Surah At-Taubah Ayat 108: Fondasi Ketulusan dalam Islam

Analisis Mendalam Mengenai Masjid Ad-Dirar dan Masjid At-Taqwa

I. Muqaddimah dan Teks Ayat

Surah At-Taubah (Pengampunan) adalah salah satu surah yang paling ketat dalam Al-Qur'an, yang banyak mengungkap hakikat para munafik (orang-orang munafik) di Madinah. Di tengah serangkaian ayat yang membahas tentang jihad, taubat, dan kewajiban berinfaq, muncullah Ayat 108, sebuah teguran ilahi yang tajam mengenai pentingnya niat suci dalam pendirian sebuah institusi keagamaan.

لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ

Artinya: "Janganlah engkau melaksanakan salat dalam masjid itu selama-lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa (ketulusan) sejak hari pertama adalah lebih patut engkau melaksanakan salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri." (QS. At-Taubah: 108)

Ayat ini bukan sekadar larangan; ia adalah sebuah deklarasi fundamental mengenai kriteria spiritual dan moral yang harus dipenuhi oleh setiap tempat ibadah dalam Islam. Perintah untuk "Janganlah engkau melaksanakan salat dalam masjid itu selama-lamanya" (لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا) adalah salah satu bentuk penolakan ilahi paling mutlak yang ditemukan dalam Al-Qur'an, yang menunjukkan betapa seriusnya dosa yang terselubung di balik niat pendirian masjid yang dimaksud.

Intisari Pesan Ayat

Pesan utama Ayat 108 terbagi menjadi tiga komponen krusial:

  1. Larangan Mutlak: Penolakan total terhadap Masjid Ad-Dirar.
  2. Afirmasi Spiritual: Pengakuan terhadap Masjid At-Taqwa (Masjid Quba atau Masjid Nabawi) sebagai tempat yang layak.
  3. Kriteria Jamaah: Pujian terhadap jamaah yang memiliki hasrat kuat untuk membersihkan diri (spiritual dan fisik).
Niat, dalam konteks ini, menjadi penentu utama antara keberkahan dan kehancuran, antara ibadah yang diterima dan institusi yang ditolak oleh Tuhan.

II. Konteks Historis dan Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)

Untuk memahami kedalaman Ayat 108, kita harus kembali ke Madinah pasca-Perang Tabuk, sebuah periode di mana garis pemisah antara Muslim sejati dan munafik menjadi sangat jelas. Ayat ini turun secara spesifik untuk kasus Masjid Ad-Dirar (Masjid yang Menciptakan Bahaya atau Kerugian).

Kisah Pembangunan Masjid Ad-Dirar

Para mufasir sepakat bahwa Masjid Ad-Dirar dibangun oleh sekelompok munafik, berjumlah sekitar dua belas orang, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh yang pura-pura memeluk Islam namun hati mereka dipenuhi kebencian dan rencana jahat. Tujuannya bukanlah untuk ibadah, melainkan untuk kepentingan tersembunyi. Mereka mendekati Nabi Muhammad ﷺ, meminta izin untuk mendirikan masjid dengan alasan palsu: memudahkan orang-orang yang sakit, lemah, atau sedang hujan untuk salat, karena jarak mereka dari Masjid Quba cukup jauh.

Nabi ﷺ pada saat itu sedang bersiap untuk ekspedisi ke Tabuk (atau baru kembali, menurut riwayat lain). Beliau menunda memberikan keputusan hingga kepulangannya. Segera setelah kembali dari Tabuk, sebelum Beliau sempat mengunjungi masjid baru itu, wahyu dari Allah ﷻ turun, mengungkap niat busuk di baliknya.

Niat Jahat di Balik Batu Bata

Al-Qur'an sendiri dalam ayat sebelumnya (At-Taubah 107) merangkum tujuan utama pendirian masjid tersebut:

Pihak yang menjadi motor utama dari rencana ini adalah Abu Amir Ar-Rahib (Abu Amir Sang Rahib/Biarawan). Ia adalah seorang tokoh terkemuka di Madinah, yang menolak keras kedatangan Islam dan hijrah ke Mekah, lalu ke Syam (Bizantium), di mana ia menjadi Kristen. Ia berjanji kepada kaum munafik di Madinah bahwa ia akan kembali dengan bantuan tentara Bizantium untuk menghancurkan Islam. Masjid Ad-Dirar adalah pangkalan yang disiapkan untuk kedatangannya dan tempat untuk merencanakan makar melawan pemerintahan Rasulullah ﷺ.

Kontras Masjid Ad-Dirar dan Masjid At-Taqwa Masjid Ad-Dirar (Niat Busuk) Kontras Masjid At-Taqwa (Niat Murni)

Perbedaan Niat: Inti Konflik Spiritual

Eksekusi Perintah Ilahi

Begitu wahyu turun, Nabi Muhammad ﷺ tidak berdiam diri. Beliau segera memerintahkan sekelompok sahabat, termasuk Malik bin Ad-Dukhsyum dan Ma'an bin Adi, untuk pergi ke masjid tersebut dan membakarnya serta menghancurkannya. Perintah ini adalah penegasan bahwa ibadah tidak dapat dipisahkan dari niat yang benar. Tempat yang didirikan untuk makar harus dihilangkan total dari komunitas, menandakan bahwa Islam tidak memberi ruang sedikit pun bagi institusi yang menggunakan kedok agama untuk tujuan subversif.

Pelajaran sejarah ini mengajarkan kita bahwa institusi, seberapapun indahnya bangunannya atau seberapapun menariknya retorika pendirinya, akan dinilai oleh Allah ﷻ berdasarkan niat terdalam (niyyah) yang melatarbelakanginya. Jika niatnya adalah memecah belah atau menipu, maka institusi tersebut adalah 'Dirar', dan tempatnya adalah kehancuran.

III. Analisis Linguistik dan Tafsir Mendalam

Ayat 108 mengandung beberapa kata kunci yang memiliki beban makna teologis yang sangat besar. Analisis mendalam terhadap struktur bahasa Arabnya membantu kita memahami mengapa Allah ﷻ menempatkan kontras yang begitu tajam antara dua jenis masjid.

1. Lā Taqūm Fīhi Abadan (لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا)

Frasa ini berarti "Janganlah engkau melaksanakan salat di dalamnya selama-lamanya." Kata kerja *taqūm* (berdiri/melaksanakan salat) adalah perintah larangan yang tegas. Penambahan kata *Abadan* (selama-lamanya/selamanya) memberikan ketetapan hukum yang tidak bisa dicabut. Ini menunjukkan bahwa kerusakan yang disebabkan oleh Masjid Ad-Dirar bersifat fundamental, bukan sekadar kesalahan operasional yang bisa diperbaiki.

2. Masjidun Uddisa ‘Ala At-Taqwa (مَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ)

Ini adalah inti dari kriteria penerimaan. Masjid yang diterima adalah yang didirikan "atas dasar takwa."

3. Min Awwali Yaumin (مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ)

"Sejak hari pertama." Frasa ini sangat penting karena menekankan konsistensi niat. Fondasi takwa harus ada sejak saat pertama perencanaan dan pelaksanaan, bukan sebagai pemikiran tambahan atau pembenaran setelahnya. Ini membedakan Masjid At-Taqwa dari Ad-Dirar yang niatnya memang busuk sejak hari pertama pendiriannya.

Siapa yang dimaksud dengan "Masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama"? Terdapat dua pandangan utama di kalangan mufasir:

  1. Masjid Quba: Ini adalah pandangan mayoritas. Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun dalam sejarah Islam setelah hijrah Nabi ﷺ. Ia didirikan oleh orang-orang Ansar yang tulus. Ini sesuai dengan konteks geografis karena Masjid Ad-Dirar dibangun di sekitar Quba, dan penghancurannya secara langsung menegaskan superioritas Quba.
  2. Masjid Nabawi (di Madinah): Sebagian mufasir, seperti Ibnu Abbas dan Said bin Musayyib, berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Masjid Nabi di Madinah, karena ia adalah inti dari komunitas Muslim.
Para ulama sering menggabungkan kedua pandangan ini, menyatakan bahwa prinsipnya berlaku untuk kedua masjid tersebut dan setiap masjid yang dibangun dengan ketulusan yang sama, sementara Masjid Quba adalah contoh historis yang paling dekat dengan lokasi konflik Ad-Dirar.

4. Rijalun Yuhibbuna An Yatatahharu (رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا)

"Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri." Ini adalah pujian ilahi yang luar biasa bagi jamaah Masjid At-Taqwa. Kata *yatatahharu* (membersihkan diri) mencakup dua dimensi:

Ayat ini menutup dengan janji: "Dan Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri (Al-Muttahhirin)." Ini menegaskan bahwa hasrat untuk membersihkan diri, baik secara lahir maupun batin, adalah sifat yang sangat dicintai oleh Allah ﷻ.

IV. Kontras Teologis: Niat vs. Bangunan

Surah At-Taubah 108 memberikan sebuah model kontras teologis yang abadi, membedakan antara ritual kosong dan ibadah yang bermakna. Perbedaan antara Masjid Ad-Dirar dan Masjid At-Taqwa bukan terletak pada bahan bangunan atau arsitektur, melainkan pada DNA spiritualnya.

1. Kontras Intensional (Niat)

Masjid Ad-Dirar dibangun dengan niat Dharar (kerugian) dan Tafriq (perpecahan). Niat ini adalah racun yang menyebar dari fondasi hingga ke atap. Masjid ini bertujuan menciptakan keraguan, memecah belah umat, dan menjadi sarana bagi musuh-musuh Islam.

Sebaliknya, Masjid At-Taqwa (Quba) dibangun dengan niat Taqwa (ketulusan) dan Ikhlas (kemurnian). Tujuannya adalah menyatukan hati, memfasilitasi ibadah yang tulus, dan menjadi pusat komunitas yang berorientasi pada Allah. Niat ini adalah cahaya yang memancarkan keberkahan dan kedamaian.

2. Kontras Fungsional

Secara lahiriah, kedua bangunan mungkin terlihat sama—tempat untuk sujud. Namun, fungsi yang dijalankan sangat berbeda. Masjid Ad-Dirar berfungsi sebagai markas kontra-intelejen dan pusat konspirasi politik. Shalat yang dilakukan di sana hanyalah kedok, sebuah formalitas ritualistik untuk menutupi rencana jahat mereka.

Masjid At-Taqwa berfungsi sebagai pusat spiritualitas dan pendidikan. Fungsi utamanya adalah mendekatkan hamba kepada Tuhannya, mengajarkan ilmu, dan memupuk solidaritas sosial. Fungsionalitasnya murni mencerminkan niat pendirinya.

3. Kontras Hasil Akhir (Konsekuensi)

Hasil akhir dari Masjid Ad-Dirar adalah penghancuran total, perintah ilahi untuk meninggalkannya selamanya. Ini adalah peringatan keras bahwa Allah ﷻ tidak akan memberkahi upaya yang didasarkan pada kebohongan, bahkan jika upaya itu disamarkan sebagai amal saleh.

Hasil akhir Masjid At-Taqwa adalah pengakuan abadi dalam Al-Qur'an, menjadi simbol kebenaran dan ketulusan. Ini menunjukkan bahwa ibadah yang tulus memiliki nilai yang melampaui waktu dan tempat, diabadikan dalam firman Tuhan.

Pelajaran yang terkandung adalah bahwa Allah ﷻ menilai institusi, amal, dan ibadah bukan dari kuantitas atau kemegahannya, tetapi dari kualitas niat yang tertanam dalam fondasinya. Sebuah masjid gubuk yang dibangun dengan ikhlas lebih mulia daripada katedral megah yang didirikan untuk tujuan politik atau riya'.

V. Implikasi Fikih dan Prinsip Kelembagaan

Ayat 108 Surah At-Taubah memiliki implikasi hukum dan prinsip manajemen kelembagaan yang sangat luas, melampaui konteks sejarah dua masjid tersebut. Ulama fikih dan ushul fiqh (prinsip jurisprudensi) telah menggunakan ayat ini untuk menetapkan kaidah-kaidah penting.

1. Niat sebagai Syarat Sahnya Lembaga Keagamaan

Ayat ini menetapkan bahwa niat yang benar adalah prasyarat, bukan hanya untuk shalat individu, tetapi juga untuk pendirian fasilitas publik, terutama masjid. Jika sebuah lembaga didirikan dengan niat untuk menimbulkan *dharar* (bahaya), ia kehilangan legitimasi spiritualnya. Niat yang korup merusak seluruh bangunan amal.

Konsep ini meluas pada seluruh institusi Islam modern—sekolah, yayasan amal, media Islam, dan organisasi dakwah. Jika niat pendirinya adalah untuk mencari keuntungan duniawi semata, atau untuk menyebarkan ideologi yang memecah belah umat, maka institusi tersebut, secara spiritual, memiliki ciri-ciri Ad-Dirar, meskipun mungkin legal di mata hukum manusia.

2. Prinsip Sadd Adz-Dzari'ah (Menutup Jalan Menuju Kejahatan)

Perintah untuk menghancurkan Masjid Ad-Dirar adalah contoh utama dari prinsip *Sadd Adz-Dzari'ah*. Prinsip ini menyatakan bahwa jika suatu tindakan yang secara lahiriah mubah (diperbolehkan)—seperti membangun masjid—dapat digunakan sebagai sarana yang hampir pasti mengarah pada kejahatan, maka tindakan mubah tersebut harus dilarang, atau sarana tersebut harus dihilangkan.

Dalam kasus Ad-Dirar, membangun masjid adalah tindakan terpuji, tetapi karena sarana tersebut digunakan untuk makar dan memecah belah, Nabi ﷺ diperintahkan untuk memutus sarana tersebut sepenuhnya dengan penghancuran. Ini mengajarkan pentingnya mencegah kejahatan sebelum terjadi, bukan hanya menghukum pelakunya setelah makar berhasil.

3. Pembeda antara Fasilitas dan Jamaah

Ayat 108 juga membedakan antara bangunan fisik dan kualitas orang yang beribadah di dalamnya. Sementara Ad-Dirar ditolak, Masjid At-Taqwa dipuji karena jamaahnya (rijalun yuhibbuna an yatatahharu). Ini menunjukkan bahwa investasi terbesar umat Islam seharusnya bukan hanya pada arsitektur, tetapi pada pembinaan spiritual dan moral jamaahnya. Kualitas individu yang mencintai kesucian adalah bukti nyata bahwa fondasi masjid itu benar.

Seorang Muslim yang tulus harus selalu bertanya: Apakah institusi ini mendorong saya pada pembersihan diri dan persatuan (Taqwa), ataukah ia mendorong saya pada kebencian, perpecahan, dan kepentingan pribadi (Dirar)? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan afiliasi spiritual yang benar.

VI. Surah At-Taubah 108 dalam Lensa Modern

Meskipun kisah Masjid Ad-Dirar terjadi lebih dari empat belas abad yang lalu, relevansinya tetap tajam dalam dunia kontemporer. Ayat ini berfungsi sebagai barometer abadi untuk menilai keaslian institusi keagamaan di zaman modern, terutama ketika agama sering kali dicampuradukkan dengan politik, kekuasaan, dan keuntungan materi.

1. Ujian Ikhlas dalam Pembangunan Institusi

Di era di mana mega-masjid dan pusat-pusat Islam dibangun dengan dana miliaran, Ayat 108 mengingatkan bahwa kemegahan fisik tidak menjamin keberkahan. Kita sering melihat fenomena ‘Masjid Ad-Dirar Modern’: sebuah pusat Islam yang dibangun dengan mewah, tetapi didanai oleh sumber yang haram, digunakan sebagai alat untuk pencitraan politik (riya'), atau menjadi markas untuk menyebarkan fitnah dan ekstremisme yang memecah belah umat.

Kriteria "Min Awwali Yaumin" (sejak hari pertama) menuntut transparansi niat. Jika motivasi awal adalah untuk mendapatkan kedudukan sosial, menjatuhkan saingan, atau memuaskan ego, maka label spiritualitas apa pun yang melekat padanya akan sia-sia di mata Allah ﷻ.

2. Ancaman Pemecah Belah (Tafriq) dalam Ruang Digital

Konsep *Tafriqan Baynal Mu'minin* (memecah belah kaum Mukminin) tidak hanya berlaku untuk masjid fisik. Dalam konteks modern, ‘institusi’ bisa berupa platform media sosial, grup dakwah online, atau organisasi yang menggunakan retorika agama untuk membenarkan tindakan memfitnah, mengkafirkan, atau menuduh Muslim lain yang berbeda mazhab atau pandangan politik.

Setiap platform atau forum yang niatnya adalah menciptakan faksi, menimbulkan kebencian, dan merusak persatuan adalah manifestasi spiritual dari Ad-Dirar. Seorang Muslim harus berhati-hati untuk tidak ‘shalat’ (mendukung, berpartisipasi, atau memberikan legitimasi) di dalam platform-platform tersebut.

Kewajiban Muslim adalah mencari tempat yang didirikan di atas *Taqwa*—tempat yang mendorong ilmu, kasih sayang, dan pembersihan diri, bukan kebencian dan perpecahan. Ayat 108 adalah pedoman navigasi di tengah banyaknya narasi yang memecah belah, mengajarkan kita untuk memprioritaskan persatuan dan ketulusan di atas formalitas.

3. Kepemimpinan yang Berorientasi Taqwa

Masjid Ad-Dirar juga merupakan pelajaran bagi para pemimpin dan pengelola yayasan. Kepemimpinan yang dicari oleh Allah ﷻ adalah kepemimpinan yang tulus (seperti jamaah Masjid At-Taqwa) yang mencintai kesucian, baik dalam pengelolaan dana (integritas finansial) maupun dalam interaksi sosial (integritas moral). Pemimpin yang menggunakan kedudukan agama untuk kepentingan pribadi atau kelompok telah menodai fondasi takwa. Integritas spiritual seorang pemimpin adalah ekstensi dari niat pendirian institusinya.

Dalam hal ini, umat memiliki hak dan kewajiban untuk menuntut transparansi, bukan hanya dalam keuangan, tetapi juga dalam tujuan spiritual dan moral dari setiap organisasi yang mengatasnamakan Islam. Jika institusi tersebut secara konsisten menghasilkan perpecahan dan bukannya kedamaian, maka ia harus dipertanyakan di bawah lensa Ayat 108.

VII. Perluasan Konsep Takwa dan Pembersihan Diri (At-Tathahhur)

Pujian terhadap jamaah Masjid At-Taqwa, yang digambarkan sebagai mereka yang "ingin membersihkan diri," membuka jendela pemahaman tentang apa arti menjadi Mukmin yang sejati—seorang *Muttahhir*.

1. Pentingnya Kebersihan Batin (Tazkiyatun Nafs)

Meskipun kisah *Asbabun Nuzul* terkait dengan kebersihan fisik (mereka mencintai istinjak), para ulama sepakat bahwa maknanya jauh lebih dalam. *Tathahhur* yang dicintai Allah adalah pembersihan jiwa dari penyakit hati: *riya'* (pamer), *hasad* (kedengkian), *ghill* (kebencian tersembunyi), dan *ujub* (takjub pada diri sendiri).

Jika jamaah Masjid Ad-Dirar memendam kebencian dan niat jahat, jamaah Masjid At-Taqwa membersihkan hati mereka dari hal-hal tersebut. Pembersihan diri adalah proses berkelanjutan, sebuah perjuangan (jihad) batin yang memastikan bahwa tindakan eksternal kita (seperti shalat dan sedekah) berakar pada kejujuran spiritual.

Perjuangan untuk *At-Tathahhur* ini adalah hal yang membedakan ibadah yang diterima dari ritual yang ditolak. Ibadah yang tulus akan menghasilkan pribadi yang bersih, damai, dan menyatukan; sementara ritual yang didasari niat buruk akan menghasilkan pribadi yang kotor hati, provokatif, dan memecah belah.

2. Ketegasan dalam Memilih Lingkungan

Perintah "Janganlah engkau melaksanakan salat dalam masjid itu selama-lamanya" juga memberikan pelajaran penting tentang pemilihan lingkungan. Lingkungan ibadah, atau lingkungan sosial secara umum, memiliki pengaruh besar terhadap kondisi spiritual seseorang. Seseorang tidak boleh berkompromi dengan lingkungan yang secara struktural didirikan atas dasar kejahatan atau kemunafikan.

Ini adalah seruan bagi setiap Muslim untuk secara sadar menjauhkan diri dari majelis atau kelompok yang niatnya jelas-jelas mengarah pada *dirar* (bahaya) dan *tafriq* (perpecahan), meskipun mereka menggunakan jubah agama yang menarik. Mencintai kesucian berarti melindungi hati dan iman dari kontaminasi lingkungan yang merusak.

3. Konsistensi Fondasi

Penekanan pada "Min Awwali Yaumin" (sejak hari pertama) mengajarkan tentang pentingnya konsistensi dan integritas awal. Seringkali, sebuah institusi dimulai dengan niat yang baik, namun seiring waktu terdistorsi oleh kekuasaan atau uang. Namun, kasus Ad-Dirar adalah unik: niatnya busuk sejak awal.

Namun, bagi kita, pelajaran terbesarnya adalah menjaga niat. Jika fondasi spiritual telah diletakkan dengan benar (seperti Masjid At-Taqwa), tugas kita selanjutnya adalah memastikan bahwa bangunan dan kegiatan di atasnya terus mencerminkan fondasi tersebut. Keikhlasan bukanlah peristiwa sekali jadi, melainkan keadaan spiritual yang harus terus dipelihara dari hari ke hari.

VIII. Menarik Garis Merah Keikhlasan

Ayat 108 Surah At-Taubah adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an yang membahas interaksi antara niat batin dan manifestasi lahiriah amal. Ia mengajarkan umat Islam untuk skeptis terhadap tampilan luar dan selalu mengedepankan evaluasi niat yang mendalam.

Dalam hadis terkenal, Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang (balasan) sesuai dengan apa yang ia niatkan." Ayat 108 adalah interpretasi makro dari hadis ini, diterapkan pada tingkat kelembagaan dan komunitas.

Masjid Ad-Dirar adalah studi kasus abadi tentang bagaimana kemunafikan dapat memanfaatkan simbol-simbol suci—batu bata, mihrab, dan ibadah—untuk mencapai tujuan yang profan dan merusak. Kisah ini adalah peringatan ilahi bagi seluruh generasi Muslim bahwa ketaatan sejati tidak dapat dipalsukan. Niat yang korup pada akhirnya akan terungkap, dan hasilnya adalah kehancuran yang mutlak.

Sebaliknya, Masjid At-Taqwa mengajarkan kita bahwa ketulusan adalah fondasi yang kokoh. Tempat ibadah yang dibangun atas dasar takwa, dan dipenuhi oleh mereka yang mencintai kesucian, akan menjadi sumber cahaya, persatuan, dan keberkahan, yang keridaan Allah ﷻ akan selalu menyertainya.

Oleh karena itu, kewajiban setiap Muslim adalah memastikan bahwa setiap sumbangsih, kehadiran, dan afiliasi kita dalam komunitas, baik di masjid fisik maupun di institusi digital, senantiasa berorientasi pada prinsip *Taqwa* dan *Ikhlas*, menjauhi segala bentuk *Dirar* dan *Tafriq*. Hanya dengan begitu kita dapat berharap menjadi bagian dari mereka yang dipuji oleh Al-Qur'an: "Dan Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri."

Pengulangan dan Penekanan Inti Ayat

Untuk memastikan pemahaman yang menyeluruh dan mendalam, kita perlu terus merenungkan kalimat inti:

  1. Larangan Abadi: *Lā Taqūm Fīhi Abadan* – Pelajaran tentang penolakan total terhadap institusi yang didirikan untuk makar, menunjukkan nol toleransi terhadap penyalahgunaan agama.
  2. Fondasi Sejak Awal: *Min Awwali Yaumin Aḥaqqu An Taqūma Fīhi* – Menekankan bahwa integritas harus dimulai dari perencanaan, bukan sekadar perbaikan kosmetik setelahnya. Fondasi niat adalah yang utama.
  3. Kualitas Jamaah: *Fīhi Rijālun Yuhibbūna An Yataṭahharū* – Kualitas manusia di dalamnya adalah tolok ukur sukses, bukan hanya kemegahan arsitektur.
Pengulangan penekanan ini memastikan bahwa pesan kritis tentang prioritas niat atas bentuk tertanam kuat dalam pemahaman pembaca. Setiap struktur—apakah itu sebuah masjid, madrasah, atau bahkan sebuah keluarga—harus melalui saringan At-Taubah 108. Apakah ia dibangun untuk mempersatukan hati dalam ketaatan, atau untuk menyebarkan kerugian dan perpecahan? Pertanyaan inilah yang menjadi warisan abadi dari wahyu mengenai Masjid Ad-Dirar.

Semoga Allah ﷻ senantiasa membimbing kita menuju jalan ketulusan dan menjaga hati kita dari segala bentuk kemunafikan, sehingga setiap langkah dan amal kita dibangun di atas fondasi takwa yang murni.

🏠 Homepage