Kajian Syariah: Surah At-Taubah Ayat 29

Simbol Keseimbangan dan Kitab Suci Ilustrasi abstrak yang menggambarkan keseimbangan (neraca) dan Kitab Suci, melambangkan hukum dan keadilan Islam dalam konteks At-Taubah 29.

Pengantar Surah At-Taubah dan Konteks Legislatif

Surah At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara’ah (Pernyataan Pemutusan Hubungan), merupakan salah satu surah Madaniyah yang terakhir diturunkan. Surah ini memiliki karakter yang unik dalam Al-Qur’an karena ia dibuka tanpa basmalah, yang oleh para ulama ditafsirkan sebagai simbol deklarasi perang dan pemutusan perjanjian damai yang sebelumnya dilanggar oleh kaum musyrikin Makkah dan sekitarnya. At-Taubah menetapkan berbagai hukum fundamental terkait hubungan antara negara Islam dengan non-Muslim, baik yang musyrik maupun Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).

Ayat ke-29 dari surah ini adalah salah satu ayat yang paling penting dan sering dibahas dalam ilmu fikih *siyar* (hukum internasional Islam) dan fikih minoritas. Ayat ini secara spesifik memberikan arahan mengenai kebijakan negara Islam terhadap Ahli Kitab yang berada di luar kedaulatan Islam, serta menetapkan dasar bagi institusi *jizyah* (pajak perlindungan).

Memahami Ayat 29 memerlukan penelusuran mendalam terhadap latar belakang historisnya, perubahan hukum yang dibawanya, serta analisis linguistik terhadap setiap frasa yang terkandung di dalamnya. Tujuannya adalah untuk mengungkap keadilan, perlindungan, dan kerangka hubungan yang ditetapkan oleh syariat Islam, jauh dari interpretasi dangkal yang sering disalahpahami.

Teks dan Terjemahan Surah At-Taubah Ayat 29

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar, (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah (pajak perlindungan) dengan kepatuhan, sedangkan mereka dalam keadaan tunduk." (QS. At-Taubah [9]: 29)

Analisis Komponen Ayat: Empat Sifat dan Tujuan Akhir

Ayat ini menyebutkan empat karakteristik utama dari kelompok yang menjadi objek pembahasan, diikuti oleh tujuan akhir dan kondisi penyelesaian konflik. Karakteristik ini berfungsi sebagai landasan hukum untuk membedakan antara kelompok yang harus diperangi dan yang tidak, serta menetapkan batas-batas interaksi politik dan militer.

1. Ketidakpercayaan kepada Allah dan Hari Akhir

Frasa pertama, لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ, ('tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian'), adalah pernyataan teologis fundamental. Meskipun Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) secara historis meyakini adanya Tuhan dan hari pembalasan, keimanan mereka yang dimaksud di sini adalah keimanan yang sempurna dan diterima setelah kedatangan Nabi Muhammad ﷺ. Dalam pandangan Islam, keimanan yang sah setelah kenabian Muhammad adalah yang mengakui kerasulan beliau dan ajaran yang dibawanya. Oleh karena itu, penolakan mereka terhadap kenabian Muhammad dianggap sebagai ketidaksempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir.

Para mufassir seperti Al-Qurtubi dan At-Tabari menjelaskan bahwa keimanan yang dimaksud di sini bukanlah sekadar pengakuan adanya Tuhan, melainkan pengakuan terhadap tauhid yang murni sebagaimana diajarkan oleh Islam. Ketika Ahli Kitab menyimpang dari tauhid (misalnya, konsep Trinitas dalam Nasrani atau klaim-klaim tertentu dalam Yahudi), keimanan mereka dianggap tidak sesuai dengan 'agama yang benar'.

2. Menghalalkan yang Diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya

Kondisi kedua, وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ ('dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya'), menunjuk pada aspek syariat. Ini mencakup larangan-larangan yang disepakati oleh semua nabi, serta larangan spesifik yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ. Contoh klasik yang sering dikaitkan dengan tafsir ini adalah masalah babi dan khamr (minuman keras), yang diharamkan secara tegas dalam Islam, tetapi dihalalkan (atau dianggap tidak haram) oleh sebagian besar Ahli Kitab pada masa itu.

Poin ini menekankan bahwa perbedaan hukum bukan hanya masalah teologi murni, tetapi juga masalah penerimaan kedaulatan hukum ilahi yang terbaru dan paling lengkap, yang diwahyukan melalui Nabi Muhammad. Para ulama menegaskan bahwa frasa ini menggarisbawahi kegagalan mereka untuk mengikuti hukum yang benar, yang telah disempurnakan. Jika mereka mengikuti syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad, mereka tidak akan menghalalkan apa yang diharamkan olehnya.

3. Tidak Beragama dengan Agama yang Benar (Dīn Al-Haqq)

Frasa وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ ('dan tidak beragama dengan agama yang benar') adalah pernyataan yang paling eksplisit. Dalam konteks ayat-ayat pasca-Hijrah dan terutama dalam Surah At-Taubah, 'Dīn Al-Haqq' merujuk secara eksklusif kepada Islam. Ini adalah pembedaan tegas antara kebenaran universal Islam dan ajaran-ajaran sebelumnya yang, menurut pandangan Al-Qur'an, telah mengalami distorsi atau telah digantikan oleh risalah terakhir.

Ayat ini tidak hanya membahas keyakinan internal, tetapi juga praktik keberagamaan. Islam adalah satu-satunya sistem yang diakui sebagai 'agama yang benar' oleh wahyu. Semua agama lain, meskipun mungkin memiliki inti kebenaran, dianggap tidak lagi lengkap atau sahih setelah diutusnya Rasulullah ﷺ.

4. Kelompok Sasaran: Ahl Al-Kitab

Ayat ini secara eksplisit membatasi kelompok yang dihadapkan dengan tuntutan *jizyah* dan potensi perang, yaitu مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ ('dari orang-orang yang diberikan Al-Kitab kepada mereka'). Ini adalah pengecualian penting dalam hukum perang Islam.

Perbedaan Hukum Ahli Kitab dan Musyrikin

Seluruh Surah At-Taubah, terutama ayat-ayat sebelumnya, secara keras memerintahkan untuk memerangi kaum musyrikin penyembah berhala tanpa opsi gencatan senjata jangka panjang selain konversi atau pemusnahan (setelah batas waktu yang ditentukan). Namun, Ayat 29 menetapkan jalur yang berbeda untuk Ahli Kitab: opsi membayar *jizyah* sebagai syarat perdamaian dan perlindungan.

Ini menunjukkan bahwa dalam pandangan hukum Islam, Ahli Kitab memiliki status yang lebih tinggi daripada kaum musyrikin karena mereka memiliki dasar wahyu ilahi, meskipun dasar tersebut dianggap telah menyimpang. Status khusus ini menjadi fondasi bagi sistem *dhimmah* (perlindungan).

Institusi Jizyah: Makna, Tujuan, dan Praktik Historis

Puncak dari Ayat 29 adalah tujuan yang ingin dicapai melalui konflik atau negosiasi, yaitu: حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ ('sampai mereka membayar jizyah dengan kepatuhan, sedangkan mereka dalam keadaan tunduk').

A. Definisi Jizyah

Secara etimologi, *Jizyah* berasal dari kata dasar *jaza’* (balasan/imbalan). Secara terminologi fikih, *jizyah* adalah iuran finansial tahunan yang dikenakan oleh negara Islam kepada non-Muslim (terutama Ahli Kitab) yang tinggal di bawah perlindungan negara Islam, sebagai imbalan atas:

  1. Hak mereka untuk tetap mempraktikkan agama mereka.
  2. Pembebasan mereka dari kewajiban militer (jihad).
  3. Perlindungan penuh dari ancaman internal dan eksternal yang diberikan oleh negara Islam.

Para fuqaha sepakat bahwa *jizyah* bukanlah denda atas ketidakpercayaan, melainkan biaya perlindungan (pajak kepala) yang setara dengan kewajiban zakat bagi Muslim dan kewajiban membela negara melalui perang.

Perbandingan Jizyah dan Zakat

Meskipun sering disalahpahami, *jizyah* dan *zakat* berfungsi sebagai dua sistem pajak yang paralel dalam negara Islam. Muslim membayar zakat dan diwajibkan berperang. Ahli Kitab membayar *jizyah* dan dibebaskan dari zakat serta kewajiban militer. Jika seorang Muslim gagal membayar zakat, ia tetap diwajibkan berperang. Jika seorang *Dhimmi* (non-Muslim yang dilindungi) memilih untuk bergabung dalam pasukan Muslim, dalam banyak kasus (tergantung mazhab), ia dibebaskan dari *jizyah* karena ia telah memenuhi salah satu fungsi utama kewarganegaraan: pertahanan negara.

B. Kondisi Pembayaran: 'An Yadin' (dengan Kepatuhan)

Frasa عَن يَدٍ ('an yadin') memiliki interpretasi yang beragam, namun semuanya berpusat pada kepastian dan kemampuan membayar:

C. Kondisi Sikap: 'Wahum Sāghirūn' (Sedangkan Mereka Tunduk)

Frasa وَهُمْ صَاغِرُونَ ('wahum sāghirūn') adalah poin yang paling kontroversial dan memerlukan analisis tafsir yang cermat. Kata *sāghirūn* (dari *saghar*) berarti 'tunduk', 'terhina', atau 'mengalah'.

Tafsir dan Perdebatan Mengenai 'Saghar'

1. **Interpretasi Harfiah (Sebagian Mufassir Awal):** Sejumlah tafsir yang sangat harfiah, terutama dari masa awal penaklukan, menafsirkan *saghar* sebagai tindakan penghinaan fisik, misalnya dengan petugas pengumpul *jizyah* meminta pembayaran dilakukan saat *Dhimmi* sedang berdiri, atau bahkan dengan sedikit dorongan. Namun, pandangan ini ditolak oleh mayoritas ulama dan bertentangan dengan prinsip umum perlindungan *Dhimmi*.

2. **Interpretasi Legal dan Politikus (Jumhur Ulama):** Mayoritas ulama, termasuk Hanbali, Maliki, dan Syafi'i, menafsirkan *saghar* bukan sebagai penghinaan pribadi, tetapi sebagai pengakuan atas superioritas hukum (kedaulatan) Islam. *Saghar* berarti mereka tunduk pada hukum negara Islam, mengakui bahwa mereka berada di bawah perlindungan dan kedaulatan negara tersebut. Ini adalah status politik yang membedakan mereka dari warga negara Muslim yang berdaulat penuh dalam menjalankan syariat Islam. Mereka tunduk pada hukum Islam dalam urusan publik (seperti keamanan dan kriminalitas) tetapi bebas dalam urusan agama dan keluarga.

3. **Interpretasi Kontekstual (Ibnu Taimiyah dan Lainnya):** Ibnu Taimiyah, dalam menanggapi perlakuan terhadap *Dhimmi*, menyatakan bahwa penghinaan fisik bertentangan dengan prinsip keadilan Islam. Status *sāghirūn* hanya merujuk pada fakta bahwa mereka adalah pembayar *jizyah* (yang merupakan beban), sementara Muslim adalah penerima zakat (yang merupakan pemurnian). Jadi, ketundukan adalah konsekuensi alami dari status fiskal dan perlindungan militer, bukan perintah untuk merendahkan martabat manusia.

Struktur Hukum Jizyah dalam Fikih Klasik

Dalam fikih, *jizyah* tidak berlaku untuk semua non-Muslim. Wanita, anak-anak, orang tua, orang sakit kronis, pendeta yang mengasingkan diri, dan orang miskin yang tidak mampu bekerja, semuanya dibebaskan dari *jizyah*. Hal ini semakin memperkuat bahwa *jizyah* adalah pajak berdasarkan kemampuan dan sebagai ganti jasa militer, bukan hukuman teologis.

Asbabun Nuzul dan Implementasi Historis

Latar Belakang Wahyu (Asbabun Nuzul)

Para ulama tafsir sepakat bahwa Ayat 29 diturunkan tak lama setelah Perang Tabuk (9 H), atau dalam persiapan untuk Perang tersebut. Tabuk adalah kampanye militer yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ melawan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) yang didominasi oleh Nasrani, yang dikhawatirkan akan menyerang Madinah.

Sebelum Tabuk, hubungan dengan Ahli Kitab, terutama Yahudi di Madinah, sering diwarnai pengkhianatan dan pelanggaran perjanjian. Dengan memproklamasikan pemutusan hubungan total dengan musyrikin dalam surah ini, diperlukan kejelasan mengenai bagaimana berhubungan dengan Ahli Kitab. Ayat 29 memberikan kerangka hukum ini: perang adalah opsi jika mereka hostile, tetapi perdamaian dimungkinkan melalui pembayaran *jizyah* dan penerimaan kedaulatan Islam.

Implementasi di Masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin

Setelah diturunkan ayat ini, Nabi Muhammad ﷺ mengutus Khalid bin Walid ke Dumatul Jandal. Khalid berhasil membuat perjanjian dengan pemimpin Kristen di sana untuk membayar *jizyah* sebagai syarat perdamaian. Ini adalah salah satu contoh pertama implementasi praktis ayat 29.

Pada masa Khulafaur Rasyidin, sistem *jizyah* dan *dhimmah* dikodifikasi secara ketat. Saat Umar bin Khattab menaklukkan wilayah Syam (Suriah) dan Yerusalem, dia memastikan bahwa Ahli Kitab diberikan perlindungan penuh, kebebasan beribadah, dan penjaminan keamanan, dengan imbalan pembayaran *jizyah*. Ketika Muslim kalah dalam pertempuran (seperti di Homs sebelum Yarmuk), Umar bahkan memerintahkan pengembalian *jizyah* yang telah dikumpulkan, karena negara tidak lagi mampu memberikan perlindungan militer. Tindakan ini secara historis membuktikan bahwa *jizyah* adalah murni biaya layanan dan perlindungan, bukan hukuman teologis.

Analisis Linguistik Mendalam: Tiga Kata Kunci

Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang substansial, penting untuk menggali akar makna dari tiga kata kunci yang membentuk inti hukum dalam ayat ini.

1. Qātilū (قَاتِلُوا) – Perangilah

Penggunaan kata kerja قَاتِلُوا (Qātilū) adalah imperatif jamak yang berarti 'perangilah' atau 'berjuanglah melawan'. Dalam konteks fikih, perintah ini bukanlah perintah untuk memulai perang tanpa sebab, melainkan perintah untuk bertindak defensif atau preemptif terhadap ancaman, atau untuk menegakkan kedaulatan Islam setelah upaya dakwah dan negosiasi gagal. Dalam ilmu *Siyar* (hukum perang), perang harus didahului oleh seruan. Seruan kepada Ahli Kitab adalah salah satu dari tiga opsi: masuk Islam, membayar *jizyah*, atau perang.

Ayat ini menetapkan bahwa opsi peperangan dihentikan seketika jika Ahli Kitab memilih untuk membayar *jizyah* dan tunduk pada kedaulatan hukum negara Islam. Ini membuktikan bahwa tujuan utama bukan penghancuran atau konversi paksa, melainkan pembentukan tatanan politik yang aman dan stabil, di mana Ahli Kitab tetap bebas menjalankan agama mereka di bawah perlindungan negara Islam.

2. Jizyah (الْجِزْيَةَ) – Imbalan/Pajak Perlindungan

Seperti yang telah dibahas, *jizyah* bukan hanya sekadar pajak, tetapi kontrak sosial-politik. Status kontrak ini memiliki implikasi hukum yang besar:

3. Sāghirūn (صَاغِرُونَ) – Tunduk/Mengalah

Penguatan konsep *sāghirūn* secara mendalam menuntut pemahaman terhadap perbedaan antara 'kehinaan spiritual' dan 'ketundukan politik'. Dalam pandangan Islam, penghinaan spiritual hanya terjadi melalui dosa. Sementara itu, penghinaan yang dimaksud ayat 29 adalah penghinaan politik yang diakibatkan oleh penolakan mereka terhadap syariat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang mengakibatkan mereka harus berada di bawah perlindungan negara lain.

Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menjelaskan bahwa ketundukan ini adalah pengakuan kedaulatan. Non-Muslim harus menyadari bahwa otoritas tertinggi di wilayah tersebut adalah Islam, dan mereka hidup atas dasar perjanjian perlindungan yang mengatur hidup mereka, bukan atas dasar kedaulatan independen mereka sendiri.

Tafsir Kontemporer dan Relevansi Modern

Di era modern, di mana konsep negara bangsa (nation-state) menjadi norma, Surah At-Taubah 29 memerlukan reinterpretasi yang hati-hati dalam konteks *fiqh mu’asir* (fikih kontemporer) dan hubungan internasional.

Konsep Dhimmah dalam Negara Modern

Banyak ulama kontemporer, seperti Yusuf al-Qaradawi dan Muhammad Abduh, berpendapat bahwa sistem *jizyah* dan *dhimmah* pada dasarnya adalah model hukum kewarganegaraan dan perlindungan minoritas yang disempurnakan pada masanya. Dalam negara modern yang menjamin kesetaraan sipil, kebebasan beragama, dan kewajiban militer bagi semua warga negara (Muslim maupun non-Muslim), institusi *jizyah* secara fungsional telah digantikan oleh sistem pajak modern yang diterapkan secara merata.

Jika non-Muslim di negara yang mayoritas Muslim menerima hak dan kewajiban kewarganegaraan penuh—termasuk membayar pajak umum dan mungkin menjalani wajib militer—maka status mereka sama dengan Muslim dalam konteks hukum publik, dan konsep *jizyah* secara spesifik tidak lagi relevan karena fungsi perlindungannya telah terpenuhi melalui sistem kewarganegaraan modern.

Memahami Perintah Qātilū (Perangilah)

Perintah untuk memerangi (qātilū) dalam ayat ini harus selalu dilihat dalam konteks Surah At-Taubah secara keseluruhan. Ayat-ayat ini diturunkan setelah pelanggaran perjanjian berulang kali oleh musuh-musuh Islam dan menjelang konfrontasi besar dengan kekuatan asing. Para ulama kontemporer menekankan bahwa hukum perang dalam Islam (Jihad *Qitali*) adalah respons terhadap agresi, ancaman, atau ketidakadilan sistemik. Peperangan tidak boleh dimulai hanya karena perbedaan agama.

Ayat 29 bukan pembenaran untuk perang tanpa batas. Sebaliknya, ia menetapkan batas yang jelas: konflik dihentikan begitu opsi politik (pembayaran *jizyah* yang menjamin kedaulatan dan perdamaian) diterima. Ini menunjukkan preferensi Islam terhadap perdamaian dan stabilitas regional, bahkan ketika kelompok lain menolak risalah Islam.

Kesalahpahaman Kritis Mengenai Ayat 29

Ayat ini sering menjadi sasaran kritik atau disalahpahami, baik oleh non-Muslim maupun oleh kelompok ekstremis yang menyimpang. Penting untuk mengklarifikasi dua kesalahpahaman utama.

1. Jizyah sebagai Perampasan Kekayaan

Kesalahpahaman: *Jizyah* adalah alat eksploitasi ekonomi untuk memiskinkan non-Muslim.

Klarifikasi: Fikih Islam melarang *jizyah* dikenakan pada orang miskin, wanita, dan anak-anak. Jika *jizyah* ditujukan untuk perampasan, ia akan dikenakan tanpa pandang bulu. Fakta bahwa *jizyah* dibebaskan bagi mereka yang tidak mampu atau tidak wajib berperang membuktikan bahwa ia adalah pajak berbasis kemampuan yang ditujukan untuk membiayai layanan perlindungan militer dan keamanan internal. Bukti historis menunjukkan bahwa di masa keemasan Islam, non-Muslim sering kali lebih kaya daripada Muslim karena mereka dibebaskan dari kewajiban militer dan berbagai jenis zakat.

2. Sāghirūn sebagai Penghinaan Diri

Kesalahpahaman: Islam memerintahkan non-Muslim untuk dipermalukan secara fisik atau sosial.

Klarifikasi: Sebagaimana dijelaskan, penafsiran mayoritas ulama menolak penghinaan fisik. Konsep *saghar* merujuk pada status politik. Negara Islam adalah negara yang dipimpin oleh syariat, dan siapa pun yang memilih untuk tidak memeluk syariat tersebut namun ingin tinggal di bawah perlindungannya, secara otomatis menempatkan diri dalam posisi tunduk pada sistem hukum negara. Ini adalah realitas politik dan hukum dari sebuah negara berdaulat.

Ekstensi Fikih: Siapa yang Dianggap Ahl Al-Kitab?

Ayat 29 secara spesifik menyebutkan Ahli Kitab. Dalam praktiknya, para fuqaha memperluas cakupan ini seiring meluasnya kekuasaan Islam ke wilayah Persia dan India. Perdebatan utama adalah apakah hukum *jizyah* dapat diterapkan kepada penganut agama lain selain Yahudi dan Nasrani.

Pentingnya Perjanjian Nabi dengan Majusi

Ketika Islam berinteraksi dengan Majusi (Zoroastrian) di Persia, ada hadis yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ memberlakukan *jizyah* kepada mereka, seolah-olah mereka juga termasuk Ahli Kitab. Khalifah Umar bin Khattab kemudian mengkodifikasi perlakuan ini, menyatakan bahwa Majusi harus diperlakukan sama dengan Ahli Kitab dalam hal pembayaran *jizyah*.

Pandangan Abu Hanifah dan Perluasan

Mazhab Hanafi mengambil pandangan yang paling luas, menyatakan bahwa *jizyah* dapat diterima dari semua non-Muslim (kecuali kaum musyrikin Arab pagan yang tidak memiliki kitab suci, yang hukumnya ketat dan terbatas). Pandangan ini memungkinkan integrasi dan perlindungan non-Muslim dari berbagai latar belakang agama yang lebih luas, seperti Hindu dan Buddha, ketika wilayah Islam meluas ke timur. Perluasan ini didasarkan pada prinsip kemaslahatan (kebaikan publik) dan preferensi Islam untuk perdamaian dan perlindungan minoritas, alih-alih konflik berkelanjutan.

Kesimpulan: Keadilan dan Tatanan Ayat 29

Surah At-Taubah ayat 29 adalah salah satu fondasi utama dalam sistem hukum Islam mengenai hubungan antara negara Islam dan non-Muslim, khususnya Ahli Kitab. Ayat ini menetapkan tatanan yang stabil berdasarkan prinsip keadilan komparatif.

Ayat ini berfungsi sebagai tawaran politik yang tegas: Hentikan konflik dan terima kedaulatan negara Islam, yang akan menjamin perlindungan penuh atas nyawa, harta, dan kebebasan beragama Anda, dengan imbalan kontribusi finansial (jizyah) yang menggantikan kewajiban militer. Ayat ini tidak bertujuan untuk konversi paksa, melainkan untuk menegaskan bahwa Islam memiliki struktur hukum yang mampu memberikan perlindungan dan keadilan bagi semua penghuni wilayahnya, terlepas dari keyakinan mereka.

Analisis mendalam terhadap *jizyah* dan *sāghirūn* menunjukkan bahwa hukum ini berakar pada kewajiban perlindungan timbal balik dan pengakuan kedaulatan, bukan pada penghinaan pribadi atau penindasan ekonomi. Relevansi hukumnya di era modern bergeser dari pembayaran pajak spesifik menjadi prinsip kewarganegaraan yang setara, di mana hak dan kewajiban sipil menjamin perlindungan dan stabilitas sosial bagi semua warga negara.

Dengan demikian, Surah At-Taubah Ayat 29 tetap menjadi teks vital dalam memahami kerangka etika dan hukum Islam dalam mewujudkan perdamaian, keadilan, dan sistem perlindungan bagi minoritas di bawah pemerintahan yang berlandaskan syariat.

Implikasi Lebih Lanjut dalam Fikih Siyar

Para ahli fikih *siyar* (hukum perang dan hubungan internasional) menggarisbawahi bahwa ayat ini mengajarkan tiga pelajaran utama mengenai hubungan luar negeri:

1. Supremasi Prinsip Perdamaian

Perintah untuk berperang (قَاتِلُوا) bersifat kondisional dan bertujuan mengakhiri anarki atau ancaman. Pintu keluar dari konflik selalu terbuka melalui perjanjian damai yang diikat oleh *jizyah*. Prioritas negara Islam adalah mengamankan wilayahnya dan memberikan *aman* (keamanan) kepada penduduknya, bahkan jika mereka berbeda agama.

2. Kontrak Sosial yang Jelas

Sistem *dhimmah* yang lahir dari ayat ini adalah salah satu model kontrak sosial tertua di dunia, yang secara formal mengakui dan melindungi hak-hak minoritas agama dalam negara mayoritas. Ini mencegah asimilasi paksa dan menjamin otonomi agama dan budaya.

3. Prinsip Non-Diskriminasi dalam Kewajiban

Meskipun ada perbedaan dalam jenis kontribusi finansial (Zakat vs. Jizyah), prinsip dasarnya adalah bahwa setiap warga negara harus berkontribusi pada kas negara untuk membiayai pertahanan dan layanan publik. Muslim membayar Zakat dan membela negara; *Dhimmi* membayar *Jizyah* sebagai kompensasi atas pembebasan dari kewajiban militer dan sebagai biaya perlindungan. Ini adalah prinsip kesetaraan beban, meskipun bentuknya berbeda.

***

Kajian mendalam ini menegaskan bahwa setiap ayat dalam Al-Qur’an, termasuk yang tampak keras, harus diinterpretasikan melalui lensa kontekstual yang kaya dari fikih dan sejarah Islam. Surah At-Taubah 29 adalah bukti dari kemampuan Islam untuk menciptakan sistem politik yang kompleks dan stabil, yang mampu mengelola pluralitas agama di bawah satu payung kedaulatan hukum ilahi.

🏠 Homepage