan total yang dituntut oleh seluruh surah.
Surah ini membahas kisah tiga orang Mukmin yang tulus yang tidak ikut Ekspedisi Tabuk tanpa alasan yang sah: Ka'b bin Malik, Murarah bin Rabi', dan Hilal bin Umayyah. Berbeda dengan kaum munafik, mereka tidak mengarang alasan. Ketika Nabi SAW kembali, mereka mengakui kesalahan mereka. Sebagai hukuman, mereka diisolasi total oleh komunitas Muslim selama 50 hari. Keterpurukan psikologis mereka sangat parah, tetapi mereka bersabar dan bertobat dengan tulus. Kisah ini (yang diceritakan secara singkat dalam Ayat 106 dan rinciannya dalam Ayat 118) mengajarkan bahwa taubat yang tulus membutuhkan kejujuran mutlak, penyesalan, dan kesabaran dalam menghadapi ujian.
Salah satu episode paling dramatis dalam Surah At-Taubah adalah kisah tentang Masjid Diraar (Masjid yang Menimbulkan Bahaya). Kaum munafik membangun sebuah masjid dengan dalih ibadah, tetapi niat sebenarnya adalah untuk memecah belah kaum Mukmin, menjadi markas untuk merencanakan makar, dan memberikan perlindungan bagi Abu Amir Ar-Rahib (seorang munafik di luar Madinah).
Allah memerintahkan Nabi SAW untuk tidak pernah shalat di masjid itu, karena ia dibangun atas dasar kemunafikan dan kejahatan. Sebaliknya, Nabi diperintahkan untuk shalat di Masjid Quba, yang dibangun atas dasar takwa sejak hari pertama. Kisah ini mengajarkan bahwa niat (niyyah) adalah fundamental; bahkan tindakan ibadah formal sekalipun dapat menjadi sumber kejahatan jika niatnya adalah untuk menyakiti atau memecah belah komunitas.
Ayat-ayat penutup mengikat semua tema surah—jihad, taubat, dan keikhlasan—dengan perjanjian abadi antara Allah dan hamba-Nya.
Ayat 111 dikenal sebagai 'Ayat Bai'ah' atau 'Ayat Perdagangan'. Allah menyatakan bahwa Dia telah membeli dari kaum Mukmin jiwa dan harta mereka, dan sebagai imbalannya, bagi mereka adalah surga. Ini adalah kontrak yang mengikat. Ketika seorang Mukmin berjuang, ia tidak berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi memenuhi sisi kontraknya dengan Pemilik Sejati dirinya. Ini adalah puncak pengorbanan yang menghilangkan segala keraguan dan keterlambatan yang ditunjukkan oleh kaum munafik.
Mereka yang melakukan perdagangan ini memiliki ciri-ciri spesifik (Ayat 112): Mereka adalah orang-orang yang bertaubat (at-ta'ibun), beribadah (al-'abidun), memuji Allah (al-hamidun), berpuasa (as-sa'ihun), ruku' dan sujud (ar-raki'un as-sajidun), memerintahkan kebaikan, dan melarang kemungkaran.
Surah ini juga membahas batas-batas kasih sayang dalam konteks akidah. Ayat 113 secara tegas melarang Nabi Muhammad SAW dan kaum Mukmin untuk memohonkan ampunan bagi kaum musyrikin yang telah jelas kekafirannya, meskipun mereka adalah kerabat terdekat. Ayat ini dilaporkan turun terkait dengan permohonan Nabi untuk pamannya, Abu Thalib. Batasan ini menegaskan bahwa ikatan iman lebih kuat daripada ikatan darah.
Ayat 118 memberikan penutup bagi kisah tiga orang yang tertinggal. Setelah 50 hari penderitaan dan penantian, Allah menyatakan bahwa Dia telah menerima taubat mereka. Ayat ini menguatkan konsep bahwa Taubat adalah pintu rahmat Allah yang terbuka lebar bagi mereka yang mengakui kesalahan mereka dengan tulus dan tanpa alasan palsu.
Surah At-Taubah, yang dimulai dengan Bara'ah, kemarahan, dan peringatan keras, diakhiri dengan dua ayat yang lembut dan penuh kasih sayang, yang berfokus pada sifat mulia Rasulullah SAW.
"Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin." (At-Taubah: 128)
Ayat 128 merangkum kasih sayang Nabi (ra'ufun rahim). Meskipun Surah ini keras terhadap musuh dan munafik, Rasulullah adalah manifestasi belas kasihan. Hatinya merasa berat setiap kali umatnya menderita atau tersesat. Ini adalah penyeimbang yang sempurna: keras dalam hukum dan kebenaran, tetapi lembut dalam menyampaikan dan memedulikan nasib umat.
Penutup (Ayat 129) adalah deklarasi tauhid dan tawakkal (penyerahan diri): "Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: 'Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang Agung.'" Ini adalah pengingat bahwa di tengah konflik, kemunafikan, dan ujian, tempat berlindung dan kepercayaan sejati hanya ada pada Allah SWT.
Ilustrasi simbolis dari hati yang dimurnikan melalui Taubat (Pengampunan).
Surah At-Taubah adalah surah yang menuntut. Ia tidak mengizinkan kompromi dalam akidah dan etika. Ia menuntut kejujuran penuh, baik dalam hati maupun perbuatan. Pelajaran yang terkandung di dalamnya melampaui konteks militer dan politik abad ketujuh; ia memberikan kerangka kerja untuk membersihkan masyarakat dari penyakit kemunafikan yang bersifat kekal.
Pelajaran yang paling mendalam adalah penekanan pada niat. Hampir setiap tindakan kaum munafik (sumpah, infak, pembangunan masjid) tampak baik di permukaan, tetapi ditolak karena niat yang korup. Surah ini mengajarkan bahwa Allah tidak hanya melihat apa yang kita lakukan, tetapi mengapa kita melakukannya. Kebanyakan ayat At-Taubah adalah eksplorasi psikologis terhadap kontradiksi antara penampilan luar dan batiniah.
Walaupun banyak ayat berbicara tentang pertempuran fisik, surah ini mengajarkan bahwa jihad terbesar adalah jihad melawan diri sendiri, melawan kekikiran, melawan rasa malas, dan melawan keterikatan duniawi yang menunda pelaksanaan perintah Allah. Jihad adalah pengorbanan total, baik dengan harta maupun jiwa, dan itu harus didasarkan pada kecintaan tertinggi kepada Allah.
Kisah Tiga Orang yang Tertinggal menunjukkan konsekuensi spiritual dari menunda-nunda kebaikan, bahkan jika niatnya tulus. Keterlambatan tanpa alasan yang sah, meskipun bukan kemunafikan, membawa kepada isolasi sosial dan kesusahan besar, sampai taubat mereka diterima sebagai pengingat akan pentingnya respons segera terhadap panggilan Ilahi.
Secara keseluruhan, Surah At-Taubah berfungsi sebagai cermin untuk menguji hati setiap Mukmin. Apakah kita termasuk golongan yang As-Sabiqunal Awwalun yang bergegas kepada kebaikan, atau apakah kita termasuk mereka yang iththaqaltum ilal ardhi, yang hatinya terikat pada kesenangan duniawi? Surah ini adalah peta jalan menuju keikhlasan, memastikan bahwa setiap langkah yang kita ambil dalam hidup didasarkan pada taqwa (ketakwaan), bukan pada keuntungan sementara.
Penutupnya memberikan ketenangan bahwa meskipun tantangan hidup dan kemunafikan di sekitar kita besar, kita memiliki Rasul yang menyayangi kita, dan kita memiliki perlindungan abadi hanya pada Allah, Tuhan 'Arsy yang Agung.
Surah At-Taubah diturunkan dalam periode kritis di Madinah, setelah kekuatan Islam mapan di Jazirah Arab. Penaklukan Makkah telah terjadi, namun ancaman dari luar (Kekaisaran Bizantium) dan ancaman dari dalam (kaum munafik) memuncak. Konteks ini memaksa masyarakat Islam untuk bertransformasi dari komunitas yang terancam menjadi kekuatan geopolitik yang harus menetapkan standar interaksi internasional yang jelas dan internal yang murni. Ayat-ayat Bara'ah (1-12) turun pada tahun 9 H, diumumkan oleh Ali bin Abi Thalib pada musim haji, sebuah momen simbolis untuk mengakhiri kekafiran terbuka di tanah suci. Keputusan ini menunjukkan bahwa tidak ada lagi toleransi bagi politeisme aktif yang melanggar perjanjian di wilayah inti Islam.
Pembahasan mendalam mengenai Ekspedisi Tabuk (Ayat 38 dan seterusnya) mencakup analisis ekonomi dan logistik. Perjalanan ke perbatasan Syam sangat mahal, memerlukan persediaan yang besar, dan dilakukan pada musim puncak panen kurma, yang merupakan sumber pendapatan utama bagi kaum Ansar. Kritikan Allah terhadap mereka yang menunda (iththaqaltum ilal ardhi) adalah kritik terhadap kegagalan untuk mengorbankan keuntungan material sesaat demi tujuan spiritual abadi. Kisah Mu'adhidun (orang-orang yang tertinggal) dan kritik terhadap mereka yang berdalih menunjukkan bahwa kesiapan berkorban adalah barometer keimanan sejati.
Surah ini tidak hanya mendefinisikan munafik secara teologis, tetapi juga memberikan profil psikologis dan sosiologis mereka. Mereka adalah perencana makar yang mahir. Misalnya, mereka digambarkan sebagai orang yang "mengajak kepada yang mungkar dan mencegah dari yang ma’ruf" (Ayat 67), kebalikan total dari ciri-ciri Mukmin sejati (Ayat 71). Mereka menggunakan agama sebagai alat untuk mendapatkan kekayaan duniawi dan prestise, bukan sebagai tujuan. Mereka merasa aman dalam kelompok mereka, saling menguatkan dalam kemungkaran. Surah ini mengajarkan masyarakat Islam untuk memiliki mekanisme internal untuk mengidentifikasi dan mengisolasi individu-individu yang merusak ini, seperti yang terjadi pada Masjid Diraar.
Pelajaran dari Tha'labah bin Hathib (Ayat 75) menyajikan bahaya dari keterikatan yang tidak terkontrol terhadap kekayaan. Kehidupan Tha'labah berubah dari zuhud menjadi ketamakan, dan itu mengunci pintu hati dan taubatnya. Allah menunjukkan bahwa jika kekayaan menjadi tujuan utama, ia dapat merusak akidah seseorang lebih dari kemiskinan. Kekayaan adalah amanah, dan kegagalan dalam amanah ini sama berbahayanya dengan pengkhianatan militer.
Konsep Taubat yang disajikan dalam surah ini sangat ketat namun penuh harapan. Taubat bagi kaum munafik yang terus-menerus berbohong tidak akan pernah diterima, karena taubat mereka hanyalah topeng (sumpah palsu). Sementara itu, taubat bagi tiga orang yang tertinggal diterima karena mereka menunjukkan tiga elemen penting: pengakuan kesalahan tanpa alasan, penyesalan mendalam, dan penyerahan diri total kepada kehendak Allah melalui isolasi yang menyakitkan. Taubat sejati bukanlah kata-kata, melainkan proses penyucian jiwa melalui ujian dan penahanan diri.
Dalam konteks As-Sabiqunal Awwalun (Ayat 100), surah ini menekankan bahwa setiap generasi Mukmin harus berusaha meniru standar kesetiaan generasi awal tersebut. Mereka tidak hanya beriman di masa damai, tetapi juga berkorban di masa sulit. Mereka adalah model keberanian, keikhlasan, dan ketaatan yang menyeluruh. Kedudukan mereka yang terjamin di surga adalah imbalan atas prioritas yang benar yang mereka tetapkan: Allah dan Rasul-Nya di atas keluarga, harta, dan kampung halaman. Ini adalah inti sari dari ajaran Surah At-Taubah.