Tafsir Mendalam Surah At-Taubah Ayat 34: Peringatan Keras terhadap Penimbunan Harta (Kanz) dan Penyimpangan Agama

Representasi Keseimbangan Ekonomi Islam: Peringatan Kanz dan Dorongan Infak Ilustrasi yang menunjukkan dua konsep: harta simpanan yang ditahan (Kanz) yang diwakili oleh kotak emas tertutup, dan harta yang dialirkan (Infak) yang diwakili oleh air mengalir atau koin yang dikeluarkan. Tanda seru merah di tengah menandakan peringatan keras terhadap penahanan kekayaan. Kanz (Harta Ditahan) Infak (Pengeluaran) !
Ilustrasi filosofis mengenai konsekuensi penimbunan kekayaan yang dilarang dalam Islam berbanding lurus dengan pentingnya mengalirkan harta melalui infak dan zakat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّـهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Terjemahan: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah [9]: 34)

Surah At-Taubah ayat 34 adalah salah satu ayat terpenting dalam Al-Qur'an yang membahas secara komprehensif mengenai tanggung jawab moral dan ekonomi, sekaligus memberikan kritik tajam terhadap penyimpangan otoritas agama. Ayat ini memuat dua peringatan utama yang saling terkait namun berbeda sasarannya: yang pertama ditujukan kepada para pemimpin agama yang menyalahgunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi, dan yang kedua merupakan peringatan universal kepada umat beriman mengenai bahaya penimbunan harta (*kanz*) dan kewajiban menafkahkannya di jalan Allah. Analisis mendalam terhadap ayat ini memerlukan pemahaman konteks historis, linguistik, dan implikasi hukum Islam (fiqh).

I. Kritik Terhadap Penyalahgunaan Otoritas Agama (Al-Ahbar wa Ar-Ruhban)

Bagian pertama ayat ini menyasar perilaku para ahli agama, yaitu *al-ahbar* (ulama Yahudi) dan *ar-ruhban* (rahib Nasrani). Kritik ini tidak ditujukan kepada semua pemuka agama tersebut, melainkan kepada "sebagian besar" (*inna katsiran*) dari mereka yang telah menyimpang dari ajaran murni. Ini adalah pembedaan yang sangat penting, menunjukkan bahwa Islam mengakui kemungkinan adanya individu yang benar di antara mereka, namun mayoritasnya telah terjerumus dalam kesalahan fatal.

A. Makna 'Memakan Harta dengan Jalan yang Batil'

Frasa kunci dalam kritik ini adalah “لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ” (benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil). Istilah *al-batil* merujuk pada segala sesuatu yang tidak memiliki dasar kebenaran atau legitimasi syariat. Tindakan memakan harta secara batil oleh para pemuka agama ini dapat terjadi dalam beberapa bentuk yang sangat spesifik dan merusak:

1. Penyelewengan Hukum dan Fatwa

Salah satu bentuk paling berbahaya dari memakan harta secara batil adalah dengan menjual fatwa atau memutarbalikkan hukum agama demi keuntungan pribadi atau penguasa. Para ahli kitab ini, dengan posisi otoritas mereka, menetapkan aturan-aturan baru (misalnya, menafsirkan *kitab suci* secara sewenang-wenang) atau membenarkan praktik-praktik yang dilarang, asalkan mereka mendapatkan imbalan materi. Mereka menggunakan kedudukan spiritual mereka sebagai alat untuk memeras atau menerima suap, sehingga mencemari kemurnian ajaran ilahi dan menjadikan agama sebagai komoditas yang diperdagangkan. Ini secara substansial merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi agama itu sendiri, dan merupakan pelanggaran ganda: terhadap kebenaran ilahi dan terhadap hak-hak sesama manusia.

2. Eksploitasi Donasi dan Wakaf

Banyak di antara mereka yang hidup mewah dari sumbangan (nazar atau wakaf) yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum atau pemeliharaan tempat ibadah. Mereka mengambil bagian terbesar dari donasi tersebut untuk memperkaya diri sendiri, padahal mereka seharusnya hidup sederhana dan menjadi teladan. Penyelewengan ini bukan hanya soal mengambil harta, tetapi juga soal mengkhianati amanah suci yang diberikan oleh para pengikut. Kepercayaan publik dikhianati, dan sumber daya yang seharusnya mengalir untuk kesejahteraan umat justru terhenti di kantong-kantong pribadi mereka.

3. Riba dan Penipuan Berkedok Agama

Meskipun riba dilarang dalam ajaran mereka, sebagian dari mereka mencari celah atau bahkan melegitimasi bentuk-bentuk pinjaman yang eksploitatif dengan label agama. Penipuan yang mereka lakukan berkedok nasihat spiritual atau transaksi keagamaan, padahal intinya adalah mengambil keuntungan yang tidak adil dari orang-orang awam yang polos. Ini menunjukkan betapa ironisnya, bahwa orang-orang yang seharusnya mengajarkan kebenaran justru menjadi ujung tombak praktik-praktik ekonomi yang menindas.

B. Menghalangi dari Jalan Allah (Wa Yashudduna An Sabilillah)

Konsekuensi logis dari penyimpangan ekonomi ini adalah mereka “menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” Tindakan ini jauh lebih serius daripada sekadar korupsi materi; ini adalah korupsi spiritual. Ketika pemimpin agama hidup dalam kemewahan hasil penipuan, mereka secara otomatis menciptakan jarak antara ajaran yang mereka sampaikan dengan praktik hidup mereka. Masyarakat menjadi sinis dan menjauhi agama karena melihat para pemegang otoritasnya adalah orang-orang munafik.

Penghalangan dari jalan Allah juga bisa berupa pemelintiran ajaran untuk mempertahankan status quo kekuasaan mereka atau kekuasaan para sekutu politik mereka. Mereka menciptakan dogma-dogma yang mempersulit orang untuk menerima kebenaran Islam, atau mereka menanamkan prasangka yang mendalam terhadap risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, mereka tidak hanya merusak diri sendiri, tetapi juga menjadi penghalang besar bagi hidayah yang seharusnya diterima oleh umat manusia. Ini adalah bentuk kerusakan sosial-keagamaan yang masif, di mana kebenaran dicampuradukkan dengan kepentingan pribadi.

II. Peringatan Universal: Bahaya Penimbunan Harta (Kanz)

Setelah mengkritik ahli kitab, ayat 34 beralih ke peringatan yang bersifat umum, ditujukan kepada seluruh umat beriman (dan siapa pun) mengenai bahaya menimbun harta, yang dalam konteks ayat ini disebut sebagai *Kanz* (penimbunan). Ayat ini menyatakan: “وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّـهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ” (Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih).

A. Definisi Kanz dan Perbedaan Pandangan Ulama

Istilah *Kanz* (كنز) secara bahasa berarti simpanan atau harta yang terpendam. Namun, dalam konteks syariat, definisi *Kanz* yang dilarang dan mengundang siksa pedih telah menjadi subjek diskusi mendalam di kalangan mufasir dan fuqaha. Perdebatan ini berpusat pada pertanyaan: Apakah semua harta simpanan dilarang, atau hanya harta simpanan tertentu?

1. Pandangan Klasik yang Ketat (Pendapat Awal Sahabat)

Beberapa Sahabat terkemuka, terutama di masa awal Islam, seperti Abu Dzar Al-Ghifari RA, menafsirkan ayat ini secara sangat harfiah. Menurut pandangan ini, *semua* simpanan emas dan perak yang melebihi kebutuhan sehari-hari, meskipun zakatnya telah ditunaikan, dianggap sebagai *kanz* yang dilarang. Mereka berpendapat bahwa kekayaan seharusnya sepenuhnya diinfakkan di jalan Allah setelah menutupi kebutuhan primer. Abu Dzar sangat teguh pada pandangan ini dan mengutip ayat 34 sebagai landasan bahwa kepemilikan harta berlebihan itu sendiri merupakan pelanggaran etika sosial dan agama. Bagi mereka, tujuan kekayaan adalah untuk berfungsi sebagai alat ekonomi dan sosial, bukan sebagai benda statis yang disimpan.

Penekanan pada penolakan terhadap akumulasi statis ini mencerminkan filosofi radikal Islam mengenai distribusi kekayaan, yaitu bahwa kekayaan yang tidak bergerak adalah kekayaan yang mati. Kekayaan yang stagnan menghambat perputaran ekonomi dan menumpuk di tangan segelintir orang, yang pada akhirnya melahirkan ketidakadilan sosial. Abu Dzar melihat bahwa ancaman siksa pedih dalam ayat ini adalah peringatan terhadap mentalitas menimbun yang melekat pada kepemilikan berlebihan, meskipun ia mengakui kewajiban zakat.

2. Pandangan Mayoritas Ulama (Jumhur)

Pandangan yang dipegang oleh mayoritas ulama (Jumhur al-Fuqaha), termasuk empat mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali), menawarkan interpretasi yang lebih pragmatis dan hukumiah. Mereka mendefinisikan *Kanz* yang dilarang sebagai harta simpanan yang belum dikeluarkan zakatnya.

Dalil utama mereka adalah Hadis dari Nabi Muhammad SAW yang bersabda: "Setiap harta yang ditunaikan zakatnya bukanlah *kanz*." (Diriwayatkan oleh Abu Dawud). Jika seseorang memiliki emas dan perak, dan ia menghitung zakatnya setiap tahun dan menunaikannya, maka harta tersebut telah disucikan dan tidak lagi jatuh dalam kategori *kanz* yang diancam siksa pedih. Dalam pandangan ini, ancaman ayat 34 adalah spesifik untuk orang-orang yang menghindari kewajiban fiskal mereka (zakat) kepada masyarakat dan kepada Allah. Zakat berfungsi sebagai mekanisme pembersihan dan legitimasi kepemilikan harta. Dengan menunaikan zakat, harta itu berpindah dari status *kanz* yang terlarang menjadi harta pribadi yang sah dan berkah.

B. Mengapa Penimbunan Diharamkan? Filosofi Ekonomi Islam

Terlepas dari perbedaan definisi hukumiah, inti dari larangan *kanz* adalah filosofi ekonomi Islam yang menolak pemusatan kekayaan. Ayat 34 secara tegas menyebutkan "tidak menafkahkannya pada jalan Allah" (*wa lā yunfiqūnahā fī sabīlillāh*). Frasa ini mencakup dua dimensi penting:

1. Kewajiban Zakat (Infak Wajib)

Zakat adalah manifestasi paling dasar dari infak yang wajib. Zakat memastikan bahwa sebagian kecil dari kekayaan individu dialihkan kepada delapan asnaf (golongan penerima), sehingga menjaga stabilitas sosial dan mencegah ketimpangan ekstrem. Menolak membayar zakat adalah menahan hak orang miskin yang sesungguhnya terkandung dalam harta si kaya, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama. Penimbun harta yang enggan berzakat tidak hanya melanggar perintah agama tetapi juga merusak tatanan sosial yang adil.

2. Dorongan Infak Sunnah (Tanggung Jawab Sosial yang Lebih Luas)

Selain zakat, frasa "menafkahkannya pada jalan Allah" juga merujuk pada infak, sedekah, dan partisipasi dalam pembiayaan proyek-proyek publik (seperti jihad, pendidikan, dan kesehatan) yang bersifat sunnah. Meskipun harta sudah dizakati, Islam mendorong agar kekayaan yang berlebihan tetap dialirkan. Ekonomi Islam menolak harta yang disimpan mati; ia harus bergerak, berinvestasi, dan menciptakan lapangan kerja. Penimbunan yang ekstrem, bahkan setelah zakat, jika menghambat pergerakan ekonomi dan menyebabkan kesulitan bagi masyarakat, bertentangan dengan semangat ayat ini.

Kekayaan yang dibekukan (*kanz*) adalah sumber penyakit ekonomi. Ia mengurangi sirkulasi uang, menyebabkan deflasi lokal, dan memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Ayat 34 adalah fondasi etika Islam yang menuntut agar kekayaan berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial dan bukan sebagai simbol kekuasaan yang mandul. Ini adalah penegasan bahwa kepemilikan pribadi tunduk pada tanggung jawab sosial.

III. Ancaman Siksa yang Pedih (Azabun Alim)

Ayat ini diakhiri dengan peringatan yang sangat mengerikan bagi mereka yang menimbun harta dan enggan berinfak: “فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ” (maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih). Kata *fabaṣhirhum* (beritahukanlah kepada mereka) digunakan secara ironis di sini, karena 'berita gembira' (basyir) digantikan dengan ancaman siksaan.

A. Gambaran Siksa dalam Tafsir dan Hadis

Al-Qur'an melanjutkan ayat 34 ini dengan ayat 35 (QS. 9:35), yang memberikan deskripsi rinci mengenai sifat siksaan tersebut. Ayat 35 menjelaskan bahwa pada Hari Kiamat, emas dan perak yang mereka timbun akan dipanaskan di dalam api neraka dan digunakan untuk menyeterika dahi, lambung, dan punggung mereka, sambil dikatakan: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah akibat dari apa yang kamu simpan itu."

1. Siksaan Fisik dan Psikologis

Siksaan ini bersifat ganda: fisik dan psikologis. Secara fisik, panasnya logam yang sangat berharga di dunia kini menjadi sumber penderitaan. Secara psikologis, siksaan ini adalah pengingat abadi bahwa benda yang mereka cintai dan pertahankan dengan penuh ketamakan di dunia kini menjadi alat penghukuman mereka. Setiap sentuhan panas adalah realisasi kegagalan mereka memahami tujuan hakiki harta.

2. Relevansi Anggota Tubuh yang Diseterika

Mufasir seperti Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir menjelaskan mengapa tiga bagian tubuh—dahi, lambung, dan punggung—disebutkan:

Siksaan ini adalah hukuman yang sangat sesuai (mubadalah) dengan dosa yang dilakukan. Harta yang seharusnya menjadi sarana kebahagiaan dan pertolongan, justru menjadi bahan bakar penderitaan abadi.

Peringatan keras ini harus dipahami sebagai upaya ilahi untuk memutus rantai keterikatan manusia yang berlebihan pada materi, mengingatkan bahwa kekayaan hanyalah alat, bukan tujuan akhir. Sifat ancaman yang spesifik ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang masalah ketidakadilan ekonomi yang ditimbulkan oleh praktik *kanz* atau penahanan kekayaan dari sirkulasi yang semestinya. Dampak kerugian *kanz* tidak hanya individual, tetapi juga kolektif dan struktural, yang menghancurkan pondasi solidaritas umat.

IV. Sinergi antara Kritik Agama dan Ekonomi

Ayat 34 secara jenius menyandingkan dua dosa besar yang tampak berbeda namun memiliki akar yang sama: penyalahgunaan otoritas agama oleh ahli kitab dan penimbunan harta oleh umat beriman. Sinergi ini mengajarkan pelajaran penting:

A. Ketamakan Materi sebagai Akar Penyimpangan

Baik ahli kitab yang menjual fatwa maupun umat Islam yang menimbun harta, akar masalahnya adalah ketamakan materi (*hubbud dunya*). Ketika harta menjadi dewa yang disembah, baik kebenaran spiritual (bagi ahli kitab) maupun kewajiban sosial (bagi penimbun harta) akan dikorbankan.

Para ahli kitab mengorbankan ajaran suci untuk mendapatkan emas dan perak, sementara orang-orang yang menimbun harta mengorbankan perintah Allah untuk berinfak demi mempertahankan emas dan perak mereka. Ayat ini menunjukkan bahwa korupsi, baik di tingkat spiritual-institusional maupun di tingkat ekonomi-individual, berasal dari penyakit hati yang sama: cinta dunia yang melampaui batas dan penolakan untuk berbagi. Ayat 34 secara efektif menempatkan tanggung jawab ekonomi sebagai bagian integral dari keimanan. Keimanan yang benar tidak dapat dipisahkan dari etika harta yang adil dan bertanggung jawab.

B. Membangun Ekonomi yang Berkeadilan

Ayat ini berfungsi sebagai pilar penting dalam membentuk sistem ekonomi Islam. Ia menegaskan bahwa harta adalah milik Allah dan manusia hanya pemegang amanah. Jika amanah ini tidak ditunaikan (melalui zakat dan infak), maka konsekuensinya bukan hanya kerugian di dunia, tetapi juga siksa di akhirat.

Prinsip larangan *kanz* adalah mekanisme utama dalam Ekonomi Islam untuk mendorong investasi produktif, sirkulasi kekayaan, dan redistribusi. Hal ini kontras dengan sistem ekonomi kapitalis murni yang sering kali mengagungkan akumulasi kekayaan statis tanpa batas. Islam menetapkan batas etis dan hukumiah terhadap akumulasi yang tidak aktif, memaksa kekayaan untuk berputar demi kesejahteraan kolektif. Tanpa sirkulasi yang diwajibkan oleh zakat dan didorong oleh infak, masyarakat akan rentan terhadap stratifikasi sosial yang kaku, di mana kekuasaan dan sumber daya hanya dimiliki oleh kelompok elit kecil.

V. Elaborasi Konsep Zakat sebagai Pembersih Kanz

Untuk memahami kedalaman hukum yang muncul dari ayat 34, penting untuk menguatkan pemahaman bahwa zakat adalah antitesis spiritual dan hukumiah dari *kanz*. Ketika Allah memerintahkan untuk tidak menahan harta, Dia menyediakan zakat sebagai jalan keluar yang sah dan suci. Zakat bukan sekadar pajak; ia adalah ibadah yang membersihkan jiwa dari sifat kikir dan membersihkan harta dari hak orang lain.

A. Zakat: Hak Fiksif yang Terkandung dalam Harta

Para ulama sepakat bahwa zakat adalah hak fakir miskin yang telah ditetapkan oleh Allah SWT atas harta orang kaya. Ketika seorang muslim menahan zakatnya, ia bukan hanya menolak membayar kewajiban, tetapi ia merampas hak orang lain yang telah Allah jamin. Ini menjadikan harta simpanannya (emas dan perak) tercampur dengan sesuatu yang haram. Karena hak orang lain telah melekat pada harta tersebut, maka harta itu berubah statusnya menjadi *kanz* yang najis, yang mengundang siksa pedih.

Konsep ini diperkuat oleh tafsir bahwa ancaman *azabun alim* adalah karena dosa menahan zakat, bukan karena kepemilikan harta itu sendiri. Kepemilikan harta, selama diperoleh secara halal dan ditunaikan hak-haknya, adalah dibolehkan, bahkan bisa menjadi wasilah kebaikan. Namun, ketika dimensi kewajiban sosial diabaikan, kekayaan menjadi kutukan.

B. Implikasi Kontemporer Kanz dalam Keuangan Modern

Meskipun ayat 34 secara spesifik menyebut "emas dan perak," para ulama kontemporer memperluas makna *kanz* untuk mencakup segala bentuk aset likuid yang ditimbun atau disimpan mati tanpa ditunaikan kewajiban zakatnya. Ini termasuk:

  1. Uang Tunai: Jumlah besar uang tunai yang disimpan di rumah atau di rekening tabungan yang tidak produktif dan tidak dikenai zakat.
  2. Obligasi atau Deposito Non-Syariah: Investasi yang memiliki unsur riba atau tidak ditunaikan zakatnya secara benar.
  3. Properti Menganggur (Idle Assets): Properti yang dibeli semata-mata untuk spekulasi dan ditahan tanpa digunakan atau disewakan, dengan tujuan menunggu kenaikan harga tanpa membayar zakat aset (jika memenuhi kriteria tertentu).
Dalam konteks ekonomi global, semangat ayat 34 mendorong umat Islam untuk menginvestasikan kekayaan mereka dalam proyek-proyek yang produktif, yang menciptakan nilai tambah, lapangan kerja, dan manfaat sosial, alih-alih membiarkannya stagnan di brankas atau rekening tabungan tanpa pergerakan yang signifikan.

Peringatan terhadap *kanz* adalah pertahanan Islam terhadap mentalitas *rent-seeking* (pencarian rente) di mana kekayaan dihasilkan bukan dari kerja keras atau inovasi, tetapi hanya dari penahanan aset dan eksploitasi kenaikan harga tanpa kontribusi riil kepada ekonomi. Ini adalah peringatan abadi bagi para pemilik modal besar bahwa tanggung jawab mereka melampaui batas kepemilikan pribadi.

VI. Analisis Mendalam tentang ‘Infak di Jalan Allah’ (Fī Sabīlillāh)

Tuntutan sentral dalam ayat ini, yang menjadi kontras dengan praktik *kanz*, adalah perintah untuk *infak* (menafkahkan harta) di jalan Allah. Konsep *fī sabīlillāh* ini adalah istilah yang sangat luas dan mencakup setiap bentuk pengeluaran yang bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan menegakkan keadilan di bumi. Infak di jalan Allah tidak hanya terbatas pada donasi perang atau pertahanan militer, melainkan mencakup spektrum yang jauh lebih luas dari pembangunan peradaban Islam.

A. Tiga Pilar Infak Fī Sabīlillāh

Infak dalam konteks ayat 34 dapat dikategorikan menjadi tiga pilar utama yang harus dipenuhi oleh seorang muslim yang memiliki kelebihan harta, dan ini menunjukkan bahwa tanggung jawab *infak* melampaui kewajiban zakat semata.

1. Infak Kesejahteraan Sosial (Social Welfare)

Ini adalah pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang kurang mampu, termasuk memberi makan yang kelaparan, menyediakan pakaian bagi yang tidak mampu, dan membantu para musafir. Infak ini berfungsi sebagai jaring pengaman sosial yang memastikan tidak ada anggota masyarakat yang tertinggal karena kemiskinan ekstrem. Hal ini mencerminkan prinsip bahwa solidaritas umat adalah prioritas di atas kemewahan individu.

2. Infak Pembangunan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan (Knowledge Infrastructure)

Mendukung para pelajar, ulama, pembangunan institusi pendidikan, dan penelitian ilmiah merupakan bentuk infak *fī sabīlillāh* yang krusial. Ilmu adalah fondasi kekuatan dan kemajuan umat. Tanpa dukungan finansial yang memadai, penyebaran kebenaran dan pembangunan intelektual akan terhambat, yang pada akhirnya mengakibatkan kemunduran umat dari jalan Allah. Dalam era modern, ini berarti mendanai teknologi, inovasi, dan pusat-pusat kajian Islam yang independen.

3. Infak Pertahanan dan Dakwah (Da'wah and Defense)

Secara tradisional, *fī sabīlillāh* sering diasosiasikan dengan jihad (pertahanan dan perjuangan). Namun, pada masa damai, infak ini lebih banyak berfokus pada upaya dakwah, menyebarkan pesan Islam kepada non-muslim dan memperkuat keimanan internal umat. Ini termasuk pembiayaan media dakwah, penerbitan buku, dan misi-misi kemanusiaan yang membawa citra positif Islam. Ketika harta tidak diinfakkan untuk tujuan-tujuan ini, dakwah dan kekuatan umat akan melemah, dan ini secara langsung melanggar semangat ayat 34.

B. Hubungan Timbal Balik Kanz dan Infak

Ayat 34 menciptakan polaritas yang jelas: *Kanz* adalah representasi dari egoisme dan kekakuan ekonomi, sementara *Infak* adalah representasi dari altruisme dan dinamika ekonomi. Semakin besar kecenderungan seseorang untuk *kanz*, semakin berkurang kontribusinya pada *infak*, yang pada gilirannya memperlemah seluruh struktur sosial umat Islam. Penahanan harta secara statis adalah dosa karena ia menahan potensi kebaikan yang seharusnya dihasilkan oleh harta tersebut bagi masyarakat luas.

Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi umat Islam bukan hanya sekadar mengeluarkan zakat, tetapi mengembangkan budaya *infak* yang proaktif. Infak harus menjadi gaya hidup, bukan sekadar kewajiban tahunan yang terpaksa. Kekayaan harus dipandang sebagai energi yang harus diubah menjadi gerakan dan manfaat. Jika energi ini ditahan, ia akan membusuk dan mendatangkan bahaya.

VII. Pelajaran Spiritual dan Sosial dari Ayat 34

Ayat 34 Surah At-Taubah tidak hanya memberikan hukum dan ancaman, tetapi juga menyajikan pelajaran spiritual dan sosiologis yang mendalam mengenai bagaimana hubungan seorang mukmin dengan kekayaan dan otoritas.

A. Pengingat tentang Kewajiban Ulama Masa Kini

Meskipun bagian pertama ayat 34 secara historis ditujukan kepada *ahbar* dan *ruhban*, maknanya bersifat universal bagi para pemimpin agama di segala zaman. Pesan ini adalah peringatan abadi bagi para ulama, pendakwah, dan ustadz muslim agar tidak menjadikan agama sebagai mata pencaharian utama untuk meraih kekayaan dunia. Para pewaris nabi harus menjauhi praktik menjual ayat-ayat Allah, memberikan fatwa palsu demi kepentingan politik atau materi, dan menggunakan kedudukan spiritual mereka untuk mendapatkan keuntungan finansial yang tidak sah (*akl al-mal bi al-batil*).

Integritas ulama adalah benteng pertama pertahanan umat. Jika benteng ini runtuh karena ketamakan, maka seluruh umat akan terhalang dari jalan Allah karena hilangnya kepercayaan terhadap sumber ajaran. Sejarah menunjukkan bahwa kerusakan suatu komunitas seringkali dimulai ketika para pemimpin spiritual mereka menjadi serakah dan korup. Ayat 34 mendesak para ulama untuk hidup dengan prinsip *qana'ah* (merasa cukup) dan menjauhkan diri dari godaan emas dan perak yang statis, berfokus pada kekayaan intelektual dan spiritual.

B. Pengujian Keimanan Melalui Harta

Bagi setiap individu muslim, ayat 34 adalah ujian keimanan yang paling nyata. Kekayaan adalah fitnah (ujian). Allah mengetahui bahwa manusia secara naluriah mencintai harta. Ayat ini menguji apakah cinta seorang hamba kepada Allah dan keadilan sosial lebih besar daripada cintanya kepada emas dan perak yang ditimbun.

Keimanan sejati tercermin bukan hanya dalam ritual salat atau puasa, tetapi dalam bagaimana seseorang mengelola kekayaan yang dipercayakan kepadanya. Orang yang beriman sejati melihat hartanya sebagai kesempatan untuk beramal saleh (investasi akhirat) dan bukan sebagai simbol kekuasaan yang harus dipertahankan mati-matian. Rasa takut akan siksaan pedih di akhirat harus menjadi motivasi yang kuat bagi seorang mukmin untuk segera menunaikan zakat dan aktif berinfak.

Penimbunan adalah manifestasi dari rasa tidak percaya kepada rezeki Allah dan penolakan untuk berkorban. Infak adalah manifestasi dari keyakinan penuh bahwa apa yang diinfakkan tidak akan mengurangi kekayaan, melainkan justru melipatgandakannya, sebagaimana dijanjikan dalam Al-Qur'an. Ayat 34 menegaskan bahwa keselamatan di akhirat sangat bergantung pada kemurahan hati dan kesediaan seseorang untuk memobilisasi kekayaan untuk tujuan-tujuan yang lebih tinggi.

C. Kontribusi pada Diskursus Ekonomi Global

Dalam konteks abad modern, di mana kesenjangan kekayaan global semakin parah, Surah At-Taubah ayat 34 menawarkan solusi yang radikal dan relevan. Larangan *kanz* adalah seruan untuk memprioritaskan fungsi sosial kekayaan di atas fungsi akumulasi pribadi. Jika dunia menerapkan prinsip ini—bahwa kekayaan yang tidak beredar dan tidak memberikan manfaat sosial dikenai sanksi etis dan fiskal yang keras—maka banyak masalah kemiskinan dan ketidakstabilan ekonomi akan teratasi.

Ayat ini mendorong transparansi, akuntabilitas, dan sirkulasi modal. Ayat 34 berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa harta yang terlalu lama disimpan dan tidak diinfakkan dapat menjadi bom waktu sosial yang pada akhirnya merugikan pemilik harta itu sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Ini adalah manifesto keadilan distributif yang mendalam, di mana sistem moneter harus melayani kemanusiaan, bukan sebaliknya.

VIII. Penegasan Hukum dan Konsekuensi Lanjutan

Pengkajian terhadap Surah At-Taubah ayat 34 menuntut penegasan terhadap konsekuensi hukum yang muncul dari dua larangan utama, yaitu *akl al-batil* oleh ulama dan *kanz* oleh masyarakat umum. Kedua perbuatan ini secara fundamental merusak struktur *din* (agama) dan *dunya* (dunia).

A. Pengaruh *Kanz* terhadap Berkah Harta

Menurut pandangan para mufassir, bahkan jika seseorang menunaikan zakat tetapi menyimpan harta dalam jumlah yang sangat besar yang jelas-jelas melebihi kebutuhan dan tujuannya hanya untuk menimbun tanpa ada niat investasi atau infak yang bermanfaat, harta itu berpotensi kehilangan berkahnya. Ancaman siksaan dalam ayat ini menimbulkan ketakutan suci (taqwa) yang mendorong orang beriman untuk senantiasa mencari cara terbaik untuk memproduktifkan atau mengalirkan kelebihan hartanya.

Penting untuk ditekankan bahwa fokus syariat adalah pada niat dan dampak sosial. Harta yang disimpan dengan niat untuk investasi halal di masa depan atau kebutuhan mendesak yang telah direncanakan tidaklah termasuk *kanz* terlarang selama zakatnya ditunaikan. Namun, harta yang ditahan semata-mata karena ketamakan, diiringi sikap acuh tak acuh terhadap kebutuhan umat, itulah yang dimaksudkan oleh ancaman Allah SWT. Sikap batin inilah yang membedakan antara penabung yang bertanggung jawab dan penimbun yang tercela.

B. Kerusakan Akibat *Akl al-Batil* pada Kepercayaan Publik

Kembali pada bagian pertama ayat mengenai penyimpangan ahli kitab, ayat ini memperingatkan bahwa ketika otoritas spiritual kehilangan moralitasnya karena harta, dampaknya jauh lebih buruk daripada korupsi biasa. Korupsi spiritual menghasilkan skeptisisme agama yang meluas. Ketika orang tidak lagi percaya pada kejujuran pemegang kunci ajaran, mereka akan menjauh dari ajaran itu sendiri. Ini adalah kerusakan yang sistematis dan mendalam, yang meruntuhkan jembatan antara manusia dan Tuhannya.

Ayat 34 merupakan seruan untuk menjaga kesucian dan independensi lembaga keagamaan. Para ulama harus sepenuhnya mandiri dari tekanan materi atau politik agar mereka dapat menyampaikan kebenaran tanpa takut dan tanpa pamrih. Ketika mereka mulai "memakan harta dengan batil," mereka kehilangan otoritas moral mereka dan menjadi agen penghalangan dari jalan Allah. Konsekuensi jangka panjang dari penyimpangan ulama adalah kekacauan sosial dan disintegrasi etika.

IX. Kesimpulan Holistik Surah At-Taubah Ayat 34

Surah At-Taubah ayat 34 menyajikan panduan etika komprehensif yang menghubungkan integritas spiritual dengan keadilan ekonomi. Ayat ini memberikan fondasi teologis bagi umat Islam untuk membangun masyarakat yang tidak hanya taat dalam ritual, tetapi juga adil dalam distribusi kekayaan.

Ayat ini mengajarkan bahwa tantangan terbesar bagi keimanan bukan hanya kesyirikan yang tampak, tetapi juga penyimpangan batin yang tersembunyi, yang termanifestasi dalam kerakusan terhadap harta dan penolakan untuk menunaikan hak-hak sosial. Dari kritik terhadap ahli kitab yang korup hingga peringatan keras terhadap penimbunan emas dan perak, pesan utamanya adalah sama: kekayaan tidak boleh menjadi tujuan akhir; ia harus menjadi sarana untuk mencapai keadilan dan ketaatan kepada Allah SWT.

Kewajiban untuk berinfak di jalan Allah, yang mencakup zakat dan sedekah, adalah penawar terhadap penyakit *kanz*. Dengan menafkahkan harta, seorang mukmin tidak hanya membersihkan hartanya, tetapi juga membersihkan jiwanya dari penyakit kikir. Hanya dengan mengalirkan kekayaan, umat Islam dapat memenuhi janji keadilan sosial yang menjadi inti dari risalah Islam, dan dengan demikian menghindari siksa pedih yang diancamkan kepada para penimbun harta yang lalai. Ayat 34 adalah seruan yang menggema sepanjang zaman agar umat manusia senantiasa menempatkan nilai-nilai ilahi di atas nilai-nilai materi yang fana.

🏠 Homepage