Alt Text: Ilustrasi sebuah pena yang sedang menulis di atas gulungan, melambangkan pencatatan amal perbuatan.
Surah At-Taubah adalah satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang tidak diawali dengan bacaan Basmalah. Hal ini disebabkan surah ini membawa pesan yang sangat tegas, berupa pernyataan perang terhadap kaum musyrikin yang melanggar perjanjian, serta pengungkapan secara detail mengenai perilaku kaum munafikin. Surah ini diturunkan setelah Perang Tabuk, masa di mana garis pemisah antara orang beriman yang sejati dan mereka yang hanya mengaku beriman menjadi semakin jelas.
Ayat 105 dari Surah At-Taubah merupakan puncak dari diskusi mengenai tobat (yang dibahas pada ayat-ayat sebelumnya, 102-104) dan menjadi pilar penting dalam memahami etika kerja (amal) dalam Islam. Ayat ini tidak hanya berfungsi sebagai perintah, melainkan juga sebagai penetapan prinsip akuntabilitas ilahi yang berlapis. Sementara ayat-ayat terdahulu sering menekankan tobat bagi mereka yang lalai, Ayat 105 mengalihkan fokus dari penyesalan masa lalu menuju aksi yang proaktif dan berkualitas di masa kini dan masa depan.
Pesan utama ayat ini adalah universal: setiap individu diperintahkan untuk berbuat, dan perbuatan tersebut tidak akan tersembunyi. Hal ini merupakan respons langsung terhadap mentalitas kaum munafikin yang berusaha menyembunyikan keburukan mereka dari pandangan Nabi Muhammad ﷺ dan umat Muslim. Allah SWT menegaskan bahwa meskipun manusia bisa bersembunyi dari sesama, ia tidak akan bisa bersembunyi dari pengawasan Sang Pencipta, dan bahkan Rasul serta orang-orang beriman akan menjadi saksi atas tindakannya.
Wa qul-i'malū fa sayarallāhu 'amalakum wa rasūluhū wal mu'minūn, wa saturaddūna ilā 'ālimil-gaibi wasy-syahādati fa yunabbi'ukum bimā kuntum ta'malūn.
Ayat ini sarat dengan perintah dan penegasan yang kuat. Analisis mendalam terhadap struktur linguistiknya membantu mengungkap lapisan makna yang dimaksudkan oleh Allah SWT.
Kata ٱعْمَلُوا۟ (I’malū) adalah bentuk perintah jamak dari kata kerja ‘Amila, yang berarti melakukan, mengerjakan, atau berbuat. Ini adalah perintah yang tegas dan universal, menolak sikap pasif atau fatalistik. Ia menekankan bahwa iman harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Perintah ini mencakup spektrum luas amal, mulai dari ibadah ritual (shalat, puasa) hingga amal muamalah (interaksi sosial, pekerjaan, kontribusi ekonomi).
Inti dari ayat ini terletak pada penegasan sistem pengawasan yang berlapis terhadap setiap amal yang dilakukan. Frasa فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ (Maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin) menetapkan tiga tingkatan saksi:
Pengawasan Allah (فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ) bersifat menyeluruh dan abadi. Allah melihat amal secara lahiriah (bentuk dan kualitas) dan secara batiniah (niat, keikhlasan). Pengawasan ini tidak terbatas oleh waktu dan tempat. Hal ini menegaskan konsep Murāqabah (merasa selalu diawasi oleh Allah), yang merupakan tingkat kesempurnaan iman yang dikenal sebagai Ihsan.
Kehadiran kata kerja ‘melihat’ di sini membawa makna yang lebih dalam dari sekadar mengetahui. Ia berarti menyaksikan dan menilai, menjamin bahwa tidak ada kebaikan sekecil apapun yang luput dari perhitungan-Nya, dan tidak ada kemunafikan yang dapat disembunyikan dari-Nya.
Rasulullah ﷺ akan menyaksikan amal umatnya. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa penglihatan Rasulullah ﷺ mencakup dua aspek:
Pengawasan Rasul ini berfungsi sebagai standar syariat. Amalan yang dilakukan harus sesuai dengan sunnah, karena Rasulullah adalah teladan dan penafsir otoritatif dari wahyu.
Orang-orang mukmin (وَٱلْمُؤْمِنُونَ) juga akan menjadi saksi. Ini adalah dimensi sosiologis dari akuntabilitas. Orang-orang yang beriman akan menilai amal sesama mereka—bukan untuk menghakimi urusan hati—melainkan untuk menegakkan keadilan, memberi dorongan, dan melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Aspek ini penting karena membedakan Islam dari spiritualitas individualistik. Amal saleh tidak hanya urusan pribadi, melainkan juga memiliki dampak komunal dan harus transparan bagi komunitas yang saleh, khususnya dalam hal amanah, kejujuran, dan kepemimpinan. Ketika amal seseorang baik, ia akan mendapatkan pujian yang tulus dari komunitas, yang dalam sebuah hadits disebut sebagai ‘kabar gembira yang disegerakan bagi mukmin’.
Ayat ini ditutup dengan penegasan nasib akhir setiap individu: وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ (Dan kamu akan dikembalikan kepada Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan).
Penyebutan kedua sifat Allah ini berfungsi sebagai puncak ancaman dan janji. Manusia akan diadili tidak hanya berdasarkan apa yang terlihat oleh Rasul dan Mukminin, tetapi juga berdasarkan apa yang hanya diketahui oleh Allah (niat di balik amal). Pada akhirnya, Allah akan memberitakan (Yunabbi’ukum) semua yang telah mereka kerjakan, yang berarti pengungkapan detail, tanpa sedikitpun yang terlewat, pada Hari Perhitungan.
Tafsir klasik dan kontemporer menyoroti beberapa poin kunci dari Ayat 105, terutama dalam kaitannya dengan isu keikhlasan dan munafik yang menjadi tema sentral Surah At-Taubah.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini turun untuk menegaskan pemisahan antara orang-orang yang hanya meminta maaf (munafik) dan orang-orang yang benar-benar bertobat dan beramal (mukmin sejati). Kaum munafikin sering berusaha memamerkan ketaatan palsu, tetapi Allah memerintahkan umat Muslim untuk fokus pada tindakan yang jujur dan tulus. Perintah “Bekerjalah” adalah penangkal terhadap sikap malas, menunda-nunda (taswif), dan berpura-pura baik.
Tindakan yang dimaksud dalam ayat ini harus bersifat berkelanjutan. Ini bukan hanya dorongan untuk berbuat baik sesekali, tetapi membangun budaya kerja dan ibadah yang konsisten, karena sistem pengawasan (Allah, Rasul, Mukminin) juga bersifat terus-menerus.
Jika Allah, Rasul, dan Mukminin melihat amal kita, maka motivasi untuk berbuat baik tidak boleh didasarkan pada pujian manusia. Ayat ini adalah seruan mendasar menuju Ikhlas, yaitu memurnikan niat semata-mata karena Allah. Meskipun amal kita akan disaksikan oleh manusia, tujuan utama amal adalah pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Jika seseorang beramal karena ingin dilihat (Riya’), maka tujuan pengawasan Mukminin yang baik akan menjadi bumerang. Ulama menekankan bahwa tujuan amal adalah ‘peningkatan diri’ (Tazkiyatun Nafs) dan ‘penghambaan’ (Ubudiyah), bukan ‘pencarian popularitas’.
Fakta bahwa ‘orang-orang mukmin’ akan melihat amal kita memberi dimensi jangka panjang. Amal kebaikan yang kita lakukan akan menjadi teladan (sunnah hasanah) bagi generasi berikutnya. Ketika seorang mukmin bekerja keras dan jujur dalam profesinya, atau tulus dalam ibadahnya, komunitas akan mengakui dan terinspirasi. Ini adalah bentuk pengawasan positif yang mendorong keunggulan kolektif.
Sebaliknya, perbuatan buruk juga akan disaksikan dan meninggalkan warisan negatif. Oleh karena itu, Ayat 105 mengajarkan bahwa setiap tindakan adalah sebuah pesan dan warisan yang akan dinilai oleh sejarah dan komunitas beriman.
Ayat 105 adalah fondasi kuat bagi konsep Murāqabah. Kesadaran bahwa kita sedang diawasi oleh ‘rantai saksi’ membuat seorang mukmin lebih berhati-hati dalam setiap detik kehidupannya. Murāqabah menciptakan pengendalian diri yang kuat, jauh lebih efektif daripada pengawasan eksternal oleh hukum atau peraturan manusia.
Jika kita merasa bahwa Rasulullah ﷺ pun menyaksikan amal kita, kita akan berusaha meniru kesempurnaan amal beliau. Jika kita merasa komunitas beriman melihat kita, kita akan menghindari perbuatan yang merusak reputasi agama secara keseluruhan.
Kata ‘Amal dalam konteks ayat ini tidak terbatas pada shalat dan puasa. Ini merangkul seluruh aktivitas hidup. Bekerja mencari nafkah, mendidik anak, melayani masyarakat, bahkan tidur dengan niat yang benar, semuanya termasuk dalam ‘Amal’ yang akan disaksikan. Ayat ini menghilangkan dikotomi antara urusan duniawi dan ukhrawi. Semua aktivitas dapat menjadi ibadah asalkan dilakukan dengan niat yang ikhlas dan sesuai syariat.
Klimaks ayat ini, penegasan bahwa Allah mengetahui Al-Ghaib dan As-Syahadah, adalah pengingat bahwa penilaian akhir tidak didasarkan pada apa yang dilihat oleh manusia, melainkan pada kebenaran hakiki. Manusia mungkin salah dalam menilai niat (ghaib), tetapi Allah tidak. Hal ini memberikan ketenangan bagi orang yang beramal tulus namun dicela, dan sekaligus ancaman bagi munafik yang mahir dalam kepura-puraan (syahadah palsu).
Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun pengawasan manusia penting untuk mendorong akuntabilitas sosial, pada akhirnya, hanya penilaian Allah yang bersifat final, komprehensif, dan sempurna. Pengetahuan Allah mencakup seluruh dimensi eksistensi, baik yang tampak maupun yang tersembunyi di lubuk hati yang paling dalam.
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Surah At-Taubah 105 memiliki relevansi yang tak lekang oleh waktu, memberikan landasan etika dan profesionalisme dalam berbagai aspek kehidupan modern.
Dalam dunia kerja, ayat ini menanamkan etos kerja yang unggul (Itqan). Karena amal kita disaksikan oleh Allah, Rasul, dan mukminin, seorang Muslim harus selalu memberikan kualitas terbaik dalam pekerjaannya. Ini mencakup:
Konsep pengawasan oleh ‘orang-orang mukmin’ juga relevan dalam konteks audit internal dan eksternal. Perusahaan yang dijalankan oleh mukmin harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, karena mereka menyadari bahwa komunitas beriman (stakeholder, masyarakat, regulator) berhak dan harus menyaksikan kualitas pekerjaan mereka.
Dalam ibadah, Ayat 105 memerangi penyakit hati yang paling berbahaya, yaitu Riya’ (pamer). Jika seseorang beribadah hanya agar dilihat orang (syahadah), maka amalnya tidak akan diterima oleh Allah (ghaib/niat).
Ayat 105 harus ditanamkan dalam pendidikan karakter anak. Anak perlu diajarkan bahwa mereka tidak hanya harus taat ketika guru atau orang tua melihat mereka, tetapi mereka harus selalu berbuat baik karena Allah selalu melihat mereka. Ini membentuk ‘super ego’ spiritual, di mana kontrol diri berasal dari kesadaran ilahi, bukan hanya ketakutan akan hukuman manusia.
Prinsip ini sangat penting dalam era digital di mana tindakan sering dilakukan tanpa saksi fisik, tetapi terekam secara digital. Seorang mukmin yang menerapkan Ayat 105 akan menjaga etika digitalnya sama ketatnya dengan etika di dunia nyata, karena ia yakin bahwa “Allah melihat amalmu”.
Pengawasan oleh orang-orang mukmin (wal mu’minūn) menekankan pentingnya peran pengawasan kolektif. Ini bukan berarti saling mengorek kesalahan, tetapi membangun sistem yang mendorong kebaikan:
Jika komunitas beriman berhenti saling mengawasi (dalam arti positif, yaitu saling mengingatkan), maka kemungkaran dapat menyebar tanpa teguran, dan makna sosial dari ayat ini akan hilang.
Ketika mukmin menghadapi kesulitan, kegagalan, atau fitnah, Ayat 105 menawarkan perlindungan spiritual. Ketika amal baik tidak dihargai oleh manusia atau ketika seseorang dituduh melakukan keburukan yang tidak ia lakukan, kesadaran bahwa "kamu akan dikembalikan kepada Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata" memberikan kekuatan. Ini adalah jaminan bahwa keadilan absolut akan ditegakkan pada Hari Kiamat, terlepas dari penilaian yang salah di dunia ini.
Ihsan, yang didefinisikan oleh Nabi Muhammad ﷺ sebagai "engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu," adalah inti operasional dari Ayat 105. Perintah beramal seakan-akan Allah sedang mengawasi (Fasayarallāhu ‘Amalakum) adalah definisi praktis dari Ihsan. Ihsan mendorong mukmin untuk mencapai level spiritual tertinggi, bukan karena takut hukuman semata, tetapi karena penghormatan dan kecintaan kepada Yang Maha Mengawasi.
Penerapan Ihsan yang terinspirasi dari ayat ini menciptakan budaya keunggulan (excellence) dalam segala hal. Dalam pembangunan, ia menghasilkan struktur yang kokoh; dalam pengobatan, ia menghasilkan diagnosa yang cermat; dalam ibadah, ia menghasilkan konsentrasi yang mendalam. Kualitas ini muncul karena pelakunya tidak hanya memenuhi standar hukum, tetapi memenuhi standar ilahi.
Taqwa berarti menjaga diri dari siksa Allah dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ayat 105 memperkuat Taqwa dengan memberikan alasan mengapa larangan harus dijauhi: karena semua tindakan, baik yang terbuka maupun tersembunyi, akan diungkapkan kembali (Yunabbi’ukum). Taqwa yang didasarkan pada ayat ini adalah taqwa yang proaktif, di mana mukmin tidak hanya menjauhi dosa tetapi secara aktif mencari dan melakukan amal saleh.
Hubungan antara Taqwa dan Amal sangat erat. Tanpa Taqwa, amal akan rentan terhadap Riya’. Tanpa amal, Taqwa hanyalah klaim kosong. Ayat 105 menyatukan keduanya, menuntut tindakan yang didorong oleh kesadaran ilahi.
Ayat 105 secara indah membagi pengawasan menjadi dua fase: duniawi (oleh Allah, Rasul, dan Mukminin) dan ukhrawi (kembalinya kepada Alimul Ghaibi wasy-Syahadah). Pengawasan duniawi berfungsi sebagai motivasi dan koreksi. Pengawasan ukhrawi berfungsi sebagai penentuan nasib dan pembalasan.
Sistem pengawasan ganda ini memastikan keadilan sempurna. Jika di dunia seseorang berhasil menyembunyikan kejahatannya dari pandangan manusia (syahādah), ia tetap tidak akan lolos dari catatan Allah (ghaib). Sebaliknya, jika di dunia amal baik seseorang tersembunyi, ia akan diumumkan secara terang-benderang di akhirat.
Konsep ‘syahādah’ di akhirat ini adalah kunci. Allah tidak hanya akan menghakimi, tetapi ‘memberitakan’ (Yunabbi’ukum) kepada mereka semua detail perbuatan mereka. Ini adalah momen pengungkapan menyeluruh, di mana semua rahasia dibongkar, dan tidak ada pembelaan yang dapat menutupi kenyataan amal yang telah dikerjakan.
Untuk benar-benar memahami perintah "I'malū" (Beramallah), kita harus melihat kedalaman filosofis amal dalam tradisi Islam. Amal (perbuatan) adalah jembatan antara keyakinan batin (iman) dan realitas eksternal (Islam/penyerahan diri).
Dalam teologi Islam, iman tidak hanya diucapkan di lidah atau diyakini dalam hati, melainkan harus dibuktikan dengan amal. Ayat 105 menegaskan bahwa amal adalah bukti visual dan fungsional dari keimanan. Jika seseorang mengklaim beriman tetapi hidup dalam kemalasan atau kemaksiatan, klaim imannya dipertanyakan, terutama di hadapan "orang-orang mukmin" yang menyaksikan amalnya.
Perintah beramal ini menjadi penangkal terhadap paham yang menganggap iman cukup hanya di hati tanpa perlu manifestasi nyata. Sebaliknya, Islam menuntut energi, aktivitas, dan produktivitas yang berorientasi pada kemaslahatan (kebaikan umum).
Banyak Muslim sering membatasi amal pada ibadah ritual. Namun, ‘amal’ yang diperintahkan dalam ayat 105 sangat luas:
Ayat ini secara eksplisit mencakup semua dimensi ini. Seorang mukmin yang menerapkan Ayat 105 akan menjaga niatnya sebersih mungkin, ucapannya seotentik mungkin, dan tindakannya seefisien mungkin.
Perintah "I'malū" adalah perintah mendesak untuk bertindak saat ini juga. Salah satu penyakit spiritual terbesar adalah taswif, yaitu kebiasaan menunda tobat atau amal saleh dengan harapan waktu luang di masa depan. Ayat 105 mengingatkan bahwa waktu untuk beramal adalah sekarang, karena kesempatan beramal adalah terbatas, sedangkan pencatatan dan pengawasan tidak pernah berhenti.
Setiap penundaan amal adalah pemborosan kesempatan di hadapan pengawasan Allah yang konstan. Mukmin sejati menyadari bahwa setiap detik yang berlalu adalah kesempatan untuk menambah catatan amalnya yang akan dihadapkan kembali kepadanya pada Hari Akhir.
Ketika Rasulullah ﷺ dan orang-orang mukmin menyaksikan amal kita, ini memberikan dimensi tanggung jawab sejarah. Kita tidak hidup dalam kevakuman. Kebaikan kita memperkuat agama, dan keburukan kita mencoreng citra agama.
Seorang mukmin yang menduduki jabatan publik atau memiliki pengaruh luas harus menyadari bahwa amalnya adalah representasi dari Islam itu sendiri. Kegagalan atau keberhasilannya akan disaksikan dan dinilai oleh orang-orang beriman (wal mu’minūn) di seluruh dunia, dan ini menuntut tingkat integritas yang jauh lebih tinggi daripada sekadar etika sekuler.
Ayat 105 secara langsung mempengaruhi pembentukan karakter (akhlak) seorang mukmin, mendorongnya melampaui etika yang didasarkan pada rasa takut atau hukum semata, menuju etika yang didasarkan pada kesadaran mendalam dan keimanan.
Amanah adalah kunci dari semua interaksi. Ayat ini memastikan bahwa bahkan ketika tidak ada manusia yang melihat (misalnya, di tengah malam atau di tempat tersembunyi), rasa amanah tetap utuh karena pengawasan ilahi. Misalnya, seseorang yang memegang kas perusahaan atau rahasia negara akan tetap menjaga amanah itu, bukan karena ancaman penjara, melainkan karena kesadaran bahwa "Allah melihat pekerjaanmu."
Inilah yang membedakan moralitas berdasarkan Ayat 105 dengan moralitas yang hanya berdasarkan hukum buatan manusia. Hukum manusia dapat diakali; pengawasan ilahi tidak.
Meskipun mukmin diperintahkan untuk beramal sebaik mungkin, kesadaran bahwa Allah, Rasul, dan Mukminin melihat amalnya harusnya menumbuhkan kerendahan hati. Seseorang harus menyadari bahwa amal yang baik hanya mungkin terjadi karena taufik (pertolongan) dari Allah.
Jika seseorang mulai merasa kagum pada amalnya sendiri (uzub), ia melanggar esensi dari ayat ini. Ayat ini memerintahkan kita untuk beramal, tetapi pengawasan itu harus mengarah pada pengakuan kerendahan diri, bahwa betapapun baiknya amal yang kita lakukan, kita masih harus menghadap Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, di mana amal kita mungkin jauh dari kesempurnaan yang dituntut.
Karena setiap waktu adalah kesempatan beramal yang direkam, Ayat 105 mengajarkan manajemen waktu yang islami. Waktu tidak boleh dihabiskan untuk hal-hal yang sia-sia (laghw), karena waktu tersebut dapat digunakan untuk amal yang akan disaksikan. Produktivitas seorang mukmin harus dimaksimalkan, tidak hanya untuk keuntungan duniawi, tetapi untuk mengisi catatan amal yang akan dibuka di hadapan Allah.
Pengaruh ini meluas ke dalam perencanaan hidup: mukmin yang memahami ayat ini akan merencanakan hidupnya secara strategis agar setiap fase kehidupannya (masa muda, dewasa, tua) diisi dengan amal yang berkualitas, yang siap disaksikan oleh rantai saksi suci tersebut.
Bagi mereka yang telah melakukan kesalahan di masa lalu (seperti konteks awal Surah At-Taubah yang membahas kaum yang bertobat), Ayat 105 menawarkan harapan besar. Ia bukan hanya ancaman, melainkan perintah untuk bergerak maju. Masa lalu telah berlalu, tetapi masa depan adalah kesempatan untuk mengisi catatan amal dengan kebaikan baru.
Selama nyawa masih dikandung badan, pintu amal terbuka lebar, dan setiap amal baru adalah kesempatan untuk memperbaiki hubungan dengan Allah SWT. Perintah "I'malū" adalah janji bahwa amal kita akan dilihat, dinilai, dan dihargai, asalkan dilakukan dengan ikhlas.
Ayat 105 mendorong praktik harian muhasabah atau introspeksi diri. Setiap malam, seorang mukmin harus bertanya: Apakah amal hari ini layak disaksikan oleh Allah, Rasul, dan Mukminin? Apakah ada niat tersembunyi yang merusak amal yang terlihat baik?
Muhasabah yang didasarkan pada ayat ini memastikan bahwa mukmin tidak hanya hidup reaktif, tetapi proaktif dalam menjaga kualitas spiritual dan etika tindakannya. Introspeksi ini mempersiapkan diri untuk pertanggungjawaban yang akan datang, yang puncaknya adalah dikembalikannya diri kepada Yang Maha Tahu akan Gaib dan Nyata.
Surah At-Taubah Ayat 105 adalah salah satu ayat terkuat dalam Al-Qur'an yang menjelaskan hubungan tak terpisahkan antara iman dan amal. Ayat ini memberikan perintah yang jelas, menetapkan sistem pengawasan yang sempurna, dan menjanjikan pertanggungjawaban yang absolut.
Inti dari ayat ini adalah bahwa hidup seorang mukmin adalah panggung amal yang disaksikan secara simultan oleh dimensi ketuhanan, kenabian, dan sosial. Tiga saksi yang hadir (Allah, Rasul, Mukminin) menuntut kualitas amal yang prima (Ihsan), keikhlasan niat, dan konsistensi perbuatan.
Ketika mukmin menyadari bahwa setiap desahan dan langkahnya, baik di tempat sunyi maupun di tengah keramaian, sedang direkam dan akan diumumkan, ia akan mencapai tingkat ketakwaan yang sejati. Ayat 105 menantang kita untuk bergerak dari sekadar keyakinan pasif menuju tindakan yang heroik dan jujur, karena pada akhirnya, kita akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui segalanya, dan Dia akan memberitakan kepada kita apa yang telah kita kerjakan, baik yang tersembunyi di balik niat (gaib) maupun yang tampak di dunia (syahādah).
Oleh karena itu, perintah "I'malū" bukan hanya dorongan untuk bekerja, melainkan cetak biru etika yang komprehensif untuk mencapai kesuksesan abadi.