Surat At-Taubah (Pengampunan) adalah surah ke-9 dalam Al-Qur'an dan memiliki posisi yang unik serta sangat krusial dalam sejarah Islam. Dikenal juga sebagai Surah Bara'ah (Pelepasan Tanggung Jawab), surah ini merupakan satu-satunya surah yang tidak diawali dengan *Basmalah* (Bismillahirrahmanirrahim), menandakan sifatnya yang tegas, keras, dan penuh peringatan terhadap kaum musyrikin dan munafikin pada masa itu.
Mayoritas ayat dalam surah At-Taubah diturunkan setelah peristiwa pembebasan Mekah dan menjelang ekspedisi Tabuk. Masa ini adalah periode di mana kekuasaan Islam telah kokoh di Jazirah Arab. Oleh karena itu, surah ini menetapkan kebijakan terakhir terkait perjanjian damai, perang, dan hubungan dengan non-muslim serta memisahkan barisan kaum mukminin sejati dari kelompok munafikin yang menyusup ke dalam masyarakat Madinah.
Ayat-ayat awal surah ini menyerukan pemutusan perjanjian dengan mereka yang melanggar janji dan memerintahkan jihad (perjuangan) untuk membersihkan wilayah Haram. Dalam konteks yang penuh gejolak inilah, surat at taubah ayat 15 hadir sebagai penyeimbang, bukan hanya sebagai perintah militer, tetapi sebagai janji psikologis dan spiritual bagi mereka yang berjuang di jalan Allah.
Ayat-ayat sebelum Ayat 15 (khususnya Ayat 14) berbicara tentang kewajiban memerangi musuh. Perang adalah hal yang berat, melelahkan, dan menimbulkan penderitaan serta kemarahan mendalam di hati para pejuang. Janji kemenangan di dunia saja tidak cukup untuk menenangkan jiwa yang terancam. Oleh karena itu, Ayat 15 memberikan dimensi batiniah dari kemenangan: janji penyembuhan hati.
Hal ini menunjukkan betapa komprehensifnya bimbingan Ilahi. Allah tidak hanya memerintahkan tindakan lahiriah (perjuangan fisik), tetapi juga menjamin hasil batiniah (ketenangan emosional dan spiritual). Kedalaman ayat ini terletak pada pengakuan bahwa peperangan batin melawan rasa takut, kebencian, dan trauma sama pentingnya dengan peperangan fisik di medan laga.
“dan menghilangkan kemarahan (ghayz) dari hati mereka (kaum mukmin). Dan Allah menerima taubat (memberi petunjuk) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 15)
Ayat 15 tidak dapat dipahami secara terpisah dari Ayat 14, yang berbunyi: "Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghukum mereka dengan (perantaraan) tanganmu dan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati (syifa') segolongan orang-orang yang beriman."
Para mufassir menjelaskan bahwa Ayat 14 menjanjikan kemenangan dan kepuasan atas hasil perjuangan (melegakan dada), sedangkan surat at taubah ayat 15 melangkah lebih jauh dengan menjanjikan pembersihan batin dari sisa-sisa emosi negatif yang timbul akibat konflik, yaitu ghayz (kemarahan, dendam, atau amarah mendalam).
Dua kata kunci memerlukan perhatian mendalam dalam kajian ini:
Kata ini berasal dari akar kata dhahaba (ذهَب) yang berarti pergi, lenyap, atau menghapus. Penggunaan bentuk *yudhzib* menunjukkan tindakan yang aktif dan tuntas dari Allah SWT. Ini bukan sekadar mengurangi amarah, melainkan mencabutnya dari akarnya. Proses ini adalah proses spiritual yang sepenuhnya berada di bawah kuasa Ilahi, hasil dari ketaatan dan jihad kaum mukmin.
Dalam bahasa Arab, terdapat beberapa tingkatan kemarahan, seperti ghadhab dan ghayz. Ghayz adalah bentuk kemarahan yang lebih mendalam, terpendam, dan terkadang bercampur dengan rasa sakit atau dendam akibat ketidakadilan yang diderita. Kemarahan ini seringkali tertuju pada musuh yang telah menzalimi atau menghina agama. Janji Allah untuk menghilangkan ghayz berarti janji untuk memberikan kedamaian sejati, membebaskan hati dari belenggu kebencian yang merusak, bahkan setelah meraih kemenangan fisik.
Penafsiran ulama salaf terhadap surat at taubah ayat 15 berfokus pada dua aspek utama: konteks peperangan dan esensi spiritual dari ketenangan batin.
Imam Ibnu Katsir mengaitkan ayat ini langsung dengan pertempuran melawan kaum musyrikin dan munafikin. Dalam pandangannya, kemarahan yang dihilangkan adalah rasa frustrasi dan sakit hati yang diderita kaum mukmin akibat gangguan, pengkhianatan, dan kezaliman yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam, terutama penduduk Mekah dan kabilah-kabilah yang melanggar perjanjian.
Imam Al-Qurtubi menafsirkan ghayz sebagai penderitaan yang disebabkan oleh perpisahan, pengkhianatan, dan penganiayaan. Kaum mukminin di Madinah telah menderita kerugian besar, baik materiil maupun emosional, karena tekanan yang datang dari Mekah dan kelompok munafikin. Penganiayaan ini menimbulkan kemarahan yang suci, tetapi tetap membebani jiwa.
Penyembuhan hati yang dijanjikan oleh Allah adalah penghapusan semua sisa penderitaan tersebut. Al-Qurtubi melihat ini sebagai balasan langsung dari Allah atas kesabaran dan ketaatan mereka dalam menjalankan perintah jihad. Hasilnya bukanlah dendam yang dibalas dendam, melainkan kedamaian yang menggantikan dendam.
Imam At-Tabari memperkuat penafsiran bahwa ayat ini adalah janji spesifik yang terkait dengan pelaksanaan perintah pada Ayat 14. Beliau mengutip riwayat yang menjelaskan bahwa kaum mukmin, terutama Ansar dan Muhajirin, merasa sangat marah dan sakit hati atas tipu daya dan ancaman dari pihak luar.
At-Tabari menjelaskan bahwa janji ‘menghilangkan kemarahan’ adalah puncak dari tiga bentuk bantuan: penghukuman musuh, pertolongan bagi mukmin, dan penyembuhan batin. Tanpa penyembuhan batin ini, kemenangan material akan sia-sia karena hati masih dipenuhi kebencian, menunjukkan bahwa tujuan akhir jihad adalah kedamaian (Islam) total, baik di luar maupun di dalam diri.
Jangkauan surat at taubah ayat 15 melampaui medan perang. Ayat ini menawarkan pemahaman mendalam tentang psikologi manusia dan bagaimana Islam menangani emosi destruktif seperti kemarahan (ghayz) dan dendam.
Kemarahan (ghadhab atau ghayz) adalah emosi yang wajar, namun jika tidak dikelola, ia dapat menjadi penyakit hati. Islam tidak menuntut manusia untuk tidak merasa marah, tetapi menuntut pengendaliannya. Dalam konteks Ayat 15, kemarahan kaum mukmin adalah kemarahan yang benar (marah karena agama Allah dihina), tetapi Allah memahami bahwa akumulasi kemarahan tersebut tetap merupakan beban mental dan spiritual.
Menghilangkan ghayz bukan berarti menghilangkan memori peristiwa buruk, melainkan menghilangkan dampak racun dari emosi tersebut. Ini adalah pembebasan hati dari beban masa lalu, memungkinkan kaum mukmin untuk fokus pada masa depan dan tugas-tugas keagamaan lainnya tanpa dihalangi oleh dendam yang menghabiskan energi.
Ayat ini menegaskan bahwa penyembuhan hati bukan hasil dari kekuatan manusia semata, melainkan tindakan langsung dari Allah (yudhzib). Dalam tradisi sufisme dan tazkiyatun nufs (pembersihan jiwa), penyakit hati seperti riya, hasad, dan ghayz hanya dapat disembuhkan melalui koneksi yang kuat dengan Sang Pencipta.
Penyembuhan ini terjadi karena:
Meskipun diturunkan dalam konteks militer, janji ini sangat relevan bagi mukmin modern yang berjuang dalam peperangan non-fisik (konflik sosial, tekanan ideologis, atau ketidakadilan sistemik). Kemarahan dan frustrasi yang timbul akibat tantangan zaman dapat menjadi ghayz modern.
Ayat 15 mengajarkan bahwa jika seorang mukmin teguh dalam perjuangannya (baik itu jihad bil mal, jihad bil lisan, atau jihadun nafs), janji Allah tetap berlaku: Dia akan menghilangkan kemarahan yang menghancurkan dan menggantinya dengan ketenangan. Kemenangan sejati adalah kemenangan di dalam hati, di mana dendam telah digantikan oleh pengampunan dan ketenangan.
Bagian akhir ayat, "Wa yatubullahu ‘ala man yasya'a," memiliki bobot yang sangat besar. Mengapa janji taubat diletakkan setelah janji penyembuhan hati? Secara struktural, ini adalah penegasan bahwa hasil akhir dari perjuangan sejati bukanlah pembalasan, melainkan perwujudan Rahmat Ilahi. Kemenangan memungkinkan terwujudnya taubat, baik bagi mereka yang bertobat dari kelemahan dalam barisan mukmin (misalnya, kaum munafik yang akhirnya insaf) maupun bagi musuh yang telah dikalahkan.
Hal ini menunjukkan kebijaksanaan Allah (Alimun Hakim): Allah mengetahui kondisi hati manusia dan Dia bijaksana dalam menentukan kapan waktu yang tepat untuk menghukum dan kapan waktu yang tepat untuk membuka pintu pengampunan, memastikan bahwa keadilan dan kasih sayang berjalan beriringan.
Ayat 15, meskipun bersifat spiritual, memiliki implikasi etis dan hukum yang mendalam mengenai bagaimana kaum mukmin harus berperilaku setelah mencapai kemenangan.
Maqasid Al-Syariah (Tujuan Syariat) bertujuan untuk melindungi lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ayat 15 berhubungan langsung dengan perlindungan jiwa (hifzh an-nafs) dan akal (hifzh al-‘aql) dalam konteks spiritual. Kemenangan harus mengarah pada kedamaian, bukan tirani baru yang didorong oleh dendam.
Dengan menghilangkan ghayz, Allah memerintahkan kaum mukmin untuk:
Para fuqaha (ahli hukum Islam) sering membahas emosi dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban hukum (misalnya, talak yang diucapkan saat marah). Ayat 15 menegaskan bahwa kemarahan yang berlebihan, bahkan kemarahan yang dibenarkan oleh kezaliman, adalah penghalang bagi kesempurnaan iman dan harus diatasi melalui bantuan Ilahi yang diperoleh melalui perjuangan tulus.
Kemarahan yang dihilangkan oleh Allah adalah kemarahan yang bersifat duniawi dan pribadi, yang berpotensi melahirkan ketidakadilan. Sebaliknya, yang tersisa adalah ghirah (kecemburuan atau semangat) yang suci untuk membela kebenaran, bebas dari kotoran dendam pribadi.
Meskipun ayat ini merupakan janji yang terwujud melalui jihad fisik, para ahli tafsir kontemporer, seperti Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi, menekankan bahwa janji penyembuhan hati ini juga terwujud melalui ibadah dan doa yang konsisten.
Jihadun nafs (perjuangan melawan hawa nafsu) adalah prasyarat spiritual untuk menerima janji ini. Orang yang secara konsisten berjuang melawan hawa nafsu dan kesombongan akan mendapati bahwa Allah lebih mudah menghilangkan beban kemarahan yang terpendam di dalam hati mereka, karena mereka telah membersihkan wadah batin mereka.
Untuk memahami kedalaman surat at taubah ayat 15, penting untuk melihat bagaimana ayat ini berfungsi sebagai jembatan antara perintah perang yang keras (Ayat 5, 12, 14) dan seruan taubat serta persaudaraan (Ayat 103, 112).
Ayat 5 (Ayat Pedang) sering dianggap sebagai ayat yang paling keras dalam Surah At-Taubah, memerintahkan untuk memerangi kaum musyrikin yang melanggar janji. Ayat 15, yang muncul tak lama setelah itu, berfungsi sebagai pengingat internal bagi kaum mukmin: tujuan dari kekerasan yang diperintahkan bukanlah untuk memuaskan nafsu balas dendam pribadi, melainkan untuk menegakkan keadilan dan, yang terpenting, mencapai kedamaian batin.
Tanpa janji penyembuhan hati (Ayat 15), perjuangan (jihad) berisiko merosot menjadi tirani atau pertempuran yang didorong oleh kebencian. Ayat 15 menjamin bahwa perjuangan ini bersifat suci, karena hasilnya adalah pembersihan spiritual.
Kemenangan di medan perang memberikan kemuliaan (izzah) di mata manusia. Namun, Ayat 15 menjelaskan bahwa izzah sejati adalah ketika hati bersih dari penyakit emosional. Kaum mukmin yang memenangkan perang tetapi masih menyimpan ghayz (dendam) di hatinya belum mencapai kemuliaan spiritual yang sempurna.
Kondisi hati yang bersih setelah kemenangan menjadi bukti bahwa kemuliaan kaum mukmin datang dari Allah, bukan dari kekuatan militer mereka semata. Kehancuran musuh adalah alat, sedangkan kedamaian batin adalah tujuan yang lebih tinggi.
Janji Allah untuk menghilangkan kemarahan tidak hanya berlaku untuk individu, tetapi juga untuk komunitas secara keseluruhan. Rasa sakit dan frustrasi akibat konflik seringkali memecah belah komunitas. Ketika Allah menghilangkan ghayz, Dia juga menyatukan kembali hati kaum mukmin yang mungkin tegang karena perbedaan pendapat atau penderitaan bersama selama masa konflik.
Kesatuan hati ini (ulfah) adalah salah satu nikmat terbesar yang diberikan Allah. Ayat 15 secara implisit menjanjikan pemulihan sosial dan psikologis pasca-perang, yang sangat penting bagi pembangunan peradaban Islam selanjutnya.
Surat At-Taubah Ayat 15 merupakan permata kebijaksanaan yang mengajarkan bahwa perjuangan (jihad) yang disyariatkan Allah memiliki tujuan utama yang bersifat spiritual dan psikologis, yaitu pencapaian kedamaian sejati dan kebersihan hati dari segala bentuk emosi negatif yang merusak.
Kemenangan militer hanyalah sarana, sedangkan penyembuhan hati (syifa’ul qulub) adalah hasil akhir yang abadi. Allah menjamin bahwa ketaatan dan pengorbanan di jalan-Nya akan membuahkan ketenangan batin yang tidak dapat dibeli dengan materi atau kekuasaan.
Ayat ini mengakui bahwa ghayz adalah beban. Tugas manusia adalah berjuang (menunaikan perintah Allah), dan janji Allah adalah melakukan penyembuhan batin. Ini adalah pembagian tugas yang adil antara hamba dan Rabb-nya.
Penempatan janji taubat (Wa yatubullahu ‘ala man yasya'a) di akhir ayat merupakan penegasan teologis bahwa Rahmat Allah selalu mendominasi murka-Nya. Bahkan setelah perintah penghukuman, pintu Rahmat tetap terbuka bagi siapa pun yang dikehendaki-Nya, menegaskan sifat Allah sebagai ‘Alimun Hakim (Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana).
Bagi para pemimpin dan mereka yang memegang kekuasaan, ayat ini berfungsi sebagai pengingat: kekuasaan yang diperoleh melalui perjuangan harus digunakan untuk mencapai kedamaian, bukan untuk melanggengkan dendam lama. Keputusan harus didasarkan pada Hikmah Ilahi, bukan didorong oleh kemarahan kolektif yang belum tersembuhkan.
Sebagai penutup, surat at taubah ayat 15 adalah jaminan dari Allah SWT kepada kaum mukmin sejati. Bagi mereka yang telah berkorban, yang telah menahan diri dari keputusasaan, dan yang telah melaksanakan perintah-Nya dengan tulus, janji untuk menghilangkan beban kemarahan di hati mereka pasti akan dipenuhi. Inilah inti dari kemenangan sejati dalam Islam: ketenangan jiwa yang hanya dapat dianugerahkan oleh Allah, Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dalam kerangka pembinaan karakter (Tarbiyah) Islami, Ayat 15 menjadi landasan penting dalam mengajarkan manajemen emosi dan spiritualitas prajurit/pejuang. Keberhasilan dalam Islam tidak diukur hanya dari capaian eksternal, melainkan dari kondisi hati (Qalb). Jika hati seorang mukmin masih diselimuti oleh kemarahan terhadap pihak yang telah kalah atau dihukum, ia belum sepenuhnya meraih buah dari perjuangan tersebut.
Proses menuju penyembuhan hati yang dijanjikan dalam surat at taubah ayat 15 memerlukan dua pilar utama: sabr (kesabaran) selama proses perjuangan dan tawakkal (penyerahan diri) terhadap hasil akhirnya. Kemarahan (ghayz) seringkali muncul dari perasaan tidak berdaya atau tidak adanya kendali atas situasi. Ketika mukmin bertawakkal, ia menyerahkan hasil akhir kepada Allah, termasuk urusan penyembuhan batin. Kemenangan dan penghapusan ghayz kemudian dirasakan sebagai anugerah, bukan hak yang harus direbut secara emosional.
Seorang mukmin yang hatinya telah disembuhkan dari ghayz akan mampu mempraktikkan Al-Hilm, yaitu sifat kelembutan, pengampunan, dan pengendalian diri, terutama saat berada dalam posisi unggul. Sejarah Nabi Muhammad ﷺ setelah Fathu Makkah (Pembebasan Mekah) adalah manifestasi terbaik dari janji Ayat 15. Meskipun beliau dan para sahabat memiliki kemarahan yang mendalam akibat penganiayaan bertahun-tahun, kemenangan tersebut diwarnai oleh pengampunan massal, membuktikan bahwa Allah telah menghilangkan ghayz dari hati mereka dan menggantinya dengan Rahmat dan kedermawanan.
Para ulama sufi sering menafsirkan ayat-ayat jihad dengan dimensi batin. Mereka melihat perjuangan melawan musuh luar sebagai cerminan perjuangan melawan musuh batin (nafsu amarah). Dalam konteks ini, surat at taubah ayat 15 mengajarkan bahwa setiap usaha tulus dalam membersihkan hati dari sifat buruk (seperti dendam, iri, dan amarah) akan dibalas oleh Allah dengan ‘penyembuhan’ yang sama. Kemenangan dalam jihad Akbar (perjuangan melawan diri sendiri) menghasilkan sakinah (ketenangan) yang merupakan manifestasi dari hilangnya ghayz batin.
Penyembuhan hati adalah anugerah teragung yang diterima oleh seorang pejuang. Ini membedakan perjuangan yang suci di jalan Allah dari konflik-konflik duniawi yang hanya menghasilkan kebencian yang berkelanjutan. Ketika seorang mukmin telah memenuhi janji Ayat 14 (berjuang), Allah memenuhi janji Ayat 15 (menghilangkan beban emosional). Ini adalah siklus ilahi dari amal, janji, dan pahala spiritual yang tiada tara.
Ayat 15 diakhiri dengan penegasan bahwa Allah adalah Alimun Hakim (Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana). Penutup ini bukan sekadar frasa standar, melainkan kunci penting untuk memahami janji yang terkandung di dalamnya. Kedua nama ini secara intrinsik terhubung dengan janji penyembuhan dan penerimaan taubat.
Allah mengetahui secara pasti kedalaman kemarahan (ghayz) yang dirasakan oleh kaum mukmin. Dia mengetahui setiap pengorbanan, setiap penderitaan, dan setiap bisikan hati yang menginginkan pembalasan. Karena Dia Maha Mengetahui, janji-Nya untuk menghilangkan ghayz adalah jaminan bahwa penyembuhan tersebut akan tepat sasaran, menyentuh luka emosional yang terdalam.
Kebijaksanaan (Hikmah) Allah adalah yang menentukan urutan peristiwa: perintah perang, kemenangan, penyembuhan hati, dan kemudian penerimaan taubat. Ini menunjukkan bahwa:
Hubungan antara ghayz (kemarahan) dan Hikmah (kebijaksanaan) sangat kontras. Kemarahan seringkali buta dan tergesa-gesa, sedangkan janji Ilahi untuk menghapusnya adalah tindakan yang terencana dan didasarkan pada Hikmah yang sempurna. Dengan demikian, ayat ini mengajarkan kaum mukmin untuk selalu mencari solusi yang bijaksana, bukan yang didorong oleh emosi sesaat.