Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki kekhususan yang unik. Ia dikenal sebagai surah yang diturunkan tanpa Basmalah, menandakan permulaan yang tegas dan peringatan keras. Namun, di tengah ketegasan dan penetapan batas-batas hubungan dengan non-Muslim yang melanggar perjanjian, surah ini juga memberikan definisi yang sangat jelas mengenai hakikat keimanan sejati—sebuah definisi yang diabadikan dalam ayat 11. Ayat ini bukan hanya sebuah pujian historis; ia adalah cetak biru abadi bagi mukmin yang ingin mencapai derajat tertinggi di sisi Allah.
Terjemahan dari Surah At-Taubah ayat 11 adalah: "Adapun orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman (kepada Muhajirin) dan memberikan pertolongan (kepada mereka), mereka itu adalah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (yang) mulia."
Ayat ini secara eksplisit membagi umat Islam awal menjadi dua kategori utama yang menjadi tiang penyangga komunitas: Al-Muhajirun (orang-orang yang berhijrah) dan Al-Ansar (orang-orang yang memberi tempat tinggal dan pertolongan). Keduanya disatukan oleh komitmen yang sama: iman, pengorbanan, dan dukungan tanpa syarat terhadap dakwah Islam. Pengakuan ilahi bahwa mereka adalah "orang-orang yang benar-benar beriman" (al-mu’minūna ḥaqqan) adalah puncak pujian dan penetapan standar spiritual yang harus diikuti oleh generasi setelahnya.
Setiap kata kunci dalam Surah At-Taubah ayat 11 mengandung bobot teologis dan praktis yang luar biasa. Untuk memahami predikat "benar-benar beriman," kita harus mengurai lima elemen aksi yang disebutkan, yang terbagi antara Muhajirin dan Ansar.
Istilah iman dalam ayat ini diletakkan sebagai prasyarat fundamental. Iman bukan sekadar pengakuan lisan; ia adalah pembenaran hati yang mendorong tindakan nyata. Dalam konteks ayat 11, iman diuji dan dibuktikan melalui pengorbanan yang mengikutinya. Keimanan yang dimaksud di sini adalah iman yang kokoh, yang mampu menahan guncangan ancaman, perpisahan dengan keluarga, dan kerugian harta benda demi memegang teguh akidah tauhid. Tanpa fondasi iman yang kuat, langkah hijrah dan jihad tidak akan mungkin dilakukan.
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa iman yang didahului oleh tindakan hijrah dan jihad menunjukkan bahwa iman tersebut adalah iman yang sempurna, yang telah melampaui batas-batas teori menuju implementasi ekstrem. Ini adalah keimanan yang telah membayar harganya, sehingga layak mendapatkan predikat ḥaqqan (sejati).
Hijrah, secara harfiah berarti meninggalkan, merujuk pada perpindahan fisik Rasulullah SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Namun, dalam cakupan yang lebih luas, hijrah adalah meninggalkan lingkungan yang menghalangi pelaksanaan agama menuju lingkungan yang mendukung. Dalam ayat ini, hijrah menunjukkan tiga bentuk pengorbanan:
Jihad, yang berarti mengerahkan segala daya upaya, dihubungkan dengan fi sabilillah (di jalan Allah). Ini mencakup perjuangan bersenjata untuk membela diri dan agama (Jihad al-Asghar) serta perjuangan melawan hawa nafsu dan setan (Jihad al-Akbar). Dalam konteks awal ayat ini, jihad fisik adalah manifestasi paling nyata dari kesetiaan para Muhajirin.
Ibn Katsir menafsirkan bahwa penyebutan hijrah sebelum jihad menunjukkan urutan logis. Seseorang harus terlebih dahulu memisahkan diri dari sumber kezaliman dan kekufuran (hijrah) sebelum ia siap mengangkat senjata atau harta benda untuk melawan ancaman (jihad). Kedua tindakan ini adalah bukti konkret bahwa iman telah bersemayam kuat dalam jiwa dan bukan sekadar klaim kosong.
Kelompok kedua yang dipuji adalah Ansar (penduduk asli Madinah). Al-Iwa adalah tindakan memberi tempat tinggal, melindungi, dan mengintegrasikan Muhajirin yang datang tanpa apa-apa. Tindakan ini menunjukkan kemurahan hati yang melampaui batas-batas kedermawanan biasa, karena Ansar berbagi harta, rumah, dan bahkan kebun kurma mereka dengan Muhajirin tanpa pamrih. Ini adalah esensi dari persaudaraan Islam yang sesungguhnya.
An-Nashr berarti pertolongan. Ansar tidak hanya menyediakan tempat tidur, tetapi juga menyediakan perlindungan fisik dan militer. Mereka menjamin keselamatan Rasulullah SAW dan kaum Muhajirin di Madinah. Mereka berjanji untuk membela Islam seolah-olah membela keluarga mereka sendiri. Ini adalah penegasan bahwa keimanan sejati memerlukan dukungan aktif dan pertahanan terhadap kaum mukminin lainnya.
Persaudaraan Abadi: Simbol Iwa dan Nashr yang melandasi keimanan sejati.
Puncak dari Surah At-Taubah ayat 11 adalah pemberian gelar ilahi: أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا (mereka itu adalah orang-orang yang benar-benar beriman). Penggunaan kata ḥaqqan (secara hakiki, sejati, benar-benar) adalah penegasan yang sangat kuat. Ini bukan sekadar Muslim biasa, melainkan mukmin yang mencapai level kesempurnaan dalam iman dan tindakan.
Gelar ini membedakan mereka dari orang-orang yang mengaku beriman (munafikin) atau mereka yang imannya lemah. Ayat ini mengajarkan bahwa klaim keimanan harus dibuktikan melalui aksi yang mendalam, yaitu pengorbanan harta dan jiwa (Hijrah dan Jihad) serta dukungan dan perlindungan terhadap sesama mukmin (Iwa dan Nashr). Sebagaimana yang diuraikan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi, keimanan yang sejati harus tercermin dalam interaksi vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan sesama manusia).
Ayat ini menetapkan bahwa pondasi peradaban Islam di Madinah dibangun di atas dua pilar yang saling melengkapi. Muhajirin membawa benih tauhid dan kesiapan berkorban, sementara Ansar menyediakan tanah subur, sumber daya, dan perlindungan. Keseimbangan antara penderitaan dan pengorbanan di satu sisi, dan dukungan penuh kasih di sisi lain, menciptakan struktur sosial yang ideal. Ayat 11 adalah pengakuan bahwa persatuan ini, yang didasarkan pada akidah, jauh lebih kuat daripada ikatan kesukuan.
Setelah menetapkan standar keimanan dan tindakan, ayat 11 menutup dengan janji pahala yang luar biasa bagi mereka yang memenuhi kriteria tersebut. Ada dua janji utama yang disebutkan, yang menunjukkan pemenuhan kebutuhan spiritual dan material di akhirat.
Ampunan (maghfirah) adalah pembersihan dosa. Bagi para Muhajirin dan Ansar, ampunan ini sangat relevan. Muhajirin mungkin telah melakukan dosa-dosa kecil atau kesalahan dalam kehidupan sebelum Hijrah, atau menghadapi kesulitan besar yang mungkin menimbulkan keluhan. Ansar mungkin memiliki dosa-dosa terkait kehidupan pra-Islam. Janji maghfirah menunjukkan bahwa semua pengorbanan mereka, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, akan terhapus oleh rahmat dan pengampunan Allah.
Tafsir Muqatil bin Sulaiman menjelaskan bahwa ampunan yang dijanjikan di sini adalah ampunan yang menyeluruh, mencakup semua kesalahan mereka, besar maupun kecil, karena pengorbanan mereka melebihi kadar dosa-dosa tersebut. Ini adalah pembenaran spiritual yang sempurna.
Istilah Rizqun Karim (rezeki yang mulia) jauh melampaui kebutuhan pangan dan sandang. Rezeki yang mulia mencakup:
Janji ini menegaskan bahwa pengorbanan yang dilakukan di dunia, betapapun besarnya, akan digantikan dengan balasan yang jauh lebih besar dan mulia, yang mencakup kebahagiaan fisik dan spiritual yang sempurna.
Meskipun Surah At-Taubah ayat 11 secara spesifik merujuk pada Muhajirin dan Ansar pada era Nabi, prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan berlaku hingga Hari Kiamat. Umat Islam masa kini dituntut untuk meniru semangat dan kualitas tindakan mereka.
Kewajiban hijrah fisik berhenti setelah penaklukan Makkah, sebagaimana sabda Nabi SAW, "Tidak ada hijrah setelah Fath (Penaklukan Makkah), tetapi yang ada adalah jihad dan niat." Namun, makna spiritual dan moral hijrah tetap relevan:
Jihad dalam konteks kontemporer lebih sering berfokus pada Jihad al-Akbar. Ini adalah perjuangan yang melelahkan melawan:
Spirit Ansar (Iwa dan Nashr) adalah fondasi bagi ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Saat ini, Iwa dan Nashr dimanifestasikan melalui:
Walaupun makna historisnya jelas, para mufassir membahas apakah gelar "benar-benar beriman" hanya berlaku eksklusif bagi generasi awal atau bisa diperluas kepada umat Islam yang datang setelahnya, yang meniru tindakan mereka.
Mayoritas mufassir klasik, seperti Imam Ath-Thabari, menekankan bahwa ayat ini diturunkan untuk memuji dan memuliakan kelompok historis Muhajirin dan Ansar yang berhijrah sebelum peristiwa Fathu Makkah. Mereka berpendapat bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh generasi ini sangat spesifik, unik, dan tidak dapat ditiru secara persis (terutama setelah kewajiban hijrah fisik ke Madinah dicabut).
Al-Hasan Al-Basri dan beberapa tabi’in berpendapat bahwa gelar tersebut ditujukan kepada para sahabat yang berpartisipasi dalam Perang Badar dan Perang Uhud, menunjukkan bahwa tingkat keimanan mereka yang diakui ḥaqqan adalah hasil dari partisipasi langsung mereka dalam perjuangan berat di awal Islam. Ini menekankan aspek keunikan waktu dan tempat.
Meskipun mengakui keunikan historis, banyak ulama berpendapat bahwa substansi ayat ini universal. Mereka yang datang setelahnya (generasi tabi'in dan seterusnya) dapat mencapai derajat iman yang tinggi jika mereka meniru prinsip dasar Muhajirin dan Ansar, yaitu:
Ini diperkuat oleh ayat-ayat lain yang menjanjikan pahala bagi mereka yang mengikuti Muhajirin dan Ansar dengan baik (misalnya dalam Surah At-Taubah ayat 100). Dengan kata lain, gelar "mukmin sejati" dapat dicapai, namun dengan intensitas dan jenis perjuangan yang berbeda sesuai dengan tuntutan zaman.
Ayat 11 muncul setelah serangkaian ayat yang sangat keras dalam Surah At-Taubah, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian dan hubungan dengan kaum musyrikin. Konteks ini sangat penting untuk memahami mengapa definisi iman sejati harus sangat ketat.
Surah At-Taubah banyak membahas tentang kaum munafikin yang hidup berdampingan dengan kaum Muslimin di Madinah. Mereka mengaku beriman tetapi tidak memiliki komitmen untuk berkorban (tidak mau berhijrah dan berjihad). Ayat 11 berfungsi sebagai garis pemisah yang tajam. Itu menunjukkan bahwa iman yang benar harus dibuktikan dengan pengorbanan total, yang tidak mungkin dilakukan oleh kaum munafik.
Ketika para Muhajirin meninggalkan segalanya dan para Ansar mempertaruhkan nyawa untuk melindungi Muhajirin, mereka membuktikan integritas spiritual mereka, yang kontras dengan klaim palsu kaum munafikin yang selalu mencari alasan untuk menghindari jihad dan infak.
Ayat-ayat sebelumnya (At-Taubah 7-10) membahas kegagalan perjanjian dengan kaum musyrikin. Ayat 11 kemudian menetapkan bahwa aliansi dan persahabatan sejati hanya dapat didirikan di atas fondasi iman, hijrah, dan pertolongan. Hubungan yang paling kuat di mata Allah adalah hubungan persaudaraan antara mereka yang siap berkorban demi akidah.
Detail mengenai janji Rizqun Karim (rezeki yang mulia) dalam literatur tafsir sangat kaya, sering dikaitkan dengan kedudukan tinggi di Surga. Mengapa Allah memilih kata Karim (mulia)?
Rezeki yang mulia bukan hanya banyak, tetapi juga memiliki kualitas kemuliaan. Dalam bahasa Arab, karim sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang terbaik, paling berharga, dan paling terhormat. Di Surga, rezeki ini berarti:
Janji rezeki ini juga merupakan kompensasi sempurna atas kemiskinan dan kesulitan yang dialami Muhajirin. Mereka adalah orang-orang yang menukarkan kepastian harta duniawi di Makkah dengan janji yang belum terlihat. Allah menjamin bahwa pertukaran ini sangat menguntungkan, karena mereka akan mendapatkan rezeki yang tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik tetapi juga meninggikan derajat spiritual mereka hingga mencapai kemuliaan ilahi.
Ampunan dan Rezeki Mulia: Tujuan akhir dari Iman yang Sejati.
Analisis tata bahasa dan linguistik Arab klasik menunjukkan mengapa ayat ini memiliki dampak yang begitu kuat dan definitif.
Frasa أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا menggunakan struktur penegasan (qasr) melalui penggunaan kata ganti penghubung hum (mereka). Dalam bahasa Arab, struktur "Mereka *adalah*..." (menggunakan kata ganti pemisah) menunjukkan bahwa keimanan sejati secara eksklusif dimiliki oleh kelompok yang disebutkan—Muhajirin dan Ansar. Ini bukan sekadar deskripsi, tetapi penobatan otoritatif.
Ayat ini membagi kelompok menjadi dua dengan penggunaan konjungsi wa (dan) yang berbeda:
Pemisahan ini, meskipun diikuti dengan penggabungan dalam gelar, menekankan bahwa peran dari masing-masing kelompok, meskipun berbeda, sama pentingnya dan sama-sama vital bagi kesatuan umat. Tanpa hijrah, tidak ada kebutuhan akan pertolongan; tanpa pertolongan, hijrah tidak akan bertahan.
Pelajaran terpenting dari Surah At-Taubah ayat 11 adalah bahwa keimanan sejati selalu identik dengan pengorbanan. Allah tidak memuji mereka yang hanya duduk dan berharap; Dia memuji mereka yang bertindak dan menderita demi menjaga akidah.
Muhajirin dan Ansar mengajarkan bahwa apabila iman bertabrakan dengan kenyamanan, kenyamanan harus dikorbankan. Bagi Muhajirin, mereka mengorbankan keamanan finansial. Bagi Ansar, mereka mengorbankan kemewahan hidup pribadi dan menanggung beban tambahan sosial dan ekonomi. Hal ini harus menjadi patokan bagi umat Islam dalam menghadapi dilema kontemporer—apakah kita memilih jalan yang mudah atau jalan yang menuntut integritas meskipun sulit.
Iwa dan Nashr tidak dianggap sebagai amal sosial semata, tetapi sebagai bagian integral dari rukun keimanan yang dibuktikan. Ini menempatkan dukungan terhadap sesama Muslim, terutama mereka yang berjuang di jalan Allah, pada tingkat ibadah tertinggi. Ini adalah penegasan bahwa ibadah tidak hanya diukur dari ritual, tetapi juga dari kontribusi nyata terhadap kelangsungan komunitas beriman.
Dengan demikian, Surah At-Taubah ayat 11 berdiri sebagai monumen spiritual yang megah. Ia tidak hanya mengenang masa lalu gemilang para sahabat, tetapi juga menantang setiap generasi Muslim untuk membuktikan klaim keimanan mereka melalui tindakan nyata: perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), yang keduanya akan berbuah ampunan abadi dan rezeki yang mulia di sisi Tuhan Semesta Alam.
Untuk memahami kedalaman pengorbanan yang disebutkan dalam ayat 11, kita harus menengok kembali kondisi historis yang mendorong Hijrah. Ayat ini tidak sekadar menyebutkan sebuah perjalanan; ia merangkum penderitaan selama lebih dari satu dekade di Makkah.
Sebelum Hijrah, kaum Muslimin di Makkah menghadapi penyiksaan dan boikot. Mereka dicemooh, dipukuli, dan diusir dari rumah mereka. Boikot Bani Hasyim dan Al-Muththalib di Lembah Abu Thalib selama tiga tahun menunjukkan betapa kerasnya perlawanan kaum Quraisy. Dalam kondisi ini, keimanan para Muhajirin diuji sampai ke titik puncak; tidak ada jaminan keamanan, dan masa depan mereka tampak gelap. Tindakan Hijrah yang mereka lakukan adalah respons iman yang mutlak, di mana mereka percaya sepenuhnya pada janji Allah tanpa melihat bukti material di depan mata.
Para Muhajirin, termasuk sahabat kaya seperti Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan, harus meninggalkan seluruh kekayaan mereka. Mereka pergi hanya dengan pakaian di badan, sebab setiap upaya untuk membawa harta akan dihalangi oleh kaum Quraisy. Kekayaan yang ditinggalkan disita atau dijarah. Ayat 11 memuji mereka karena dalam hati mereka, iman dan jihad jauh lebih berharga daripada semua kekayaan duniawi yang mereka tinggalkan. Ini adalah transaksi spiritual yang sempurna, menukar kefanaan dengan keabadian.
Peran Ansar (Iwa dan Nashr) seringkali dianggap sebagai bentuk pertolongan. Namun, dalam konteks sejarah, peran mereka jauh melampaui tugas kemanusiaan biasa; itu adalah pengorbanan komunal yang revolusioner.
Peristiwa Mu'akhat (pengangkatan saudara) yang diinisiasi oleh Rasulullah SAW di Madinah adalah implementasi langsung dari semangat Iwa dan Nashr. Ansar tidak hanya memberi perlindungan, mereka menjadikan Muhajirin sebagai saudara sejati, bahkan menawarkan untuk membagi harta, kebun, dan, dalam beberapa kasus, menceraikan salah satu istri mereka agar dapat dinikahi oleh saudara Muhajirin mereka (sebuah tawaran yang ditolak dengan hormat oleh Muhajirin). Tindakan ini menggambarkan level kedermawanan spiritual yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah.
Dengan memberi tempat tinggal kepada Rasulullah dan para Muhajirin, kaum Ansar secara otomatis mendeklarasikan perang terbuka terhadap suku Quraisy Makkah dan suku-suku Arab lainnya yang memusuhi Islam. Mereka menanggung risiko besar, mempertaruhkan keselamatan kota dan kabilah mereka sendiri demi melindungi agama. Ini adalah bukti nyata dari Nashr (pertolongan) yang disebutkan dalam ayat 11—pertolongan yang melibatkan pertaruhan nyawa dan masa depan komunitas.
Ayat 11 tidak hanya berisi janji spiritual tetapi juga menjadi sumber hukum (Fiqh) yang penting terkait aliansi dan hak-hak kaum mukminin.
Ayat ini menetapkan prinsip fundamental bahwa kaum mukminin wajib saling mendukung dan membela. Para ahli fiqh menyimpulkan bahwa jika sebuah komunitas Muslim diserang atau dizalimi, komunitas Muslim lainnya memiliki kewajiban kolektif (fardhu kifayah) untuk memberikan pertolongan, meniru semangat Ansar. Jika kewajiban ini diabaikan, maka keimanan komunitas yang abai patut dipertanyakan, karena mereka gagal memenuhi salah satu ciri utama mukmin sejati.
Sebelum Surah At-Taubah ayat 11 dan ayat-ayat terkait lainnya diturunkan, hukum waris dan persekutuan diatur oleh ikatan darah. Namun, persaudaraan Muhajirin dan Ansar sempat menjadi dasar bagi pewarisan harta. Walaupun hukum waris kemudian diubah kembali berdasarkan ikatan darah, semangat persaudaraan yang diakui dalam ayat 11 tetap menempatkan ikatan akidah sebagai ikatan sosial yang paling mulia dan prioritas tertinggi. Ayat ini menjadi dasar bagi konsep walayah (perwalian/persekutuan) antar mukmin.
Sementara tafsir umum menekankan Surga sebagai rezeki mulia, beberapa ulama sufi dan arif billah memberikan dimensi spiritual yang lebih dalam pada makna Rizqun Karim.
Bagi kaum sufi, rezeki yang mulia utama adalah ketenangan hati (thuma'ninah) dan pengenalan (ma'rifah) yang mendalam terhadap Allah SWT. Pengorbanan yang dilakukan oleh Muhajirin dan Ansar menghasilkan pembersihan jiwa, yang pada gilirannya membuka hati mereka untuk menerima rezeki spiritual tertinggi: kedekatan tanpa hijab dengan Sang Pencipta.
Sufi melihat karim sebagai sifat yang diberikan kepada orang yang dimuliakan. Rizqun Karim adalah rezeki yang menjadikan penerimanya mulia. Ini berarti bahwa balasan Allah tidak hanya berupa materi kenikmatan Surga, tetapi juga peningkatan derajat kemanusiaan dan kehormatan mereka di mata Allah, yang mencerminkan ketulusan iman mereka.
Surah At-Taubah ayat 11 adalah permata yang menyinari hakikat ajaran Islam. Ia bukan sekadar narasi sejarah tentang awal mula peradaban Madinah, tetapi merupakan pedoman yang tegas dan abadi mengenai siapa yang benar-benar berhak menyandang gelar mukmin. Ayat ini menuntut aksi, pengorbanan, dan solidaritas.
Keimanan sejati (Iman) harus diwujudkan dalam tindakan meninggalkan hal-hal yang menghalangi (Hijrah), dan berjuang keras di jalan-Nya (Jihad). Bagi mereka yang telah menerima cahaya, wajib hukumnya untuk menjadi pilar pendukung bagi saudaranya (Iwa dan Nashr). Gabungan dari lima elemen ini—Iman, Hijrah, Jihad, Iwa, dan Nashr—adalah formula ilahi untuk mencapai puncak spiritualitas, yang balasannya adalah Ampunan menyeluruh (Maghfirah) dan Rezeki yang Mulia (Rizqun Karim).
Dalam setiap tantangan zaman, umat Islam dituntut untuk merefleksikan diri: seberapa Muhajirin kita dalam meninggalkan kemaksiatan? Seberapa Ansar kita dalam mendukung saudara seiman? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menentukan apakah kita termasuk golongan yang dipuji sebagai "orang-orang yang benar-benar beriman" di sisi Allah SWT.
Tafsir atas Surah At-Taubah ayat 11 terus dikaji ulang oleh ulama di berbagai era, menegaskan bahwa meskipun peristiwa Hijrah telah berakhir, semangat perjuangan dan persaudaraan harus tetap menyala. Ia adalah seruan untuk komitmen total: sebuah panggilan untuk hidup sepenuhnya demi Allah, sehingga kita layak menerima ganjaran tertinggi—kemuliaan abadi di Jannah.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengenai Surah At-Taubah ayat 11 memberikan penekanan yang kuat pada pengurutan tindakan yang dilakukan oleh dua kelompok. Menurutnya, urutan yang disebutkan dalam ayat ini—Iman, Hijrah, dan Jihad—bukanlah kebetulan. Ini adalah hierarki spiritual yang menunjukkan evolusi seorang mukmin sejati.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa iman adalah akar. Hijrah adalah pemutusan hubungan dengan lingkungan yang buruk, yang menjadi bukti nyata pertama dari iman. Jihad adalah puncaknya, yaitu pengerahan daya upaya tertinggi setelah pemisahan diri. Muhajirin mencapai puncak karena mereka melakukan ketiga langkah tersebut dengan sempurna. Demikian pula, Ansar mencapai kesempurnaan karena mereka menunjukkan dukungan yang tidak terbandingkan kepada mereka yang berjuang di jalan Allah. Mereka menjadi pelengkap sempurna bagi Muhajirin, menjadikan komunitas Islam sebagai satu kesatuan yang utuh dan kuat.
Para mufassir abad pertengahan sering menggunakan ayat ini sebagai justifikasi untuk memprioritaskan tindakan yang membawa manfaat kolektif umat (seperti membangun kekuatan militer atau menjaga persatuan) di atas kepentingan individu, karena gelar kehormatan ini diberikan kepada mereka yang tindakan kolektifnya menyelamatkan agama.
Kata Jahadu (جَاهَدُوا) adalah bentuk kata kerja dari bab mu’fa’alah, yang menunjukkan adanya upaya timbal balik, atau pengerahan tenaga yang intensif dan terus-menerus. Ini berbeda dari sekadar jahada (berusaha). Penggunaan bentuk kata ini menekankan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh para Muhajirin bukanlah upaya biasa atau sporadis, melainkan perjuangan yang melibatkan pengorbanan dan penderitaan terus-menerus, baik melawan musuh fisik maupun melawan kesulitan pribadi.
Intensitas ini adalah inti dari ayat 11. Keimanan yang dihargai dengan gelar ḥaqqan adalah keimanan yang telah melalui proses penempaan yang berat. Perjuangan di jalan Allah tidak hanya memerlukan keberanian, tetapi juga kesabaran (sabr) dan keuletan yang luar biasa. Muhajirin terus-menerus menghadapi ancaman dari Quraisy, dan Ansar harus siap siaga mempertahankan Madinah setiap saat.
Penting untuk membandingkan At-Taubah 11 dengan ayat-ayat di surah yang sama yang membahas tentang iman. Contohnya, Surah At-Taubah ayat 100, yang berbicara tentang para pelopor pertama (as-sabiqun al-awwalun) dari kalangan Muhajirin dan Ansar, serta mereka yang mengikuti mereka dengan baik (bi ihsan).
Ayat 100 memberikan harapan bagi generasi setelahnya untuk meraih pahala yang serupa dengan mengikuti jejak langkah mereka. Namun, ayat 11 memberikan deskripsi definitif mengenai kualitas iman mereka yang menjadi standar mutlak. Ayat 11 adalah definisi, sementara ayat 100 adalah panggilan untuk meniru definisi tersebut. Ini menunjukkan rahmat Allah yang luas, yang memungkinkan umat setelahnya untuk berpartisipasi dalam pahala, meskipun pengorbanan fisiknya berbeda.
Surah At-Taubah, secara keseluruhan, menetapkan etika hubungan Muslim dengan non-Muslim dalam kondisi perang atau damai. Ayat 11 menetapkan etika internal, yaitu bagaimana umat Islam harus berinteraksi satu sama lain. Kehormatan komunitas (‘izzah) hanya dapat dipertahankan jika dua kelompok yang berbeda latar belakang (Muhajirin yang kaya ilmu dan miskin harta, dan Ansar yang kaya harta dan kaya dukungan) bersatu dalam satu tujuan.
Jika semangat Iwa dan Nashr hilang, maka komunitas Islam akan terpecah berdasarkan suku, harta, atau latar belakang geografis. Ayat 11 adalah peringatan abadi bahwa kekuatan mukmin sejati terletak pada kemampuan mereka untuk meleburkan perbedaan identitas demi identitas akidah yang lebih besar. Persatuan ini—yang dibayar mahal oleh Muhajirin dan Ansar—adalah kunci kelangsungan hidup iman di dunia yang penuh tantangan.
Ayat ini memiliki dampak signifikan dalam literatur Islam. Para ahli hadis dan sirah (sejarah Nabi) menggunakan ayat 11 sebagai tolok ukur untuk menilai dan memuji status para sahabat. Mereka yang masuk kategori Muhajirin dan Ansar memiliki kedudukan yang tidak tertandingi dalam sejarah Islam. Kisah-kisah pengorbanan mereka, yang seringkali sangat detail dalam kitab-kitab Sirah, berfungsi sebagai ilustrasi praktis bagaimana Iman, Hijrah, dan Jihad diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, kisah Sa’ad bin Rabi’ dari Ansar dan Abdurrahman bin Auf dari Muhajirin sering dikutip sebagai bukti nyata dari semangat Iwa (berbagi) yang dijelaskan dalam ayat ini. Kisah-kisah ini bukan hanya cerita inspiratif, tetapi menjadi bagian dari penafsiran praktis (tafsir ‘amali) terhadap ketentuan ilahi dalam At-Taubah 11.
Ayat 11 Surah At-Taubah menutup diskusi panjang tentang perjanjian, integritas, dan pengorbanan dengan sebuah deklarasi kemuliaan. Ia mengukuhkan bahwa keimanan sejati bukanlah konsep pasif, melainkan sebuah kontrak aktif yang menuntut pergerakan, perjuangan, dan solidaritas. Setiap Muslim, di mana pun ia berada, memiliki kesempatan untuk menukarkan kemudahan duniawinya dengan janji Ampunan dan Rezeki yang Mulia.
Kesempurnaan iman yang disebutkan dalam ayat ini adalah tujuan akhir dari setiap upaya spiritual. Ia mengajarkan bahwa jalan menuju keridhaan Allah adalah jalan yang terjal, yang memerlukan pengorbanan harta dan jiwa, serta kepedulian yang mendalam terhadap sesama mukmin. Dengan meneladani semangat Muhajirin dan Ansar, kita dapat berharap untuk termasuk dalam barisan mereka yang diakui oleh Allah sebagai Al-Mu’minuna Haqan—orang-orang yang benar-benar beriman.
Meskipun ayat 11 secara umum merujuk pada kelompok yang terlibat dalam jihad dan pertolongan, peran wanita Muhajirin dan Ansar tidak dapat diabaikan. Para wanita Muhajirin juga meninggalkan rumah dan harta mereka, menanggung penderitaan yang sama di tengah perjalanan yang sulit dan ketidakpastian di Madinah. Mereka berhijrah bersama akidah dan anak-anak mereka, menunjukkan ketabahan yang luar biasa, yang merupakan bagian integral dari pengorbanan kolektif Muhajirin.
Di pihak Ansar, para wanita Madinah menunjukkan Iwa (memberi tempat tinggal) dengan membuka rumah tangga mereka untuk menampung keluarga-keluarga Muhajirin. Mereka adalah pilar logistik dan moral yang memastikan bahwa komunitas baru dapat berfungsi. Kisah Ummu Sulaim dan wanita Ansar lainnya yang berpartisipasi dalam merawat yang terluka dalam perang atau menyediakan bekal, membuktikan bahwa konsep Nashr (pertolongan) tidak terbatas pada pertarungan fisik di medan perang, tetapi meluas pada dukungan vital di lini belakang. Dengan demikian, gelar Al-Mu’minuna Haqan mencakup kontribusi penuh dari setiap anggota komunitas yang berkorban demi tegaknya agama Allah.
Dalam dunia modern yang didominasi oleh informasi dan ideologi, Surah At-Taubah ayat 11 menuntut interpretasi yang beradaptasi dengan tantangan kontemporer. Hijrah dapat diartikan sebagai perpindahan dari pola pikir yang statis, sekuler, atau nihilistik menuju paradigma Islam yang dinamis dan berorientasi pada kebenaran. Ini adalah Hijrah Intelektual.
Jihad Intelektual berarti perjuangan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi agar umat Islam tidak tertinggal. Ini adalah Jihad Pendidikan—melawan kebodohan dan menyebarkan cahaya ilmu yang bermanfaat (ilmun nafi’). Para pelajar dan ilmuwan Muslim modern yang berjuang keras menuntut ilmu di tengah lingkungan yang tidak mendukung, sejatinya sedang menapaki jalan Muhajirin. Mereka meninggalkan kenyamanan waktu dan tenaga mereka untuk berjuang di medan ilmu.
Demikian pula, peran Iwa dan Nashr dapat berupa dukungan bagi institusi pendidikan Islam, beasiswa bagi pelajar yang membutuhkan, atau pendanaan untuk penelitian yang bermanfaat bagi umat. Solidaritas dalam ilmu pengetahuan menjadi manifestasi kontemporer dari rezeki mulia yang dijanjikan.
Untuk memahami betapa mulianya persaudaraan dalam ayat 11, perlu diingat bahaya yang timbul jika semangat Iwa dan Nashr diabaikan. Al-Qur'an memperingatkan tentang fitnah (ujian/kekacauan) besar jika kaum Muslimin tidak saling tolong menolong. Surah Al-Anfal, ayat 73, yang senada dengan At-Taubah 11, memperingatkan bahwa jika umat Islam tidak saling menolong, akan terjadi kerusakan besar di muka bumi. Ini menunjukkan bahwa persaudaraan yang kokoh dan dukungan timbal balik bukan hanya kebaikan spiritual, tetapi juga kebutuhan eksistensial bagi umat.
Jika seseorang beriman dan berhijrah, tetapi tidak ada yang memberikan pertolongan, perjuangan tersebut akan sia-sia dan agama tidak akan bertahan. Sebaliknya, jika seseorang memiliki kemampuan untuk menolong (Ansar), tetapi menahannya, maka keimanannya tidak mencapai tingkat ḥaqqan. Ayat 11 dengan sempurna menyeimbangkan peran individu yang berkorban dan peran komunitas yang mendukung.
Dalam kajian hukum Islam (Fiqh Jinayat), konsep jihad yang termaktub dalam ayat 11 menjadi dasar bagi penetapan hukum perang dan pertahanan diri. Mujahidin adalah mereka yang secara sah dan etis berjuang di jalan Allah. Ayat ini memastikan bahwa pengorbanan mereka diakui dan diberi kompensasi tertinggi.
Pengorbanan jiwa yang dilakukan Muhajirin dan Ansar dalam Perang Badar dan Uhud, yang merupakan manifestasi utama dari jihad mereka, adalah bukti bahwa mereka menempatkan keselamatan akidah di atas keselamatan fisik. Keberanian yang didasarkan pada iman ini adalah inti dari apa yang dimaksud dengan jahadu fi sabilillah.
Penyisipan frasa 'fi sabilillah' (di jalan Allah) setelah kata jihad adalah penekanan yang sangat penting. Perjuangan, dalam bentuk apa pun, harus dilakukan dengan niat yang murni semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah. Jika perjuangan tersebut didorong oleh motif nasionalisme, kesukuan, atau kepentingan duniawi lainnya, maka ia tidak termasuk dalam kategori jihad fi sabilillah yang dipuji dalam ayat 11. Hanya perjuangan yang ikhlas, yang terarah pada tujuan ilahi, yang layak mendapatkan gelar Al-Mu’minuna Haqan serta balasan maghfirah dan rizkun karim.
Ayat ini adalah penyaringan niat. Ia menguji kejujuran hati para pelakunya, memastikan bahwa seluruh penderitaan dan pengorbanan mereka dilakukan demi memenuhi perintah Allah, dan bukan untuk mencari pujian atau keuntungan sementara.
Dalam kesimpulannya, Surah At-Taubah ayat 11 adalah definisi keimanan yang paling operasional dan menuntut. Ia mewajibkan transformasi total dari individu yang sekadar percaya menjadi aktor yang berkorban. Keindahan ayat ini terletak pada pengakuan ilahi terhadap pengorbanan kolektif: mereka yang berkorban untuk agama (Muhajirin) dan mereka yang berkorban untuk para pejuang agama (Ansar) dipersatukan dalam satu gelar kehormatan, menegaskan bahwa dalam Islam, tidak ada perjuangan individu yang terisolasi, melainkan sebuah gerakan kolektif menuju kesempurnaan iman.