Surah At-Taubah Ayat 1: Proklamasi Bara'ah dan Pembatalan Perjanjian

Simbol Wahyu dan Kedaulatan Ilahi بَرَاءَةٌ Awal Pemberitahuan yang Tegas

Pendahuluan: Konteks Surah At-Taubah

Surah At-Taubah, surah ke-9 dalam Al-Qur'an, memiliki keunikan mendasar yang membedakannya dari semua surah lainnya: surah ini tidak diawali dengan lafaz Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim). Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa ketiadaan Basmalah ini bukan karena kelalaian, melainkan karena Surah At-Taubah, yang juga dikenal sebagai Surah Al-Bara'ah, datang sebagai proklamasi keras, peringatan, dan pembatalan perjanjian. Sifat surah yang keras dan penuh peringatan ini dianggap tidak sesuai dengan sifat rahmat dan kasih sayang yang diwakili oleh Basmalah. Ayat pertama, yang menjadi fokus utama kajian ini, adalah inti dari proklamasi ini.

Surah ini diturunkan di Madinah, setelah peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Makkah) dan sebelum Haji Wada' (Haji Perpisahan). Periode ini adalah titik balik krusial dalam sejarah Islam, di mana komunitas Muslim telah mencapai kekuatan yang signifikan, dan wilayah jazirah Arab berada di ambang penyatuan di bawah panji tauhid. Ayat-ayat awal surah ini secara langsung mengatasi masalah perjanjian yang telah dibuat antara Muslimin dan kelompok-kelompok musyrikin yang telah berulang kali melanggar janji mereka, serta menetapkan batas akhir bagi keberadaan praktik syirik di tanah haram.

Teks dan Terjemah Surah At-Taubah Ayat 1

بَرَاءَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدتُّم مِّنَ الْمُشْرِكِينَ

Transliterasi: Barā’atun minallāhi wa rasūlihī ilal-lażīna ‘āhattum minal-musyrikīn.

Terjemah Makna: (Inilah) pernyataan berlepas diri (dari perjanjian) dari Allah dan Rasul-Nya, kepada orang-orang musyrik yang telah kamu ajak mengadakan perjanjian.

I. Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci

A. Makna Mendalam Kata "بَرَاءَةٌ" (Barā'ah)

Kata kunci fundamental dalam ayat ini adalah *Barā'ah*. Secara harfiah, kata ini berasal dari akar kata (ب-ر-أ) yang berarti membersihkan, menyembuhkan, membebaskan, atau melepaskan diri. Dalam konteks ayat ini, *Barā'ah* diartikan sebagai "pernyataan berlepas diri" atau "pembatalan resmi."

Namun, makna terminologisnya jauh lebih kaya:

  1. Pemutusan Hubungan: Ini adalah proklamasi formal dan publik mengenai pemutusan semua ikatan perjanjian yang sebelumnya ada. Ini bukan sekadar penarikan diri sepihak, tetapi pengumuman kedaulatan Ilahi atas perjanjian tersebut.
  2. Penghapusan Kewajiban: *Barā'ah* menandakan bahwa pihak Muslimin kini dibebaskan dari segala kewajiban atau batasan yang timbul dari perjanjian-perjanjian lama dengan kelompok musyrikin tertentu.
  3. Peringatan Tegas: Karena diumumkan oleh Allah dan Rasul-Nya, *Barā'ah* membawa otoritas hukum tertinggi. Ini adalah peringatan terakhir sebelum tindakan diambil.
Para ahli bahasa seperti Al-Raghib Al-Isfahani menjelaskan bahwa *Barā'ah* menghilangkan cacat atau kesalahan. Dalam konteks sosial-politik ini, ia menghilangkan "cacat" atau "kerentanan" dalam hubungan Muslimin dengan pihak yang tidak setia, mengembalikan hubungan ke kondisi dasar permusuhan karena pelanggaran janji terus-menerus.

B. Identitas "الَّذِينَ عَاهَدتُّم مِّنَ الْمُشْرِكِينَ" (Orang-orang Musyrik yang Diajak Berjanji)

Ayat ini secara eksplisit merujuk pada "orang-orang musyrik yang telah kamu ajak mengadakan perjanjian." Ini adalah kategori yang spesifik, dan pemahaman yang salah dapat mengarah pada kesimpulan yang tidak tepat mengenai ajaran Islam tentang perjanjian.

Menurut mayoritas mufassir dan riwayat Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat), kelompok ini terbagi menjadi tiga kategori utama, yang harus dibedakan secara cermat untuk mencapai pemahaman 5000 kata yang mendalam:

  1. Kelompok yang Melanggar Janji (Nakitsun): Ini adalah musyrikin yang memiliki perjanjian dengan Nabi Muhammad ﷺ, namun mereka secara terbuka atau diam-diam membantu musuh-musuh Muslimin atau melanggar ketentuan perjanjian mereka (misalnya, Bani Bakr yang dibantu oleh Quraisy dalam melanggar Perjanjian Hudaibiyah). Kepada kelompok inilah *Barā'ah* ini ditujukan secara langsung dan mutlak, tanpa menunggu berakhirnya masa perjanjian.
  2. Kelompok yang Memiliki Batas Waktu dan Tidak Melanggar Janji (Mu’ahadun): Mereka yang memiliki perjanjian yang masih berlaku dan belum melanggar ketentuan apa pun. Untuk kelompok ini, ayat-ayat berikutnya (terutama Ayat 4 dan 7) memberikan pengecualian dan memastikan bahwa perjanjian mereka akan dihormati hingga batas waktunya berakhir.
  3. Kelompok yang Tidak Memiliki Perjanjian atau Perjanjiannya Tidak Jelas: Bagi mereka, batas empat bulan diberikan sebagai periode tenggang waktu (disebutkan dalam Ayat 2).
Penting untuk ditekankan bahwa Ayat 1, meskipun terkesan umum, secara hukum (fiqh) diprioritaskan bagi mereka yang telah melanggar janji atau yang perjanjiannya dianggap telah berakhir secara *de facto* karena tindakan mereka yang subversif. Proklamasi ini adalah respon terhadap pengkhianatan, bukan sekadar kebijakan agresif yang acak.

II. Konteks Historis (Asbabun Nuzul)

A. Kejadian Setelah Fathu Makkah

Surah At-Taubah diturunkan sekitar tahun ke-9 Hijriah, setelah Pembebasan Makkah (Fathu Makkah) pada tahun ke-8 H. Pada saat ini, meskipun Makkah telah menjadi pusat Islam, masih banyak suku Arab di jazirah yang memegang teguh praktik syirik dan memiliki berbagai bentuk perjanjian dengan komunitas Muslim di Madinah.

Setelah Fathu Makkah, Nabi ﷺ memutuskan untuk membersihkan Ka'bah dari berhala. Namun, sistem perjanjian masih berlaku. Masalah muncul ketika beberapa suku musyrik, merasa terdesak oleh penyebaran Islam, menunjukkan ketidaksetiaan dan potensi ancaman, bahkan ketika mereka masih dalam perjanjian. Mereka memanfaatkan masa damai yang dijamin oleh perjanjian untuk merencanakan pemberontakan atau bergabung dengan musuh-musuh lain (seperti yang terjadi dalam Perang Tabuk, meskipun Tabuk terjadi sebelum penurunan surah ini, ancaman dari luar tetap ada).

B. Penetapan Hari Haji Akbar (Tahun 9 Hijriah)

Ayat 1 Surah At-Taubah diproklamasikan secara resmi kepada publik pada musim haji tahun 9 Hijriah, yang dikenal sebagai ‘Haji Akbar’ (karena bertepatan dengan Hari Raya Kurban). Nabi Muhammad ﷺ saat itu tidak berangkat haji, melainkan menunjuk Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai Amirul Hajj.

Namun, setelah ayat-ayat ini diturunkan, perintah khusus dari Allah datang bahwa pengumuman pembatalan perjanjian harus disampaikan oleh anggota Ahlul Bait Nabi sendiri, atau oleh Nabi ﷺ. Akhirnya, Nabi ﷺ mengutus Ali bin Abi Thalib untuk menyusul rombongan haji Abu Bakar. Ali ditugaskan untuk membacakan empat pesan utama di Mina dan Arafah di hadapan seluruh kabilah Arab yang berkumpul:

  1. Tidak ada lagi orang musyrik yang diizinkan melaksanakan haji setelah tahun itu.
  2. Tidak ada lagi tawaf Ka'bah dalam keadaan telanjang (seperti tradisi jahiliyah).
  3. Siapa pun yang memiliki perjanjian dengan Nabi dan telah melanggar janji, perjanjiannya dibatalkan.
  4. Siapa pun yang memiliki perjanjian damai yang belum habis masa berlakunya dan tidak melanggar janji, perjanjiannya akan dihormati hingga selesai (ini adalah penegasan hukum dari Ayat 4).

Proklamasi oleh Ali ini, yang dimulai dengan Ayat 1, adalah momen yang menandai transisi politik dan agama di Jazirah Arab. Ini adalah deklarasi bahwa status quo perjanjian lama tidak dapat lagi dipertahankan di bawah kondisi pengkhianatan yang berulang. Pembatalan ini bukan agresi tanpa alasan, melainkan respons atas pelanggaran perjanjian yang merusak keamanan dan stabilitas negara Madinah.

III. Implikasi Fiqh Siyar (Hukum Perjanjian Internasional)

A. Prinsip Integritas Perjanjian dalam Islam

Untuk memahami mengapa Ayat 1 ini begitu penting, kita harus menilik betapa tingginya kedudukan perjanjian (al-'Ahd) dalam hukum Islam (Fiqh Siyar). Al-Qur'an dan Sunnah berulang kali menekankan kewajiban menepati janji. Allah berfirman: "Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra: 34).

Ayat 1 Surah At-Taubah, oleh karena itu, harus dilihat sebagai pengecualian hukum yang sangat serius dan hanya dapat diterapkan dalam kondisi yang ketat. Pembatalan perjanjian hanya diizinkan dalam dua kondisi utama:

  1. Pelanggaran Nyata (Khianah): Jika pihak lain secara eksplisit melanggar ketentuan perjanjian, seperti bersekutu dengan musuh atau menyerang sekutu Muslimin.
  2. Kekhawatiran Pengkhianatan (Khawf an-Nukus): Jika terdapat indikasi kuat (tanda-tanda) bahwa pihak lain akan melanggar janji, walaupun belum terjadi serangan. Dalam kondisi ini, Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk mengembalikan perjanjian itu kepada mereka secara terbuka (QS. Al-Anfal: 58) sebelum membatalkannya, memastikan pihak lawan tahu bahwa Muslimin tidak menepati janji secara diam-diam.

Dalam kasus yang ditangani oleh Ayat 1, riwayat menunjukkan bahwa kelompok musyrikin yang diumumkan pembatalannya telah jatuh pada kategori pertama: pelanggaran nyata yang berulang, khususnya dalam konteks konflik Makkah dan suku-suku Badui di sekitarnya. Ayat ini secara hukum memvalidasi tindakan yang diambil oleh Negara Madinah untuk melindungi integritasnya.

B. Masa Tenggang Waktu (Al-Ajal al-Mu'ayyan)

Salah satu aspek keadilan dalam proklamasi *Barā'ah* adalah pemberian masa tenggang waktu. Meskipun Ayat 1 menyatakan pembatalan, Ayat 2 kemudian menetapkan periode empat bulan bagi musyrikin yang perjanjiannya dibatalkan untuk memutuskan sikap mereka, yaitu bertaubat dan masuk Islam, atau bersiap menghadapi perang.

Pembedaan Krusial: Periode empat bulan ini (disebutkan dalam Ayat 2: "Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di bumi selama empat bulan...") bukanlah masa untuk melakukan negosiasi ulang. Ini adalah periode keamanan mutlak (aman) di mana mereka bebas bergerak dan berpikir, tanpa ancaman serangan dari Muslimin, agar mereka tidak mengatakan bahwa mereka diserang tanpa peringatan. Ini adalah manifestasi keadilan Ilahi yang bahkan dalam kondisi perang, harus didahului oleh peringatan yang jelas.

Masa tenggang empat bulan ini dihitung sejak hari pengumuman resmi di Mina, yaitu 10 Dzulhijjah, hingga 10 Rabiul Akhir. Pembatalan ini memberikan kesempatan yang sama kepada semua suku yang terlibat—baik yang melanggar janji maupun yang tidak memiliki perjanjian batas waktu—kecuali bagi mereka yang perjanjiannya dijaga sesuai Ayat 4.

C. Perjanjian yang Dihormati (Ayat 4)

Kajian mendalam Surah At-Taubah Ayat 1 tidak akan lengkap tanpa menyinggung pengecualian yang datang di Ayat 4, yang menegaskan kembali prinsip keadilan dalam Fiqh Siyar. Ayat 4 berbunyi: "Kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka dan mereka tidak mengurangi sedikit pun (dari isi perjanjianmu) dan tidak (pula) menolong seorang pun yang memusuhi kamu. Maka terhadap mereka itu, penuhilah janjinya sampai habis waktunya..."

Ini menunjukkan bahwa proklamasi *Barā'ah* dalam Ayat 1 adalah selektif dan bersyarat. Hukum pembatalan tidak berlaku universal untuk semua non-Muslim, tetapi hanya untuk mereka yang perilakunya telah membahayakan perjanjian atau negara. Kelompok yang menjaga integritasnya, seperti disebutkan sebagian riwayat merujuk kepada Bani Damrah atau Bani Kinanah, tetap dijamin keamanannya hingga masa perjanjian mereka berakhir. Ayat 1 adalah aturan umum untuk pembatalan, dan Ayat 4 adalah pengecualian yang mengukuhkan keutamaan menepati janji dalam kondisi apa pun, selama pihak lawan juga setia.

IV. Tafsir Kontemporer dan Relevansi Teologis

A. Dimensi Tauhid dan Pembersihan Haram

Selain aspek politik dan militer, Ayat 1 memiliki dimensi teologis yang sangat kuat, terkait langsung dengan doktrin tauhid (keesaan Allah). Pengumuman *Barā'ah* bertepatan dengan perintah untuk membersihkan wilayah Haram (Makkah dan sekitarnya) dari segala bentuk syirik.

Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Kathir menjelaskan bahwa pengumuman ini adalah penegasan bahwa tidak pantas bagi Rumah Allah (Ka'bah), yang dibangun untuk ibadah kepada Yang Maha Esa, untuk digunakan oleh mereka yang menyekutukan-Nya. Perjanjian dengan musyrikin di masa damai adalah toleransi politik yang diizinkan untuk sementara waktu, tetapi eksistensi syirik di pusat agama merupakan kontradiksi fundamental.

Ayat 1 memulai proses yang memastikan bahwa setelah tahun tersebut, hanya orang yang beriman kepada Allah yang diizinkan memasuki Makkah dan melaksanakan haji. Ini menegaskan kedaulatan agama atas kedaulatan politik di wilayah suci. Jika dilihat dari sudut pandang ini, *Barā'ah* adalah langkah pemurnian spiritual masyarakat yang baru saja beralih dari jahiliyah menuju tauhid murni.

B. Bara'ah dari Sudut Pandang Psikologi Sosial

Proklamasi keras ini juga berfungsi sebagai pendidikan bagi komunitas Muslim yang baru terbentuk. Setelah bertahun-tahun menghadapi ancaman dan pengkhianatan dari suku-suku di sekitar mereka, dibutuhkan ketegasan untuk membangun negara yang stabil. Ayat 1 mengajarkan bahwa belas kasihan dan perjanjian tidak boleh mengorbankan keamanan fundamental atau prinsip-prinsip tauhid.

Ini menciptakan batas yang jelas antara komunitas Muslim (*Ummah*) dan pihak luar yang hostile. Dalam konteks sosial yang rentan, batas yang tegas ini diperlukan untuk menyatukan kekuatan internal dan mencegah infiltrasi ideologis atau militer. *Barā'ah* adalah simbol dari kepercayaan diri dan kemandirian negara Islam yang baru.

Ilustrasi perjanjian yang dikukuhkan dan dibatalkan Garis Perjanjian Pembatalan (Bara'ah)

V. Ekstensifikasi Tafsir: Kedalaman Kata Kerja dan Tata Bahasa

A. Penggunaan Bentuk Jamak "عَاهَدتُّم" (Yang Kalian Ajak Berjanji)

Kata kerja ‘āhattum (عَاهَدتُّم) menggunakan bentuk jamak orang kedua, yang ditujukan kepada Muslimin secara umum. Ini menunjukkan bahwa perjanjian yang dibatalkan adalah perjanjian yang dibuat tidak hanya oleh Nabi Muhammad ﷺ secara pribadi, tetapi oleh negara Islam di Madinah. Proklamasi *Barā'ah* ini adalah tindakan resmi negara. Imam Al-Tabari menekankan bahwa ini menegaskan tanggung jawab kolektif Ummah dalam menegakkan perjanjian dan, jika perlu, membatalkannya atas dasar perintah Ilahi.

Terkait dengan tata bahasa, penggunaan bentuk aktif (‘āhada) mengindikasikan bahwa tindakan perjanjian itu melibatkan dua pihak. Pembatalan ini, oleh karena itu, adalah respons terhadap ketidakseimbangan yang terjadi setelah salah satu pihak (musyrikin) gagal memenuhi bagian mereka dalam kesepakatan bilateral tersebut.

B. Perdebatan Klasik: Apakah At-Taubah Membatalkan Semua Ayat Toleransi?

Ayat 1 Surah At-Taubah sering menjadi titik sentral dalam perdebatan mengenai ayat-ayat yang menghapus (nasikh) atau dihapus (mansukh) dalam Al-Qur'an. Sebagian ulama (terutama dari kalangan ekstremis atau yang menafsirkan secara harfiah tanpa konteks) berpendapat bahwa Surah At-Taubah, khususnya ayat-ayat keras tentang musyrikin, telah menghapus semua ayat sebelumnya yang mengajarkan toleransi, kesabaran, atau damai (seperti QS. Al-Kafirun: 6, atau QS. Al-Baqarah: 256).

Namun, pandangan ulama kontemporer dan tafsir yang lebih moderat menolak generalisasi ini. Mereka menegaskan bahwa:

  1. Spesifisitas Kasus: Ayat 1 dan ayat-ayat terkait diturunkan untuk mengatasi kasus spesifik pengkhianatan dan pelanggaran perjanjian, pada waktu dan tempat tertentu (Jazirah Arab tahun 9 H). Ayat ini bersifat kasuistik, bukan universal.
  2. Non-Musuh Tetap Terlindungi: Ayat-ayat yang memerintahkan keadilan dan perlakuan baik terhadap non-Muslim yang tidak memusuhi (QS. Al-Mumtahanah: 8) tetap berlaku dan tidak dibatalkan. *Barā'ah* hanya berlaku bagi musyrikin yang memusuhi dan melanggar janji.
  3. Prinsip Abadi: Prinsip dasar perdamaian dan penepatan janji dalam Islam tetap abadi (muhkam), sementara hukum perang dan pembatalan perjanjian adalah respons situasional (mutasyabihah yang harus dipahami melalui konteks).
Dengan demikian, Ayat 1 tidak menghapus konsep toleransi, melainkan menetapkan batas hukum yang jelas antara kondisi damai yang jujur dan kondisi perang yang dipicu oleh pengkhianatan pihak lawan.

VI. Analisis Mendalam Keterkaitan Ayat 1 dengan Ayat-Ayat Selanjutnya

Ayat 1 hanyalah permulaan. Fungsinya adalah sebagai judul atau proklamasi pembuka. Pemahaman yang lengkap terhadap maknanya harus melibatkan keterkaitan dengan Ayat 2, 3, dan 4, yang memberikan detail pelaksanaan dari *Barā'ah*.

A. Bara'ah versus Al-Anfal: Perbandingan Proklamasi Perang

Surah At-Taubah sering dibandingkan dengan Surah Al-Anfal, yang juga membahas perjanjian dan perang. Namun, ada perbedaan mendasar. Al-Anfal menetapkan aturan-aturan umum untuk perjanjian dan perilaku selama perang. Sebaliknya, At-Taubah, dimulai dengan Ayat 1, adalah pelaksanaan hukum yang bersifat *final* setelah sekian lama konflik dan pengkhianatan. Al-Anfal mengajarkan bagaimana berperang; At-Taubah menyatakan bahwa kondisi untuk perang total telah terpenuhi karena pelanggaran perjanjian yang berulang kali.

Ayat 1 ini secara efektif menutup babak diplomasi di Jazirah Arab bagi mereka yang tidak ingin menerima tauhid, dan membuka babak baru di mana Islam menjadi satu-satunya kekuatan politik dan agama yang dominan di wilayah tersebut. Ini bukan hanya masalah perjanjian antarsuku, tetapi pernyataan otoritas monoteistik atas wilayah yang diyakini sebagai tanah suci.

B. Dampak Politik dan Sosial Jangka Panjang

Dampak langsung dari proklamasi ini sangat besar. Dalam waktu singkat setelah pengumuman Ali bin Abi Thalib pada musim haji tersebut, banyak suku yang sebelumnya ragu-ragu segera mengirim delegasi ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka. Periode ini dikenal sebagai ‘Amul Wufud’ (Tahun Delegasi), di mana delegasi dari seluruh Arab berbondong-bondong datang untuk menyatakan kesetiaan.

Ayat 1, yang tampak keras, pada kenyataannya berfungsi sebagai katalisator untuk perdamaian yang lebih luas dan abadi. Dengan menghilangkan sumber-sumber pengkhianatan dan keraguan, Nabi Muhammad ﷺ mampu menyatukan Jazirah Arab di bawah satu kepemimpinan politik dan agama, yang pada gilirannya mengakhiri kekacauan antarsuku yang telah berlangsung selama berabad-abad di era pra-Islam (Jahiliyah).

VII. Kesimpulan: Konsekuensi Hukum dan Spiritualitas Bara'ah

Surah At-Taubah Ayat 1, meskipun pendek, adalah salah satu ayat paling monumental dalam Al-Qur'an yang menjelaskan hubungan antara negara Islam dengan kekuatan luar dalam kondisi pengkhianatan. Ayat ini menegaskan beberapa prinsip fundamental:

  1. Keutamaan Keadilan: Bahkan dalam pembatalan perjanjian, keadilan harus ditegakkan melalui pengumuman publik (Barā'ah) dan pemberian masa tenggang waktu.
  2. Prinsip Integritas: Perjanjian adalah suci, tetapi kesucian itu akan hilang jika pihak lawan secara sepihak dan berulang kali melanggarnya.
  3. Kedaulatan Tauhid: Tidak ada tempat bagi praktik syirik di tanah suci Islam.

Kajian mendalam mengenai ayat ini memerlukan pemisahan yang ketat antara konteks historis yang spesifik (perang dan pengkhianatan di Jazirah Arab tahun 9 H) dengan prinsip hukum Islam yang berlaku secara umum. *Barā'ah* dari Allah dan Rasul-Nya bukanlah izin untuk agresi tanpa sebab, melainkan hak untuk membela diri dan menjaga stabilitas negara dari pihak-pihak yang telah melanggar janji secara fatal. Pemahaman ini penting untuk menjernihkan pandangan terhadap Surah At-Taubah, memposisikannya sebagai bagian dari Fiqh Siyar yang kompleks dan bermoral tinggi, bukan sebagai seruan universal untuk permusuhan tanpa batas.

Pengumuman ini, yang dimulai dengan kata tegas "بَرَاءَةٌ", menandai akhir dari suatu era dan awal dari persatuan umat Islam di Jazirah Arab, yang merupakan fondasi bagi perluasan dakwah Islam ke seluruh dunia di masa-masa selanjutnya. Analisis terhadap setiap kata dalam Ayat 1—dari *Barā'ah* itu sendiri, identifikasi pihak yang berjanji (*‘āhattum*), hingga penegasan sumber proklamasi (*minallāhi wa rasūlihī*)—menawarkan pelajaran abadi mengenai diplomasi, pertahanan negara, dan penegakan prinsip tauhid yang harus selalu menjadi poros utama peradaban Muslim.

Ringkasan Poin-Poin Utama Tafsir Ayat 1

VIII. Analisis Mendalam Bara'ah: Membongkar Lapisan Makna dan Implikasinya dalam Sejarah Hukum Islam

A. Bara'ah dan Konsep Hukum Internasional Pra-Modern

Konsep *Barā'ah* yang termaktub dalam Ayat 1 Surah At-Taubah dapat disejajarkan dengan konsep ‘Deklarasi Perang’ atau ‘Pembatalan Kedaulatan Perjanjian’ dalam hukum internasional modern, namun dengan nuansa moral dan spiritual yang unik. Sebelum era modern, pengumuman publik (seperti yang dilakukan Ali di Mina) adalah cara standar untuk mengakhiri perjanjian, memastikan pihak lawan tidak menuduh adanya serangan mendadak (ghadr). Fiqh Siyar, yang merupakan hukum tata negara dan internasional Islam, menuntut transparansi dalam pemutusan hubungan.

Pengumuman ini juga menjadi preseden penting dalam jurisprudensi Islam terkait *Ahd al-Aman* (Perjanjian Keamanan). Ini menunjukkan bahwa keamanan yang diberikan melalui perjanjian adalah bersyarat. Sekali syarat dasar (kesetiaan dan tidak adanya pengkhianatan) dilanggar, maka fondasi *Ahd al-Aman* runtuh. Para fuqaha (ahli hukum) di kemudian hari menggunakan kasus At-Taubah ini sebagai dasar untuk menetapkan aturan tentang kapan seorang penguasa Muslim dapat secara sah mengakhiri perjanjian damai, selalu dengan penekanan pada kewajiban peringatan dan masa tenggang.

Sebagai contoh, mazhab Hanafi dan Syafi'i sepakat bahwa pembatalan harus diumumkan secara resmi. Mereka berpendapat bahwa jika terdeteksi tanda-tanda pengkhianatan (seperti mengumpulkan kekuatan untuk menyerang), Muslimin harus menginformasikan pihak lawan terlebih dahulu bahwa perjanjian telah dibatalkan. Ayat 1 Surah At-Taubah adalah contoh konkret dari pelaksanaan perintah Ilahi ini, yang didorong oleh kebutuhan mendesak untuk menjaga keamanan Ummah setelah serangkaian tindakan pengkhianatan yang tidak dapat ditoleransi lagi.

B. Peran Rasulullah ﷺ dalam Deklarasi Bara'ah

Penting untuk dicermati frasa "مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ" (dari Allah dan Rasul-Nya). Ini menempatkan proklamasi ini di tingkat tertinggi otoritas agama dan politik. Ini bukanlah keputusan politik yang diambil oleh Rasulullah ﷺ berdasarkan pertimbangan strategis semata, melainkan wahyu yang memuat hukum ilahi.

Keterlibatan Rasulullah ﷺ dalam proklamasi ini menunjukkan tiga hal:

  1. Legitimasi Hukum: Nabi ﷺ adalah pelaksana hukum dan perjanjian. Pembatalannya harus melalui otoritasnya.
  2. Contoh Kepemimpinan: Nabi ﷺ memberikan teladan tentang ketegasan yang diperlukan dalam menghadapi pengkhianatan, sekaligus menunjukkan keadilan melalui pemberian masa tenggang.
  3. Penegasan Risalah: Bahwa Rasulullah ﷺ tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga bertanggung jawab atas implikasi sosial dan politiknya.
Kisah pengiriman Ali bin Abi Thalib untuk membacakan ayat ini setelah Abu Bakar As-Shiddiq sudah diutus juga menambah lapisan makna. Tradisi Islam menekankan bahwa urusan pemutusan perjanjian yang berhubungan dengan wahyu dan hukum tertinggi harus disampaikan oleh seseorang dari kalangan Nabi sendiri, memperkuat otoritas ilahiah di balik keputusan tersebut.

C. Tafsir Filosofis Mengenai Akhir Zaman

Dalam beberapa literatur eskatologis (yang berkaitan dengan akhir zaman), Surah At-Taubah, khususnya konsep *Barā'ah*, sering dirujuk. Beberapa ulama menafsirkan *Barā'ah* sebagai simbol dari pemisahan akhir antara kebenaran dan kebatilan, yang puncaknya akan terjadi menjelang hari kiamat.

Meskipun konteks langsungnya adalah perjanjian musyrikin Makkah, secara spiritual, ayat ini mengajarkan umat Islam untuk senantiasa berlepas diri (ber-Barā'ah) dari segala bentuk syirik dan ketidaksetiaan terhadap prinsip-prinsip Ilahi, terlepas dari tekanan sosial atau politik. Ini adalah *Barā'ah* hati sebelum *Barā'ah* pedang. Ketegasan Ayat 1 memanggil setiap Muslim untuk memeriksa keimanannya dan memastikan tidak ada kompromi terhadap tauhid murni.

IX. Kasus Fiqh Tambahan dan Penjelasan Rinci tentang Masa Tenggang Empat Bulan

A. Klasifikasi Musyrikin Menurut Ibnu Hazm dan Al-Qurtubi

Untuk mencapai kedalaman yang diharapkan, kita harus membedah klasifikasi musyrikin yang menjadi sasaran Ayat 1, sebagaimana diklasifikasikan oleh para ahli tafsir terkemuka. Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, sangat detail dalam memilah siapa saja yang termasuk dalam proklamasi *Barā'ah*:

  1. Musyrikin Tanpa Perjanjian (Mutlaq): Mereka yang tidak pernah membuat perjanjian dengan Muslimin. Mereka secara otomatis diberi masa tenggang empat bulan untuk keluar dari wilayah Haram atau memeluk Islam.
  2. Musyrikin Pelanggar Janji (Nakitsun): Perjanjian mereka dibatalkan segera dengan proklamasi *Barā'ah* (Ayat 1), dan mereka juga diberi masa empat bulan untuk meninggalkan wilayah Haram.
  3. Musyrikin yang Setia (Mujawwizun): Mereka yang disebutkan dalam Ayat 4. Perjanjian mereka dihormati hingga batas waktu yang telah ditentukan (maksimal sembilan bulan, karena perjanjian terpanjang saat itu adalah sepuluh tahun, yang dipotong oleh perjanjian Hudaibiyah yang sudah berjalan).

Pentingnya pembedaan ini terletak pada penekanan bahwa Islam menolak pengkhianatan, bahkan terhadap musuh. Ayat 1 adalah deklarasi perang, tetapi perang itu diumumkan dengan masa tunggu yang adil. Ini adalah etika perang yang sangat tinggi. Perang tidak dimulai sampai masa empat bulan itu berakhir. Selama masa itu, jika musyrikin bertaubat, shalat, dan membayar zakat, mereka akan dianggap sebagai saudara seiman (disebutkan dalam Ayat 5, setelah masa tenggang berakhir).

B. Penetapan Waktu Empat Bulan

Mengapa empat bulan? Para ulama tafsir memberikan beberapa pandangan:

Pemberian waktu yang panjang ini, yang berlaku bahkan untuk kelompok yang terbukti tidak setia, menunjukkan bahwa tujuan utama Islam bukan untuk menumpahkan darah, tetapi untuk menegakkan keadilan dan tauhid, sambil memberikan setiap kesempatan bagi pihak yang bersalah untuk memperbaiki diri.

X. Telaah Komparatif: At-Taubah 1 dan Konsep Loyalitas (Al-Wala' Wal-Bara')

Ayat 1 Surah At-Taubah adalah dasar utama bagi konsep teologis yang luas dalam Islam yang dikenal sebagai *Al-Wala’ wal-Barā’* (Loyalitas dan Dissosiasi). Konsep ini secara singkat adalah kewajiban seorang Muslim untuk mencintai (loyal) kepada Allah, Rasul-Nya, dan Muslimin, serta membenci (dissosiasi) terhadap syirik dan kekufuran. Namun, seringkali konsep ini disalahpahami.

A. Bara'ah Politik versus Bara'ah Aqidah

Ayat 1 Surah At-Taubah adalah *Barā’ah* politik dan legal, yang secara spesifik menanggapi kegagalan perjanjian antarnegara. *Barā’ah* ini tidak secara otomatis berarti putusnya semua hubungan sosial dan kemanusiaan dengan non-Muslim yang damai.

Para ulama membedakan:

Dengan demikian, *Barā’ah* dalam Ayat 1 adalah deklarasi kedaulatan yang diperlukan untuk menjaga keamanan negara, bukan deklarasi bahwa Muslimin harus memutus hubungan dengan setiap individu non-Muslim secara sosial atau ekonomi. Kegagalan membedakan dua jenis *Barā’ah* inilah yang sering menyebabkan interpretasi ekstremis terhadap Surah At-Taubah.

XI. Penutup Akhir: Pesan Abadi Surah At-Taubah Ayat 1

Kajian mendalam Surah At-Taubah Ayat 1 menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi perjanjian dan hukum. Namun, ketika hukum dan perjanjian digunakan oleh pihak lain untuk mengkhianati dan merusak tatanan keamanan, negara Islam diizinkan, bahkan diwajibkan, untuk mengambil tindakan tegas yang proporsional dan adil. Proklamasi *Barā'ah* adalah titik puncak dari kesabaran dan respons yang diperlukan untuk menegakkan kedaulatan Ilahi di bumi. Dengan kejelasan dan ketegasan proklamasi ini, babak baru dalam sejarah Islam dibuka, di mana keadilan dan tauhid menjadi pilar utama sebuah peradaban yang baru lahir.

Ayat ini tetap relevan sebagai panduan bagi para pemimpin Muslim hari ini dalam berinteraksi dengan dunia luar: pegang teguh janji, tuntut keadilan dan timbal balik, dan bertindak dengan tegas dan transparan ketika pengkhianatan terjadi, selalu mendahului tindakan militer dengan peringatan yang adil.

🏠 Homepage