Surat At-Taubah, atau dikenal juga sebagai Surat Bara'ah (Pemutusan), menempati posisi yang sangat unik dalam Al-Qur'an. Ia adalah satu-satunya surat yang tidak diawali dengan lafaz "Bismillahirrahmanirrahim," sebuah simbol tegas mengenai disosiasi, kemarahan ilahi, dan deklarasi perang terhadap kaum musyrikin yang telah melanggar perjanjian mereka secara berulang kali. Di antara ayat-ayat penting yang menggarisbawahi deklarasi ini, Ayat 3 berdiri sebagai penanda waktu dan tempat pelaksanaannya.
Ayat ini bukan sekadar pemberitahuan biasa, melainkan sebuah proklamasi publik yang monumental, diserukan pada momen paling suci dalam kalender Islam, dihadapan khalayak ramai dari berbagai suku dan kabilah. Pemahaman komprehensif terhadap Surat At-Taubah Ayat 3 membutuhkan analisis mendalam tentang konteks historisnya, dimensi kebahasaannya, serta implikasi hukum (fikih) dan teologisnya (akidah).
I. Teks dan Terjemah Surat At-Taubah Ayat 3
Ayat ini, dengan kalimat yang ringkas namun padat, memuat tiga komponen utama: pengumuman resmi, penentuan waktu dan tempat, serta konsekuensi dari pengumuman tersebut—baik bagi yang menerima (bertaubat) maupun yang menolak (berpaling).
II. Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci
Setiap kata dalam ayat ini memiliki bobot makna yang besar, khususnya dalam konteks deklarasi politik dan spiritual. Memahami term-term ini adalah kunci untuk mengungkap kedalaman hukum syariat yang terkandung di dalamnya.
1. "وَأَذَانٌ" (Wa Adzānun – Dan Pengumuman/Seruan)
Lafazh Adzān secara etimologi berarti pemberitahuan atau seruan yang kuat, yang wajib didengar oleh semua pihak. Ini berbeda dengan sekadar khabar (berita). Penggunaan kata adzān di sini menunjukkan bahwa pesan ini memiliki otoritas tertinggi (dari Allah dan Rasul-Nya) dan bersifat mendesak, menuntut perhatian segera dari seluruh umat manusia, khususnya mereka yang terikat perjanjian.
Ini adalah seruan penutup yang mengakhiri masa toleransi. Dalam konteks ayat ini, pengumuman tersebut adalah final dan mengikat, memberikan batas waktu empat bulan bagi kaum musyrikin untuk memutuskan sikap mereka: bertaubat dan masuk Islam, atau bersiap menghadapi konsekuensi konflik.
2. "يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ" (Yaumal Hajjil Akbar – Pada Hari Haji Akbar)
Penentuan waktu ini sangat strategis. Apa yang dimaksud dengan "Haji Akbar" telah menjadi subjek diskusi panjang di kalangan ulama tafsir. Terdapat beberapa pandangan utama:
- Pandangan Mayoritas: Yaumal Hajjil Akbar merujuk pada Hari Nahr (Hari Penyembelihan, 10 Dzulhijjah). Ini adalah hari yang paling agung dalam rangkaian ibadah haji, di mana jamaah melaksanakan lempar jumrah, kurban, dan tawaf ifadhah. Pengumuman ini disampaikan pada hari tersebut, saat orang-orang dari seluruh Jazirah Arab berkumpul.
- Pandangan Lain: Sebagian ulama, termasuk Ali bin Abi Thalib, berpendapat bahwa Hajjul Akbar merujuk pada keseluruhan pelaksanaan ibadah haji itu sendiri, yang kontras dengan Umrah (Haj Asghar, Haji Kecil).
- Konteks Historis: Dalam konteks turunnya ayat ini, ini merujuk pada pelaksanaan haji yang dipimpin oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq pada tahun ke-9 Hijriah, di mana Ali bin Abi Thalib diutus untuk membacakan Surat Bara'ah. Keagungan momen ini menjamin penyebaran berita ke seluruh penjuru Jazirah.
Penyampaian deklarasi disosiasi di Makkah, di tempat suci, pada hari agung, menegaskan bahwa kesucian Ka'bah harus dipulihkan dan tidak boleh lagi dinajiskan oleh ritual musyrik.
3. "أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ ۙ وَرَسُولُهُ" (Anna Allāha Barī'un minal Musyrikīn wa Rasūluhū – Bahwa Sesungguhnya Allah Berlepas Diri dari Orang-orang Musyrik, dan Rasul-Nya)
Kata kunci "Barī'un" (berlepas diri) adalah inti dari seluruh surat ini. Ini adalah deklarasi resmi mengenai pemutusan total hubungan dan ikatan perjanjian. Ini bukan hanya masalah hukuman, tetapi pemisahan ideologis dan spiritual yang fundamental. Deklarasi ini mengandung makna:
- Pemutusan Perjanjian: Kontrak damai yang telah ada sebelumnya dibatalkan karena pelanggaran berulang oleh pihak musyrikin.
- Hukum Wala' dan Bara': Ini menetapkan prinsip akidah Al-Wala' wal-Bara' (Loyalitas dan Disavowal), di mana kaum Muslimin wajib berloyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya, serta berlepas diri dari kekafiran dan kemusyrikan.
- Sanksi Paling Keras: Berlepas dirinya Allah dari seseorang adalah indikasi hilangnya perlindungan ilahi, yang merupakan sanksi spiritual terberat di dunia dan akhirat.
III. Konteks Historis: Asbāb An-Nuzūl (Sebab Turunnya Ayat)
Surat At-Taubah diturunkan setelah Perang Tabuk (9 H), pada periode di mana kekuasaan Islam di Jazirah Arab telah mapan. Kaum Muslimin telah mencapai titik di mana mereka tidak lagi perlu berkompromi dengan pelanggar perjanjian di tengah-tengah mereka.
Latar Belakang Perjanjian yang Dibatalkan
Sebelum deklarasi ini, Nabi Muhammad ﷺ telah membuat perjanjian damai dengan berbagai kabilah musyrikin. Perjanjian-perjanjian ini umumnya memiliki durasi tertentu, seringkali empat, tujuh, atau sepuluh tahun.
Ayat 1 dan 2 dari Surat At-Taubah telah menjelaskan bahwa deklarasi pemutusan perjanjian ditujukan kepada dua kelompok musyrikin:
- Pelanggar Nyata: Kelompok yang terang-terangan melanggar perjanjian tanpa memandang kehormatan dan ikatan kekerabatan. Mereka tidak diberikan tenggat waktu, dan perjanjian mereka segera dibatalkan.
- Tidak Melanggar (Secara Langsung): Kelompok yang mempertahankan perjanjian mereka dan tidak membantu musuh-musuh Islam. Bagi mereka, perjanjian dihormati hingga batas waktu yang ditentukan (Ayat 4).
Ayat 3 ini, yang merupakan pengumuman publik, secara spesifik mengarah pada penegasan bahwa perjanjian yang tersisa—terutama dengan kelompok pelanggar—telah berakhir. Masa tenggang empat bulan diberikan (mulai 10 Dzulhijjah hingga 10 Rabiul Akhir) agar mereka sempat memikirkan nasib mereka dan menentukan pilihan hidup mereka.
Pengiriman Ali bin Abi Thalib
Peristiwa kunci yang terkait dengan Ayat 3 adalah pelaksanaan pengumuman. Pada Haji tahun ke-9 Hijriah, Abu Bakar diutus sebagai amirul hajj (pemimpin haji). Setelah Abu Bakar berangkat, Rasulullah ﷺ menerima wahyu ini. Rasulullah kemudian memanggil Ali bin Abi Thalib dan memerintahkannya untuk menyusul Abu Bakar, dan untuk membacakan serangkaian ayat dari Surat At-Taubah (termasuk Ayat 3) kepada khalayak ramai di Hari Nahr.
Mengapa Ali, bukan Abu Bakar? Menurut riwayat yang masyhur, tradisi Arab pada saat itu menetapkan bahwa perjanjian besar hanya dapat dibatalkan atau diumumkan oleh pemimpin tertinggi atau seseorang dari kerabat dekatnya. Karena Rasulullah ﷺ tidak hadir secara fisik, tugas ini diemban oleh Ali, sepupu dan menantu beliau, memastikan legitimasi dan bobot otoritas pengumuman tersebut.
IV. Tafsir Ayat: Penegasan Kedaulatan Ilahi
Ayat 3 memuat ajaran akidah dan fiqih yang fundamental. Ia menegaskan kedaulatan absolut Allah, sifat keadilan-Nya, dan pentingnya tauhid.
1. Sumber Otoritas Pengumuman
Frasa "adzānun minallāhi wa rasūlihī" menunjukkan kesatuan otoritas. Ini adalah dekrit ilahi yang disampaikan melalui saluran kenabian. Ketika Allah berlepas diri dari musyrikin, Rasul-Nya juga berlepas diri. Ini adalah penolakan terhadap pemisahan antara wahyu dan Sunnah. Kewajiban untuk memutus hubungan dengan kemusyrikan adalah perintah langsung dari Pencipta alam semesta.
Tafsir Al-Qurthubi dan At-Thabari menekankan bahwa pengumuman di hari Haji Akbar ini bertujuan menghilangkan segala keraguan dan memberikan kejelasan total. Tidak ada lagi wilayah abu-abu; ini adalah garis pemisah yang jelas antara Tauhid dan Syirik.
2. Prinsip Taubat dan Keadilan
Ayat ini menawarkan jalan keluar yang adil: "Fain tubtum fahuwa khairul lakum." (Kemudian jika kamu bertobat, maka itu lebih baik bagimu). Islam tidak menutup pintu rahmat. Meskipun deklarasi ini bersifat tegas dan final mengenai pemutusan perjanjian politik, pintu taubat ilahi selalu terbuka bagi individu.
Jika mereka bertaubat (dengan mengikrarkan syahadat, meninggalkan syirik, dan memeluk Islam), maka mereka diampuni dan diperlakukan sebagai Muslim seutuhnya. Ini menunjukkan bahwa tujuan utama dari deklarasi ini bukanlah konflik fisik semata, melainkan kemenangan Tauhid. Keadilan ilahi menawarkan pilihan: masuk ke dalam naungan keimanan atau menghadapi konsekuensi penolakan.
3. Ancaman bagi yang Berpaling (Kekuatan Allah)
Bagian kedua ancaman berbunyi: "Wa in tawallaitum fa’lamū annakum ghairu mu’jizī Allāh." (Dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah).
Ancaman ini mengandung penekanan akidah yang mendalam: Manusia, betapapun kuatnya mereka, tidak akan pernah bisa melarikan diri atau membatalkan kehendak Allah. Penggunaan frasa ini berfungsi sebagai penenang bagi kaum Muslimin dan peringatan keras bagi musyrikin. Meskipun mereka mungkin memiliki kekuatan militer, kekuatan tersebut tidak berarti apa-apa di hadapan kekuasaan Allah yang Maha Perkasa.
Ancaman ditutup dengan perintah: "Wa bashshirilladzīna kafarū bi’adzābin alīm." (Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang kafir bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih). Ini adalah ironi retoris dalam Al-Qur'an. 'Kabar gembira' (bashshir) biasanya digunakan untuk menjanjikan kebaikan, tetapi di sini digunakan untuk menjanjikan azab yang pedih (adzābin alīm). Ini menegaskan kepastian dan kengerian hukuman yang menanti mereka yang memilih kekafiran setelah peringatan yang sangat jelas ini.
V. Dimensi Fiqih: Ahkam yang Ditimbulkan oleh Ayat 3
Ayat 3 At-Taubah, bersama dengan ayat-ayat pertama dari surat ini, menjadi landasan bagi banyak hukum Islam terkait hubungan internasional, perjanjian damai, dan status non-Muslim di dalam wilayah Islam (Darul Islam).
1. Hukum Pembatalan Perjanjian (Naqd al-Ahd)
Ayat ini memperkuat prinsip bahwa perjanjian damai (mu'ahadah) hanya berlaku selama pihak lain mematuhi ketentuannya. Jika musuh melanggar perjanjian, atau jika ada alasan kuat untuk percaya bahwa mereka akan berkhianat, maka negara Islam memiliki hak, bahkan kewajiban, untuk membatalkan perjanjian tersebut setelah memberikan pemberitahuan yang jelas. Pengumuman di hari Haji Akbar adalah manifestasi dari pemberitahuan yang jelas ini.
Para fuqaha (ahli fiqih) menyimpulkan bahwa batas waktu empat bulan yang diberikan menunjukkan belas kasihan dan keadilan, memberikan kesempatan bagi musyrikin untuk mengamankan diri, bertaubat, atau mengungsi ke tempat lain, sebelum dimulainya konflik terbuka.
2. Pengharaman Ka'bah bagi Musyrikin
Salah satu konsekuensi langsung dari deklarasi di hari Haji Akbar adalah penetapan status kesucian Makkah dan Haram (wilayah suci) secara total. Ayat-ayat berikutnya (terutama At-Taubah: 28) secara eksplisit melarang kaum musyrikin mendekati Masjidil Haram setelah tahun tersebut.
Deklarasi Ayat 3, yang disampaikan di tempat ibadah haji, secara efektif membersihkan simbol sentral Islam dari semua sisa-sisa praktik politeisme yang telah bercampur dengan ritual haji pra-Islam.
3. Penetapan Prinsip Wala' wal-Bara' (Loyalitas dan Disavowal)
Prinsip Al-Wala' wal-Bara' adalah inti dari tauhid. Loyalitas (Wala') hanya diberikan kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Disavowal (Bara') adalah sikap berlepas diri dari semua bentuk kekafiran, kesyirikan, dan mereka yang mempraktikkannya.
Ayat 3 merupakan deklarasi bara'ah yang paling formal. Ia mengajarkan bahwa ikatan akidah harus diutamakan di atas ikatan darah, suku, atau perjanjian politik jangka pendek, terutama ketika keimanan dikhianati.
VI. Elaborasi Mendalam Mengenai ‘Yaumal Hajjil Akbar’
Penting untuk mengupas lebih jauh mengapa Al-Qur'an memilih frasa "Haji Akbar" dan bukan sekadar "Hari Nahr." Pilihan kata ini menunjukkan bobot keagungan dan universalitas pesan tersebut.
1. Makna Keagungan Simbolis
Kata Akbar (yang terbesar) menggarisbawahi pentingnya hari itu. Pengumuman harus disampaikan pada momen dengan audiens terbesar dan pengaruh paling jauh. Haji, bahkan pada masa jahiliah, adalah peristiwa sosial dan keagamaan terbesar di Jazirah Arab. Menggunakan panggung ini memastikan bahwa berita pemutusan perjanjian mencapai setiap suku, setiap kabilah, dan setiap pedagang yang hadir, yang kemudian akan menyebarkannya ke seluruh wilayah mereka.
2. Hajjul Akbar vs. Hajjul Ashghar
Seperti disebutkan sebelumnya, pembedaan ini sering kali merujuk pada kontras antara ibadah haji yang lengkap (Hajjul Akbar) dan umrah (Hajjul Ashghar, atau haji kecil). Dengan menyampaikannya pada tahun ke-9 H, ini menegaskan bahwa inilah pertama kalinya haji dilaksanakan secara murni Islam, tanpa ritual syirik, dan sekaligus menjadi haji terakhir yang dihadiri oleh musyrikin. Setelah itu, Makkah menjadi eksklusif bagi kaum Muslimin.
Penyebutan Haji Akbar ini mengisyaratkan bahwa deklarasi tersebut memiliki cakupan hukum dan geografis yang besar, meliputi seluruh kedaulatan Islam yang tengah berkembang.
3. Keputusan Final dan Tanpa Banding
Keputusan yang diumumkan pada Yaumal Hajjil Akbar memiliki sifat finalitas yang mutlak. Dalam konteks negosiasi, sebuah deklarasi yang dibuat pada pertemuan puncak memiliki kekuatan hukum yang tidak dapat ditarik kembali. Allah memilih hari ini untuk menegaskan bahwa masa uji coba telah berakhir, dan inilah keputusan definitif dari langit mengenai status hubungan antara iman dan syirik.
VII. Konsekuensi Psikologis dan Sosial dari Ayat 3
Deklarasi Bara'ah memiliki dampak yang sangat besar, tidak hanya secara militer tetapi juga secara psikologis dan sosial terhadap masyarakat Arab saat itu.
1. Dampak pada Kaum Musyrikin
Bagi musyrikin, pengumuman ini adalah guncangan besar. Mereka diberi batas waktu empat bulan. Ini adalah kesempatan terakhir untuk bertaubat atau bersiap menghadapi kekuatan militer Islam. Mereka tidak hanya kehilangan perjanjian damai, tetapi juga kehilangan hak untuk beribadah di Ka'bah, pusat spiritual mereka selama berabad-abad. Tekanan psikologis ini mendorong banyak kabilah untuk mempertimbangkan Islam dengan serius, karena alternatifnya adalah isolasi total atau konflik yang hampir pasti akan mereka kalahkan.
2. Dampak pada Kaum Muslimin
Bagi kaum Muslimin, ayat ini berfungsi sebagai penguat moral. Ayat ini menegaskan bahwa mereka didukung oleh kekuasaan ilahi. Mereka tidak perlu takut menghadapi ancaman musyrikin yang telah melanggar perjanjian. Ini memperkuat persatuan internal (ukhuwah) di antara kaum Muslimin, karena garis pemisah antara mereka dan non-Muslim kini menjadi sangat jelas dan tidak ambigu.
Ayat ini menetapkan bahwa perjuangan ini adalah demi pemurnian tauhid, bukan sekadar perebutan kekuasaan duniawi. Kemenangan Islam bukan hanya kemenangan politik, tetapi kemenangan prinsip akidah atas kesyirikan.
VIII. Perluasan Tafsir: Prinsip Bara'ah dalam Kehidupan Kontemporer
Meskipun Surat At-Taubah Ayat 3 diturunkan dalam konteks historis perang dan perjanjian di Jazirah Arab abad ke-7, prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya memiliki relevansi yang kekal, terutama dalam hal akidah dan moralitas.
1. Bara'ah dari Syirik dan Bid'ah
Prinsip bara'ah yang paling mendasar adalah berlepas diri dari syirik (menyekutukan Allah) dalam segala bentuknya—besar maupun kecil. Ayat ini mengajarkan bahwa seorang Muslim harus memiliki kejelasan total dalam Tauhid dan menolak segala bentuk kepercayaan atau praktik yang bertentangan dengan keesaan Allah.
Di masa kini, prinsip ini meluas hingga meliputi penolakan terhadap pemikiran-pemikiran modern yang bertentangan dengan akidah Islam, seperti ateisme, sekularisme yang mutlak, dan filosofi materialisme yang menafikan keberadaan ruh dan akhirat.
2. Bara'ah dalam Lingkungan Sosial
Deklarasi di Hari Haji Akbar adalah pengumuman publik yang tidak malu-malu. Ini mengajarkan pentingnya menampakkan kebenaran dan tidak menyembunyikan penolakan terhadap kemungkaran. Dalam konteks sosial, ini berarti seorang Muslim tidak boleh berpartisipasi atau menyetujui praktik-praktik yang secara fundamental dilarang dalam Islam, meskipun hal itu diterima secara luas oleh masyarakat sekuler.
Namun, para ulama juga menekankan bahwa bara'ah bukan berarti kekerasan atau kezaliman terhadap non-Muslim yang hidup damai, melainkan pemisahan akidah dan afiliasi spiritual. Hubungan kemanusiaan (mu'amalat) dan keadilan tetap wajib ditegakkan, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Mumtahanah Ayat 8.
3. Tafsir At-Taubah dan Konsep Jihad
Ayat-ayat awal At-Taubah, termasuk Ayat 3, sering dikutip sebagai landasan hukum jihad. Penting untuk dicatat bahwa deklarasi ini adalah respons terhadap pengkhianatan yang berulang. Konflik yang diizinkan setelah masa tenggang empat bulan bukanlah perang tanpa sebab, melainkan pembalasan dan pembersihan wilayah suci dari kaum yang telah melanggar janji mereka dan secara aktif berusaha menghancurkan komunitas Muslim.
Ayat ini mengatur bahwa konflik hanya dimulai setelah: (a) pengkhianatan jelas terjadi, (b) pemberitahuan resmi telah diberikan, dan (c) batas waktu (empat bulan) telah dilewati. Ini menunjukkan bahwa Islam selalu mengutamakan keadilan, bahkan dalam kondisi perang, dengan memberikan kesempatan terakhir bagi musuh untuk bertaubat.
Prinsip ghairu mu’jizī Allāh (tidak dapat melemahkan Allah) menjadi pendorong utama. Ini mengajarkan bahwa setiap kekuatan yang menentang kebenaran pada akhirnya akan gagal, tidak peduli seberapa besar kekuasaan mereka di dunia ini.
IX. Sintesis dan Kesimpulan Akhir Ayat 3
Surat At-Taubah Ayat 3 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam kerangka hukum dan akidah Islam. Ayat ini merupakan titik balik monumental dalam sejarah Jazirah Arab dan menegaskan beberapa prinsip abadi:
- Prinsip Ketegasan Akidah: Tidak ada kompromi antara Tauhid dan Syirik. Hubungan dengan pihak yang menolak Tauhid, terutama setelah berulang kali melanggar perjanjian, harus diputus total.
- Kewajiban Pengumuman Jelas: Setiap keputusan besar yang melibatkan hak dan kehidupan masyarakat harus diumumkan secara terbuka dan jelas, memastikan semua pihak mengetahui status mereka. Momen Hajjul Akbar dipilih untuk maksimalisasi penyebaran informasi.
- Keadilan dan Kesempatan Bertaubat: Allah SWT, dalam kemarahan-Nya, tetap membuka pintu taubat dan memberikan masa tenggang (amnesti) empat bulan. Ini adalah contoh sempurna dari keadilan Ilahi yang mendahului hukuman.
- Kekuasaan Mutlak Allah: Pengingat bahwa kekuatan manusia tidak ada artinya di hadapan kehendak Allah. Kaum musyrikin diancam bukan oleh kekuatan militer Muslim semata, tetapi oleh kuasa Allah yang tak terbatas.
Deklarasi yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib di Mina pada Hari Nahr, di hadapan ribuan jamaah haji, mengakhiri era perjanjian longgar dan membuka lembaran baru di mana Makkah dan wilayah Haram secara permanen dimurnikan untuk ibadah yang murni berdasarkan Tauhid. Ayat 3 ini adalah fondasi bagi penegakan kedaulatan Islam yang didasarkan pada prinsip keesaan Allah yang tidak dapat diganggu gugat.
Studi mendalam terhadap Ayat 3 ini mengungkap lapisan-lapisan kebijaksanaan: dari strategi politik yang adil, penetapan hukum yang tegas, hingga penegasan teologis mengenai keesaan dan kekuasaan Allah yang tiada tandingan. Ia menjadi pengingat bagi setiap Muslim bahwa loyalitas sejati harus diarahkan semata-mata kepada Allah, dan disavowal harus dilakukan terhadap segala bentuk kesyirikan dan kekufuran yang mengancam integritas iman.
Melalui ayat yang agung ini, umat Islam diajarkan untuk bersikap tegas dalam urusan prinsip, adil dalam implementasi hukum, dan selalu mengharapkan kebaikan (taubat) bagi lawan, sambil tetap sadar bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan Yang Maha Mengatur alam semesta.
X. Mendalami Aspek I'jaz (Kemukjizatan) Bahasa
Ayat 3 dari Surat At-Taubah tidak hanya memuat hukum, tetapi juga menunjukkan keindahan dan kekuatan retorika bahasa Arab Al-Qur'an. Penggunaan kata "adzānun" (seruan) sebagai subjek yang didahului oleh konjungsi "wa" (dan) menunjukkan kesinambungan dengan ayat-ayat sebelumnya, menegaskan bahwa seruan ini adalah puncak dari keputusan pemutusan perjanjian yang telah dijelaskan.
Frasa "Anna Allāha Barī'un" yang diiringi oleh "wa Rasūluhū" (Dan Rasul-Nya) menunjukkan kemukjizatan dalam penyusunan kalimat. Secara tata bahasa, lafaz "Rasūluhū" seharusnya menjadi mansūb (objek), namun di sini ia dirafa' (subjek) karena ia merujuk kembali kepada subjek tersembunyi yang ditekankan oleh adanya lafaz "Barī'un", yang merupakan predikat bagi Allah. Ini menekankan bahwa status Rasulullah ﷺ dalam deklarasi ini adalah status keagenan yang sempurna, bertindak dalam keselarasan total dengan kehendak Ilahi.
Kombinasi antara kata-kata yang bersifat hukum dan kata-kata yang bersifat peringatan teologis (seperti ghairu mu’jizī Allāh) menunjukkan bahwa pesan Al-Qur'an terjalin erat antara syariat dan akidah. Ancaman bukan hanya tentang peperangan di dunia, tetapi juga tentang kegagalan total untuk melarikan diri dari takdir Allah di akhirat.
XI. Relevansi Tafsir Klasik: Pandangan Ibn Kathir dan At-Tabari
Para mufasir klasik memberikan penekanan yang seragam terhadap peristiwa Hajjul Akbar. Ibn Kathir secara eksplisit menyebutkan bahwa pengumuman tersebut terjadi pada Hari Nahr, dan Ali bin Abi Thalib lah yang bertugas. Ibn Kathir menekankan bahwa tujuan deklarasi ini adalah untuk memberikan peringatan yang sangat luas, sehingga tidak ada yang dapat mengklaim ketidaktahuan atas keputusan Allah.
At-Tabari, dalam tafsirnya, memperluas diskusi tentang Hajjul Akbar, mengutip berbagai riwayat dari Sahabat. Mayoritas riwayat tersebut menunjuk pada Hari Nahr. At-Tabari juga menyoroti keadilan dalam pemberian masa tenggang empat bulan, menekankan bahwa Islam tidak pernah menyerang tanpa peringatan yang memadai. Menurut At-Tabari, penentuan waktu ini adalah bukti kesempurnaan hukum Islam yang menggabungkan ketegasan militer dengan rahmat ilahi.
Kedalaman tafsir klasik ini memastikan bahwa pemahaman kita tentang Ayat 3 tidak terpisah dari konteks historisnya, yang merupakan penegasan hukum dan pembersihan ideologis terhadap wilayah suci.
XII. Perbedaan antara Bara'ah dan Permusuhan Abadi
Penting untuk membedakan antara prinsip bara'ah yang diumumkan dalam Ayat 3 dengan permusuhan tanpa henti terhadap semua non-Muslim. Bara'ah di sini adalah deklarasi pemutusan perjanjian yang telah dikhianati dan penolakan terhadap ideologi syirik. Surat yang sama, dalam ayat-ayat selanjutnya, membedakan antara kelompok musyrikin yang harus diperangi dan kelompok yang damai.
Ayat 4 menegaskan: "Kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sedikit pun (dari isi perjanjianmu) dan tidak (pula) menolong seorang pun yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya..." Ini membuktikan bahwa prinsip keadilan dan pemenuhan janji tetap dipertahankan, bahkan di tengah deklarasi Bara'ah yang tegas.
Ayat 3 berfokus pada kelompok musyrikin yang telah mengkhianati kepercayaan. Dengan demikian, prinsip bara'ah adalah sikap akidah yang menolak kesyirikan, dan bukan izin universal untuk agresi, melainkan respons yang diatur secara ketat terhadap pengkhianatan dan ancaman terhadap Tauhid.
XIII. Analisis Konsekuensi Hukum Jangka Panjang
Keputusan yang diumumkan di Hari Haji Akbar memiliki efek yurisprudensi yang meluas selama berabad-abad. Penetapan bahwa musyrikin tidak boleh lagi memasuki Makkah adalah salah satu dampak paling signifikan. Hukum ini menjadi permanen dan disepakati oleh seluruh mazhab fiqih.
Lebih jauh, Ayat 3 menjadi dasar bagi mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali mengenai klasifikasi perjanjian damai (hudnah) dan kapan perjanjian tersebut dianggap batal demi hukum. Semua sepakat bahwa pelanggaran substansial oleh salah satu pihak secara otomatis membatalkan perjanjian, namun pemberitahuan harus mendahului tindakan militer, sebagaimana dicontohkan oleh pengumuman di Hajjul Akbar.
XIV. Penekanan pada Azab yang Pedih (Azābin Alīm)
Bagian akhir ayat, "Wa bashshirilladzīna kafarū bi’adzābin alīm," adalah penutup yang kuat. Ancaman azab yang pedih ini berfungsi sebagai motivasi ganda: mendorong kaum musyrikin untuk cepat bertaubat dan mengingatkan kaum Muslimin akan tujuan akhir perjuangan mereka—menyelamatkan jiwa dari hukuman abadi.
Azab yang pedih ini tidak hanya merujuk pada hukuman fisik di neraka, tetapi juga pada rasa malu dan kekalahan yang menimpa mereka di dunia. Bagi mereka yang memilih berpaling dan menghadapi konsekuensi perang, kekalahan mereka di dunia adalah pendahuluan dari azab yang lebih besar di akhirat, sebuah pesan yang sangat jelas disampaikan di hadapan publik terbesar yang pernah berkumpul saat itu.
Dengan demikian, Ayat 3 Surat At-Taubah berfungsi sebagai piagam pemisahan akidah dan panduan hukum yang abadi, menegaskan supremasi kehendak Allah dan perlunya kejelasan dalam iman dan tindakan. Ia adalah seruan kebenaran yang bergema melintasi waktu, menuntut kejelasan sikap dan kepatuhan mutlak kepada Tauhid.
Artikel ini disusun berdasarkan kajian mendalam dari berbagai kitab tafsir klasik (seperti Tafsir Ibn Kathir, Tafsir At-Tabari, dan Tafsir Al-Qurthubi) dan sumber-sumber fiqih kontemporer.