Kajian Mendalam Surat At-Taubah Ayat 108: Pijakan Takwa dan Hukum Masjid Dhirar

Ilustrasi Pondasi Takwa Pondasi Takwa (تَقْوَى)
Ilustrasi simbolis bangunan yang didirikan di atas pondasi Takwa, mencerminkan kemurnian niat sebagaimana diajarkan oleh Surah At-Taubah ayat 108.

I. Pengantar: Konteks Surah At-Taubah

Surah At-Taubah, surah ke-9 dalam Al-Qur'an, memiliki karakteristik unik. Ia adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan lafazh *Bismillahirrahmanirrahim*, sebuah isyarat kuat bahwa surah ini mengandung peringatan keras, pemutusan perjanjian, dan pengungkapan tabir munafikin (orang-orang munafik).

Surah ini diturunkan setelah Perang Tabuk, pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah ﷺ. Konteksnya adalah pembersihan internal umat Islam dari elemen-elemen yang merusak, baik dari pihak kaum musyrikin yang melanggar janji, maupun dari kaum munafikin yang bersembunyi di dalam barisan kaum muslimin. Ayat 108 secara spesifik merupakan puncak dari pengungkapan kebusukan niat kaum munafikin melalui kisah fenomenal yang dikenal sebagai Masjid Dhirar.

Ayat ini bukan sekadar perintah untuk tidak shalat di suatu tempat, melainkan sebuah prinsip fundamental dalam Islam: bahwa nilai suatu amal perbuatan (termasuk pembangunan fisik) diukur dari niat dan pondasinya. Niat yang murni akan menghasilkan bangunan takwa yang abadi, sementara niat yang jahat akan menghasilkan struktur kehancuran yang wajib dihancurkan.

II. Teks dan Terjemahan Surat At-Taubah Ayat 108

لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
"Janganlah engkau melaksanakan salat di dalamnya selama-lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan salat di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah mencintai orang-orang yang bersih." (Q.S. At-Taubah [9]: 108)

III. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat): Kisah Masjid Dhirar

Untuk memahami kedalaman ayat 108, kita harus menyelami kisah historis yang melatarinya, yaitu insiden Masjid Dhirar (مسجد الضرار), yang berarti ‘Masjid yang Membahayakan’ atau ‘Masjid yang Mendatangkan Kerugian’.

A. Latar Belakang Pembangunan Masjid Dhirar

Pembangunan Masjid Dhirar berakar pada permusuhan kuno dan konspirasi yang dilakukan oleh kaum munafikin di Madinah. Pemimpin utama konspirasi ini adalah Abu 'Amir Ar-Rahib (Abu 'Amir Sang Rahib), seorang tokoh yang awalnya beragama Hanif (monoteis murni) namun kemudian menolak kenabian Muhammad ﷺ dan lari ke Syam (Suriah) setelah penaklukan Makkah, mencari bantuan dari Kaisar Romawi untuk menyerang Madinah.

Sebelum ia pergi, Abu 'Amir bersekutu dengan sekelompok munafikin di Madinah, yang dipimpin oleh Mu'attib bin Qusyair dan lainnya. Mereka meminta agar dibangunkan sebuah tempat yang berfungsi sebagai markas rahasia, di mana mereka dapat berkumpul, merencanakan makar, dan menunggu kembalinya Abu 'Amir bersama pasukan Romawi.

Mereka memilih lokasi di Quba, dekat Madinah, dan mendirikan sebuah bangunan dengan kedok 'masjid'—konon tujuannya adalah untuk orang-orang yang lemah, sakit, atau tidak bisa menghadiri shalat di Masjid Quba atau Masjid Nabawi, terutama saat musim dingin atau hujan. Sebuah dalih yang terdengar mulia di permukaan.

B. Permintaan Izin dan Kedok Palsu

Setelah selesai membangun, saat Rasulullah ﷺ sedang bersiap untuk Perang Tabuk (atau beberapa riwayat mengatakan sebelum keberangkatan), para munafikin ini mendatangi beliau. Mereka meminta agar Rasulullah berkenan datang dan shalat di masjid baru mereka untuk memberkahi tempat tersebut. Tujuannya adalah melegitimasi bangunan itu di mata masyarakat muslim.

Rasulullah ﷺ, pada saat itu, sedang terburu-buru menyiapkan pasukan besar. Beliau menjawab, "Sesungguhnya kami sedang menuju perjalanan (Tabuk), dan jika Allah menghendaki, kami akan kembali dan kami akan shalat di dalamnya."

C. Turunnya Wahyu dan Pengungkapan Niat

Ketika Rasulullah ﷺ kembali dari Tabuk, dalam perjalanan menuju Madinah, Jibril turun membawa wahyu, yaitu ayat 107 dan 108 dari Surah At-Taubah. Ayat 107 menjelaskan niat jahat mereka: mereka membangun masjid itu untuk menimbulkan bahaya (*dhirar*), kekafiran, memecah belah kaum mukminin, dan sebagai tempat persembunyian bagi orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sebelumnya (yakni Abu 'Amir Ar-Rahib).

Ayat 108 kemudian memberikan perintah tegas: "Janganlah engkau melaksanakan salat di dalamnya selama-lamanya." Kemudian, ayat tersebut membandingkan Masjid Dhirar dengan bangunan yang benar-benar didirikan atas dasar takwa: Masjid Quba.

D. Eksekusi Penghancuran

Setelah wahyu turun, Rasulullah ﷺ segera memerintahkan dua sahabat, Malik bin Ad-Dukhsyum dan Ma'an bin Adi, untuk pergi ke Masjid Dhirar. Beliau bersabda, "Pergilah kepada masjid ini yang pemiliknya zalim, lalu hancurkan dan bakarlah."

Kedua sahabat tersebut melaksanakan perintah tersebut dengan segera. Mereka membakar dan meruntuhkan Masjid Dhirar hingga rata dengan tanah. Tindakan ini merupakan pelajaran keras bahwa dalam Islam, sarana ibadah pun, jika niatnya jahat dan digunakan sebagai alat perpecahan atau konspirasi politik, harus dimusnahkan.

IV. Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci Ayat 108

Ayat 108 adalah ayat yang padat makna. Analisis mendalam terhadap terminologi kuncinya mengungkap kedalaman ajaran Islam tentang kesucian institusi dan niat.

A. Istilah Kunci: لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا (Janganlah engkau berdiri/shalat di dalamnya selama-lamanya)

Perintah ini adalah larangan mutlak (*abada*) untuk shalat di Masjid Dhirar. Kata kerja تَقُمْ (*taqum*) secara harfiah berarti "berdiri", tetapi dalam konteks ini, ia merujuk pada aktivitas shalat, khususnya shalat wajib. Larangan ini bukan hanya ditujukan kepada Rasulullah ﷺ, tetapi berlaku umum bagi seluruh kaum mukminin hingga hari Kiamat, menjadikan tempat tersebut terlarang untuk ibadah.

Larangan ini menegaskan bahwa kesucian tempat ibadah dapat dicabut jika ia berubah fungsi menjadi pusat makar, kerusakan, atau fitnah. Ini adalah prinsip syariah yang menyatakan bahwa sarana tidak dapat dipisahkan dari tujuannya.

B. Istilah Kunci: لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ (Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa)

Ini adalah jantung ayat. Ayat ini membandingkan Masjid Dhirar (yang didirikan atas dasar *dhirar* atau bahaya) dengan masjid yang didirikan atas dasar *Taqwa* (ketakwaan).

1. Definisi Taqwa (التقوى)

Kata *Taqwa* berasal dari akar kata *waqa* (وقى), yang berarti menjaga diri, melindungi, atau mencegah. Dalam terminologi syariat, *Taqwa* berarti menjaga diri dari siksa Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ia mencakup tiga dimensi utama:

  1. Ketakutan (Khauf): Takut kepada Allah.
  2. Ketaatan (Ita'ah): Melaksanakan perintah-Nya.
  3. Penjagaan (Wiqayah): Menjaga hati dan anggota badan dari dosa.

Ketika sebuah masjid didirikan "atas dasar takwa," ini berarti:

2. Perbedaan Antara Masjid Dhirar dan Masjid Taqwa

Masjid Dhirar memiliki bentuk fisik masjid (bangunan, tempat sujud) tetapi kehilangan esensi takwa. Ia adalah tubuh tanpa ruh. Sebaliknya, masjid yang disanjung ayat ini memiliki pondasi spiritual yang kuat sejak "hari pertama" (*min awwali yawmin*), menunjukkan konsistensi dan kemurnian niat yang tidak berubah-ubah.

C. Istilah Kunci: أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ (Lebih pantas engkau melaksanakan salat di dalamnya)

Penyebutan "lebih pantas" menunjukkan hierarki spiritual. Ibadah yang dilakukan di tempat yang didirikan atas niat yang benar memiliki bobot dan kemuliaan yang jauh lebih besar di sisi Allah. Ayat ini secara eksplisit merujuk pada Masjid Quba, yang merupakan masjid pertama yang didirikan oleh Rasulullah ﷺ setibanya di Madinah (saat itu bernama Yatsrib).

D. Istilah Kunci: فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا (Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri)

Ayat ditutup dengan pujian yang indah bagi para jamaah Masjid Quba. Kata يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا (mereka suka mensucikan diri) merujuk pada dua jenis kesucian:

  1. Thaharah Hissiyah (Kesucian Fisik): Kesucian dari hadas kecil dan besar, dan kebersihan tubuh. Riwayat menyebutkan bahwa penduduk Quba memiliki kebiasaan istimewa, yaitu selalu menggunakan air untuk membersihkan diri setelah buang air (istinja'), bahkan sebelum turunnya ayat yang mewajibkan kebiasaan ini secara tegas.
  2. Thaharah Ma'nawiyah (Kesucian Spiritual): Membersihkan hati dari kemunafikan, kedengkian, syirik, dan niat buruk. Ini adalah cerminan dari takwa yang disebutkan sebelumnya. Orang yang murni niatnya (di Masjid Taqwa) adalah mereka yang juga murni fisik dan spiritualnya.

Allah kemudian menegaskan: وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (Dan Allah mencintai orang-orang yang bersih). Ini adalah penutup yang kuat, menekankan bahwa cinta Allah diperoleh melalui kesucian batin dan lahir yang diwujudkan dalam amal.

V. Tafsir Para Ulama (Klasik dan Kontemporer)

A. Tafsir Ibnu Katsir: Fokus pada Identifikasi

Imam Ibnu Katsir menyoroti bahwa ayat ini adalah pembeda jelas antara Masjid Dhirar dan Masjid Quba. Beliau mengutip hadis-hadis yang menegaskan bahwa Masjid Quba adalah masjid yang dimaksud oleh firman Allah, "masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama." Ibnu Katsir menekankan bahwa niat adalah penentu keabsahan sebuah institusi ibadah.

Menurut Ibnu Katsir, Masjid Dhirar adalah manifestasi nyata dari kemunafikan. Kaum munafikin tidak hanya enggan beribadah bersama kaum mukminin, tetapi mereka juga berusaha menciptakan pusat alternatif yang tujuannya adalah membongkar persatuan umat. Penghancuran Dhirar adalah penghancuran pusat operasi intelijen musuh yang berkedok agama.

Ibnu Katsir juga memperluas makna "orang-orang yang ingin membersihkan diri" kepada kaum Anshar (penduduk asli Madinah), yang dikenal sangat peduli terhadap kebersihan fisik, termasuk praktik istinja' yang belum umum di kalangan Arab Badui saat itu.

B. Tafsir Al-Qurtubi: Implikasi Hukum (Fiqih)

Imam Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, sangat fokus pada implikasi hukum dari ayat 108. Beliau menarik kesimpulan penting mengenai syarat-syarat sahnya sebuah masjid dan hukum penghancuran masjid yang menyimpang:

  1. Kewajiban Menghindari Tempat Maksiat: Ayat ini menjadi dalil bahwa haram hukumnya shalat atau beribadah di tempat yang dibangun dengan niat buruk, meskipun secara fisik tempat tersebut terlihat seperti masjid. Niat buruk mendirikan tempat itu sudah merusak seluruh keabsahannya.
  2. Hukum Menghancurkan Institusi Jahat: Al-Qurtubi menyatakan bahwa tindakan Rasulullah ﷺ menghancurkan Dhirar menjadi dasar hukum (dalil) bagi pemerintah Islam untuk menghancurkan setiap bangunan atau institusi, meskipun ia berkedok agama, jika terbukti digunakan untuk menyebar kemaksiatan, perpecahan, atau melawan negara yang sah. Bangunan seperti itu tidak memiliki perlindungan hukum sakral.
  3. Keutamaan Masjid Quba: Ayat ini memberikan keutamaan khusus bagi Masjid Quba, menjadikannya salah satu dari sedikit masjid yang namanya diabadikan melalui deskripsi sifatnya dalam Al-Qur'an.

Al-Qurtubi juga membahas pandangan ulama mengenai apakah larangan shalat di Dhirar bersifat kekal (mutlak) atau hanya berlaku sampai tempat itu dibersihkan. Konsensus umumnya adalah bahwa tempat itu telah kehilangan status keagamaannya secara permanen karena dosa niat para pendirinya, sehingga larangan shalat di sana adalah mutlak.

C. Tafsir Al-Maraghi: Dimensi Sosial dan Politik

Syeikh Ahmad Mustafa Al-Maraghi menafsirkan ayat ini dari sudut pandang sosial dan politik kemasyarakatan. Beliau menekankan bahwa Masjid Dhirar adalah upaya untuk menggagalkan proyek persatuan Islam yang sedang dibangun oleh Rasulullah ﷺ. Pembangunannya bukan tentang ketuhanan, melainkan tentang pembentukan 'negara dalam negara' (konspirasi) yang bertujuan merusak dari dalam.

Menurut Al-Maraghi, pelajaran utama adalah bahwa institusi keagamaan harus berfungsi sebagai tiang penyangga moral dan sosial, bukan sebagai sarang kebencian atau perpecahan. Jika institusi keagamaan gagal menjalankan fungsi ini dan malah menjadi sumber fitnah, ia kehilangan legitimasinya di mata Tuhan.

VI. Prinsip-Prinsip Syariat yang Ditarik dari Ayat 108

Surah At-Taubah ayat 108 bukanlah sekadar cerita sejarah, melainkan sumber hukum dan prinsip etika yang mendalam dalam Islam. Prinsip-prinsip ini berlaku universal dalam membangun komunitas dan institusi.

A. Prinsip Niat Sebagai Pondasi (Pentingnya Niat dalam Ibadah dan Amalan)

Prinsip sentral yang ditegaskan ayat ini sejalan dengan hadis masyhur: "Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu bergantung pada niatnya." Ayat 108 menerapkan prinsip ini pada skala kolektif dan institusional.

Suatu amalan, betapapun besar dan indah penampakannya (seperti mendirikan masjid), jika niatnya adalah untuk *dhirar* (merusak, memecah, memfitnah), maka amalan tersebut tidak hanya ditolak, tetapi dianggap sebagai dosa besar. Sebaliknya, bangunan sederhana yang didirikan atas niat murni karena Allah (atas dasar takwa) akan mendapatkan pahala besar dan keberkahan abadi.

Prinsip ini mengingatkan setiap muslim, terutama para pemimpin dan pendiri yayasan, bahwa keikhlasan adalah mata uang utama di hadapan Allah.

B. Prinsip Pemurnian Institusi (Purifikasi Organisasi)

Tindakan pembakaran Masjid Dhirar menetapkan preseden penting dalam hukum Islam: Kewajiban untuk memurnikan lingkungan keagamaan dari unsur-unsur yang merusak. Ini bukan hanya tentang menghancurkan batu dan kayu, tetapi menghancurkan ideologi yang menyimpang.

Dalam konteks modern, prinsip ini dapat diterapkan pada institusi keagamaan, pendidikan, atau amal yang secara lahiriah tampak Islami, tetapi secara batiniah digunakan untuk tujuan ekstremisme, korupsi, atau hasutan sektarian. Jika sebuah yayasan terbukti merusak ketimbang membangun, intervensi dan purifikasi adalah wajib, bahkan jika itu memerlukan pembubaran atau penghancuran operasionalnya.

C. Prinsip Kesatuan Umat (Menjauhi Perpecahan)

Salah satu tujuan utama Masjid Dhirar adalah tafrīqan baynal-mu’minīn (memecah belah kaum mukminin). Ayat ini mengajarkan bahwa setiap usaha yang bertujuan memecah belah umat di bawah kedok agama adalah haram dan wajib dilawan.

Masjid adalah pusat persatuan (*jama'ah*). Jika sebuah 'masjid' justru menjadi pusat faksi, hizbiyah, atau perpecahan, ia telah kehilangan fungsi utamanya. Umat Islam diperintahkan untuk mendukung dan memperkuat institusi yang didirikan atas dasar takwa dan persatuan, dan menjauhi yang dibangun atas dasar permusuhan dan fanatisme kelompok.

D. Prinsip Keseimbangan antara Lahir dan Batin

Ayat 108 menutup dengan pujian bagi mereka yang "ingin membersihkan diri," menekankan bahwa kesucian spiritual (takwa) harus berjalan beriringan dengan kesucian fisik (thaharah). Islam tidak memisahkan antara ritual ibadah yang sempurna dengan moralitas yang murni.

Seorang jamaah yang membersihkan diri dari hadas dan najis untuk shalat juga harus membersihkan hatinya dari iri, dengki, dan niat buruk. Ini adalah gambaran ideal seorang mukmin sejati yang menjadi anggota komunitas di Masjid Taqwa.

VII. Konteks Penerapan Ayat 108 dalam Kehidupan Kontemporer

Meskipun kisah Masjid Dhirar terjadi di abad ke-7, prinsip-prinsip yang dikandung dalam ayat 108 relevan secara abadi, terutama dalam menghadapi tantangan modern terkait institusi keagamaan dan gerakan sosial.

A. Menilai Proyek dan Institusi Publik

Ayat ini mengajarkan kepada kita metodologi untuk menilai proyek-proyek publik, baik itu masjid, madrasah, atau pusat amal. Penilaian tidak boleh berhenti pada keindahan arsitektur atau besarnya dana yang dikeluarkan, melainkan harus menembus hingga ke niat terdalam para pendiri dan penggunaan dana tersebut. Sebuah institusi harus dievaluasi berdasarkan:

  1. Sumber Pendanaan: Apakah dana berasal dari sumber yang murni (halal)?
  2. Tujuan Akhir: Apakah tujuannya murni ibadah dan pelayanan, ataukah terselubung tujuan politik, bisnis haram, atau kepentingan pribadi?
  3. Dampak Sosial: Apakah institusi ini menyatukan atau memecah belah masyarakat?

Di era modern, banyak organisasi yang berkedok agama namun digunakan untuk kepentingan ideologi sempit atau radikalisme. Ayat 108 memberikan legitimasi syar’i untuk mengidentifikasi, mengisolasi, dan memberantas pusat-pusat perpecahan tersebut.

B. Peran Pemimpin dalam Menjaga Kemurnian

Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk tidak shalat di Masjid Dhirar. Ini menunjukkan peran kepemimpinan dalam menjaga kemurnian institusi keagamaan. Seorang pemimpin tidak boleh berkompromi dengan kemunafikan atau niat jahat, meskipun ia harus mengambil tindakan drastis seperti penghancuran. Menjaga kemurnian iman umat lebih utama daripada menjaga keutuhan bangunan fisik.

Pemimpin komunitas harus menjadi penjaga nilai-nilai takwa. Jika diketahui ada pusat yang didirikan untuk tujuan merusak, tugas pemimpin adalah mencegah atau menghapusnya, sejalan dengan perintah Ilahi dalam ayat ini.

C. Peringatan terhadap Kemunafikan Struktural

Kemunafikan bukan hanya penyakit individu, tetapi juga dapat menjadi penyakit struktural dalam suatu organisasi. Masjid Dhirar adalah contoh dari kemunafikan yang terstruktur. Para pendirinya bekerja sama, membangun sesuatu yang seolah-olah baik, tetapi niat kolektif mereka adalah kejahatan.

Ayat ini berfungsi sebagai alarm bagi umat Islam agar senantiasa waspada terhadap 'serigala berbulu domba'—organisasi atau kelompok yang berbicara tentang kebaikan tetapi menjalankan agenda perpecahan atau penindasan.

VIII. Perluasan Makna 'Masjid Taqwa' dan 'Hari Pertama'

Untuk mencapai kedalaman pemahaman penuh tentang At-Taubah 108, kita perlu merenungkan implikasi dari frasa 'Masjid yang didirikan atas Takwa' dan 'sejak hari pertama'.

A. Masjid Manakah yang Dimaksud 'Masjid Taqwa'?

Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai masjid mana yang secara spesifik dirujuk oleh ayat ini sebagai "Masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama":

  1. Masjid Quba (Pendapat Mayoritas): Ini adalah pandangan yang paling kuat dan didukung oleh banyak hadis serta penafsiran sahabat. Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun setelah hijrah, dan ia didirikan murni atas niat ibadah oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat.
  2. Masjid Nabawi (Pendapat Minoritas): Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Masjid Nabawi di Madinah, karena ia adalah pusat pemerintahan, spiritual, dan pendidikan utama Islam. Namun, frasa "sejak hari pertama" lebih cocok dengan sejarah Masjid Quba yang merupakan pijakan awal hijrah.
  3. Setiap Masjid yang Murni: Tafsiran yang lebih luas (dan modern) menyatakan bahwa istilah "Masjid yang didirikan atas dasar takwa" adalah nama jenis (*ismu jins*), merujuk pada setiap masjid di muka bumi yang didirikan dengan niat yang murni dan lillahita'ala, bukan hanya Quba atau Nabawi. Ini adalah prinsip umum, sementara Quba adalah contoh spesifik dan sempurna dari prinsip tersebut.

Meskipun Masjid Quba adalah referensi historis, implikasi etisnya adalah bahwa semua masjid harus berusaha mencapai standar kesucian dan niat seperti Masjid Quba.

B. Signifikansi 'Min Awwali Yawmin' (Sejak Hari Pertama)

Frasa "sejak hari pertama" adalah penekanan linguistik yang sangat penting. Ini menunjukkan bahwa kesucian niat itu harus ada sejak awal perencanaan dan pelaksanaan, bukan sekadar niat yang muncul di tengah jalan atau niat yang dibungkus oleh amalan baik.

Jika niat awal sudah tercemar (seperti kasus Masjid Dhirar yang niat awalnya adalah makar dan perpecahan), maka seluruh bangunan dan kegiatan di dalamnya menjadi busuk. Konsistensi dan integritas niat sejak awal adalah syarat mutlak bagi keberkahan sebuah institusi.

Dalam proyek apapun, baik spiritual maupun duniawi, kehati-hatian dalam menentukan niat awal adalah kunci untuk memastikan proyek tersebut mendapatkan ridha Allah dan membawa manfaat yang berkelanjutan (*barakah*).

IX. Perbandingan Etika Bangunan: Masjid vs. Dhirar

Ayat 108 memberikan kerangka etika yang kontras antara dua jenis pembangunan di komunitas Muslim:

A. Etika Masjid Taqwa

Masjid Taqwa adalah simbol:

  1. Ketaatan Total: Dibangun untuk menyembah Allah semata.
  2. Kesucian Niat: Niat pendiri dan jamaah adalah murni, tanpa agenda tersembunyi.
  3. Persatuan: Tempat berkumpulnya kaum mukminin dalam shaf yang sama.
  4. Pembersihan Diri: Tempat yang mendorong jamaahnya untuk mencapai kesucian spiritual dan fisik (yutathahharu).

B. Etika Masjid Dhirar

Masjid Dhirar adalah simbol:

  1. Kepalsuan: Bentuknya masjid, hakikatnya markas konspirasi.
  2. Kerusakan (Dhirar): Tujuan utamanya adalah menimbulkan bahaya dan kerugian, bukan manfaat.
  3. Perpecahan (Tafriqah): Alat untuk memecah belah umat dan menciptakan faksi yang saling bermusuhan.
  4. Kemunafikan: Dibangun oleh orang-orang yang hatinya kafir, meskipun mulutnya mengaku beriman.

Kontras ini mengajarkan kita bahwa dalam Islam, substansi (niat dan tujuan) jauh lebih penting daripada bentuk (fisik bangunan). Suatu komunitas yang sehat harus mampu membedakan antara yang benar-benar membangun dan yang hanya berkedok pembangunan.

X. Pemaknaan Mendalam ‘Allah Mencintai Orang-Orang yang Bersih’

Penutup ayat 108, وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (Dan Allah mencintai orang-orang yang bersih), adalah janji dan motivasi yang agung.

A. Cinta Allah sebagai Puncak Ibadah

Cinta Allah adalah tujuan tertinggi seorang mukmin. Ayat ini secara eksplisit mengaitkan pencapaian cinta Ilahi dengan upaya pembersihan diri, baik secara ritual maupun moral. Ini menegaskan bahwa ibadah vertikal (shalat) dan kesiapan ibadah (thaharah) harus diiringi dengan kualitas moral yang tinggi.

B. Lingkaran Takwa dan Thaharah

Ayat ini menciptakan lingkaran spiritual yang sempurna: Masjid didirikan atas Takwa → Di dalamnya ada orang yang ingin membersihkan diri → Allah mencintai orang yang bersih. Ini berarti bahwa Takwa (kesadaran diri) mendorong Thaharah (pembersihan diri), dan hasil dari Thaharah yang sungguh-sungguh adalah Mahabbah (cinta) Allah.

Orang-orang di Masjid Dhirar tidak memiliki Takwa; oleh karena itu, mereka tidak peduli dengan pembersihan diri, baik fisik maupun spiritual. Sebaliknya, penduduk Masjid Quba dan Masjid Nabawi, karena didorong oleh Takwa, secara aktif mencari kesucian, dan mereka mendapatkan Cinta Ilahi sebagai imbalannya.

XI. Kesimpulan Komprehensif

Surat At-Taubah ayat 108 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam menjelaskan hubungan antara niat, amal kolektif, dan legitimasi institusional dalam Islam. Ia adalah pedoman abadi bagi umat Muslim di manapun mereka berada.

Pelajaran terpenting yang diwariskan oleh ayat 108 adalah: **Keikhlasan adalah pondasi agama.** Sebuah masjid atau institusi apapun yang didirikan tanpa keikhlasan dan niat murni untuk mencari ridha Allah, dan justru digunakan sebagai alat untuk memecah belah atau menimbulkan bahaya, harus dihindari dan dihancurkan, karena ia merupakan manifestasi kemunafikan yang paling berbahaya.

Ayat ini mengukuhkan bahwa keutamaan suatu tempat ibadah tidak terletak pada kemegahan bangunannya, melainkan pada kemurnian niat mereka yang membangun dan mereka yang beribadah di dalamnya. Kemuliaan sejati adalah menjadi bagian dari komunitas yang dibangun atas dasar takwa, di mana setiap anggota berupaya membersihkan diri dari kotoran lahir dan batin, demi meraih cinta dari Sang Pencipta.

Hingga kini, kisah Masjid Dhirar tetap menjadi pengingat yang tajam bahwa dalam menilai tindakan manusia, Allah SWT melihat apa yang ada di balik tirai (niat dan tujuan), bukan sekadar penampakan luarnya.

Oleh karena itu, setiap aktivitas kolektif umat Islam, dari pembangunan masjid hingga pendirian lembaga sosial, harus secara konsisten diuji dengan barometer Takwa: Apakah aktivitas ini menyatukan atau memecah belah? Apakah niatnya murni karena Allah, ataukah terselubung kepentingan duniawi yang merusak? Hanya dengan menjalani pemeriksaan niat yang ketat inilah umat Islam dapat menjamin bahwa institusi mereka tetap berdiri tegak di atas pondasi keimanan yang kokoh.

Kisah Masjid Dhirar merupakan pelajaran yang tidak pernah usang, relevan sepanjang zaman, terutama di tengah kompleksitas kehidupan modern. Ia mendesak umat untuk selalu introspeksi, memastikan bahwa rumah-rumah ibadah mereka—dan juga hati mereka—adalah pusat-pusat kemurnian, kebersihan, dan persatuan, yang layak mendapatkan pujian Ilahi: "Allah mencintai orang-orang yang bersih."

XII. Studi Komparatif Fiqh: Aturan Pembangunan Masjid

Ayat 108 memengaruhi secara signifikan bab-bab fiqh (hukum Islam) yang berkaitan dengan pembangunan dan pengelolaan masjid. Para fuqaha (ahli fiqh) telah menggunakan kisah Masjid Dhirar sebagai landasan untuk menentukan apa yang membuat sebuah masjid sah secara syariah.

A. Syarat Sahnya Pewakafan Masjid

Masjid biasanya didirikan melalui wakaf (pemberian harta benda untuk tujuan agama yang abadi). Para ulama Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali sepakat bahwa niat wakif (pemberi wakaf) adalah syarat krusial. Jika niatnya buruk, wakaf tersebut batal dan bangunan tersebut tidak sah sebagai masjid.

Ibnu Hajar Al-Haytami, seorang ulama Syafi’i, menekankan bahwa jika sebuah bangunan didirikan sebagai masjid, tetapi digunakan untuk kejahatan (seperti Dhirar), maka status masjidnya hilang. Ia tidak hanya kehilangan keutamaannya, tetapi juga perlindungan hukumnya. Ayat ini menjadi dalil utama bahwa niat buruk menihilkan amal baik.

B. Hukum Shalat di Masjid yang Berdekatan

Masjid Dhirar didirikan berdekatan dengan Masjid Quba. Ayat 108 mengajarkan bahwa membangun masjid yang baru padahal sudah ada masjid yang berfungsi dekat dengannya, jika tujuannya adalah untuk menimbulkan perpecahan atau mengurangi jamaah di masjid yang sudah ada, hukumnya makruh tahrim (mendekati haram) atau bahkan haram jika niatnya sangat buruk.

Prinsipnya adalah: Masjid harus bertujuan mengumpulkan (*jama’ah*), bukan memecah-mecah. Jika pembangunan masjid baru hanya bertujuan menunjukkan superioritas kelompok tertentu atau menarik jamaah dari masjid lain tanpa alasan syar'i yang jelas (misalnya, karena masjid yang ada sudah penuh), ini berpotensi jatuh dalam kategori Dhirar modern.

C. Hukum Pembongkaran Bangunan Wakaf

Dalam fiqh, harta wakaf umumnya tidak dapat dibongkar atau dijual. Namun, tindakan Rasulullah ﷺ terhadap Masjid Dhirar menunjukkan adanya pengecualian hukum yang ekstrem. Pembongkaran Dhirar menjadi dalil bahwa:

  1. Jika wakaf digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan syariat (fitnah, makar, kekufuran), wakaf tersebut batal.
  2. Pemerintah Islam memiliki kewenangan penuh untuk membongkar institusi yang menjadi ancaman terhadap keamanan agama dan negara.

Ini adalah prinsip pencegahan: menghapus kejahatan (*dar’ul mafasid*) lebih diutamakan daripada mengambil manfaat (*jalbul mashalih*) dari bangunan fisik yang sudah ada.

XIII. Renungan Filosofis: Fondasi Rohani (Tazkiyatun Nufus)

Ayat 108 juga menawarkan pelajaran mendalam tentang *Tazkiyatun Nufus* (penyucian jiwa). Perbandingan antara dua masjid mencerminkan dua jenis hati manusia.

A. Hati Masjid Dhirar: Kontaminasi Niat

Hati yang dibangun seperti Dhirar adalah hati yang tercemar oleh kemunafikan. Hati ini mampu menampakkan kebaikan (ritual, shalat, sedekah) tetapi didorong oleh motivasi yang kotor (ego, kekuasaan, riya'). Orang-orang munafik berusaha membangun institusi fisik untuk membenarkan kehampaan rohani mereka.

Dhirar mengingatkan kita bahwa kita harus senantiasa memeriksa niat di setiap langkah. Apakah amal kita didirikan atas dasar takwa, ataukah ada elemen 'dhirar' (merusak) di dalamnya, seperti mencari pujian atau keuntungan materi semata?

B. Hati Masjid Taqwa: Pondasi yang Kokoh

Hati yang didirikan atas takwa adalah hati yang jujur dan tulus. Ia mencari kebersihan (*thaharah*) secara konsisten. Hati seperti ini adalah fondasi yang kokoh, yang tidak tergoyahkan oleh ujian dan godaan. Sama seperti Masjid Quba yang berdiri tegak sejak hari pertama hijrah, hati yang bertakwa adalah hati yang teguh dalam keimanannya sejak momen pertobatan dan keislaman.

Frasa "sejak hari pertama" menantang setiap muslim untuk mencari titik awal keimanannya dan memastikan bahwa pondasi rohaninya benar-benar didasarkan pada keikhlasan mutlak kepada Allah SWT. Jika pondasi ini benar, maka amal-amal di atasnya akan menjadi berkah.

XIV. Hikmah Globalisasi dan Digital Dhirar

Dalam era globalisasi dan digital saat ini, konsep 'Masjid Dhirar' mengambil bentuk yang baru dan lebih abstrak. Masjid hari ini bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga ruang-ruang digital: forum online, media sosial, saluran dakwah, dan situs web keagamaan.

A. Platform Digital sebagai Dhirar

Sebuah platform dakwah, meskipun menggunakan simbol-simbol Islam dan menyampaikan ceramah agama, dapat berfungsi sebagai Dhirar jika:

  1. Tujuan Tersembunyi: Digunakan untuk menyebarkan kebencian sektarian, memfitnah ulama lain, atau mendorong kekerasan (yang merupakan *dhirar* digital).
  2. Pecah Belah Umat: Beroperasi sebagai pusat yang memecah belah umat berdasarkan mazhab atau ideologi politik, jauh dari tujuan persatuan Islam.
  3. Niat Materi: Niat utamanya adalah memonetisasi agama atau memperkaya individu tertentu dengan mengorbankan kebenaran.

Ayat 108 mengajarkan bahwa umat harus berhati-hati dalam mengonsumsi konten keagamaan. Niat di balik sebuah saluran atau akun harus dipertanyakan. Jika sebuah 'Mimbar Digital' menghasilkan perpecahan dan fitnah, ia harus diperlakukan seperti Masjid Dhirar: tidak boleh didukung, dan harus dijauhi (*Laa taqum fihi abada*).

B. Membangun Masjid Taqwa Digital

Sebaliknya, 'Masjid Taqwa' versi digital adalah platform yang didirikan atas dasar keikhlasan, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, mendamaikan perselisihan, dan mendorong *thaharah* spiritual serta intelektual. Keberkahan sebuah situs web dakwah, sama seperti bangunan fisik, bergantung pada niat para pengelolanya sejak hari pertama mereka meluncurkannya.

Akhir kata, Surah At-Taubah ayat 108 adalah penegasan abadi bahwa Islam tidak menerima kemunafikan dalam bentuk apapun, apalagi kemunafikan yang diselubungi jubah agama. Ia adalah seruan untuk konsistensi, integritas, dan kemurnian niat yang total—fondasi sejati yang akan membuat amal kita berdiri tegak dan abadi hingga hari Kiamat.

🏠 Homepage