(Alt Text: Ilustrasi Simbolis Kebangkitan Islam Awal)
Surah At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara'ah, menempati posisi unik dalam Al-Qur'an. Ia adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan Basmalah, sebuah indikasi kuat mengenai sifatnya yang tegas dan penuh peringatan. Surah ini diturunkan pada periode akhir kenabian di Madinah, setelah Perang Tabuk, pada masa ketika masyarakat Islam telah mencapai kekuatan puncak namun juga menghadapi tantangan internal berupa orang-orang munafik dan tantangan eksternal berupa perjanjian yang harus diputuskan.
Di tengah suasana penentuan hukum dan pengungkapan hakikat keimanan serta kemunafikan ini, Allah SWT menyisipkan sebuah ayat yang berfungsi sebagai pilar akidah dan sumber rujukan metodologis sepanjang sejarah umat Islam. Ayat tersebut adalah ayat ke-100, yang berbicara tentang keutamaan mutlak para generasi pertama Islam, kelompok yang dikenal sebagai As-Sabiqunal Awwalun, para pelopor terdahulu.
Ayat ini bukan sekadar penceritaan historis; ia adalah penetapan status keagungan, penjaminan keridaan abadi dari Allah, dan penentuan standar tertinggi bagi keimanan dan amal saleh. Pemahaman mendalam terhadap ayat ini sangat krusial, sebab ia menentukan cara pandang umat Islam terhadap sejarah Islam, status para Sahabat Nabi, dan bagaimana metodologi keagamaan (manhaj) harus diambil dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah pondasi dari pemikiran bahwa jalan terbaik adalah mengikuti jejak mereka yang telah dijamin keridaan Allah.
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung." (QS. At-Taubah: 100)
Ayat yang ringkas namun padat ini membagi umat Islam menjadi tiga kelompok utama berdasarkan waktu dan kualitas keimanan mereka, sekaligus menjanjikan imbalan yang sama bagi ketiga kelompok tersebut, asalkan memenuhi syarat yang ditetapkan, yaitu mengikuti dengan ihsan.
Memahami kedalaman ayat ini memerlukan kajian terhadap empat istilah sentral yang menyusun fondasinya, di mana setiap istilah memiliki makna teologis dan historis yang sangat kaya:
Secara harfiah berarti 'orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama'. Ini adalah gelar kehormatan tertinggi. Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai batasan definisi kelompok ini, namun konsensus menetapkannya sebagai para Sahabat yang memeluk Islam sebelum peristiwa-peristiwa penting tertentu, menandakan keimanan mereka yang diuji dan kokoh di masa-masa paling sulit:
Keutamaan mereka terletak pada pengorbanan yang dilakukan tanpa melihat hasil. Mereka beriman saat ancaman fisik dan kerugian materiil sangat nyata. Inilah yang membedakan mereka dari Sahabat yang masuk Islam setelah Fathu Makkah (Penaklukan Mekah), yang keimanannya datang setelah Islam berjaya.
Muhajirin adalah 'orang-orang yang berhijrah'. Mereka adalah penduduk Mekah atau wilayah sekitarnya yang meninggalkan kampung halaman, harta benda, keluarga, dan segala kenyamanan dunia demi memelihara akidah mereka dan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya untuk pindah ke Madinah. Hijrah mereka adalah manifestasi keikhlasan dan pengorbanan tertinggi. Mereka tiba di Madinah dalam keadaan fakir dan asing, namun membawa kekayaan spiritual yang tak ternilai. Pengorbanan mereka berupa pemutusan ikatan duniawi telah diakui dan dipuji secara khusus oleh Al-Qur'an di banyak tempat.
Ansar berarti 'para penolong'. Mereka adalah penduduk asli Madinah (sebelumnya Yatsrib), terutama dari suku Aus dan Khazraj, yang menerima Nabi Muhammad SAW dan kaum Muhajirin dengan tangan terbuka. Peran mereka luar biasa: mereka tidak hanya menawarkan tempat berlindung, tetapi juga berbagi harta, lahan pertanian, dan bahkan rumah mereka dalam semangat persaudaraan yang belum pernah disaksikan oleh sejarah manusia. Ayat ini memberikan gelar kehormatan kepada mereka karena kesediaan mereka berkorban demi agama Allah, padahal mereka tidak mengalami penindasan awal di Mekah.
Ini adalah kata kunci yang menghubungkan generasi berikutnya (Tabi'in dan seterusnya) dengan dua kelompok pertama. Ihsan secara bahasa berarti 'melakukan sesuatu dengan baik, sempurna, dan cermat'. Dalam konteks ayat ini, mengikuti dengan ihsan berarti:
Syarat Bi-Ihsan memastikan bahwa janji surga tidak hanya berlaku untuk generasi Sahabat, tetapi juga terbuka bagi setiap Muslim yang menelusuri jalan kebenaran mereka dengan kesempurnaan dan kesungguhan.
Kalimat ini adalah inti teologis ayat tersebut. Keridaan Allah kepada mereka adalah penjaminan status mereka di dunia dan akhirat. Yang lebih menakjubkan adalah "dan mereka pun rida kepada-Nya." Ini mencerminkan kebahagiaan paripurna, di mana segala cobaan, pengorbanan, dan kesulitan yang mereka hadapi di dunia terasa ringan karena keyakinan mereka terhadap janji Allah. Tidak ada pencapaian spiritual yang lebih tinggi daripada mencapai tingkat keridaan timbal balik ini.
Ketika Allah SWT menggunakan bentuk lampau (past tense) dalam firman-Nya: "Allah rida kepada mereka," ini menunjukkan bahwa keridaan tersebut telah ditetapkan dan diselesaikan. Ini adalah pembenaran ilahi terhadap seluruh kehidupan dan perjuangan mereka. Bagi As-Sabiqunal Awwalun, keridaan ini bersifat definitif dan mutlak. Ini berarti, menurut mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa tidak boleh ada Muslim yang mencela atau meragukan keimanan dan kebaikan para Sahabat, terutama mereka yang secara eksplisit dipuji dalam Al-Qur'an. Mereka semua dijamin masuk surga. Status ini menjadi dasar bagi sebuah prinsip akidah: kewajiban mencintai dan menghormati seluruh Sahabat Nabi.
Para ulama menjelaskan bahwa janji keridaan ini merupakan penghargaan atas tiga kualitas utama yang dimiliki oleh Muhajirin dan Ansar di masa-masa awal: shidq (kejujuran/kesungguhan), ithar (mengutamakan orang lain), dan jihad (perjuangan tak kenal lelah).
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan bahwa pujian ini adalah yang paling agung, sebab kenikmatan surga, meskipun besar, adalah hasil dari keridaan Allah. Namun, keridaan Allah itu sendiri adalah kenikmatan yang lebih besar dan tujuan tertinggi. Keridaan ini membedakan mereka dari generasi manapun, karena mereka adalah saksi hidup turunnya wahyu dan pelaksanaan syariat oleh Rasulullah SAW.
Muhajirin meninggalkan segalanya. Dalam penafsiran klasik, ditekankan bahwa ujian terberat bagi seorang manusia adalah meninggalkan tanah air dan harta benda. Mereka meninggalkan Mekah bukan karena mereka membenci kota itu, melainkan karena mereka lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Kisah-kisah hijrah, seperti hijrahnya Abu Salamah, Suhaib Ar-Rumi, atau Umar bin Khattab yang hijrah secara terang-terangan, menggambarkan betapa mendalamnya komitmen mereka.
Pengorbanan ini tidak hanya diukur dari perpindahan fisik, tetapi juga dari kesulitan penyesuaian di Madinah. Mereka yang terbiasa berdagang di Mekah harus beralih profesi atau bergantung pada Ansar. Ayat ini memposisikan mereka di garda terdepan sebagai pembawa obor Islam, yang meletakkan fondasi akidah di jantung Jazirah Arab.
Mereka adalah generasi yang mendedikasikan hidup, mati, dan seluruh eksistensi mereka untuk satu tujuan: menegakkan kalimat tauhid. Inilah mengapa dalam Al-Qur’an, Muhajirin sering kali disebut pertama kali sebelum Ansar, mengindikasikan prioritas dalam ujian dan penderitaan awal yang mereka alami.
Ansar adalah penolong sejati. Mereka membuktikan bahwa ikatan keimanan jauh lebih kuat daripada ikatan darah atau kesukuan. Setelah kedatangan Muhajirin, Nabi SAW membentuk persaudaraan antara Muhajirin dan Ansar, di mana setiap Muhajir dipersaudarakan dengan seorang Ansar. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Ansar bahkan menawarkan untuk membagi dua seluruh kekayaan mereka, termasuk kebun kurma dan tanah, bahkan ingin menceraikan salah satu istri mereka agar dinikahi oleh saudara Muhajir mereka. Meskipun Muhajirin menolak tawaran harta benda yang berlebihan itu dan memilih untuk bekerja sendiri, kesediaan Ansar menunjukkan puncak dari ithar (mengutamakan orang lain).
Ayat At-Taubah 100 menegaskan bahwa Ansar adalah mitra Muhajirin dalam kemuliaan. Tanpa Ansar, Islam mungkin tidak akan memiliki pijakan yang kuat di Madinah. Mereka adalah lambang kerelaan berkorban demi komunitas yang baru terbentuk, mendemonstrasikan bahwa pertolongan dalam agama adalah salah satu bentuk ibadah paling tinggi.
Syarat Bi-Ihsan (dengan kebaikan/kesempurnaan) adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan generasi Sahabat. Ini adalah klausa yang universal dan abadi. Para ulama menekankan bahwa ihsan di sini memiliki dua dimensi utama:
Mengikuti dengan ihsan berarti berpegang teguh pada akidah yang diyakini oleh Sahabat tanpa menambah atau mengurangi. Ini menuntut kejernihan tauhid, menjauhi syirik, dan tidak menciptakan inovasi dalam agama (bid'ah). Sahabat adalah generasi yang paling dekat dengan sumber wahyu; oleh karena itu, pemahaman mereka terhadap Islam adalah yang paling murni dan benar. Jika seseorang mengklaim mencintai Allah dan Rasul-Nya, ia harus mengikuti jejak Sahabat dalam memahami nas-nas (dalil-dalil) agama.
Contoh ihsan dalam akidah adalah menjauhkan diri dari perdebatan filosofis yang tidak pernah dikenal oleh Sahabat. Fokus mereka adalah pada iman yang sederhana, amal yang ikhlas, dan menjauhi segala bentuk takwil (interpretasi) yang berlebihan terhadap sifat-sifat Allah.
Ihsan juga menuntut kesempurnaan dalam pelaksanaan ibadah dan muamalah (interaksi sosial). Rasulullah SAW mendefinisikan ihsan sebagai beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. Menerapkan ini dalam mengikuti Sahabat berarti meniru tingkat kesungguhan mereka dalam shalat, puasa, zakat, dan haji. Mereka adalah contoh teladan dalam menjaga kejujuran, menepati janji, dan bersikap adil, bahkan terhadap musuh.
Dengan demikian, janji keridaan dan surga bagi generasi sesudah Sahabat (Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in, dan seterusnya) bergantung penuh pada kualitas ihsan ini. Tanpa ihsan, pengikut hanya akan menjadi peniru yang kosong makna.
Ayat At-Taubah 100 adalah salah satu dalil paling kuat yang digunakan dalam penetapan prinsip Manhaj Salaf (Metodologi Para Pendahulu). Ayat ini secara fundamental menetapkan bahwa generasi terbaik umat ini adalah tiga generasi pertama, dan jalan menuju keselamatan adalah mengikuti metodologi mereka.
Ayat ini berfungsi sebagai tazkiyah ilahiyah, yaitu pengakuan dan pensucian ilahi. Karena Allah sendiri telah merida’i mereka, mencela Sahabat atau meragukan ketulusan mereka adalah sebuah kesalahan teologis yang serius. Keridaan ini mencakup semua Muhajirin dan Ansar yang secara umum dipandang sebagai As-Sabiqun, yang menegaskan kemurnian akidah mereka dari bid'ah besar. Tidak ada tafsir, hadis, atau pendapat ulama yang boleh bertentangan dengan prinsip pengagungan terhadap generasi yang telah dijamin keridaannya oleh Sang Pencipta.
Dalam ilmu Ushul Fiqh (prinsip-prinsip hukum Islam), tindakan dan pemahaman Sahabat (terutama dari kalangan As-Sabiqun) memiliki bobot otoritas yang sangat besar, terutama jika mereka mencapai konsensus (Ijma'). Jika Sahabat Nabi mencapai kesepakatan mengenai suatu masalah yang tidak ditemukan dalil eksplisitnya dalam Al-Qur'an dan Sunnah, kesepakatan mereka diyakini sebagai penegasan dari pemahaman yang benar. Ayat 100 ini memberikan landasan teologis mengapa pemahaman mereka harus didahulukan.
Sebagai contoh, banyak masalah fiqih mengenai muamalah, peradilan, dan pemerintahan yang tidak ditemukan detailnya dalam nash utama, ditangani oleh Sahabat berdasarkan pemahaman mendalam mereka terhadap tujuan syariah (maqashid syari’ah). Mengikuti mereka dengan ihsan berarti mencontoh cara mereka mengambil keputusan berdasarkan prinsip-prinsip syariat.
Ayat ini secara implisit memberikan peringatan keras terhadap penambahan atau pengurangan dalam agama. Jika jalan keridaan Allah adalah mengikuti para pendahulu *dengan ihsan*, maka jalan yang berlawanan (mengikuti tanpa *ihsan* atau dengan inovasi) adalah jalan yang menjauhkan dari keridaan itu. Setiap Muslim diwajibkan untuk menanyakan, "Apakah amal atau pemahaman ini telah dikenal dan dilaksanakan oleh para Sahabat?" Jika tidak, maka harus diwaspadai, karena metode ibadah terbaik adalah metode yang dibawa oleh generasi yang paling dipuji oleh Allah SWT.
Ibn Taimiyyah, dalam menjelaskan ayat ini, sering menekankan bahwa kesatuan umat hanya dapat tercapai jika umat kembali pada pemahaman As-Sabiqunal Awwalun. Perpecahan muncul ketika generasi kemudian mulai mendahulukan akal atau hawa nafsu di atas metodologi yang murni yang telah diterapkan oleh generasi awal.
Penting untuk diingat bahwa Surah At-Taubah secara keseluruhan banyak mengungkap aib dan tipu daya kaum munafik yang hidup di Madinah, yaitu mereka yang mengaku beriman tetapi menyembunyikan kekufuran. Penempatan Ayat 100 ini di tengah-tengah surah yang penuh dengan kecaman terhadap kemunafikan memberikan kontras yang sangat tajam.
Ayat 100 menunjukkan puncak keikhlasan (Sahabat), sementara ayat-ayat lain dalam surah yang sama menunjukkan puncak kemunafikan. Perbandingan ini mengajarkan umat bahwa ada dua jalan yang jelas: jalan yang membawa kepada keridaan Allah (melalui pengorbanan dan ihsan ala Sahabat) dan jalan yang membawa kepada murka Allah (melalui keraguan dan keengganan berkorban ala munafik). Keridaan yang dijanjikan dalam Ayat 100 adalah hadiah atas totalitas komitmen, yang sangat berbeda dari sikap setengah hati yang dicirikan oleh orang-orang munafik.
Ayat 100 menutup dengan janji yang luar biasa, janji yang merangkum segala cita-cita seorang mukmin: "Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung."
Penekanan pada kata "khalidina fiha abada" (mereka kekal di dalamnya selama-lamanya) menegaskan bahwa ganjaran ini tidak bersifat sementara. Ini adalah kenikmatan yang tidak akan terputus atau berkurang, sebuah balasan yang sesuai dengan pengorbanan mereka yang bersifat total. Janji keabadian ini adalah pembeda utama antara kenikmatan dunia dan akhirat.
Ayat ini menyimpulkan dengan pernyataan, "Itulah kemenangan yang agung." Dalam Al-Qur'an, istilah Al-Fawz Al-Azhim hanya digunakan untuk merujuk pada keselamatan dari Neraka dan masuk ke dalam Surga, setelah melewati ujian dunia. Kemenangan ini adalah realisasi sempurna dari tujuan penciptaan manusia: meraih keridaan Allah. Ini bukan sekadar kemenangan militer atau politik, melainkan kemenangan spiritual dan abadi.
Penyebutan surga yang mengalir sungai-sungai adalah deskripsi klasik dalam Al-Qur'an tentang kenikmatan materiil yang sempurna, yang kontras dengan kefakiran dan kesulitan yang sering mereka alami di awal Islam. Mereka rela meninggalkan sungai-sungai dan kebun-kebun dunia demi sungai-sungai dan kebun-kebun akhirat, dan Allah membalasnya dengan kenikmatan yang jauh lebih baik dan abadi.
Meskipun ayat ini ditujukan kepada generasi yang hidup 14 abad lalu, maknanya tetap hidup dan relevan bagi setiap Muslim modern yang mencari jalan keselamatan. Relevansi utamanya terletak pada penentuan prioritas dan metodologi dalam beragama.
Di era ketika informasi berlimpah dan interpretasi agama menjadi sangat beragam, ayat ini menunjuk kepada satu sumber otoritas yang tidak bisa diragukan: generasi pelopor. Kita diwajibkan untuk meninjau kembali bagaimana Sahabat memahami dan menerapkan isu-isu kontemporer dalam kerangka prinsip yang telah mereka wariskan. Hal ini memberikan stabilitas terhadap gejolak pemikiran dan memastikan bahwa praktik keagamaan kita tidak menyimpang dari ajaran murni.
Kisah Muhajirin dan Ansar mengajarkan pelajaran abadi tentang solidaritas sosial, persaudaraan, dan pengorbanan. Di tengah individualisme modern, teladan Ansar dalam ithar (mengutamakan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan sendiri) adalah nilai yang harus dihidupkan kembali. Komunitas Muslim modern diwajibkan untuk menciptakan kembali semangat persaudaraan yang melampaui batas-batas ras, bangsa, atau kekayaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Muhajirin dan Ansar.
Pengorbanan Muhajirin mengingatkan kita bahwa mempertahankan akidah mungkin memerlukan pengorbanan materiil atau karir. Kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam akumulasi duniawi, tetapi dalam kerelaan melepaskannya demi mendapatkan keridaan Allah.
Syarat Bi-Ihsan tidak terbatas pada urusan ibadah ritual. Ia harus meresap ke dalam etos kerja, pendidikan, dan interaksi sosial. Seorang Muslim yang mengikuti Sahabat dengan ihsan adalah seorang profesional yang jujur, seorang pelajar yang tekun, dan seorang warga negara yang bertanggung jawab. Ia melakukan segala sesuatu tidak hanya untuk mencapai standar minimum (Islam), tetapi untuk mencapai standar keunggulan (Ihsan), karena ia tahu Allah sedang mengawasi.
Ihsan adalah lawan dari kemunafikan. Munafik melakukan amal untuk dilihat manusia, sedangkan orang yang ber-ihsan melakukan amal karena kesadaran bahwa Allah melihatnya. Dalam dunia modern yang serba transparan namun juga penuh kepura-puraan, kebutuhan akan keikhlasan (ihsan) dalam setiap aspek kehidupan menjadi semakin mendesak.
Jika generasi pertama telah dijamin keridaannya melalui pengorbanan dan kesungguhan mereka, maka generasi kita, meskipun terpisah oleh zaman, dapat meraih janji yang sama jika kita meniru kualitas iman, akhlak, dan metodologi mereka. Jalan menuju Surga melalui Al-Fawz Al-Azhim tetap terbuka, namun pintunya hanya bisa dimasuki oleh mereka yang mengikuti jejak para pelopor dengan kesempurnaan (ihsan).
Setiap Muslim harus secara kritis memeriksa apakah jalan yang mereka tempuh benar-benar merupakan kelanjutan dari manhaj As-Sabiqunal Awwalun. Ini membutuhkan studi mendalam tentang sejarah dan sunnah, serta menjauhi segala bentuk pemikiran atau praktik yang bertentangan dengan kejelasan dan kemurnian yang dibawa oleh Sahabat. Keselamatan ada pada konsistensi mengikuti kebenaran yang pertama kali dipancarkan dari Madinah.
Surah At-Taubah ayat 100 adalah deklarasi ilahi yang abadi mengenai keutamaan As-Sabiqunal Awwalun, Muhajirin dan Ansar. Ia mengukuhkan status mereka sebagai generasi teladan dan memastikan keridaan Allah telah terpatri atas mereka. Ayat ini bukan sekadar penghormatan, melainkan peta jalan yang jelas bagi seluruh umat Islam hingga Hari Kiamat.
Inti dari ayat ini adalah bahwa kesuksesan abadi, Al-Fawz Al-Azhim, hanya dapat diraih melalui dua komponen yang saling terkait: pengorbanan yang dilakukan oleh para pelopor, dan keikhlasan serta kesempurnaan (ihsan) dalam mencontoh mereka. Tanpa ihsan dalam meneladani akidah, ibadah, dan muamalah mereka, klaim cinta kepada Nabi Muhammad SAW dan Sahabat hanyalah klaim kosong.
Pelajaran yang paling mendalam dari ayat ini adalah bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi konsistensi dan integritas metodologi. Allah SWT telah menetapkan sebuah standar emas—standar para Sahabat. Barang siapa yang mengikuti standar ini dengan kesungguhan hati, ia akan menjadi bagian dari mereka yang Allah rida’i, dan keridaan itu adalah kunci menuju kebun-kebun keabadian. Semoga kita semua termasuk golongan orang-orang yang mengikuti mereka bi-ihsan.
Untuk mencapai tingkat ihsan yang dituntut oleh ayat ini, kita harus melampaui definisi teoretis dan melihat bagaimana generasi awal menerapkannya dalam detail kehidupan. Ihsan adalah penggabungan antara ilmu yang benar dan amal yang tulus.
Dalam konteks Madinah, ihsan Muhajirin dan Ansar terlihat dari bagaimana mereka membangun sebuah negara dari nol. Itu bukan hanya soal berbagi harta, tetapi juga berbagi kekuasaan dan tanggung jawab tanpa iri hati. Ansar, meskipun merupakan tuan rumah, memberikan kepemimpinan politik kepada Muhajirin (seperti dalam kasus kekhalifahan Abu Bakar) karena mereka memahami prioritas keilmuan dan pengorbanan para pemimpin Mekah. Ini adalah contoh tertinggi dari ihsan politik: mendahulukan kemaslahatan umat di atas ambisi pribadi atau kesukuan. Mengikuti mereka dengan ihsan hari ini berarti menjunjung tinggi keadilan, menolak nepotisme, dan memastikan bahwa kepemimpinan diberikan kepada yang paling mampu dan bertakwa, tanpa memandang latar belakang.
Selain itu, ihsan terlihat dalam cara Sahabat berinteraksi dengan non-Muslim di bawah naungan Daulah Islamiyah. Meskipun Surah At-Taubah berisi perintah keras terhadap musuh yang melanggar perjanjian, Sahabat juga menerapkan prinsip keadilan dan perlindungan terhadap kaum minoritas (Ahlul Dzimmah) sesuai ajaran Nabi. Meniru ihsan mereka berarti menjunjung tinggi etika dan perjanjian, bahkan dalam situasi yang sulit, menjauhkan diri dari pengkhianatan atau ketidakjujuran.
Para Sahabat menerapkan ihsan dalam cara mereka menerima dan menyampaikan ilmu. Mereka belajar langsung dari Rasulullah SAW, memastikan keakuratan, dan menyampaikannya kepada Tabi'in dengan kejujuran akademis yang luar biasa. Metode mereka dalam menjaga Sunnah—verifikasi, penghafalan, dan pengamalan segera—adalah puncak dari ihsan keilmuan. Bagi kita, meneladani ihsan ini berarti menjauhi klaim ilmu tanpa bukti (sanad), menghormati ulama yang kredibel, dan menjauhkan diri dari pemahaman yang dangkal terhadap agama, memastikan bahwa setiap keyakinan kita didasarkan pada sumber yang sahih dan pemahaman yang benar, sebagaimana yang dipraktekkan oleh As-Sabiqun.
Pengorbanan mereka dalam menuntut ilmu juga luar biasa. Beberapa Sahabat melakukan perjalanan jauh, bahkan kembali dari medan perang, hanya untuk memverifikasi satu hadis. Dedikasi ini menunjukkan bahwa mereka menganggap ilmu agama sebagai harta yang paling berharga, yang harus dikejar dengan kesungguhan total. Generasi selanjutnya harus meneladani ketekunan ini; tidak ada jalan pintas menuju pemahaman agama yang benar. Itu membutuhkan pengorbanan waktu, pikiran, dan tenaga, sebuah manifestasi nyata dari ihsan.
Ayat ini secara tidak langsung membahas ekonomi melalui Muhajirin (yang kehilangan kekayaan) dan Ansar (yang membagi kekayaan). Ihsan ekonomi berarti menggunakan harta sesuai keridaan Allah. Ansar menerapkan ihsan ketika mereka berbagi dan ketika mereka menolak riba dan praktik ekonomi zalim yang umum di masa Jahiliyah. Mengikuti mereka dengan ihsan menuntut agar umat Islam hari ini menjaga transaksi finansial mereka dari unsur riba, spekulasi yang merusak, dan penipuan. Kualitas transaksi yang bersih, jujur, dan adil adalah cerminan dari ihsan yang mereka wariskan.
Mereka menggunakan kekayaan mereka untuk mendukung jihad dan kaum fakir miskin tanpa mencari pujian. Keikhlasan ini adalah inti dari ihsan. Kita melihat contoh ini dalam harta yang diinfakkan oleh Utsman bin Affan saat Perang Tabuk (perang yang terjadi sebelum At-Taubah diturunkan secara lengkap), sebuah pengorbanan yang menunjukkan bahwa bagi para Sahabat, harta adalah alat untuk meraih keridaan Allah, bukan tujuan akhir.
Status keridaan Allah yang diberikan kepada As-Sabiqun adalah bukti bahwa mereka telah mencapai tingkat iman yang sempurna. Tingkat ini dicirikan oleh:
Kualitas iman inilah yang harus ditiru dengan ihsan. Ini menuntut kita untuk memiliki respons yang sama cepatnya dan kesetiaan yang sama totalnya terhadap hukum-hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Mencapai Al-Fawz Al-Azhim adalah untuk meniru integritas dan totalitas pengorbanan yang mereka tunjukkan.
Bagi generasi yang jauh dari masa kenabian, ayat ini berfungsi sebagai alat ukur. Setiap tindakan, setiap keyakinan, dan setiap interpretasi baru harus diuji: apakah ini sesuai dengan jalan yang telah dijamin keridaannya? Jika tidak, maka itu berisiko mengarahkan kita jauh dari kemenangan yang agung yang dijanjikan dalam ayat ini. Konsistensi dalam memegang teguh warisan As-Sabiqunal Awwalun adalah satu-satunya jaminan keselamatan bagi umat ini.
Dengan mendalami konteks, linguistik, dan implikasi teologis dari Surah At-Taubah ayat 100, kita tidak hanya menghormati sejarah, tetapi juga memperbarui ikrar kita untuk mengikuti jalan yang paling lurus dan paling suci, yaitu jalan yang dirida'i oleh Allah SWT.
Tidak mungkin membicarakan ihsan tanpa menekankan fondasi akidah. Para Sahabat adalah Ahlu Sunnah yang pertama; mereka adalah generasi yang akidahnya paling jauh dari kekaburan. Mereka berpegangan pada teks (Al-Qur'an dan Sunnah) tanpa menta’wil (menginterpretasi berlebihan) sifat-sifat Allah, tanpa memasukkan unsur-unsur filsafat asing, dan tanpa meragukan janji-janji Allah.
Ihsan dalam akidah berarti menjauhi ajaran-ajaran yang mulai muncul di generasi-generasi berikutnya, seperti Qadariyah (yang menolak takdir), Murji’ah (yang menunda amal dari iman), dan Khawarij (yang mengkafirkan kaum mukmin karena dosa besar). As-Sabiqunal Awwalun bersih dari bid’ah-bid’ah akidah ini. Oleh karena itu, mengikuti mereka bi-ihsan mengharuskan kita untuk mempertahankan kemurnian akidah tauhid, sebuah keharusan yang mutlak dan tidak bisa ditawar.
Jika kita meninjau seluruh kehidupan para Sahabat, dari Badr hingga Tabuk, dari hari-hari di Mekah yang sunyi hingga penaklukan yang gemilang, intinya adalah satu: keikhlasan yang murni. Keikhlasan ini lahir dari akidah yang kokoh. Ayat At-Taubah 100 menegaskan bahwa siapa pun yang mendambakan hasil yang sama (Surga dan keridaan), harus memiliki benih yang sama (akidah yang murni dan amal yang dilakukan dengan ihsan).
Ayat ini adalah mercusuar. Ketika zaman menjadi gelap oleh perselisihan, kita diarahkan kembali ke sumber cahaya, yaitu amal dan pemahaman generasi yang telah disucikan dan dijamin oleh Wahyu Ilahi. Kemenangan agung menanti mereka yang berani menempuh jalan yang sama, dengan semangat pengorbanan yang sama, dan dengan kualitas kesempurnaan yang sama.