Bekerja, Dilihat, dan Bertanggung Jawab

Pengantar: Sentralitas Amal dalam Islam

Surah At-Taubah (Pengampunan) adalah salah satu surah yang padat dengan hukum, janji, peringatan keras, dan seruan untuk bertaubat serta berjuang di jalan Allah. Diturunkan pada masa-masa akhir kehidupan Nabi Muhammad ﷺ, surah ini sering disebut sebagai ‘Fadhilah’ (Pembongkar) karena fungsinya mengungkap kedok orang-orang munafik dan membedakan antara iman sejati dengan kepura-puraan.

Di tengah rangkaian ayat-ayat yang membahas isu peperangan, perjanjian, dan kelompok-kelompok yang mangkir dari kewajiban, muncullah Ayah 105. Ayat ini adalah titik balik yang mengalihkan fokus dari hukuman duniawi kepada prinsip fundamental kehidupan seorang mukmin: pekerjaan dan pertanggungjawaban. Ayat ini bukan sekadar perintah untuk berbuat baik, melainkan penegasan sistem pengawasan ilahi yang berlapis dan universal. Ia merangkum seluruh etos kerja dan moralitas seorang Muslim.

Ayat 105 dari Surah At-Taubah berfungsi sebagai landasan teologis yang kuat bagi konsep etika profesional, kejujuran publik, dan integritas pribadi dalam Islam. Dalam kalimatnya yang ringkas namun mendalam, Allah SWT memberikan komando, jaminan pengawasan, dan janji pengembalian akhir. Fokus utama dari pembahasan mendalam ini adalah memahami struktur, konteks, dan implikasi jangka panjang dari ayat yang agung ini: وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ (Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”).

Teks, Transliterasi, dan Terjemahan

Untuk memahami sepenuhnya kedalaman makna ayat ini, penting untuk merenungi teks aslinya:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Transliterasi: Wa quli'malū fasayarallāhu 'amalakum wa rasūluhū wal-mu'minụn, wa saturaddūna ilā 'ālimil-gaibi wasy-syahādati fa yunabbi'ukum bimā kuntum ta'malụn.
Terjemahan Kementerian Agama RI (Ringkas): Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Konteks Historis dan Asbabun Nuzul

Ayat 105 Surah At-Taubah tidak berdiri sendiri. Ia berada di tengah-tengah pembahasan mengenai peristiwa Tabuk, yaitu ekspedisi militer yang menguji keimanan kaum Muslimin secara ekstrem. Banyak yang mangkir, termasuk beberapa kelompok yang kemudian bertaubat dengan tulus. Ayat-ayat sebelumnya (At-Taubah 102-104) berbicara tentang:

  1. Pengakuan dosa oleh sebagian yang menyesal dan berjanji untuk berbuat baik di masa depan.
  2. Perintah kepada Nabi ﷺ untuk mengambil sedekah (zakat) dari harta mereka sebagai penyucian.
  3. Penegasan bahwa Allah menerima taubat dari hamba-Nya.

Ketika sebagian orang munafik mengira bahwa taubat hanyalah sekadar ucapan lisan, dan sebagian orang yang bertaubat dengan tulus merasa khawatir apakah amal mereka di masa depan akan diterima atau tidak, Ayah 105 datang sebagai perintah yang tegas dan optimistik. Ini adalah transisi dari masa lalu yang penuh kesalahan menuju masa depan yang proaktif dan bertanggung jawab.

Pentingnya Perintah 'Bekerjalah' (اعْمَلُوا)

Perintah اعْمَلُوا (i'malū - bekerjalah/beramallah) adalah perintah dalam bentuk imperatif (amar). Ini bukan sekadar saran, melainkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim yang telah bertaubat. Pesan utamanya adalah: penyesalan masa lalu harus dibuktikan dengan tindakan di masa kini. Taubat sejati tidak hanya di bibir, melainkan harus diterjemahkan menjadi perubahan perilaku dan peningkatan kualitas kerja (amal).

Dalam konteks para individu yang bertaubat dari kemalasan atau kemunafikan mereka dalam ekspedisi Tabuk, ayat ini menegaskan bahwa mereka tidak boleh tenggelam dalam penyesalan, melainkan harus segera beranjak dan menghasilkan amal yang konkret. Perintah ini mencakup semua bentuk amal, baik yang bersifat ibadah ritual (salat, puasa) maupun yang bersifat muamalah (interaksi sosial, pekerjaan, kontribusi pada masyarakat, dan jihad).

I. Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus membedah beberapa kata kunci dalam ayat 105 ini, yang masing-masing membawa bobot teologis dan etis yang sangat besar.

A. Konsep 'Amal (عَمَل)

Kata kerja asal عَمِلَ berarti melakukan, mengerjakan, atau menghasilkan. Dalam konteks Al-Qur'an, *amal* seringkali dilekatkan pada kata *shalih* (baik). Namun, dalam ayat ini, kata *amal* digunakan secara umum, mencakup semua pekerjaan, baik maupun buruk. Ini menunjukkan universalitas pengawasan ilahi terhadap setiap aktivitas manusia.

Para ulama tafsir menegaskan bahwa penekanan pada 'amal setelah taubat adalah untuk memastikan bahwa perubahan yang terjadi bersifat substansial dan berkelanjutan. Seseorang diukur bukan dari niat yang tidak terlaksana, melainkan dari karya yang diwujudkan.

B. Multi-Level Pengawasan: فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ

Ini adalah bagian terpenting dan paling unik dari ayat ini. Ayat ini memperkenalkan tiga tingkat pengawasan terhadap pekerjaan (amal) seseorang, mencerminkan akuntabilitas yang berlapis dalam Islam.

1. Pengawasan Ilahi (فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ)

Allah (SWT) adalah Pengawas yang paling utama. Tentu saja, Allah selalu mengetahui segala sesuatu (Maha Mengetahui). Penggunaan kata kerja 'akan melihat' (سَيَرَى - sayarā) di sini memiliki makna khusus. Dalam tafsir klasik, kata ini diartikan sebagai:

Pengawasan ini bersifat internal (hati) dan eksternal (tindakan), meliputi niat dan implementasi. Ini adalah motivasi tertinggi bagi seorang mukmin untuk menjaga kualitas dan keikhlasan amalnya.

2. Pengawasan Kenabian (وَرَسُولُهُ)

Rasulullah ﷺ akan melihat amal mereka. Setelah wafatnya Nabi ﷺ, para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana pengawasan ini terjadi:

Yang pasti, pengawasan Rasulullah ﷺ memberikan dimensi spiritual dan hukum. Beliau menjadi saksi atas ketaatan umatnya, sebuah kehormatan yang luar biasa bagi seorang Muslim yang beramal ikhlas.

3. Pengawasan Mukminin (وَالْمُؤْمِنُونَ)

Ini adalah dimensi pengawasan sosial. Para mukmin (orang-orang beriman) akan melihat pekerjaan mereka. Pengawasan ini bersifat ganda:

Pengawasan dari mukminin berfungsi sebagai pencegah *riya* (pamer) yang buruk dan pendorong bagi *riya* yang baik (menjadi teladan). Jika amal itu adalah amal publik, ia harus memenuhi standar etika publik, sementara jika ia adalah amal pribadi, niatnya harus dijaga dari pandangan manusia yang mencari pujian.

C. Puncak Pertanggungjawaban: عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ

Ayat ini menutup dengan janji pengembalian (وَسَتُرَدُّونَ - dan kamu akan dikembalikan) kepada Allah, Sang عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ (Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata).

Penyebutan kedua sifat ini secara bersamaan adalah penekanan sempurna pada Hari Perhitungan. Semua amal, niat tersembunyi, dan tindakan yang terlihat akan dibawa ke hadapan Hakim yang Mahasempurna. Tidak ada detail yang terlewatkan. Seluruh rangkaian ayat ini mengarahkan pada tujuan akhir: bukan pengakuan manusia, melainkan pengadilan Ilahi yang meliputi dimensi batin (ghaib) dan dimensi lahir (syahadah).

II. Tafsir Klasik dan Kontemporer At-Taubah 105

A. Tafsir Ibnu Katsir: Motivasi dan Peringatan

Imam Ibnu Katsir menekankan bahwa ayat ini adalah perintah untuk menjalankan ibadah dan ketaatan yang tulus. Beliau menafsirkan bahwa ketika Allah SWT memerintahkan untuk beramal, diikuti dengan janji bahwa Allah dan Rasul-Nya akan melihatnya, ini berfungsi sebagai motivasi terbesar bagi seorang hamba.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa penglihatan Rasulullah ﷺ dan kaum mukminin berfungsi sebagai Tathib al-Qulub (penenang hati). Artinya, bagi mereka yang beramal ikhlas, jika amal itu terbukti baik di mata masyarakat saleh dan Rasulullah, maka itu adalah indikasi awal penerimaan dari Allah. Sebaliknya, bagi mereka yang beramal buruk, ini adalah peringatan dini di dunia bahwa perilaku mereka akan segera terungkap dan dibalas.

Lebih lanjut, tafsir Ibnu Katsir membedakan dengan jelas antara amal yang dilakukan karena riya’ (pamer) dan amal yang dilakukan dengan ikhlas. Meskipun manusia lain mungkin melihat amal yang baik, hanya Allah yang mengetahui niat di baliknya, dan balasan akhir hanya akan diberikan berdasarkan niat yang tersembunyi tersebut (ghaib). Ini memperkuat pentingnya menjaga hati dari motivasi yang tidak murni meskipun pekerjaan itu bersifat publik.

B. Tafsir Al-Thabari: Saksi dan Konsekuensi

Imam At-Thabari, dalam Jami’ al-Bayan-nya, fokus pada struktur gramatikal dan pemaknaan janji Ilahi. Beliau menjelaskan bahwa makna فَسَيَرَى اللَّهُ (maka Allah akan melihat) adalah janji yang pasti bahwa Dia akan membalas. Penglihatan Allah di sini adalah sinonim dengan pengetahuan mendalam dan keputusan yang adil.

At-Thabari menempatkan ayat ini dalam konteks setelah penyesalan kaum yang tertinggal. Mereka diperintahkan untuk membuktikan penyesalan mereka melalui tindakan nyata. Amal yang dilakukan setelah taubat menjadi bukti kebenaran taubat itu sendiri. Jika mereka kembali kepada kemalasan, maka pengawasan Allah, Rasul-Nya, dan Mukminin akan menjadi saksi yang memberatkan mereka. Jika mereka beramal baik, pengawasan tersebut menjadi pengakuan atas perubahan mereka.

Poin penting dari At-Thabari adalah penekanan pada frasa فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ (lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan). Pemberitaan ini bukan sekadar informasi, melainkan keputusan penghakiman. Allah akan mengungkap rincian amal mereka, baik yang besar maupun yang kecil, dan mengaitkannya dengan balasan yang setimpal. Ini adalah puncak dari prinsip akuntabilitas.

C. Tafsir Al-Qurtubi: Perdebatan Riya' dan Syahadah

Imam Al-Qurtubi membahas secara mendalam bagaimana seorang Muslim harus menyeimbangkan antara perintah beramal dan kekhawatiran akan riya'. Ketika ayat ini menyebutkan bahwa orang mukmin akan melihat amal, ini dapat menimbulkan potensi riya'. Al-Qurtubi berpendapat bahwa penglihatan mukminin itu sendiri berfungsi sebagai ujian.

Jika seseorang meninggalkan amal baik karena takut dipandang riya', maka ia telah meninggalkan kebaikan karena setan. Namun, jika ia melakukan amal yang baik (terutama yang bersifat publik) dan menjaga hatinya untuk tetap ikhlas, maka ia telah berhasil melewati ujian. Pengawasan mukminin dimaksudkan untuk membedakan antara mereka yang tulus mencari keridhaan Allah dan mereka yang hanya mencari pujian manusia.

Al-Qurtubi juga memberikan dimensi fiqh (hukum) pada ayat ini, menghubungkannya dengan konsep Tazkiyyah (pensucian) dan Syahadah (kesaksian). Di dunia, kesaksian orang-orang saleh tentang kebaikan seseorang bisa mempengaruhi penerimaan sosialnya, namun ini tidak pernah menggantikan penilaian Allah di akhirat.

D. Tafsir Al-Misbah (M. Quraish Shihab): Etika Kerja Profesional

Dalam penafsiran kontemporer, seperti yang disajikan oleh M. Quraish Shihab, ayat ini dilihat sebagai landasan etika kerja dan profesionalitas Islami. Beliau menekankan bahwa perintah *i'malū* (bekerjalah) mencakup aktivitas duniawi dan ukhrawi. Kerja keras yang tulus dalam mencari rezeki, mengembangkan ilmu, atau membangun masyarakat, semuanya termasuk dalam cakupan amal yang akan dilihat.

Quraish Shihab menguraikan konsep akuntabilitas tiga tingkat ini sebagai sistem penjaminan mutu (quality assurance) Islami:

  1. Pengawasan Ilahi (Internal): Penjaminan mutu niat dan keikhlasan (kualitas spiritual).
  2. Pengawasan Kenabian (Tuntunan): Penjaminan mutu kesesuaian tindakan dengan syariat (kualitas metodologi).
  3. Pengawasan Mukminin (Eksternal): Penjaminan mutu dampak dan manfaat sosial (kualitas hasil).

Penafsiran modern ini sangat relevan dalam konteks pekerjaan, di mana seorang Muslim didorong untuk berprestasi secara profesional, namun harus selalu mengingat bahwa kualitas pekerjaannya tidak hanya diukur oleh bos atau pasar, tetapi oleh standar yang ditetapkan oleh Allah SWT.

III. Implikasi Teologis dan Fiqh

A. Hubungan antara Niat (Ghaib) dan Amal (Syahadah)

Ayat 105 adalah jembatan antara dua dimensi keberadaan manusia: batin dan lahir. Niat, yang merupakan wilayah ghaib (tersembunyi), adalah penentu utama nilai amal. Amal itu sendiri, yang merupakan wilayah syahadah (nyata), adalah bukti dari niat tersebut.

Seorang Muslim diwajibkan untuk menjaga keikhlasan (niat) saat melakukan pekerjaan (amal). Jika amal itu besar tetapi niatnya buruk (mencari pujian), ia hancur. Jika amal itu kecil tetapi niatnya tulus, nilainya akan berlipat ganda. Ayat ini mengingatkan bahwa meskipun manusia hanya dapat menilai dimensi *syahadah* (tindakan), Allah adalah satu-satunya yang menilai dimensi *ghaib* (niat).

Konsep ini sangat penting dalam memahami keadilan Ilahi. Di Hari Kiamat, ketika semua akan dikembalikan kepada عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ, yang akan diungkapkan tidak hanya apa yang dilakukan (syahadah), tetapi juga mengapa hal itu dilakukan (ghaib). Ini menghilangkan semua ketidakadilan yang mungkin terjadi di dunia karena penilaian manusia yang terbatas.

B. Prinsip Ikhtiyar dan Tanggung Jawab Manusia

Ayat ini secara tegas mendukung doktrin kebebasan berkehendak (Ikhtiyar) dalam batasan Takdir (Qadar). Perintah imperatif اعْمَلُوا (bekerjalah) adalah penegasan bahwa manusia memiliki kemampuan dan tanggung jawab untuk memilih tindakan mereka.

Jika manusia tidak memiliki pilihan untuk beramal, maka perintah ini akan menjadi tidak berarti. Karena manusia bertanggung jawab atas hasil kerjanya, mereka harus menggunakannya untuk kebaikan. Ayat ini menolak pandangan fatalistik ekstrem yang menganggap bahwa segala sesuatu telah ditetapkan tanpa peran aktif manusia. Sebaliknya, ia mendorong proaktivitas: masa depan spiritual seseorang dibentuk oleh pilihan amal yang ia lakukan hari ini, yang semuanya berada di bawah pengawasan Ilahi.

C. Dimensi Sosial dan Etika Publik (Hisbah)

Penyertaan ‘orang-orang mukmin’ dalam pengawasan pekerjaan memiliki implikasi besar terhadap etika sosial. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan seorang Muslim tidak hanya memiliki dimensi spiritual pribadi, tetapi juga dimensi publik yang melibatkan tanggung jawab kolektif. Konsep Hisbah (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) berakar pada prinsip ini.

Jika pekerjaan seorang individu merusak masyarakat, orang-orang mukmin memiliki kewajiban untuk menegur atau memperbaikinya (sesuai kemampuan). Sebaliknya, jika pekerjaan itu membawa manfaat, masyarakat mukmin harus mendukung dan memuji, asalkan pujian itu tidak merusak keikhlasan pelakunya. Dengan demikian, ayat ini membentuk masyarakat yang bertanggung jawab bersama dan saling mengawasi secara konstruktif demi kemaslahatan bersama (maslahah ‘ammah).

Dalam konteks modern, hal ini berlaku pada transparansi. Para pemimpin, pejabat publik, dan profesional kesehatan/pendidikan di komunitas Muslim harus memahami bahwa pekerjaan mereka disaksikan oleh umat. Standar etika mereka harus lebih tinggi karena mereka adalah subjek pengawasan ganda—spiritual dan sosial.

IV. Perwujudan Amal dalam Kehidupan Kontemporer

Bagaimana seorang Muslim di abad ke-21 menerapkan perintah Surah At-Taubah 105 dalam praktik sehari-hari? Perintah untuk ‘bekerja’ tidak terbatas pada ritual, tetapi harus menjiwai setiap aspek kehidupan.

A. Etika dalam Dunia Kerja dan Profesional

Di tempat kerja, ayat 105 menuntut Itqan (kesempurnaan/keunggulan) dalam pekerjaan. Jika seorang insinyur, dokter, atau guru bekerja, ia harus selalu mengingat bahwa kualitas pekerjaannya sedang ‘dilihat’ oleh tiga pihak:

  1. Kualitas untuk Allah: Berarti menghindari korupsi, penipuan, dan kemalasan. Pekerjaan dilakukan dengan integritas tertinggi karena Allah Maha Melihat.
  2. Kualitas untuk Masyarakat (Mukminin): Berarti memberikan pelayanan yang terbaik kepada klien atau pasien. Bekerja secara transparan dan bertanggung jawab secara profesional.

Perintah beramal dalam konteks profesional adalah anti-korupsi. Seseorang tidak mungkin berbuat curang, mencuri waktu kerja, atau menerima suap, jika ia benar-benar meyakini bahwa amal itu akan ditampakkan kepada Allah dan Rasul-Nya.

B. Amal sebagai Kontribusi Sosial dan Lingkungan

Amal yang diperintahkan juga mencakup tanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat luas. Menjaga kebersihan lingkungan, berkontribusi dalam kegiatan sosial, atau berinovasi untuk memecahkan masalah kemiskinan dan kelaparan adalah bentuk-bentuk amal yang akan dilihat. Dalam perspektif ayat ini, dampak sosial pekerjaan adalah cerminan langsung dari keikhlasan di baliknya. Jika seorang Muslim bekerja di bidang konservasi atau filantropi, pekerjaannya adalah ibadah yang diamati oleh komunitas (mukminin) dan pada akhirnya akan dihakimi oleh عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ.

C. Pengawasan Diri (Muraqabah) dan Muhasabah

Pada tingkat individu, ayat ini mendorong konsep Muraqabah (perasaan diawasi oleh Allah). Ketika seorang mukmin menyadari bahwa setiap desahan dan langkahnya sedang dicatat dan dilihat, ia akan lebih berhati-hati dalam setiap niat dan tindakannya. Setelah melakukan pekerjaan, ia harus melakukan Muhasabah (introspeksi/evaluasi diri), menanyakan:

Muraqabah yang didorong oleh ayat 105 ini adalah fondasi moral yang mencegah seseorang jatuh ke dalam dosa, kemalasan, atau Fuju’ (perbuatan fasik).

Membahas lebih jauh tentang dimensi Muraqabah ini, kita perlu memahami bahwa pengawasan Ilahi ini bukan hanya bersifat menghukum, melainkan juga memelihara. Allah melihat amal kita bukan karena Dia membutuhkan amal tersebut, melainkan karena Dia ingin menyempurnakan dan membalasnya dengan kebaikan yang berlipat ganda. Ini adalah konsep Rahmat Qabliyyah (kasih sayang pendahuluan) di mana Allah menyediakan sistem pengawasan agar manusia selalu terdorong menuju perbaikan diri.

V. Mendalami Makna Pengembalian Akhir: Hari Perhitungan

Ayat 105 mencapai puncaknya pada janji: وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ. Pengembalian ini adalah hari kiamat, hari di mana akuntabilitas yang bersifat multi-level di dunia (Allah, Rasul, Mukminin) berakhir, dan yang tersisa hanyalah akuntabilitas tunggal di hadapan Hakim Yang Maha Adil.

A. Pengungkapan Total (Al-I’lan al-Kulli)

Frasa فَيُنَبِّئُكُم (lalu Dia memberitakan kepadamu) menyiratkan pengungkapan yang komprehensif. Ini bukan hanya pemberitahuan tentang hasil akhir (Surga atau Neraka), tetapi rincian (penyampaian berita) tentang seluruh perjalanan amal seseorang. Setiap niat tersembunyi, setiap bisikan hati yang baik atau buruk, dan setiap tindakan yang telah lama dilupakan akan ditampakkan kembali.

Ini adalah pengembalian yang mutlak. Kita semua adalah musafir, dan tujuan akhir dari perjalanan ini adalah kembali kepada Pencipta. Kesadaran akan pengembalian ini seharusnya membentuk prioritas hidup seorang Muslim. Jika tujuan akhirnya adalah audit Ilahi, maka setiap langkah harus diperhitungkan untuk lulus audit tersebut.

B. Ilmu Allah yang Meliputi Gaib dan Nyata

Penyebutan ‘Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata’ di akhir ayat berfungsi sebagai penutup yang memberikan otoritas absolut pada penghakiman tersebut. Pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu:

  1. Keadilan Mutlak: Karena Allah mengetahui yang gaib (niat) dan yang nyata (perbuatan), tidak ada peluang bagi ketidakadilan atau kekeliruan dalam perhitungan-Nya.
  2. Keterbatasan Saksi Duniawi: Meskipun Rasulullah ﷺ dan kaum mukmin menjadi saksi di dunia, kesaksian mereka terbatas pada dimensi syahadah. Hanya Allah yang memiliki pandangan menyeluruh dan absolut.

Hal ini memberikan ketenangan bagi mereka yang beramal ikhlas namun mungkin difitnah atau tidak diakui di dunia. Sebaliknya, hal ini adalah peringatan keras bagi mereka yang mencari pujian publik sambil menyembunyikan keburukan di dalam hati. Di Hari Kiamat, kebenaran yang gaib akan bersatu dengan kenyataan yang tampak.

VI. Membangun Etos Kerja Berlandaskan At-Taubah 105

Pesan inti dari Surah At-Taubah 105 adalah pembentukan etos kerja yang unik, yang menggabungkan dimensi spiritual, sosial, dan profesional.

A. Keikhlasan sebagai Fondasi Kerja

Etos kerja seorang Muslim harus berakar pada Ikhlas. Jika kita memahami bahwa pengawasan Allah meliputi yang gaib (niat), maka upaya terbesar kita haruslah menjaga hati. Keikhlasan adalah benteng pertahanan dari riya' dan sumber energi yang tidak akan pernah habis meskipun tidak ada pujian dari manusia. Bekerja keras dalam sunyi, memberikan yang terbaik di tengah ketidakpopuleran, adalah manifestasi dari pemahaman mendalam terhadap ayat ini.

B. Proaktif dalam Kebaikan

Perintah اعْمَلُوا (bekerjalah) mengandung makna proaktif. Islam adalah agama tindakan, bukan hanya kontemplasi pasif. Setiap Muslim didorong untuk menjadi agen perubahan, menghasilkan karya yang bermanfaat (baik dalam ilmu, ekonomi, atau sosial), dan tidak menunggu orang lain untuk memimpin. Konsep Khairun Naas Anfa’uhum Linnas (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain) adalah interpretasi praktis dari perintah beramal ini.

C. Etika Waktu dan Sumber Daya

Pekerjaan juga melibatkan etika penggunaan waktu dan sumber daya. Karena waktu adalah bagian dari amal yang akan dilihat dan diberitakan, membuang waktu (tafrith), atau menyalahgunakan sumber daya yang dipercayakan (khianat), dianggap sebagai pekerjaan yang buruk. Setiap detik di dunia ini adalah kesempatan untuk menghasilkan amal baik, dan pengawasan Ilahi memastikan bahwa tidak ada momen yang hilang dari catatan akuntabilitas kita.

Dalam konteks sumber daya, seorang pekerja yang menggunakan aset perusahaan atau negara harus menganggapnya sebagai amanah yang diawasi oleh Allah. Melakukan penghematan, menghindari pemborosan, dan memastikan efisiensi adalah bagian integral dari amal yang berkualitas, yang akan disaksikan oleh kaum mukminin dan dinilai oleh Allah.

Sebagai penutup dari pembahasan etos kerja ini, Surah At-Taubah 105 memberikan keseimbangan sempurna antara motivasi spiritual dan tanggung jawab duniawi. Ayat ini menjadikan pekerjaan (sekuler atau religius) sebagai ibadah yang tertinggi, asalkan dilakukan dengan kejujuran, keikhlasan, dan kualitas yang optimal.

VII. Resonansi Ayat 105 dalam Hadis Nabi ﷺ

Pemahaman terhadap Surah At-Taubah 105 diperkuat oleh hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ yang berkaitan dengan konsep amal, niat, dan pengawasan.

A. Amal Diperlihatkan Kepada Nabi ﷺ

Salah satu hadis yang sering dihubungkan dengan tafsir وَرَسُولُهُ adalah hadis yang menyebutkan bahwa amal umat diperlihatkan kepada Rasulullah ﷺ. Terdapat riwayat yang menyatakan, “Sesungguhnya amalan kalian diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat amalan yang baik, aku memuji Allah. Dan jika aku melihat selain itu, aku memohon ampunan kepada Allah untuk kalian.”

Hadis ini memberikan dimensi emosional dan spiritual pada pengawasan kenabian. Kesadaran bahwa pekerjaan kita dapat membawa sukacita atau kesedihan kepada Nabi ﷺ adalah dorongan moral yang sangat kuat untuk senantiasa berbuat baik. Ini bukan pengawasan yang bersifat menghakimi, melainkan pengawasan yang penuh kasih sayang dan kepedulian dari seorang pemimpin kepada umatnya.

B. Prinsip Niat sebagai Penentu (Hadis Umar)

Hadis terkenal dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya,” merupakan landasan teologis bagi pemahaman tentang عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ. Meskipun ayat 105 menekankan amal yang terlihat (syahadah), hadis ini mengingatkan bahwa penilaian akhir dan balasan hanya akan sempurna jika niat (ghaib) selaras dengan tindakan.

Oleh karena itu, jika seorang Muslim bekerja keras (amal), tetapi niatnya (ghaib) adalah untuk mencari kekayaan haram atau untuk menyombongkan diri, maka ia telah gagal dalam audit Ilahi, meskipun amal lahiriahnya terlihat baik di mata manusia.

C. Keutamaan Itqan (Kualitas Kerja)

Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, “Sesungguhnya Allah menyukai apabila salah seorang dari kalian melakukan suatu pekerjaan, ia mengerjakannya dengan itqan (sempurna/profesional),” secara langsung mendukung perintah اعْمَلُوا. Ini menunjukkan bahwa kualitas pekerjaan (profesionalisme) adalah prasyarat spiritual. Kerja yang tidak rapi, asal-asalan, atau ceroboh, meskipun niatnya baik, tidak mencerminkan ketaatan yang sempurna kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.

VIII. Perbandingan dengan Konsep Agama Lain (Fokus pada Unik Islam)

Meskipun banyak agama menekankan pentingnya perbuatan baik, Surah At-Taubah 105 menawarkan struktur pertanggungjawaban yang unik dan berlapis, yang membedakannya dari doktrin lain.

A. Pertanggungjawaban Kolektif

Dalam Islam, penambahan ‘orang-orang mukmin’ sebagai saksi menciptakan dimensi tanggung jawab kolektif yang mendalam. Kebaikan seseorang adalah keuntungan bagi umat, dan keburukan seseorang adalah kerugian bagi umat. Ini berbeda dari pandangan yang sangat individualistis tentang keselamatan atau penebusan dosa, di mana amal seseorang hanya bersifat vertikal (antara individu dan Tuhan).

Dalam konteks 105, amal bersifat vertikal (Allah), transenden (Rasul), dan horizontal (Mukminin). Struktur ini memastikan bahwa amal tidak hanya diterima secara spiritual, tetapi juga memiliki dampak positif yang terukur dan terawasi secara sosial.

B. Tidak Ada Mediasi dalam Gaib

Meskipun ada pengawasan Rasulullah ﷺ dan kaum mukminin, ayat tersebut secara tegas mengarahkan ‘pengembalian’ dan ‘pemberitaan’ akhir hanya kepada عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ. Hal ini menegaskan doktrin tauhid: tidak ada perantara dalam perhitungan akhir. Tidak ada yang bisa memediasi atau mengubah catatan amal, karena hanya Allah yang secara sempurna mengetahui dimensi gaib (niat) yang merupakan kunci penentuan balasan.

Implikasi teologisnya adalah bahwa seorang Muslim harus bekerja keras dan ikhlas, menyadari bahwa meskipun ia mungkin mencari dukungan atau pujian dari orang saleh (mukminin), ia harus sepenuhnya bergantung pada Keadilan dan Rahmat Allah SWT dalam audit final.

IX. Kesimpulan: Aksi dan Akuntabilitas Universal

Surah At-Taubah ayat 105 adalah salah satu ayat terpenting yang menjelaskan filosofi hidup seorang Muslim. Ayat ini adalah manifesto untuk tindakan yang proaktif dan berintegritas. Ia memetakan perjalanan hidup dari masa kini (amal) ke masa depan (pengembalian) melalui sistem pengawasan yang komprehensif.

Prinsip sentral yang diwariskan oleh ayat ini adalah bahwa tidak ada pekerjaan yang bersifat netral; setiap tindakan memiliki bobot dan akan diukur. Kesadaran akan pengawasan Allah, Rasul-Nya, dan komunitas mukmin harus menjadi rem spiritual yang mencegah kejahatan tersembunyi dan gas pendorong yang mendorong kebaikan nyata.

Pada akhirnya, semua amal, baik yang tersembunyi di dalam hati maupun yang tampak di hadapan publik, akan dikumpulkan dan dipersembahkan di hadapan Hakim Yang Maha Tahu. Kesadaran ini menanamkan rasa takut yang sehat (Khauf) dan harapan yang tulus (Raja’) dalam jiwa, menjadikan setiap Muslim seorang pekerja yang ikhlas, bertanggung jawab, dan profesional, menanti hari di mana عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ akan memberitakan segala sesuatu yang telah kita kerjakan.

Simbol Pengetahuan Ilahi Sebuah representasi abstrak dari kitab terbuka dan cahaya yang melambangkan ilmu Allah yang meliputi yang gaib dan yang nyata.

X. Dimensi Fiqh: Amal yang Wajib, Sunnah, dan Mubah

Perintah اعْمَلُوا dalam ayat ini sangat luas, mencakup seluruh spektrum aktivitas hukum (ahkam al-khamsah) dalam Islam. Para fuqaha (ahli fiqh) menempatkan amal manusia dalam lima kategori: wajib, sunnah, mubah (diperbolehkan), makruh (dibenci), dan haram (dilarang). Pengawasan yang berlapis pada ayat 105 berlaku untuk semua kategori ini, meskipun dengan intensitas yang berbeda.

A. Amal Wajib dan Keharusan Kualitas

Amal yang wajib (Fardhu) seperti salat, puasa, zakat, dan haji adalah amal yang paling intensif diawasi. Pengawasan Allah (Ghaib) di sini menuntut kesempurnaan dalam rukun dan syarat (fiqh), serta keikhlasan (akidah/tasawwuf). Pengawasan Mukminin (Syahadah) diwujudkan melalui pengawasan jamaah dalam salat atau transparansi dalam penyaluran zakat. Jika seorang Muslim melaksanakan shalatnya secara buru-buru atau tidak sesuai tata cara (tidak itqan), ia telah gagal dalam pengawasan lahir (syahadah), dan kemungkinan besar niatnya (ghaib) juga bermasalah.

Lebih jauh lagi, kewajiban mencari nafkah halal bagi keluarga juga termasuk amal wajib. Etika dalam bekerja mencari nafkah adalah manifestasi langsung dari amal yang diawasi. Mengabaikan tanggung jawab nafkah, atau mencari nafkah melalui cara yang curang, adalah pekerjaan yang sangat buruk di bawah pengawasan Ilahi, meskipun di mata dunia mungkin terlihat sebagai keberhasilan materi. Inilah yang diungkapkan oleh فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ.

B. Konsep Amal Mubah Menjadi Ibadah

Aktivitas mubah (netral) seperti makan, tidur, atau berinteraksi sosial, dapat diangkat statusnya menjadi ibadah (amal shalih) jika dilakukan dengan niat yang benar (ghaib) dan sesuai etika yang baik (syahadah). Ayat 105 berfungsi sebagai mekanisme untuk mengubah aktivitas sehari-hari menjadi amal yang bernilai. Misalnya, seorang Muslim yang tidur dengan niat agar tubuhnya kuat untuk beribadah malam, maka tidurnya itu adalah amal yang terpuji yang dilihat oleh Allah.

Fiqh memahami bahwa niat yang benar adalah jembatan yang menghubungkan yang mubah dengan yang wajib. Ayat ini mengajarkan bahwa seluruh spektrum kehidupan, bahkan yang dianggap remeh, tidak luput dari pandangan Allah dan Rasul-Nya, mendorong optimalisasi waktu dan tindakan secara spiritual.

XI. Pendalaman Konsep Riya' dan Ikhlas dalam Ayat 105

Kekhawatiran utama yang timbul dari penyebutan ‘orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu’ adalah potensi timbulnya *riya'* (pamer) atau mencari pujian. Bagaimana ayat ini berfungsi untuk melawan, bukan mendukung, riya'?

A. Riya' yang Tercela (Syirik Kecil)

Riya' yang tercela adalah ketika seseorang melakukan amal baik (syahadah) hanya demi pandangan dan pujian manusia, dengan melupakan niat tulus kepada Allah (ghaib). Ayat 105 memberikan antidote (penawar) untuk riya' melalui tiga lapisan pengawasan:

  1. Pengawasan Allah: Menyebabkan kita takut, karena riya' adalah syirik kecil yang akan membatalkan seluruh amal tersebut.
  2. Pengawasan Rasul: Mengingatkan kita akan tuntunan sunnah yang menuntut kesederhanaan dan keikhlasan, bukan kemegahan.
  3. Pengawasan Mukminin: Meskipun orang mukmin melihat, jika niatnya tidak benar, hasilnya di dunia pun tidak langgeng. Pujian manusia hanyalah sementara, dan mukmin yang sejati pada akhirnya akan bisa membedakan antara ketulusan dan kepura-puraan.

B. Riya' yang Dibolehkan (Menjadi Teladan)

Sebagian ulama (seperti Al-Ghazali) membedakan antara riya' yang tercela dan melakukan amal baik secara terbuka dengan tujuan menjadi teladan (uswah hasanah) bagi orang lain. Jika seseorang melakukan sedekah di depan umum agar orang lain termotivasi untuk bersedekah, dan hatinya tetap tertuju pada keridhaan Allah, maka amal tersebut sah dan terpuji. Penyebutan ‘orang-orang mukmin akan melihat’ mendukung praktik ini.

Ayat 105 mengajarkan bahwa keikhlasan harus menjadi pondasi, tetapi dampak positif pekerjaan (syahadah) harus terlihat. Kita diperintahkan untuk bekerja (bertindak), bukan untuk bersembunyi. Kuncinya adalah menjaga agar pandangan manusia tidak menggeser tujuan utama (Allah) dalam hati kita. Jika amal itu ikhlas, maka pengawasan orang mukmin hanyalah bonus berupa pahala bagi yang melihat dan mengikuti kebaikan tersebut.

XII. Signifikansi Penggunaan Kata Kerja Futur (Akan Melihat)

Penggunaan kata kerja futur (سَيَرَى - sayarā, akan melihat) dan (وَسَتُرَدُّونَ - wa saturaddūna, dan kamu akan dikembalikan) adalah aspek linguistik yang sangat penting dalam ayat ini.

A. Penekanan pada Kontinuitas dan Masa Depan

Penggunaan kata futur menekankan bahwa perintah beramal adalah untuk masa depan, bukan hanya untuk menyelesaikan kesalahan masa lalu. Ini adalah perintah untuk membangun kehidupan yang berkelanjutan berdasarkan ketaatan dan kerja keras.

Dalam konteks taubat (yang dibahas ayat-ayat sebelumnya), futur ini berfungsi ganda: ia memotivasi para bertaubat untuk meninggalkan masa lalu dan fokus pada produksi amal yang akan datang, sambil memberikan jaminan bahwa produksi amal tersebut tidak akan hilang, melainkan akan disaksikan dan dipanen di masa depan (akhirat).

B. Akuntabilitas yang Tertunda dan Pasti

Meskipun Allah Maha Melihat saat ini juga, penggunaan ‘akan melihat’ menekankan bahwa perhitungan dan penyingkapan resmi akan terjadi di masa depan, baik secara bertahap di dunia maupun secara final di akhirat. Ini memberikan waktu bagi manusia untuk berbenah dan meningkatkan kualitas amalnya. Namun, futur ini juga mengandung kepastian—seperti halnya waktu yang pasti berjalan, pengembalian kepada Allah dan perhitungan amal juga merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan.

Oleh karena itu, setiap pekerjaan yang kita lakukan saat ini adalah investasi masa depan yang sedang dipantau secara real-time. Kesadaran ini menciptakan urgensi untuk beramal secara optimal.

XIII. Konsekuensi Jika Mengabaikan At-Taubah 105

Apa yang terjadi jika seorang Muslim mengabaikan perintah untuk beramal (اعْمَلُوا) dan mengabaikan sistem pengawasan ini?

A. Bahaya Kemalasan (Kasl)

Mengabaikan perintah untuk bekerja adalah pintu gerbang menuju kemalasan (kasl), yang merupakan salah satu sifat tercela yang diajarkan Nabi ﷺ untuk dijauhi. Kemalasan tidak hanya merugikan individu (secara ekonomi dan spiritual) tetapi juga merusak masyarakat (yang merupakan pengawas dalam dimensi syahadah).

Jika seseorang meyakini bahwa amal dilihat oleh Allah, Rasul-Nya, dan mukminin, maka kemalasan menjadi tindakan yang secara aktif menunjukkan kurangnya iman dan tanggung jawab. Sebaliknya, kerja keras yang tulus menjadi indikator dari keimanan yang kokoh.

B. Konsekuensi Hukum di Dunia

Pengabaian terhadap pekerjaan juga memiliki konsekuensi hukum duniawi (fiqh). Jika seorang hakim, seorang pekerja, atau seorang pemimpin melakukan Ghisy (kecurangan) atau Khianah (pengkhianatan) dalam pekerjaan mereka, pengawasan mukminin akan memungkinkan masyarakat untuk menegakkan keadilan dan memberikan sanksi. Ini mencakup proses peradilan, pemecatan, atau hukuman sosial lainnya. Dengan demikian, ayat 105 memberikan legitimasi spiritual bagi penegakan hukum dan etika profesional dalam masyarakat Islam.

C. Pemberitaan yang Memalukan di Akhirat

Konsekuensi terberat adalah di Hari Akhir. Jika amal seseorang adalah amal yang buruk (berupa kemalasan, riya', atau maksiat), maka pemberitaan yang dilakukan oleh عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ akan menjadi aib yang tidak terperikan. Pemberitaan ini bukan hanya bersifat menghukum, tetapi juga mempermalukan, karena semua niat tersembunyi akan diungkapkan di hadapan semua makhluk. Hal ini harus menjadi peringatan terbesar bagi mereka yang meremehkan prinsip kerja dan akuntabilitas.

🏠 Homepage