Simbol keluarga harmonis dan keberagaman dalam cinta.
Surat An Nisa, yang berarti "Wanita", adalah salah satu surat Madaniyah yang sangat penting dalam Al-Qur'an. Surat ini membicarakan berbagai aspek hukum dan sosial, dengan penekanan khusus pada hak-hak wanita, perlakuan terhadap anak yatim, dan pengaturan keluarga. Tiga ayat pertama dari surat ini menjadi landasan utama dalam memahami konsep keluarga yang ideal menurut ajaran Islam.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Ayat pembuka ini menegaskan dua prinsip fundamental. Pertama, seluruh umat manusia berasal dari satu sumber penciptaan, yaitu Adam dan Hawa. Ini menekankan kesatuan asal usul manusia, bahwa semua manusia adalah saudara dan memiliki martabat yang sama di hadapan Allah. Konsep ini menolak segala bentuk kesombongan dan diskriminasi berdasarkan ras, suku, atau keturunan. Kedua, ayat ini secara tegas memerintahkan untuk menjaga hubungan kekerabatan (silaturahmi). Ini menunjukkan betapa pentingnya ikatan keluarga dan hubungan dengan kerabat dalam Islam. Islam memandang hubungan ini sebagai amanah yang harus dijaga, dan memutuskan silaturahmi adalah dosa besar.
وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, dan jangan kamu menukarkan yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tuntutan (menanggung) itu adalah dosa yang besar.
Ayat kedua ini berfokus pada perlindungan terhadap kelompok yang rentan, yaitu anak yatim. Dalam masyarakat pra-Islam, seringkali harta anak yatim disalahgunakan oleh walinya. Ayat ini secara tegas memerintahkan untuk menyerahkan harta anak yatim kepada mereka setelah mereka mencapai usia dewasa. Larangan menukar barang yang baik dengan yang buruk dan larangan mencampurkan harta yatim dengan harta pribadi menunjukkan prinsip keadilan dan kejujuran yang harus dijunjung tinggi. Pengelolaan harta anak yatim harus dilakukan dengan penuh amanah dan tanggung jawab, demi masa depan mereka. Ini mencerminkan kepedulian Islam terhadap kesejahteraan individu, terutama mereka yang kehilangan figur orang tua.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Ayat ketiga adalah salah satu ayat yang sering dibicarakan terkait aturan pernikahan. Ayat ini memberikan izin bagi pria untuk berpoligami (menikah lebih dari satu istri), yaitu dengan dua, tiga, atau empat orang istri. Namun, izin ini dibarengi dengan syarat yang sangat ketat, yaitu kemampuan untuk berlaku adil kepada semua istri. Keadilan yang dimaksud mencakup nafkah, giliran menginap, dan perlakuan lahiriah lainnya. Jika seorang pria merasa tidak mampu berlaku adil, maka ia dianjurkan untuk menikah dengan seorang saja. Ketidakmampuan berlaku adil bahkan diancam dengan konsekuensi dosa besar. Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama pernikahan adalah keadilan, kasih sayang, dan pembentukan keluarga yang harmonis. Poligami bukanlah sebuah keharusan atau kebebasan tanpa batas, melainkan sebuah keringanan dalam kondisi tertentu dengan tuntutan keadilan yang tinggi.
Secara keseluruhan, surat An Nisa ayat 1-3 memberikan fondasi yang kuat bagi pembangunan keluarga dalam Islam. Ayat pertama menekankan kesatuan asal usul manusia dan pentingnya menjaga tali silaturahmi. Ayat kedua mengingatkan tentang tanggung jawab moral untuk melindungi dan mengelola harta anak yatim dengan adil. Sementara ayat ketiga mengatur pernikahan, termasuk izin berpoligami dengan syarat keadilan yang ketat.
Keluarga dalam Islam dipandang sebagai unit terkecil yang fundamental dalam masyarakat. Pembentukan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah (tentram, penuh cinta, dan kasih sayang) adalah dambaan setiap Muslim. Tiga ayat awal surat An Nisa ini adalah panduan ilahi yang komprehensif untuk mencapai tujuan tersebut, dengan menekankan pada prinsip-prinsip ketakwaan, keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial.
Memahami dan mengamalkan ajaran yang terkandung dalam surat An Nisa ayat 1-3 akan membantu umat Islam dalam membangun rumah tangga yang kokoh, penuh berkah, dan menjadi teladan bagi masyarakat. Ini adalah panduan yang relevan sepanjang masa untuk menciptakan harmoni dalam hubungan antar manusia, terutama dalam lingkup keluarga dan kerabat.