Ilustrasi Pengawasan Ilahi atas Amalan Manusia
I. Pendahuluan: Konteks Universalitas Amal
Surat At-Taubah, yang merupakan surat kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki karakter unik. Ia dikenal sebagai surat yang keras terhadap kaum munafik dan mereka yang melanggar janji, serta menetapkan batas-batas yang jelas antara keimanan sejati dan kepura-puraan. Dalam konteks yang sarat dengan ujian, pengorbanan, dan penentuan sikap, turunlah ayat-ayat yang menekankan pentingnya kejujuran tindakan dan ketulusan niat.
Salah satu ayat paling fundamental yang membentuk etos kerja dan tanggung jawab pribadi seorang Muslim adalah Ayat 105. Ayat ini bukan hanya sekadar anjuran untuk bekerja, melainkan sebuah pernyataan teologis mendalam mengenai sifat abadi dari pengawasan Tuhan terhadap setiap gerak-gerik hamba-Nya. Ia datang sebagai penegasan bahwa setiap amal, baik yang tersembunyi maupun yang terlihat, akan dicatat, dinilai, dan disaksikan.
Pembahasan mengenai Surat At-Taubah Ayat 105 menjadi krusial karena ia menjembatani jurang antara ritual keagamaan murni (*ibadah mahdhah*) dan aktivitas duniawi sehari-hari (*muamalah*). Melalui ayat ini, Al-Qur'an mengajarkan bahwa dunia adalah ladang amal, dan setiap tindakan yang kita lakukan adalah bagian dari ibadah jika dilandasi niat yang benar.
II. Teks dan Terjemahan Surat At-Taubah Ayat 105
A. Ayat dalam Bahasa Arab (Rasm Utsmani)
B. Transliterasi Latin
C. Terjemahan Resmi Bahasa Indonesia
III. Analisis Mendalam Frasa Kunci dalam Ayat 105
Untuk memahami sepenuhnya pesan Ayat 105, kita perlu membedah komponen-komponen utama yang membangun makna dan implikasi teologisnya. Setiap kata memiliki bobot signifikan yang berkontribusi pada konsep total pengawasan dan pertanggungjawaban.
A. Perintah untuk Beramal: (وَقُلِ اعْمَلُوا) - Wa quli’malū
Kata kerja ‘amalū (اعْمَلُوا) adalah perintah (fi'il amr) yang berarti “bekerjalah” atau “lakukanlah”. Perintah ini ditujukan kepada seluruh umat Islam, menekankan bahwa Islam bukanlah agama pasif yang hanya menekankan ritual spiritual tanpa aksi nyata. Ini adalah seruan universal yang mencakup setiap jenis usaha: mencari nafkah, berjuang di jalan Allah (jihad), berbuat baik, belajar, dan melayani masyarakat.
- Implikasi Perintah: Perintah ini menolak fatalisme atau kepasrahan buta. Meskipun takdir telah ditetapkan, manusia diperintahkan untuk berusaha keras, mengakui bahwa hasil akhir adalah milik Allah, tetapi usaha adalah tanggung jawab manusia.
- Konteks At-Taubah: Dalam konteks At-Taubah, seruan ini adalah kontras langsung terhadap kaum munafik yang hanya berbicara tanpa bertindak, atau bertindak dengan niat yang busuk.
B. Janji Pengawasan Ilahi: (فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ) - Fasayarallāhu ‘amalakum
Kata "fasayarā" (فَسَيَرَى) berarti "maka Dia akan melihat" atau "maka Dia akan mengetahui". Huruf 'fa' (ف) menunjukkan akibat langsung dari perintah sebelumnya: jika kalian bekerja, maka akibatnya adalah Allah pasti akan mengawasi dan menilai pekerjaan kalian. Ini adalah inti teologis ayat tersebut.
Pengawasan Allah (Ar-Raqib) tidak terbatas pada penglihatan indrawi; melainkan mencakup pengetahuan sempurna tentang niat, kualitas, dan kuantitas pekerjaan. Pengawasan ini bersifat mutlak, menyeluruh, dan tidak pernah luput sedikit pun, terlepas dari apakah amal tersebut dilakukan di hadapan publik atau dalam kesunyian yang paling pribadi.
C. Saksi-Saksi Tambahan: (وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ) - Wa rasūluhū wal-mu'minūn
Yang menarik, Allah menyebutkan dua kelompok saksi selain Diri-Nya sendiri: Rasulullah (ﷺ) dan kaum mukminin.
- Rasulullah (ﷺ): Pengawasan Rasulullah (*syuhūd*) berlangsung selama beliau masih hidup dan melalui catatan yang diperlihatkan kepada beliau. Tafsir klasik (seperti Al-Qurtubi) menyebutkan bahwa amal umat diperlihatkan kepada Nabi, memberikan rasa tanggung jawab yang lebih besar bagi umat Islam untuk selalu menjaga kualitas amalnya.
- Kaum Mukmin (الْمُؤْمِنُونَ): Ini merujuk pada para pemimpin yang adil, ulama, atau bahkan masyarakat umum yang saleh. Ini menegaskan konsep pertanggungjawaban sosial dan transparansi. Meskipun ikhlas adalah antara hamba dan Tuhan, amal baik yang terlihat dapat menginspirasi orang lain, dan masyarakat yang baik adalah cermin dari keimanan kolektif.
D. Hari Pertanggungjawaban: (وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ)
Ayat ini menutup dengan pengingat akan akhirat. "Dan kamu akan dikembalikan" (وَسَتُرَدُّونَ) menegaskan kepastian hari kebangkitan. Allah diperkenalkan dengan dua sifat Agung:
- ‘Ālimul-Ghaib (عَالِمِ الْغَيْبِ): Yang Maha Mengetahui hal yang gaib (tidak terlihat, masa depan, niat tersembunyi).
- Wasy-Syahādah (وَالشَّهَادَةِ): Dan yang nyata (hal-hal yang terlihat dan terjangkau indra).
Gabungan dua sifat ini menunjukkan bahwa Allah mengetahui segalanya secara sempurna, baik yang tersembunyi di dalam hati (niat yang gaib) maupun manifestasi fisik dari amal (tindakan yang nyata). Tidak ada satu pun detail pekerjaan yang luput dari perhitungan-Nya.
E. Pemberitaan Hasil Amal: (فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ)
Bagian terakhir, "lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan," adalah janji keadilan. Pada Hari Kiamat, hasil dari semua amal akan diungkapkan. Ini menghilangkan keraguan akan ketidakadilan; semua usaha, kesulitan, dan niat akan dibuka secara transparan di hadapan setiap individu.
IV. Tafsir dan Makna Teologis Ayat 105
Para mufassir sepakat bahwa Surat At-Taubah 105 adalah salah satu ayat kunci yang menjelaskan hubungan dialektis antara kebebasan berkehendak manusia (*ikhtiar*) dan pengetahuan mutlak Tuhan. Ayat ini berfungsi sebagai motivasi terbesar bagi seorang Muslim untuk berbuat ikhlas dan menjaga kualitas kerjanya.
A. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Ayat 105 datang dalam rangkaian ayat (dimulai dari 102) yang berbicara tentang mereka yang mengakui dosa mereka dan bertobat, serta kaum munafik yang meragukan. Menurut riwayat, ayat ini turun setelah peristiwa Perang Tabuk. Ketika sebagian orang yang mangkir dari perang datang kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk meminta maaf, mereka menyerahkan sedekah sebagai bukti penyesalan.
Ayat-ayat sebelumnya menjelaskan bahwa Nabi hanya menerima sedekah mereka dan menyerahkan penilaian akhir kepada Allah. Ayat 105 kemudian turun sebagai penegasan universal: setelah tobat diterima, yang terpenting adalah melanjutkan hidup dengan amal yang baik. Ini adalah penekanan bahwa pertobatan harus diikuti dengan perubahan perilaku yang nyata—yaitu, pekerjaan yang tulus.
B. Implikasi Ikhlas dan Transparansi
Tafsir Ibnu Katsir menekankan bahwa perintah ini mengandung dorongan bagi setiap hamba untuk memperbagus amalannya. Jika seseorang beramal secara tulus karena Allah, maka penglihatan Allah dan Rasul-Nya serta kaum mukmin akan menjadi faktor pendorong, bukan penghalang. Penglihatan oleh Rasul dan mukminin berfungsi sebagai sarana untuk memastikan transparansi dan keadilan di dunia ini.
“Allah memerintahkan para hamba untuk bekerja dan memberitahukan kepada mereka bahwa amal mereka akan selalu berada di bawah pengawasan-Nya yang sempurna, dan juga akan terlihat oleh Rasul-Nya serta kaum mukmin. Ini memotivasi mereka untuk beramal dengan sebaik-baiknya.” (Ringkasan dari Tafsir Ibnu Katsir).
C. Konsep Ghaib dan Syahadah
Penyebutan ‘Ālimul-Ghaib wasy-Syahādah memiliki makna mendalam dalam konteks pertanggungjawaban:
- Ghaib (Niat): Hanya Allah yang mengetahui niat di balik suatu perbuatan. Meskipun pekerjaan terlihat baik di mata manusia (*syahādah*), jika niatnya buruk (misalnya, riya'), maka di mata Allah (yang mengetahui *ghaib*) amal itu tidak bernilai.
- Syahadah (Aksi): Pekerjaan fisik yang terlihat dan bisa dinilai oleh manusia. Ini adalah dimensi amal yang dinilai oleh Rasul dan kaum mukmin.
Dengan demikian, ayat ini mengajarkan keseimbangan: kerjakan amal sebaik mungkin (untuk memenuhi dimensi *syahādah*), tetapi pastikan niatnya tulus (agar diterima oleh *‘Ālimul-Ghaib*).
D. Amal sebagai Bukti Keimanan
Dalam ajaran Islam, iman (keyakinan hati) harus selalu diterjemahkan ke dalam amal (tindakan). Ayat 105 secara tegas menjadikan amal sebagai barometer keimanan sejati. Kaum munafik adalah mereka yang mengklaim iman tetapi gagal dalam ujian amal (terutama saat Perang Tabuk). Sementara mukmin sejati adalah mereka yang membuktikan klaim imannya melalui kerja keras dan pengorbanan yang dilakukan di bawah pengawasan Ilahi.
V. Implikasi Praktis Ayat 105 dalam Kehidupan Modern
Surat At-Taubah Ayat 105 menyediakan prinsip-prinsip etika kerja yang relevan di setiap zaman, termasuk dalam konteks profesionalitas, tanggung jawab sosial, dan integritas pribadi di era modern.
A. Etos Kerja dan Profesionalisme
Perintah “Bekerjalah kamu” (اعْمَلُوا) menggarisbawahi pentingnya dedikasi dan kualitas. Dalam konteks pekerjaan, ini berarti:
- Kualitas (Itqan): Karena Allah dan Rasul-Nya melihat pekerjaan, seorang Muslim tidak boleh asal-asalan. Kualitas kerja (itqan) harus maksimal, karena itu adalah manifestasi iman.
- Integritas: Seseorang yang meyakini bahwa pekerjaannya diawasi oleh Tuhan akan menghindari korupsi, kecurangan, dan ketidakjujuran, bahkan ketika tidak ada atasan yang mengawasi.
- Tanggung Jawab: Setiap pekerjaan adalah amanah. Memenuhi amanah berarti bekerja sesuai kontrak atau janji, baik itu pekerjaan di sektor publik maupun swasta.
B. Penerapan dalam Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Menuntut ilmu adalah salah satu bentuk amal yang paling tinggi. Ayat 105 mengingatkan para penuntut ilmu bahwa proses belajar dan penelitian juga diawasi. Dedikasi dalam belajar, kejujuran dalam penelitian (menghindari plagiarisme), dan niat menyebarkan manfaat ilmu adalah semua bagian dari ‘amal’ yang akan dilihat oleh Allah.
C. Akuntabilitas Sosial dan Transparansi Publik
Penyebutan “dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu” memberikan dimensi akuntabilitas yang transparan. Ayat ini mendorong:
- Keterbukaan: Terutama bagi para pemimpin dan pejabat publik, ayat ini menuntut agar kinerja mereka dapat dipertanggungjawabkan dan terbuka untuk penilaian masyarakat (kaum mukmin).
- Ukhuwah (Persaudaraan): Kaum mukmin memiliki hak untuk saling menasihati dan mengoreksi berdasarkan amal yang terlihat. Jika suatu perbuatan buruk terlihat, kaum mukmin wajib menegur.
D. Mengatasi Riya' (Pamer) dan Sum'ah (Mencari Pujian)
Ayat 105 menyediakan obat penawar yang kuat terhadap riya'. Meskipun pekerjaan terlihat oleh manusia, pengembalian terakhir adalah kepada Yang Maha Mengetahui Gaib dan Nyata. Jika seseorang bekerja hanya untuk pujian manusia, ia akan gagal di hadapan ‘Ālimul-Ghaib. Fokus harus selalu dialihkan dari penglihatan manusia kepada Pengawasan Abadi Allah.
Tujuan utama dari pengawasan ini bukan untuk penghukuman, melainkan untuk penyempurnaan jiwa. Keyakinan bahwa Allah melihat memaksa hati untuk selalu berorientasi kepada ketulusan (*ikhlas*) dalam setiap tindakan, besar atau kecil.
VI. Analisis Linguistik Lanjutan: Waktu dan Kepastian
A. Analisis Huruf Sin (س) dalam ‘Fasayarā’
Dalam bahasa Arab, huruf *sin* (س) yang dilekatkan pada kata kerja masa depan (*fi'il mudhari'*) seperti pada *fasayarā* (maka Dia akan melihat) memberikan makna kepastian yang akan terjadi dalam waktu dekat. Ini bukan sekadar kemungkinan di masa depan, melainkan janji yang segera terwujud.
Ini menekankan bahwa pengawasan Allah tidak menunggu Hari Kiamat. Pengawasan itu sudah terjadi saat ini, detik ini. Setiap pekerjaan yang dilakukan langsung tercatat dan disaksikan, memberikan urgensi teologis yang mendesak bagi pelaku amal.
B. Perbedaan Istilah ‘Amal dan ‘Ibadah
Ayat ini menggunakan kata ‘amal (عَمَلَكُمْ), yang memiliki makna lebih luas daripada ‘ibadah (عبادة). ‘Ibadah biasanya merujuk pada ritual formal (salat, puasa). Sementara ‘amal mencakup setiap tindakan, usaha, dan profesi. Dengan menggunakan ‘amal, Al-Qur'an mengintegrasikan kehidupan duniawi ke dalam kerangka pertanggungjawaban ilahiah. Tidur, makan, bekerja mencari nafkah—semuanya bisa menjadi ‘amal shalih jika diniatkan secara benar.
C. Struktur Kalimat dan Efek Retoris
Ayat ini disusun secara paralel yang kuat:
1. Perintah Aksi: “Bekerjalah kamu.”
2. Pengawasan Duniawi: “Maka Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu.”
3. Pengembalian Abadi: “Dan kamu akan dikembalikan kepada Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.”
4. Penghakiman Akhir: “Lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Struktur ini menciptakan rantai sebab-akibat yang sempurna, menghubungkan aksi di dunia (*dunya*) dengan hasil di akhirat (*akhirah*), memastikan bahwa tidak ada ruang bagi kesia-siaan atau lolosnya pertanggungjawaban.
VII. Hubungan Ayat 105 dengan Konsep Amal Shalih dalam Al-Qur'an
Surat At-Taubah 105 bukan berdiri sendiri. Ia adalah puncak dari banyak ajaran Al-Qur'an yang menegaskan bahwa iman dan amal harus selalu bergandengan tangan. Ia memiliki sinergi yang kuat dengan ayat-ayat lain yang membahas konsep pembalasan dan pengawasan.
A. Sinergi dengan Surah Al-Zalzalah
Ayat 105 menemukan paralel kuat dalam Surah Al-Zalzalah ayat 7-8:
“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
At-Taubah 105 menegaskan bahwa *setiap* amal itu terlihat dan tercatat (pengawasan), sedangkan Al-Zalzalah menegaskan bahwa *setiap* amal, sekecil apa pun (*zarrah*), akan ada balasannya (pertanggungjawaban). Keduanya melengkapi gambaran keadilan Ilahi yang sempurna.
B. Konsep Kitab dan Pencatatan
Ayat ini juga berkaitan erat dengan konsep “Kitab” atau catatan amal yang disebutkan dalam berbagai surat lain. Keyakinan bahwa Allah melihat pekerjaan berarti bahwa pekerjaan tersebut sedang dicatat oleh para malaikat Raqib dan Atid. Pengetahuan Allah adalah primer, dan pencatatan malaikat adalah manifestasi dari keadilan-Nya.
C. Pengawasan dalam Surah Al-Mulk
Surah Al-Mulk ayat 2 menyebutkan bahwa Allah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara manusia yang paling baik amalannya (*ahsan ‘amala*).
“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”
Ayat 105 At-Taubah adalah metode ujian tersebut—yaitu melalui pengawasan konstan dan janji pertanggungjawaban. Ujian bukan hanya pada kuantitas amal, melainkan pada keunggulan (*ihsan*) dan ketulusan niatnya.
VIII. Kehidupan dengan Kesadaran ‘Amalakum’ (Pekerjaanmu)
Hidup di bawah kesadaran ‘fasayarallahu ‘amalakum’ adalah tantangan spiritual tertinggi. Ini menuntut tingkat kesadaran (*muraqabah*) yang konstan, di mana seorang hamba selalu merasa kehadiran Tuhannya di setiap aktivitas.
A. Muraqabah (Kesadaran akan Pengawasan)
Muraqabah adalah inti spiritual dari ayat ini. Ini adalah keadaan batin di mana seseorang yakin bahwa Allah mengawasinya. Ketika muraqabah tertanam kuat, perilaku seorang Muslim akan berubah secara radikal:
- Dalam Kesendirian: Tidak akan berani melakukan maksiat karena sadar bahwa Allah melihat, meskipun tidak ada manusia lain yang hadir.
- Dalam Keramaian: Tidak akan mencari pujian (*riya'*) karena tujuan utamanya adalah kepuasan Sang Pengawas sejati.
Ayat 105 mengajarkan bahwa muraqabah adalah mesin penggerak dari ihsan (berbuat baik seolah-olah kamu melihat Allah, dan jika kamu tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa Dia melihatmu).
B. Menanggapi Kritisisme dan Ujian
Ayat ini juga memberikan penghiburan saat pekerjaan seorang Muslim diremehkan atau dicemooh oleh orang lain. Jika pekerjaan itu dilakukan dengan ikhlas, meskipun manusia tidak menghargainya, Allah telah melihatnya (*fasayarallahu ‘amalakum*). Balasan sejati tidak datang dari pujian manusia, tetapi dari Sang Pencipta.
Sebaliknya, jika seseorang melakukan kesalahan dan menerima kritik dari kaum mukmin (*wal-mu'minūn*), ia harus menerima kritik tersebut sebagai bagian dari sistem pengawasan yang ditetapkan Ilahi, yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas amalnya di dunia.
C. Pentingnya ‘Amal Qalbi (Amal Hati)
Amal tidak hanya terbatas pada tindakan fisik. Surat At-Taubah 105, terutama melalui sifat Allah ‘Ālimul-Ghaib, menekankan pentingnya ‘amal qalbi (pekerjaan hati), seperti:
- Ikhlas: Memurnikan niat semata-mata karena Allah.
- Tawakkal: Berserah diri setelah berusaha maksimal.
- Mahabbah: Cinta yang mendorong untuk beramal.
Amal-amal hati ini adalah dimensi gaib dari pekerjaan yang hanya dinilai sempurna oleh Allah. Tanpa amal hati yang benar, amal fisik (*syahādah*) akan hampa.
IX. Penafsiran Mendalam oleh Ulama Kontemporer
Ayat 105 terus menjadi rujukan utama dalam pengembangan etika Islam kontemporer, terutama yang berkaitan dengan pembangunan peradaban dan tanggung jawab kolektif.
A. Perspektif Sayyid Qutb tentang Gerakan Sosial
Dalam tafsirnya, *Fi Zilal al-Qur'an*, Sayyid Qutb melihat ayat ini sebagai seruan untuk bertindak dalam rangka mendirikan masyarakat Islam yang ideal. Perintah ‘i’malu’ (bekerjalah) bukan hanya tugas individual, tetapi tugas kolektif umat untuk menegakkan kebenaran. Pengawasan oleh Rasul dan kaum mukmin adalah mekanisme organisasi yang memastikan konsistensi dan integritas dalam gerakan sosial dan politik.
“Kerja adalah bukti keimanan. Dunia adalah arena untuk membuktikan ketulusan kita, dan hanya melalui kerja keras, pengorbanan, dan transparansi, kita dapat berharap memenuhi standar pengawasan yang ditetapkan oleh Allah.” (Diadaptasi dari Sayyid Qutb).
B. Fiqih Prioritas dan ‘Amal Afdhal
Meskipun ayat ini memerintahkan untuk bekerja secara umum, ulama fiqih sering menggunakannya untuk membahas konsep *‘amal afdhal* (pekerjaan yang paling utama). Karena setiap amal akan dilihat, seorang mukmin didorong untuk memilih amal yang memiliki manfaat terbesar, baik manfaat bagi dirinya (ibadah wajib) maupun manfaat bagi masyarakat (amal sosial dan dakwah).
Ayat 105 memberikan landasan bahwa pekerjaan yang paling mulia adalah yang paling tulus, paling bermanfaat, dan paling konsisten dengan ajaran Islam, karena pekerjaan itulah yang akan disaksikan dengan baik oleh Allah.
C. Peran Kaum Mukminin sebagai Penjaga Kualitas
Penekanan pada peran kaum mukmin sebagai saksi menunjukkan bahwa komunitas Muslim memiliki kewajiban kolektif untuk menegakkan standar moral dan profesionalisme. Ini menciptakan mekanisme peer review (peninjauan sejawat) spiritual. Jika pekerjaan seseorang buruk atau bermasalah, masyarakat mukmin tidak boleh diam, karena mereka juga termasuk pihak yang akan melihat pekerjaan tersebut dan diminta pertanggungjawaban atas pengawasan mereka.
D. Dampak Keyakinan pada Produktivitas
Secara psikologis, keyakinan penuh pada ayat 105 meningkatkan motivasi intrinsik. Seorang pekerja tidak memerlukan insentif eksternal (gaji tinggi, pujian) sebagai pendorong utama, karena motivasi terbesarnya adalah pengawasan dan ganjaran abadi dari Allah. Hal ini menghasilkan produktivitas yang stabil, beretika tinggi, dan tahan terhadap frustrasi duniawi.
X. Memperdalam Pengertian Konsekuensi Amal
Bagian penutup ayat, yang membahas pengembalian kepada Yang Maha Mengetahui Gaib dan Nyata, adalah klimaks dari pesan Ayat 105. Ia mengalihkan fokus dari kehidupan duniawi yang singkat menuju keabadian dan konsekuensi definitif.
A. Kepastian Pengembalian (Suradūna)
Kata saturaddūna (وَسَتُرَدُّونَ) secara harfiah berarti "kamu akan dikembalikan". Ini adalah pengingat bahwa hidup di dunia ini adalah perjalanan sementara, dan akhir dari perjalanan setiap jiwa adalah kembali kepada Penciptanya. Pengembalian ini bukan pilihan, melainkan keniscayaan. Kesadaran akan ‘kembali’ ini seharusnya mengarahkan seluruh amal agar sesuai dengan kehendak Sang Pengembali.
B. Penghakiman Berdasarkan Ilmu Yang Sempurna
Pada hari itu, keputusan Allah akan didasarkan pada pengetahuan-Nya yang sempurna, mencakup *ghaib* (niat yang tersembunyi, kondisi hati) dan *syahādah* (tindakan lahiriah yang terlihat).
- Jika amal terlihat baik tetapi niatnya buruk (misalnya, bersedekah untuk pamer), maka faktor *ghaib* akan mendominasi dan amal itu ditolak.
- Jika amal terlihat kecil atau diremehkan oleh manusia, tetapi niatnya tulus murni, maka faktor *ghaib* akan mengangkat nilainya.
Oleh karena itu, Hari Penghakiman adalah penegasan tertinggi atas keadilan, di mana tidak ada manipulasi atau kepura-puraan yang dapat menyembunyikan kebenaran dari amal seseorang.
C. Penutup: Janji Pemberitaan
Pemberitaan tentang amal (*fayunabbi'ukum*) di Hari Kiamat adalah momen yang paling menakutkan sekaligus paling melegakan bagi seorang mukmin. Bagi orang yang beramal buruk, ini adalah pengungkapan keaiban. Bagi orang yang beramal baik, ini adalah pengumuman kemenangan dan pemenuhan janji Tuhan.
Keseluruhan Surat At-Taubah Ayat 105, dengan transliterasi Latinnya yang mudah diucapkan dan maknanya yang mendalam, berdiri sebagai pilar etika kerja Islam. Ia adalah jaminan bahwa tidak ada satu pun usaha tulus yang akan sia-sia di hadapan Allah, dan tidak ada satu pun kemunafikan yang dapat bersembunyi dari pandangan-Nya yang sempurna.
"Bekerjalah, karena kalian berada di bawah pengawasan abadi Sang Raja Diraja."