Arab (Tidak ditampilkan penuh untuk menjaga fokus konten):
وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ ٱسْمُ ٱللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا ٱضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا لَّيُضِلُّونَ بِأَهْوَآئِهِم بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُعْتَدِينَ
Terjemahan: "Mengapa kamu tidak mau memakan dari apa (binatang) yang disebutkan nama Allah ketika mengharamkannya atasmu, padahal sungguh Dia telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali apa yang terpaksa kamu makan. Dan sungguh, banyak orang yang benar-benar menyesatkan (orang lain) dengan keinginan mereka sendiri tanpa pengetahuan. Sungguh, Tuhanmu, Dialah Yang Maha Mengetahui orang-orang yang melampaui batas."
Surat An-Nahl, yang berarti Lebah, kaya akan ayat-ayat yang menjelaskan kebesaran Allah melalui ciptaan-Nya, sekaligus memberikan panduan hukum (syariat) bagi umat Islam. Ayat 115 ini secara khusus diletakkan dalam konteks penekanan pentingnya mematuhi batasan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, khususnya mengenai makanan dan minuman.
Ayat ini dimulai dengan sebuah pertanyaan retoris yang mengandung teguran halus: "Mengapa kamu tidak mau memakan dari apa (binatang) yang disebutkan nama Allah ketika mengharamkannya atasmu?" Pertanyaan ini mengacu pada praktik kaum musyrikin atau keraguan sebagian orang pada masa itu mengenai kehalalan hewan yang disembelih dengan nama Allah (tasmiyah) dibandingkan dengan apa yang mereka anggap haram berdasarkan takhayul atau hawa nafsu mereka sendiri.
Allah menegaskan bahwa Dia telah memberikan penjelasan yang sangat rinci mengenai apa yang diharamkan. Hukum ini bukanlah teka-teki atau sesuatu yang samar; penjelasannya sudah gamblang. Tujuannya adalah agar umat manusia tidak jatuh ke dalam kesesatan akibat mengikuti tradisi buta atau prasangka pribadi.
Salah satu poin penting dalam An-Nahl 115 adalah adanya pengecualian bagi kondisi darurat: "...kecuali apa yang terpaksa kamu makan." Prinsip ini menunjukkan sifat syariat Islam yang komprehensif dan realistis. Islam tidak menjerumuskan umatnya pada kesulitan yang tidak perlu.
Apabila seseorang berada dalam situasi terancam kelaparan atau kematian, dan satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan mengonsumsi sesuatu yang secara normal diharamkan (misalnya, bangkai), maka hal tersebut diizinkan. Namun, ini adalah pengecualian yang sangat terbatas, hanya sebatas yang dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya (hukum dharurat).
Fleksibilitas ini bukan berarti kemudahan untuk melanggar hukum secara umum, melainkan sebuah rahmat yang menjaga kemaslahatan jiwa manusia. Batasan ini harus dipenuhi dengan niat untuk bertahan hidup, bukan untuk mencari kenikmatan atau sekadar memuaskan keinginan.
Bagian kedua dari ayat ini memberikan peringatan keras terhadap mereka yang menyesatkan orang lain: "Dan sungguh, banyak orang yang benar-benar menyesatkan (orang lain) dengan keinginan mereka sendiri tanpa pengetahuan."
Ini adalah kritik tajam terhadap pemimpin agama atau orang berpengaruh yang mengubah hukum Allah berdasarkan hawa (keinginan, ego, atau kepentingan pribadi) mereka, bukan berdasarkan wahyu atau ilmu yang sahih. Ketika seseorang berbicara mengenai halal dan haram tanpa landasan ilmu dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, ia berisiko besar menyesatkan dirinya sendiri dan orang lain ke dalam lembah kesesatan.
Dalam konteks modern, hal ini relevan dengan siapa saja yang mencoba menafsirkan batasan agama berdasarkan tren atau pandangan subjektif tanpa merujuk pada otoritas keilmuan Islam yang diakui. Keinginan pribadi, betapapun kuatnya, tidak dapat menggantikan ketetapan ilahi.
Ayat diakhiri dengan penegasan otoritas tertinggi: "Sungguh, Tuhanmu, Dialah Yang Maha Mengetahui orang-orang yang melampaui batas."
Allah SWT memiliki pengetahuan sempurna mengenai siapa yang benar-benar terpaksa (dan dibolehkan) dan siapa yang melampaui batas (mu'tadin) demi mengikuti hawa nafsunya. Bagi seorang Muslim, pengawasan ini seharusnya menjadi motivasi terbesar untuk selalu berhati-hati dalam memegang teguh syariat, meyakini bahwa segala batasan yang ditetapkan adalah demi kebaikan mereka sendiri di dunia dan akhirat. Memahami Surat An-Nahl 115 adalah upaya untuk hidup selaras dengan hukum Allah, menjauhi keraguan dan godaan hawa nafsu yang menyesatkan.