Surat At-Taubah, yang berarti ‘Pengampunan’ atau ‘Pertobatan’, menempati posisi unik dalam Al-Qur'an. Ini adalah satu-satunya surat yang tidak diawali dengan lafaz “Bismillahirrahmanirrahim”. Hilangnya basmalah ini diinterpretasikan oleh para ulama sebagai penanda dimulainya periode baru yang sangat tegas, periode deklarasi perang terhadap perjanjian yang dikhianati dan penegasan kekuasaan Islam setelah periode damai yang panjang.
At-Taubah secara keseluruhan diturunkan setelah Perjanjian Hudaibiyah, terutama setelah Penaklukan Mekah, dan secara spesifik berkaitan dengan peristiwa Ghazwah Tabuk dan pengusiran kaum musyrikin dari wilayah Ka’bah. Surat ini berfungsi sebagai proklamasi pemutusan hubungan (Bara’ah) dengan pihak-pihak yang melanggar janji damai dan menetapkan garis-garis tegas mengenai interaksi antara komunitas Muslim dan kelompok-kelompok non-Muslim, terutama di Semenanjung Arab pada masa itu.
Di antara ayat-ayat krusial yang merumuskan kerangka interaksi politik dan teologis adalah ayat 29. Ayat ini secara spesifik membahas interaksi dengan Ahlul Kitab (Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani) dalam konteks pemerintahan Islam, menetapkan syarat-syarat khusus yang memastikan kedaulatan negara Muslim sekaligus memberikan perlindungan bagi mereka yang berada di bawah kekuasaannya.
Untuk memahami kedalaman hukum dan tafsir, penting untuk merujuk pada teks asli dan terjemahan ayat ini:
(Terjemahan Kemenag RI): “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka (pula) tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Islam), (yaitu) orang-orang yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah (upeti) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
Ayat ini sarat makna hukum yang mendalam, terutama pada tiga frasa kunci:
Ilustrasi Gulungan Kitab Suci yang Melambangkan Ayat Al-Qur'an
Para mufassir klasik dan kontemporer memberikan penafsiran yang beragam, meskipun kerangka hukumnya relatif jelas. Konteks diturunkannya ayat ini sangat erat kaitannya dengan persiapan menghadapi kekuatan Bizantium (Romawi Timur) dan sekutu-sekutu mereka di utara Jazirah Arab (Perang Tabuk).
Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk memerangi Ahlul Kitab yang menentang kekuasaan Islam, bukan untuk memaksa mereka masuk Islam, melainkan untuk menegakkan kedaulatan Islam dan memaksakan kepatuhan terhadap sistem hukum yang berlaku di wilayah tersebut. Pilihan yang diberikan kepada Ahlul Kitab adalah: masuk Islam, berperang, atau membayar Jizyah.
Imam Al-Qurthubi fokus pada makna 'Hum Shagirun'. Beliau menyebutkan beberapa pandangan ulama, di antaranya:
Konsensus modern cenderung menafsirkan 'Shagirun' sebagai penundukan hukum dan politik, yang membedakan status mereka sebagai warga negara yang dilindungi (*Dzimmi*) dari status warga negara Muslim.
Penting untuk dicatat bahwa Surat At-Taubah membedakan secara tajam antara kaum musyrikin (penyembah berhala) yang diancam pengusiran total jika tidak bertaubat (seperti pada ayat 5), dan Ahlul Kitab. Ahlul Kitab diberikan opsi Jizyah, menegaskan pengakuan Islam terhadap akar ketuhanan dalam agama-agama samawi tersebut, meskipun terjadi penyimpangan akidah menurut pandangan Islam.
Jizyah adalah salah satu instrumen keuangan negara Islam yang paling banyak dibahas. Ayat 29 menjadi landasan utama hukum Jizyah, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh madzhab-madzhab Fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali).
Jizyah adalah pajak kepala yang dikenakan hanya pada laki-laki dewasa non-Muslim yang mampu, sehat, dan bebas (bukan budak). Kategori yang dikecualikan dari kewajiban membayar Jizyah sangat luas, menunjukkan aspek keadilan sosial dalam penerapannya:
Jika seorang non-Muslim menjadi tentara atau sukarelawan untuk membela negara Islam, kewajiban Jizyah-nya otomatis gugur, karena ia telah memenuhi kewajiban yang diberikan kepada Muslim (yaitu jihad/pertahanan).
Para ulama sepakat bahwa Jizyah bukanlah hukuman, melainkan biaya perlindungan (proteksi) dan pengecualian dari kewajiban militer. Ketika Jizyah dibayar, negara Islam wajib menjamin:
Kisah Khalifah Umar bin Khattab yang membebaskan seorang Yahudi tua dari Jizyah dan memerintahkan agar ia diberikan tunjangan menunjukkan bahwa tujuan utama Jizyah adalah jaminan hidup, bukan hanya sumber pendapatan paksa.
Keadilan dan Kontrak Perlindungan dalam Sistem Jizyah
Dalam era modern, di mana konsep negara-bangsa (nation-state) dan kewarganegaraan setara telah menjadi norma, interpretasi terhadap Surat At-Taubah ayat 29 sering kali dihadapkan pada tantangan baru. Apakah perintah memerangi dan mengenakan Jizyah masih berlaku secara universal di masa kini?
Mayoritas ulama kontemporer menekankan bahwa konteks ayat ini adalah situasi perang yang dipicu oleh pengkhianatan atau ancaman nyata terhadap negara Islam yang baru berdiri. Mereka berargumen bahwa Islam pada dasarnya berpegang pada prinsip perdamaian dan hanya mengizinkan perang (jihad) sebagai tindakan defensif atau untuk menghentikan tirani yang menghalangi penyampaian risalah.
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, misalnya, berpendapat bahwa perintah memerangi Ahlul Kitab di ayat 29 ditujukan kepada mereka yang secara aktif menentang dan mengganggu stabilitas Muslim pada saat itu, dan bukan merupakan mandat universal untuk memerangi semua non-Muslim tanpa sebab. Ketika Ahlul Kitab hidup damai dan menghormati perjanjian, mereka harus dihormati dan dilindungi, sesuai dengan ayat-ayat lain yang menekankan keadilan, seperti Surat Al-Mumtahanah [60]:8.
Sejumlah besar pemikir hukum Islam modern (Fuqaha) berpendapat bahwa Jizyah adalah instrumen fiskal yang sangat spesifik untuk struktur pemerintahan Islam klasik (khilafah) di mana kewajiban militer adalah eksklusif bagi Muslim. Dalam konteks negara modern:
Dengan demikian, ayat 29 tetap relevan sebagai dasar hukum negara untuk mengatur kewajiban fiskal dan perlindungan bagi minoritas, tetapi penerapannya harus disesuaikan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam sistem hukum modern.
Memahami Ayat 29 secara terisolasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Ayat ini harus selalu dilihat dalam kerangka menyeluruh ajaran Islam mengenai interaksi dengan non-Muslim. Ayat-ayat lain berfungsi sebagai penyeimbang dan pembatasan terhadap lingkup perang yang diizinkan:
Ayat yang paling sering dikutip adalah Surat Al-Baqarah [2]:256: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” Ayat ini memastikan bahwa tujuan perang atau Jizyah bukanlah konversi paksa. Ahlul Kitab diizinkan memegang keyakinan mereka asalkan mereka patuh pada hukum negara.
Allah berfirman: "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." Ayat ini menjadi dasar etika bahwa perdamaian dan keadilan adalah norma, sementara tindakan tegas (seperti yang diisyaratkan At-Taubah 29) adalah pengecualian yang diterapkan dalam situasi konflik atau ketidakpatuhan. Jizyah memastikan bahwa orang-orang yang damai mendapat perlindungan ilahi dan hukum, terlepas dari keyakinan mereka.
Surat At-Taubah ayat 29 muncul setelah serangkaian ayat yang membahas pelanggaran janji serius oleh kaum Musyrikin. Ketika konteks ancaman hilang dan perjanjian damai ditegakkan, perintah memerangi ditarik kembali, dan yang tersisa adalah hukum Jizyah sebagai bentuk kontrak sosial yang menjamin keberadaan komunitas Ahlul Kitab yang aman di bawah perlindungan Islam.
Para sarjana kontemporer seperti Fethullah Gulen dan Hamza Yusuf sering menyoroti bahwa hukum Islam selalu memprioritaskan ‘dharurat’ (kebutuhan mendesak) dan ‘mashlahah’ (kemaslahatan umum). Jika kondisi geopolitik dan sosial-hukum menuntut kesetaraan kewarganegaraan untuk mencapai kemaslahatan, maka implementasi Jizyah secara klasik dapat ditangguhkan atau digantikan oleh sistem pajak modern yang lebih inklusif dan adil bagi semua warga negara.
Terlepas dari interpretasi dan penerapannya yang beragam sepanjang sejarah, terdapat hikmah fundamental di balik penetapan Surat At-Taubah ayat 29. Hikmah ini bertujuan untuk mendirikan masyarakat yang stabil dan adil:
Ayat ini menetapkan bahwa dalam sebuah negara Islam, hukum Allah adalah yang tertinggi. Frasa yang menyebutkan “mereka (pula) tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya” menunjukkan bahwa kepatuhan kepada syariat negara (dalam hal-hal publik) adalah prasyarat untuk hidup damai dalam wilayah kekuasaan Islam, terlepas dari keyakinan privat mereka.
Jizyah berfungsi sebagai sumber pendapatan bagi negara dan sekaligus alat untuk mengelola komposisi demografi dan militer. Dengan membebaskan Ahlul Kitab dari dinas militer, negara dapat fokus pada pertahanan, sementara Jizyah menyediakan dana untuk mengamankan pertahanan tersebut, yang juga melindungi non-Muslim. Ini menciptakan sistem di mana setiap kelompok berkontribusi sesuai dengan peran dan kemampuannya.
Sistem Dzimmah (perlindungan) yang didasarkan pada Jizyah merupakan salah satu bukti toleransi struktural paling awal dalam sejarah dunia. Meskipun ada penundukan politik ("hum shagirun"), substansi dari sistem ini adalah menjamin minoritas untuk mempertahankan agama, budaya, dan bahkan pengadilan mereka sendiri, sebuah konsep yang jauh melampaui praktik toleransi di Kekaisaran lain pada periode yang sama.
Oleh karena itu, Surat At-Taubah Ayat 29 adalah pondasi hukum yang kompleks, bukan sekadar perintah perang. Ia adalah dokumen politik, hukum, dan ekonomi yang mengatur bagaimana negara Islam harus berinteraksi dengan minoritas yang dihormati (Ahlul Kitab) dalam situasi di mana kedaulatan perlu ditegakkan, menawarkan mereka perlindungan abadi dengan imbalan kepatuhan sipil dan kontribusi fiskal (Jizyah).
Ayat ini menuntut pembacaan yang cermat, mengaitkannya dengan Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat), konteks Madinah pasca-Mekah, serta keseluruhan prinsip keadilan (Al-Adl) dan kemaslahatan (Al-Mashlahah) yang menjadi inti ajaran Islam. Hanya dengan melihat keseluruhan kerangka ini, kita dapat memahami peran historis dan relevansi filosofis dari ketentuan Jizyah yang diamanatkan dalam ayat yang mulia ini.
Surat At-Taubah Ayat 29 adalah salah satu ayat yang paling fundamental dalam Fiqh Siyar (hukum perang dan hubungan internasional Islam). Ayat ini secara spesifik memberikan batasan yang jelas mengenai perlakukan terhadap Ahlul Kitab, menempatkan mereka dalam kategori yang berbeda dari musuh-musuh Islam lainnya. Pilihan untuk membayar Jizyah adalah sebuah hak istimewa yang menjamin keberlanjutan eksistensi mereka sebagai komunitas yang dilindungi (Dzimmi) dengan hak dan kewajiban tertentu di bawah naungan pemerintahan Islam.
Diskusi mengenai makna 'shagirun' dan relevansi Jizyah di masa kini menegaskan bahwa hukum Islam bersifat dinamis dan bertujuan utama untuk mencapai keadilan universal. Selama prinsip perlindungan dan kesetaraan sipil terpenuhi, esensi hukum yang terkandung dalam Ayat 29 tetap terjaga, meskipun bentuk implementasinya dapat beradaptasi dengan struktur negara modern yang mengedepankan prinsip kewarganegaraan yang komprehensif.
Pemahaman yang utuh terhadap ayat ini menuntut kita untuk mengakui bahwa ajaran Islam tidak pernah menghendaki kekacauan tanpa batas, melainkan selalu mengarahkan pada penetapan tatanan sosial yang stabil, di mana bahkan mereka yang berbeda keyakinan pun dapat hidup aman di bawah payung keadilan yang ditegakkan oleh syariat.