Simbol Pedoman Kehidupan
Surat An Nisa, yang berarti "Wanita", adalah surat Madaniyah yang sangat kaya akan ajaran mengenai tatanan sosial, keluarga, dan hak-hak individu dalam Islam. Enam ayat pertama dari surat ini memegang peranan krusial sebagai fondasi bagi pemahaman umat Muslim tentang penciptaan manusia, hubungan antar sesama, dan tanggung jawab terhadap keluarga, khususnya anak yatim. Ayat-ayat ini tidak hanya memberikan petunjuk spiritual, tetapi juga panduan praktis yang relevan hingga kini.
Ayat pertama Surat An Nisa memulai dengan mengingatkan manusia akan asal usul penciptaan mereka. Allah SWT berfirman:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak..." (QS. An Nisa: 1)
Ayat ini menekankan kesatuan asal usul manusia, yang berasal dari satu jiwa (Adam) dan diciptakan pasangannya (Hawa). Ini adalah pengingat akan kerendahan hati dan saling ketergantungan antar sesama manusia. Konsep penciptaan dari satu sumber juga menjadi dasar penting dalam membangun rasa persatuan dan kasih sayang dalam keluarga dan masyarakat. Keluarga diposisikan sebagai unit fundamental yang menjadi tempat pembentukan generasi penerus, di mana peran laki-laki dan perempuan sangat vital dan saling melengkapi.
Selanjutnya, ayat 2 dan 3 menggarisbawahi pentingnya menjaga dan mendistribusikan harta anak yatim secara adil.
"...dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, dan jangan kamu menukar hartamu dengan harta mereka. Dan jangan kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan demikian itu adalah dosa yang besar." (QS. An Nisa: 2)
Ini adalah perintah tegas untuk melindungi hak-hak materiil anak-anak yang kehilangan orang tua. Islam sangat memperhatikan kaum yang lemah, dan anak yatim adalah salah satu prioritas utama. Konsep "amanah" sangat kental di sini, di mana harta anak yatim harus dikelola dengan jujur dan penuh tanggung jawab, tanpa dicampur-adukkan dengan harta pengelola.
Ayat 3 melanjutkan dengan pedoman mengenai pernikahan dan keadilan dalam memperlakukan istri:
"...dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan, maka kawinilah dua, tiga atau empat orang perempuan yang kamu senangi. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..." (QS. An Nisa: 3)
Ayat ini membuka pintu poligami dengan syarat yang sangat berat: kemampuan untuk berlaku adil. Keadilan di sini mencakup nafkah, giliran, dan perlakuan lahir batin. Namun, penekanan utamanya adalah jika ada keraguan akan kemampuan berbuat adil, maka menikahi satu wanita saja adalah pilihan yang lebih bijaksana. Ini menunjukkan bahwa Islam mengutamakan keadilan dan keharmonisan dalam rumah tangga.
Ayat 4 dan 5 berbicara tentang hak-hak wanita, terutama mahar, dan larangan memberikan harta kepada orang yang belum cakap mengelolanya.
"Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan (yang kamu nikahi) mahar mereka sebagai suatu pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) segalanya itu (menjadi) enak (lezat) lagi baik akibatnya." (QS. An Nisa: 4)
Mahar adalah hak mutlak perempuan yang tidak boleh ditahan atau diambil kembali kecuali dengan kerelaan. Ini adalah simbol penghargaan dan komitmen suami.
Selanjutnya, ayat 5 menjelaskan:
"Dan janganlah kamu berikan kepada orang-orang yang belum mampu memakai harta kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok mata pencaharian, berilah mereka belanja dari hasil harta itu dan pakaianilah mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik." (QS. An Nisa: 5)
Ayat ini menggarisbawahi kewajiban memberikan nafkah kepada orang-orang yang berada di bawah tanggungan, seperti anak-anak, atau mereka yang belum cakap mengelola hartanya sendiri, dengan cara yang baik dan ucapan yang sopan.
Puncak dari pedoman awal ini adalah ayat 6, yang mengatur tentang pembagian harta warisan.
"Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin; apabila menurutmu mereka sudah cerdas (pintar), serahkanlah kepada mereka harta mereka, dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) sebelum mereka dewasa dan janganlah (pula) kamu memakannya karena bergegas (menghabiskan milik mereka). Dan siapa (wali) yang kaya, hendaklah menahan diri (dari mengambil upah), dan siapa yang miskin, hendaklah makan sekedarnya. Apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (pembagian itu) atas mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (perhitungan)." (QS. An Nisa: 6)
Ayat ini memberikan instruksi lebih rinci mengenai pengelolaan harta anak yatim. Harta tersebut baru diserahkan sepenuhnya ketika mereka telah mencapai kedewasaan dan terbukti mampu mengelolanya. Para wali atau pengelola harta harus berlaku jujur, tidak mengambil keuntungan pribadi, dan jika perlu menggunakan sebagian harta tersebut secukupnya jika mereka dalam keadaan miskin. Pengadaan saksi saat penyerahan harta juga ditekankan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari, menegaskan prinsip kehati-hatian dan pertanggungjawaban yang sangat dijaga dalam ajaran Islam.
Secara keseluruhan, enam ayat pertama Surat An Nisa memberikan panduan komprehensif tentang pembentukan keluarga yang kokoh, perlindungan terhadap kaum yang lemah, keadilan dalam hubungan suami istri, serta etika pengelolaan harta. Ajaran-ajaran ini membimbing umat Islam untuk membangun masyarakat yang adil, penyayang, dan bertanggung jawab, di mana setiap individu memiliki hak dan kewajiban yang jelas.