Intisari Kenabian dan Puncak Tawakkal
Visualisasi Kasih Sayang dan Kebergantungan Mutlak
Surat At-Taubah (Pengampunan) adalah salah satu surat dalam Al-Qur'an yang memiliki karakteristik unik. Ia merupakan satu-satunya surat yang tidak diawali dengan lafaz Bismillahirrahmanirrahim (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Hal ini sebagian ulama menjelaskan karena surat ini banyak membahas tentang peperangan, perjanjian, pemutusan hubungan dengan kaum musyrikin, dan pernyataan keras terhadap orang-orang munafik. Nuansa surat ini adalah ketegasan dan keadilan, meskipun inti dari Taurbah itu sendiri adalah Rahmat Allah yang membuka pintu taubat bagi hamba-Nya.
Meskipun mayoritas surat ini dihiasi dengan narasi ketegasan dan perjuangan, bagian penutupnya, yaitu ayat 128 dan 129, justru menghadirkan puncak dari Rahmat dan Kasih Sayang yang melandasi seluruh risalah kenabian. Kedua ayat penutup ini berfungsi sebagai sintesis yang sempurna, merangkum esensi tugas Rasulullah ﷺ dan ajaran fundamental tauhid: Tawakkul (kebergantungan mutlak) kepada Allah semata. Kedua ayat ini sering kali dianggap sebagai permata penutup surat yang berat ini, memberikan kesejukan setelah paparan tentang konflik dan kemunafikan.
Kajian terhadap Surat At-Taubah ayat 128 dan 129 tidak hanya berfokus pada keutamaan Nabi Muhammad ﷺ, tetapi juga mengajarkan landasan akidah yang kokoh. Ayat 128 menekankan intensitas kasih sayang Nabi kepada umatnya, sementara Ayat 129 menegaskan bahwa satu-satunya sandaran dan penolong adalah Allah, Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kesatuan makna antara kasih sayang seorang utusan dengan keagungan Tuhan yang mengutusnya menjadi tema sentral yang akan diuraikan secara mendalam.
Ayat 128 ini merupakan pujian agung dari Allah SWT terhadap Nabi Muhammad ﷺ, menyoroti empat sifat utama yang menunjukkan betapa sempurna dan mulianya beliau sebagai utusan dan pemimpin umat manusia. Empat sifat ini adalah landasan bagi pemahaman kita mengenai hakikat kenabian beliau.
Frasa ini menekankan bahwa Rasulullah ﷺ adalah manusia biasa dari suku dan bangsa yang sama dengan mereka yang beliau seru, khususnya bangsa Arab. Hal ini memiliki implikasi besar dalam dakwah. Pertama, ini menepis alasan penolakan bahwa seorang utusan haruslah malaikat atau makhluk non-manusia. Kedua, ini menunjukkan bahwa beliau memahami betul budaya, kesulitan, dan cara hidup umatnya. Beliau bukan orang asing, melainkan sosok yang akrab, sehingga ajaran yang dibawanya relevan dan dapat dicontoh secara praktis. Kedekatan nasab ini membangun jembatan kepercayaan yang fundamental.
Tafsir linguistik juga sering kali menafsirkan min anfusikum tidak hanya sebagai "dari jenis kalian (manusia)" tetapi juga "dari yang termulia di antara kalian." Kehormatan nasab beliau, yang bersih dari segala celaan sejak zaman Jahiliyah, menjadi bukti tambahan atas kesiapan beliau mengemban risalah yang paling agung. Kesempurnaan beliau, baik secara fisik maupun moral, adalah hasil dari pemilihan Ilahi yang cermat, memastikan bahwa utusan tersebut adalah yang terbaik dari manusia.
Sifat kedua ini mengungkapkan intensitas empati Nabi Muhammad ﷺ. Kata ‘Azīz (berat/sukar) menunjukkan bahwa setiap kesulitan, kesengsaraan, atau dosa yang menimpa umatnya terasa sangat menyakitkan dan membebani hati beliau. Beliau tidak hanya sekadar mengetahui penderitaan umatnya, tetapi beliau merasakannya secara mendalam.
Penderitaan yang dimaksud (mā ‘anittum) mencakup segala bentuk kesulitan: kesulitan duniawi seperti kemiskinan dan penindasan, serta kesulitan ukhrawi akibat kesesatan, kekufuran, atau dosa. Kekhawatiran terbesar beliau adalah agar umatnya tidak terjerumus ke dalam api neraka. Sifat ini menjelaskan mengapa beliau sangat gigih dalam berdakwah, terus berdoa memohon ampunan bagi umatnya, dan selalu mencari keringanan dalam syariat (misalnya dalam kasus salat lima waktu).
Jika seorang pemimpin manusia biasa menunjukkan perhatian terhadap rakyatnya, maka perhatian Rasulullah ﷺ melampaui batas kemanusiaan biasa. Ini adalah manifestasi dari rahmat Ilahi yang ditempatkan oleh Allah dalam diri hamba pilihan-Nya. Beliau memikul beban psikologis dan spiritual dari seluruh umat, dari masa beliau hingga hari kiamat. Ini adalah sifat kenabian yang paling menunjukkan dimensi kasih sayang yang universal.
Kata Ḥarīṣ secara harfiah berarti sangat berkeinginan, bersemangat, atau gigih. Dalam konteks ayat ini, ḥarīṣun ‘alaikum berarti Nabi ﷺ memiliki hasrat yang membara dan keinginan yang kuat agar seluruh umat manusia mendapatkan petunjuk, meraih keimanan, dan mencapai keselamatan abadi di akhirat.
Keinginan yang kuat ini berbeda dengan keinginan duniawi; ini adalah semangat dakwah yang tak pernah padam, semangat untuk menyelamatkan. Bahkan ketika beliau dicaci, dilempari batu (seperti dalam peristiwa Thaif), atau ditolak, semangat beliau untuk melihat umatnya selamat tidak pernah luntur. Keinginan ini adalah pendorong utama di balik setiap tindakan, setiap perjuangan, dan setiap ajaran beliau. Beliau menginginkan kebaikan secara sempurna bagi umatnya, baik kebaikan di dunia maupun kebaikan di akhirat. Ketekunan ini adalah bukti nyata dari keikhlasan beliau dalam menyampaikan risalah, tanpa mengharapkan imbalan duniawi sedikit pun.
Penutup ayat ini menggunakan dua Asmaul Husna (Ra’uf dan Rahim) yang disandarkan kepada Rasulullah ﷺ. Ini adalah kemuliaan yang luar biasa, karena kedua sifat ini pada hakikatnya adalah sifat Allah SWT, namun Allah memberikannya kepada utusan-Nya sebagai kehormatan dan penegasan bahwa Nabi adalah pengejawantahan Rahmat Ilahi di bumi.
Dalam bahasa Arab, baik Ra’ūf maupun Raḥīm berasal dari akar kata yang sama yang berkaitan dengan kasih sayang (rahmah). Namun, ahli bahasa dan tafsir membedakan maknanya:
Penyebutan kedua sifat ini secara bersamaan menunjukkan kesempurnaan kasih sayang Nabi Muhammad ﷺ; beliau mencegah keburukan (Ra’uf) dan sekaligus memberikan kebaikan (Rahim). Namun, penting dicatat bahwa ayat ini mengkhususkan sifat Ra’ūfur Raḥīm hanya bil-mu'minīna (terhadap orang-orang mukmin). Meskipun Nabi memiliki kasih sayang universal kepada seluruh manusia, intensitas kasih sayang dan perlindungan yang bersifat khusus dan penuh ganjaran hanya dialamatkan kepada mereka yang telah menerima risalah dan beriman kepada Allah.
Kesimpulannya, Ayat 128 adalah pengakuan Ilahi tentang kedudukan luar biasa Nabi Muhammad ﷺ sebagai pribadi yang memiliki empati tak terbatas, semangat membara untuk keselamatan umatnya, dan kasih sayang mendalam yang melindungi serta memberi manfaat kepada orang-orang beriman.
Setelah Allah menjelaskan sifat-sifat Rasul-Nya yang penuh kasih sayang, Ayat 129 datang sebagai penutup yang monumental, memberikan instruksi kepada Nabi ﷺ—dan melalui beliau, kepada seluruh umat Islam—mengenai respons yang tepat terhadap penolakan dan kesulitan. Ayat ini adalah deklarasi tawakkul (kebergantungan mutlak) yang paling tegas dalam Al-Qur'an.
Kata tawallau berarti berpaling, menolak, atau meninggalkan keimanan setelah seruan yang jelas dan bukti-bukti yang meyakinkan. Ayat ini mengakui realitas dakwah: meskipun Nabi telah mengerahkan seluruh jiwa dan raganya dengan penuh kasih sayang (sebagaimana dijelaskan di Ayat 128), tidak semua orang akan menerima. Bahkan, sebagian besar mungkin akan menolak dan berpaling.
Instruksi ini bertujuan untuk menenangkan hati Nabi ﷺ dari kesedihan yang tak terhingga akibat penolakan umatnya (seperti yang telah dijelaskan bahwa beliau sangat berat menanggung penderitaan umatnya). Ketika usaha dakwah maksimal telah dilakukan, dan penolakan tetap terjadi, Nabi diperintahkan untuk mengalihkan fokus dari hasil dakwah manusia kepada sandaran Ilahi.
Inilah inti dari tawakkul. Frasa Ḥasbiyallāhu adalah deklarasi monoteistik yang paling kuat. Ia berarti "Allah adalah pemenuh kebutuhanku, penjamin urusanku, penolongku, dan pelindungku." Ini adalah pengakuan bahwa seluruh daya dan upaya manusia hanyalah sarana, sementara kekuatan sejati dan sumber pertolongan mutlak adalah Allah SWT.
Bagi seorang da'i atau pemimpin, menghadapi penolakan dan permusuhan bisa menghancurkan semangat. Perintah untuk mengucapkan Ḥasbiyallāhu adalah penegasan bahwa hasil akhir tidak berada di tangan Nabi atau di tangan para penolak, melainkan semata-mata di tangan Allah. Kebergantungan ini membebaskan hati dari keterikatan pada makhluk dan fokus pada Sang Pencipta.
Kalimat tauhid ini disisipkan di antara dua frasa tawakkul, menjadikannya fondasi akidah dari kebergantungan tersebut. Tawakkul yang benar hanya bisa berdiri di atas keyakinan bahwa tidak ada entitas lain yang layak disembah, disandari, atau dimintai pertolongan selain Allah. Frasa ini menguatkan makna Ḥasbiyallāhu, menjelaskan bahwa alasan mengapa Allah Cukup adalah karena hanya Dia yang memiliki sifat Ilahiah yang sempurna.
Ini adalah penegasan kembali, pengulangan yang menekankan penyerahan diri total. Penggunaan struktur bahasa Arab yang menempatkan objek (‘alaihi - kepada-Nya) di awal kalimat berfungsi sebagai pengkhususan (qasr). Artinya: Hanya kepada-Nya, dan bukan kepada yang lain, aku menyerahkan segala urusanku. Ini menolak segala bentuk syirik, baik syirik kecil (riya') maupun syirik besar (penyembahan berhala atau meminta pertolongan kepada selain Allah).
Penutup ayat ini adalah penegasan tentang keagungan dan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Al-‘Arsy (Arsy) adalah makhluk Allah yang terbesar, atap tertinggi dari seluruh alam semesta, yang tidak ada yang mengetahui batasnya kecuali Dia. Dengan menyebut Allah sebagai Rabbul-‘Arsyil ‘Aẓīm, ayat tersebut seolah mengatakan:
"Bagaimana mungkin engkau tidak merasa cukup dengan Allah, padahal Dia adalah Tuhan yang menguasai makhluk terbesar dan teragung yang pernah diciptakan? Kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu, dan pertolongan-Nya tak mungkin terhalangi."
Penutup ini memberikan kedamaian total bagi jiwa orang yang bertawakkal. Jika Rabb yang dipasrahi urusan adalah penguasa takhta keagungan semesta, maka urusan hamba-Nya yang kecil pasti terjamin sepenuhnya. Inilah puncak dari pengakuan kekuasaan dan keagungan Ilahi.
Ayat 128 dan 129, meskipun berbicara tentang topik yang berbeda (sifat Nabi dan sifat Tuhan), saling melengkapi sebagai penutup yang kohesif bagi Surah At-Taubah dan sebagai pelajaran universal bagi umat Islam.
Ayat 128 mengajarkan bahwa keberadaan Nabi Muhammad ﷺ di tengah umat adalah rahmat termulia, dibuktikan dengan empati dan kasih sayang yang mendalam. Ini adalah jaminan bahwa jalan yang beliau tunjukkan adalah jalan kemudahan dan keselamatan.
Namun, Ayat 129 memberikan batasan teologis yang penting: bahkan kasih sayang Nabi yang begitu besar, dan penderitaan beliau atas kesulitan umat, tidak boleh disalahartikan menjadi sandaran utama. Sandaran utama dan mutlak hanya milik Allah. Rasul adalah perantara rahmat, tetapi sumber rahmat adalah Allah. Jika manusia berpaling, tugas Nabi selesai dalam penyampaian risalah; hati beliau harus kembali bersandar kepada Dzat yang Mahakuasa, Rabbul-‘Arsyil ‘Aẓīm.
Dua ayat ini mengajarkan keseimbangan sempurna antara:
Bagi orang mukmin, ini berarti: Lakukan usaha terbaikmu dengan penuh empati kepada sesama, tetapi jangan pernah merasa gagal atau putus asa jika hasil tidak sesuai harapan, karena sandaranmu adalah Penguasa Arsy yang Agung. Rasa cukup dengan Allah (Ḥasbiyallāhu) adalah penawar bagi kesedihan yang ditimbulkan oleh penolakan dunia.
Ayat 128 dan 129 Surah At-Taubah memiliki kedudukan istimewa dalam tradisi Islam, tidak hanya karena keindahan bahasanya tetapi juga karena riwayat khusus yang melingkupinya.
Meskipun Surah At-Taubah secara keseluruhan adalah surah Madaniyyah (diturunkan di Madinah), terdapat pendapat dari beberapa ulama salaf, seperti Ubay bin Ka'b, bahwa dua ayat terakhir ini, yaitu 128 dan 129, diturunkan di Mekah atau pada periode yang sangat awal. Pendapat lain menyatakan bahwa ayat ini termasuk "ayat-ayat terakhir" yang diturunkan, merepresentasikan kesimpulan dari risalah. Jika kita melihat dari segi makna, nuansa Rahmat yang terkandung di dalamnya memang sangat cocok menjadi penutup dari sebuah risalah yang penuh dengan perjuangan dan ketegasan.
Penempatan sifat Ra’ūfur Raḥīm bagi Nabi ﷺ di penghujung surat yang membahas hukuman bagi orang munafik dan musyrik berfungsi sebagai pengingat bahwa tujuan utama di balik semua ketegasan hukum adalah rahmat dan keinginan untuk menyelamatkan umat manusia dari azab. Bahkan dalam menghadapi musuh, prinsip dasar Islam tetaplah kasih sayang dan keadilan, yang diwujudkan melalui sifat-sifat Rasulullah ﷺ.
Terdapat perbedaan riwayat bacaan (qira'at) pada frasa min anfusikum. Mayoritas membaca dengan huruf fa (fathah), yang berarti "dari dirimu sendiri" atau "dari jenis kalian." Namun, ada qira'at yang diriwayatkan dari sebagian ulama (meskipun kurang populer) yang membacanya min anfasikum (dengan fathah pada nun dan sin), yang berarti "dari yang paling mulia di antara kalian." Meskipun qira'at pertama adalah yang baku, qira'at kedua menegaskan kembali konsep bahwa Rasulullah ﷺ adalah yang terbaik dan termulia di antara manusia. Kedua makna ini tidak saling bertentangan, melainkan saling memperkaya pemahaman tentang kesempurnaan Nabi.
Kedua ayat ini menyediakan fondasi bagi praktik keagamaan dan pembentukan karakter seorang mukmin sejati. Implikasinya meluas dari etika berdakwah hingga psikologi spiritual.
Ayat 128 menetapkan standar kepemimpinan yang ideal dalam Islam: kepemimpinan harus didasarkan pada empati dan kasih sayang yang mendalam. Seorang pemimpin sejati, atau seorang da’i, harus merasakan beban kesulitan yang dialami umatnya. Kepemimpinan yang ‘Azīzun ‘alaihi mā ‘anittum adalah kepemimpinan yang aktif mencari solusi, tidak pasif terhadap penderitaan, dan tidak mencari keuntungan pribadi.
Sifat Ḥarīṣun ‘alaikum mengajarkan kepada para penyeru kebenaran bahwa semangat dakwah harus didorong oleh keinginan tulus untuk menyelamatkan orang lain, bukan oleh keinginan untuk menang dalam perdebatan atau menunjukkan superioritas intelektual. Kasih sayang (Ra’uf dan Rahim) harus menjadi bingkai utama dalam interaksi dengan sesama mukmin.
Ayat 129 memberikan solusi spiritual bagi segala bentuk kegagalan, penolakan, atau ketakutan. Ketika tantangan dakwah terasa terlalu berat, atau ketika musuh-musuh agama bersekutu, obatnya adalah Ḥasbiyallāhu lā ilāha illā huwa ‘alaihi tawakkaltu.
Kalimat ini dikenal sebagai salah satu dzikir terpenting yang melindungi dari mara bahaya dan memberikan ketenangan hati. Mengucapkan kalimat ini (atau bentuk panjangnya yang termaktub di Ayat 129) sebanyak tujuh kali di pagi dan sore hari dipercaya memiliki keutamaan besar, berdasarkan beberapa hadis, untuk menjaga diri dari kesulitan, urusan dunia maupun akhirat. Ini adalah perisai spiritual yang mengalihkan fokus dari kelemahan diri kepada kekuatan Allah SWT.
Tawakkul yang diajarkan di sini adalah tawakkul yang aktif, yang muncul setelah usaha maksimal (seperti usaha dakwah Nabi), bukan tawakkul yang pasif. Ini adalah penyerahan hasil kepada Allah setelah pengerahan segala upaya yang didasarkan pada kasih sayang dan kebijaksanaan.
Untuk memahami sepenuhnya janji yang terkandung dalam Ayat 129, penting untuk meninjau secara mendalam konsep Rabbul-‘Arsyil ‘Aẓīm dan konteks historis Nabi ﷺ menghadapi penolakan.
Surah At-Taubah diturunkan pada periode akhir kenabian, di mana kaum munafik di Madinah mulai menampakkan permusuhan mereka secara terbuka, dan ancaman dari Kekaisaran Romawi (Perang Tabuk) sedang memuncak. Nabi ﷺ menghadapi tekanan politik, sosial, dan militer yang luar biasa. Dalam konteks ini, Ayat 129 datang sebagai penegasan bahwa meskipun seluruh dunia menentang, jika Allah sudah mencukupi, tidak ada kekuatan yang bisa merugikan beliau.
Konsep ini diterapkan dalam kehidupan Rasulullah ﷺ di momen-momen paling krusial, seperti saat hijrah ketika beliau bersembunyi di Gua Tsur bersama Abu Bakar, dan Abu Bakar merasa khawatir akan pengejaran. Nabi ﷺ menenangkan beliau dengan mengucapkan, "Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita." Pernyataan tersebut adalah perwujudan praktis dari Ḥasbiyallāhu.
Ayat 129 menyimpulkan dengan sifat Allah sebagai Rabbul-‘Arsyil ‘Aẓīm (Tuhan pemilik Arsy yang Agung). Dalam akidah Islam, Arsy melambangkan puncak kekuasaan dan kedaulatan Allah. Ketika seseorang bertawakkal kepada Rabb yang menguasai Arsy, ia berarti menyerahkan urusannya kepada Penguasa tunggal atas seluruh wujud, dari atom terkecil hingga galaksi terbesar. Keagungan Arsy menunjukkan bahwa tidak ada urusan yang terlalu besar atau terlalu sulit bagi Allah untuk diselesaikan.
Penyebutan Arsy dalam konteks Tawakkul memberikan jaminan bahwa:
Jika Allah telah menyatakan diri-Nya Cukup, dan Dialah Penguasa Arsy yang Agung, maka kekalahan bagi hamba-Nya yang berserah diri adalah hal yang mustahil secara teologis. Keberadaan Arsy adalah bukti fisik terbesar dari keagungan Allah yang tak terbayangkan.
Pelajaran dari Surat At-Taubah 128-129 tetap relevan dalam kehidupan modern, terutama dalam menghadapi tantangan dakwah dan krisis spiritual.
Sifat Ra’ūfur Raḥīm yang melekat pada Nabi Muhammad ﷺ harus direfleksikan dalam hubungan antar sesama mukmin. Hubungan dalam komunitas Islam tidak boleh didominasi oleh penghakiman, kecaman, atau permusuhan, melainkan harus dibangun di atas dasar penyantun dan penyayang. Jika Rasulullah ﷺ merasakan beratnya kesulitan kita, maka sepatutnya kita juga merasakan beratnya kesulitan saudara-saudara kita. Ini menuntut aktivisme sosial yang didorong oleh empati (menjadi ‘azīzun ‘alaihi mā ‘anittum bagi komunitas).
Di era di mana kecemasan, depresi, dan ketergantungan pada hal-hal fana begitu dominan, Ayat 129 menawarkan solusi psikologis dan spiritual yang paling murni: Cukuplah Allah bagiku. Ketidakpastian ekonomi, tekanan sosial, atau kekhawatiran masa depan dapat diredakan dengan kesadaran bahwa kita bertawakkal kepada Penguasa segalanya.
Ketika seseorang merasa terasing atau gagal dalam hidupnya (suatu bentuk ‘anittum), ia dapat kembali kepada konsep bahwa Rasulullah ﷺ merasakan penderitaannya, dan ia dapat bersandar sepenuhnya kepada Allah SWT. Tawakkul yang murni menghilangkan kebergantungan patologis pada pujian manusia, materi, atau kekuasaan, karena ia telah menemukan sumber kebergantungan yang tidak pernah pudar dan tidak pernah gagal.
Pentingnya Tawakkul dalam Ayat 129 tidak hanya terbatas pada keselamatan Nabi dari konspirasi musuh-musuh dakwah, tetapi mencakup keselamatan spiritual setiap individu mukmin dari jerat syaitan, godaan hawa nafsu, dan kekecewaan hidup. Setiap mukmin diajak untuk menjadikan Ḥasbiyallāhu sebagai mantra penenang jiwa dan penguat akidah.
Ayat 128 adalah pengingat akan hadiah terindah yang diberikan Allah kepada umat manusia: seorang Nabi yang sempurna dalam empati dan kasih sayang. Sedangkan Ayat 129 adalah perintah yang abadi: ketika segala upaya dan kasih sayang telah diberikan, kembalilah dan sandarkan segala urusan kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Bagi mereka yang mengamalkan kedua ayat ini, janji Allah adalah ketenangan dalam hidup dan keselamatan di akhirat. Sifat Ra’ūfur Raḥīm Nabi memberikan harapan, sementara Rabbul-‘Arsyil ‘Aẓīm memberikan kekuatan dan jaminan yang tak tergoyahkan. Kedua ayat ini adalah penutup yang sempurna bagi surah yang berat, memberikan janji rahmat dan kemenangan akhir bagi mereka yang beriman dan bertawakkal sepenuhnya.
Umat Islam dianjurkan untuk merenungkan makna mendalam dari kedua ayat ini, menjadikannya landasan etika bermasyarakat dan pilar utama dalam akidah. Dalam setiap kesulitan, setiap penolakan, dan setiap penderitaan, jawaban telah diberikan oleh Allah: cukuplah Allah bagiku, dan kepada-Nyalah segala urusan diserahkan.
Ketegasan At-Taubah yang panjang akhirnya ditutup dengan janji Kasih Sayang yang tak terbatas dan Keagungan yang sempurna. Ini adalah ajaran bahwa di balik setiap hukum dan ketetapan, terdapat Rahmat Ilahi yang diwujudkan melalui utusan-Nya yang mulia, dan bahwa kedaulatan mutlak hanya milik Allah, Penguasa Arsy yang Agung. Pengulangan, pemikiran, dan pengamalan makna ayat ini akan membawa seorang hamba pada derajat keimanan yang paling tinggi.
Kata kunci dalam Ayat 128, yaitu ‘anittum, memiliki makna yang sangat luas. Ia bukan hanya penderitaan fisik, melainkan mencakup kelelahan spiritual dan kesengsaraan moral. Ketika Nabi Muhammad ﷺ melihat umatnya terjerumus dalam kebiasaan buruk, kesyirikan, atau kesesatan yang akan membawa mereka ke Neraka, ini adalah ‘anittum yang paling berat bagi beliau. Kasih sayang beliau melampaui kepentingan duniawi; fokus utama adalah penyelamatan dari azab kekal.
Pentingnya ‘anittum ini berbanding lurus dengan sifat Ḥarīṣun ‘alaikum (sangat bersemangat untuk kebaikanmu). Semangat ini adalah motor penggerak risalah. Tanpa semangat yang membara ini, seorang utusan akan mudah menyerah di hadapan penolakan. Namun, karena beliau sangat bersemangat untuk keimanan dan keselamatan umat, beliau terus bertahan meskipun menghadapi segala bentuk siksaan dan penolakan. Kedua sifat ini bekerja bersama: empati yang mendalam memicu semangat yang tak kenal lelah.
Para ulama tafsir menekankan mengapa Allah menggunakan dua nama sifat-Nya, Ra'uf dan Rahim, secara berdampingan untuk menyifati Rasulullah ﷺ. Penggunaan ganda ini menandakan bahwa Rahmat Nabi adalah Rahmat yang paripurna. Rauf seringkali dimaknai sebagai belas kasihan dalam bentuk pencegahan. Contoh konkretnya adalah ketika Rasulullah ﷺ melarang atau membatasi syariat yang memberatkan. Beliau adalah pemimpin yang selalu mencari cara termudah bagi umatnya dalam beribadah, menghindari apa yang menyebabkan mereka jatuh ke dalam kesulitan atau dosa. Hal ini menuntut kebijaksanaan dan pandangan jauh ke depan.
Sementara itu, Rahim adalah belas kasihan yang bersifat proaktif, dalam bentuk pemberian hadiah atau pahala. Nabi ﷺ adalah Rahim karena beliau menjadi penyebab utama bagi umatnya untuk menerima ganjaran abadi melalui ajaran dan petunjuknya. Beliau bukan hanya mencegah bahaya (Ra'uf), tetapi juga membuka pintu gerbang surga (Rahim). Kesempurnaan sifat kenabian ini adalah jaminan Allah bagi umat bahwa mereka telah dibimbing oleh sosok yang paling peduli terhadap kesejahteraan mereka di dunia dan akhirat.
Jika kita membandingkan sifat ini dengan sifat kepemimpinan lain dalam sejarah, kita akan melihat perbedaan mendasar. Pemimpin lain mungkin menunjukkan kekuatan, keadilan, atau kecerdasan, tetapi jarang yang memimpin dengan beban penderitaan umat sebagai beban pribadinya, serta semangat yang membara untuk keselamatan spiritual mereka. Ini menjadikan Ayat 128 sebagai landasan teologis bagi kecintaan umat kepada Nabi ﷺ.
Dalam Ayat 129, kalimat tauhid Lā ilāha illā huwa berfungsi sebagai penegas bahwa tawakkul kepada Allah adalah konsekuensi logis dari tauhid yang murni. Tidak ada yang berhak menerima penyerahan diri total selain Yang Maha Esa. Jika kita bersandar pada selain Allah, itu berarti kita telah memberikan atribut Ilahiah kepada makhluk yang lemah, dan ini bertentangan dengan inti ajaran Islam.
Pengulangan konsep tawakkul, dari Ḥasbiyallāhu (Allah cukup bagiku) yang bersifat deklaratif, hingga ‘Alaihi tawakkaltu (Hanya kepada-Nya aku bertawakkal) yang bersifat penyerahan aktif, menunjukkan intensitas yang diperlukan dalam kebergantungan ini. Tawakkul bukanlah sekadar kata, melainkan kondisi hati yang harus terus diperbarui dan diperkuat, terutama saat menghadapi tekanan terbesar.
Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun Rasulullah ﷺ memiliki empati yang luar biasa, beliau tidak pernah mengajarkan umatnya untuk bergantung kepada beliau dalam hal penentuan nasib, keselamatan, atau pemberian rezeki, melainkan mengarahkan semua hati kepada Allah. Ini adalah pemisahan yang jelas antara peran Nabi sebagai pemberi petunjuk dan peran Allah sebagai Penguasa mutlak.
Konteks penutup Wa huwa Rabbul-‘Arsyil ‘Aẓīm merupakan titik kulminasi yang sangat kuat. Mengaitkan tawakkul dengan Arsy memberikan dimensi metafisik pada kebergantungan kita. Arsy adalah simbol kekuasaan yang berada di luar batas pemahaman ruang dan waktu kita. Dengan merujuk kepada Arsy, Allah mengingatkan hamba-Nya bahwa Dzat yang kita sandari adalah Dzat yang mengatasi segala keterbatasan materi dan imajinasi manusia.
Tidak hanya itu, Arsy juga disebutkan dalam konteks Al-Qur'an sebagai tempat bersemayamnya Malaikat Agung yang membawa dan memuji-Nya. Kekuatan yang mengatur Arsy adalah kekuatan yang mengatur seluruh hukum kosmik dan takdir individu. Oleh karena itu, rasa cukup dengan Allah (Ḥasbiyallāhu) adalah rasa cukup yang didasarkan pada pengetahuan tentang keagungan pencipta semesta, bukan hanya keyakinan buta. Ini adalah tawakkul yang rasional dan spiritual.
Setiap kali seorang mukmin mengucapkan kalimat penutup Ayat 129, ia sedang menegaskan kembali kontraknya dengan Tauhid: bahwa segala yang ada di alam semesta ini, bahkan makhluk termulia seperti Arsy, berada di bawah kedaulatan Tuhan yang kepadanya kita serahkan hidup dan mati kita. Penegasan ini adalah penangkal paling efektif terhadap segala bentuk kekhawatiran dan ketidakpercayaan dalam hati.
Secara ringkas, Surat At-Taubah 128-129 adalah dua ayat yang mengandung seluruh esensi dari Risalah Islam: kasih sayang yang tak terbatas dan kebergantungan yang tak tergoyahkan. Ayat 128 memuliakan perantara Rahmat, sementara Ayat 129 memuliakan Sumber Rahmat. Keseimbangan antara empati sesama manusia dan Tawakkul Ilahiah ini adalah kunci untuk mencapai kesuksesan abadi.
Penerapan Ayat 128 menuntut kita untuk berakhlak mulia seperti Nabi, memikul beban kesulitan orang lain, dan bersemangat dalam kebaikan. Penerapan Ayat 129 menuntut kita untuk melepaskan ketergantungan pada hasil usaha manusia dan mengikatkan hati hanya kepada Dzat Yang Maha Abadi. Dengan mengamalkan kedua prinsip ini, seorang mukmin akan menemukan kekuatan dalam kelemahan dan kedamaian dalam setiap badai kehidupan, karena ia telah menjadikan Rabbul-'Arsyil 'Azhim sebagai sandaran utamanya.
Kedua ayat ini merupakan mercusuar bagi umat hingga akhir zaman, memastikan bahwa meskipun tantangan hidup terasa berat dan penolakan seringkali menyakitkan, janji pertolongan Allah selalu nyata bagi mereka yang bersandar sepenuhnya kepada-Nya.