Menggali Makna Inti Surat At-Taubah Ayat 31: Ketaatan sebagai Wujud Ketuhanan

Ilustrasi simbolik Tawhid dan ketaatan kepada Allah, menolak kepemimpinan selain-Nya Allah (Tawhid) Ahbar (Legislasi Sesat) Ruhban (Pengasingan Berlebihan) Masih (Pengagungan)

I. Pengantar dan Konteks Historis Ayat

Surat At-Taubah, sering disebut sebagai ‘Bara’ah’, adalah salah satu surat Madaniyah yang diturunkan setelah peristiwa Fathu Makkah, pada periode akhir kenabian Rasulullah ﷺ. Ayat-ayat dalam surat ini memiliki nada yang keras dan tegas, terutama dalam menegaskan batas-batas antara keimanan dan kekafiran, serta menetapkan prinsip-prinsip perang, perjanjian, dan yang paling utama, kemurnian tauhid (monoteisme).

Ayat ke-31 dari Surat At-Taubah merupakan sebuah pernyataan teologis fundamental yang ditujukan kepada Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) pada masa itu, namun memiliki implikasi abadi bagi seluruh umat Islam. Ayat ini tidak hanya mengkritik penyembahan berhala secara literal, melainkan menyentuh bentuk syirik yang lebih halus dan berbahaya: syirik dalam ketaatan atau otoritas legislatif.

Penolakan terhadap konsep trinitas dan penyingkapan bahaya ketaatan buta (taqlid) yang melampaui batas Allah adalah jantung dari ayat ini. Untuk memahami kedalamannya, kita harus menempatkannya dalam kerangka perdebatan yang terjadi antara komunitas Muslim yang baru lahir dan kelompok-kelompok keagamaan yang sudah mapan di Semenanjung Arab.

II. Teks Suci dan Terjemahan Mendalam

Teks Arab (QS. At-Taubah: 31)

ٱتَّخَذُوٓاْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَٰنَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلْمَسِيحَ ٱبْنَ مَرْيَمَ وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعْبُدُوٓاْ إِلَٰهًا وَٰحِدًا لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Terjemahan Literal dan Kontekstual

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya (pendeta-pendeta Yahudi), dan rahib-rahibnya (biarawan-biarawan Nasrani), sebagai tuhan-tuhan (Arbaban) selain Allah, dan (mereka juga mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan."

III. Analisis Linguistik dan Tafsir Lafdzi (Per Kata)

Setiap kata dalam ayat ini memiliki bobot teologis yang luar biasa. Memahami akar kata-kata ini sangat penting untuk mengungkap maksud ilahi yang sesungguhnya.

A. Konsep 'Ahbar' (الأَحْبَارُ)

Secara bahasa, ‘Ahbar’ adalah jamak dari ‘Hibr’ atau ‘Habr’, yang berarti orang yang memiliki pengetahuan yang luas atau tinta. Istilah ini secara spesifik merujuk pada para ulama, cendekiawan, atau pendeta di kalangan Bani Israil (Yahudi). Mereka adalah pemegang otoritas dalam menafsirkan Taurat dan menetapkan hukum-hukum agama.

B. Konsep 'Ruhban' (الرُّهْبَانُ)

‘Ruhban’ adalah jamak dari ‘Rahib’, yang berasal dari kata dasar ‘Rahaba’ yang berarti takut atau gentar. Ruhban merujuk pada biarawan atau pertapa (khususnya dari kalangan Nasrani) yang mengasingkan diri dari kehidupan dunia untuk beribadah. Mereka fokus pada asketisme dan ritual.

C. Konsep Kritis: 'Arbaban' (أَرْبَابًا)

‘Arbaban’ adalah jamak dari ‘Rabb’, yang secara literal berarti Tuhan, Penguasa, atau Pendidik. Ini adalah kata paling krusial. Penggunaan kata ini menandakan bahwa Ahlul Kitab tidak hanya menghormati para Ahbar dan Ruhban, tetapi telah menempatkan mereka pada posisi ketuhanan.

Para ulama tafsir sepakat bahwa ini BUKAN penyembahan dalam bentuk sujud atau rukuk, melainkan ketaatan mutlak terhadap ketetapan mereka dalam hal yang sejatinya hanya hak Allah:

  1. Menghalalkan apa yang diharamkan Allah.
  2. Mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.

D. Al-Masih putra Maryam (وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ)

Penyebutan Nabi Isa (Al-Masih) secara terpisah menunjukkan adanya penyimpangan spesifik dalam teologi Nasrani. Sementara pengikut Yahudi cenderung berlebihan dalam mengikuti ulama mereka (Ahbar), Nasrani terbagi antara ketaatan pada Ruhban dan pengagungan Nabi Isa, mengangkatnya dari status Nabi yang mulia menjadi Anak Tuhan atau bagian dari Tuhan. Ini adalah bentuk syirik yang paling jelas secara ritualistik.

IV. Kunci Penafsiran: Hadits Adi bin Hatim At-Ta'i

Tafsir yang paling otentik dan definitif mengenai makna ‘Arbaban min Dunillah’ dijelaskan langsung oleh Rasulullah ﷺ melalui sebuah riwayat yang masyhur, yang melibatkan salah satu sahabat, Adi bin Hatim At-Ta’i.

A. Kisah Konversi Adi bin Hatim

Adi bin Hatim adalah seorang Kristen sebelum memeluk Islam. Ketika ia datang kepada Nabi Muhammad ﷺ, ia mendengar beliau membaca ayat ini:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahibnya sebagai tuhan-tuhan selain Allah...”

Adi segera menyela, "Ya Rasulullah, kami tidak pernah menyembah mereka."

Rasulullah ﷺ menjawab:

"Bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan, lalu kalian mengikutinya? Dan bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan, lalu kalian mengikutinya?"

Adi menjawab, "Benar."

Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

"Itulah bentuk penyembahan kalian kepada mereka." (Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya).

B. Implikasi Teologis Hadits

Hadits ini adalah kunci utama dalam pemahaman tauhid. Ia mengajarkan bahwa penyembahan (ibadah) tidak terbatas pada ritual sujud, rukuk, atau doa, tetapi mencakup ketaatan mutlak dalam penetapan hukum. Ketika seseorang memberikan hak legislatif (hak untuk menghalalkan dan mengharamkan) kepada manusia, maka ia telah mengangkat manusia tersebut ke posisi ketuhanan (Rububiyyah).

1. Syirik dalam Rububiyyah (Ketuhanan dalam Kekuasaan)

Rububiyyah adalah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemilik alam semesta. Memberikan hak kepada Ahbar dan Ruhban untuk membuat hukum yang bertentangan dengan hukum Allah adalah pengakuan bahwa mereka memiliki sebagian dari Rububiyyah Allah.

2. Syirik dalam Uluhiyyah (Ketuhanan dalam Penyembahan)

Uluhiyyah adalah keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan ditaati secara mutlak. Ketaatan buta terhadap hukum manusia yang menyimpang adalah mengalihkan ibadah (ketaatan tertinggi) dari Allah kepada manusia.

C. Kontradiksi Ketaatan dengan Niat

Poin penting yang perlu dicatat adalah bahwa Ahli Kitab tidak berniat secara sadar untuk menuhankan pendeta mereka. Niat mereka mungkin murni, yaitu mengikuti petunjuk agama. Namun, tindakan mereka, yaitu mengutamakan hukum manusia di atas hukum Allah, secara objektif dikategorikan oleh Allah sebagai syirik. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, ketaatan pada hukum adalah manifestasi terbesar dari penyembahan.

V. Mempertuhankan Otoritas dalam Konteks Kontemporer

Ayat At-Taubah 31 tidak hanya berlaku untuk konteks Ahbar dan Ruhban masa lalu. Konsep syirik dalam ketaatan ini bersifat universal dan relevan di setiap zaman, termasuk era modern yang didominasi oleh sekularisme dan otoritas manusia.

A. Bahaya Taqlid yang Melampaui Batas (Ketaatan Buta)

Dalam komunitas Muslim, Taqlid (mengikuti pendapat ulama tanpa mengetahui dalil) adalah hal yang sah dalam batasan tertentu, terutama bagi orang awam. Namun, ayat ini memperingatkan bahaya Taqlid Mutlak (ketaatan yang absolut) yang menganggap perkataan ulama, cendekiawan, atau pemimpin sebagai hukum final, bahkan ketika perkataan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih.

Jika seorang ulama, seorang filsuf, atau bahkan sebuah lembaga politik menetapkan suatu hukum yang mengharamkan perkara wajib atau menghalalkan perkara haram yang sudah jelas, dan umat tunduk sepenuhnya atas dasar otoritas semata, maka mereka telah jatuh ke dalam jenis ‘syirik ketaatan’ yang sama seperti yang dikecam dalam ayat 31 At-Taubah.

B. Syirik Legislatif (Hak Tashri’)

Hak untuk menetapkan hukum (Tashri’) secara mutlak hanya milik Allah. Konsep ini menjadi sangat penting dalam sistem pemerintahan dan hukum modern.

C. Penyembahan Materi dan Ideologi

Meskipun ayat ini secara eksplisit menyebut Ahbar, Ruhban, dan Al-Masih, para mufasir modern memperluas konsep ‘Arbaban’ untuk mencakup segala sesuatu yang dipatuhi secara mutlak melebihi Allah. Ini bisa berupa:

  1. **Ideologi Totaliter:** Keyakinan bahwa negara, partai, atau sistem ekonomi adalah otoritas mutlak yang hukumnya tidak dapat dipertanyakan.
  2. **Hawa Nafsu:** Mengikuti keinginan pribadi hingga menghalalkan yang haram demi kesenangan duniawi, menempatkan hawa nafsu sebagai ‘tuhan’ bagi diri sendiri.

Ibnu Taimiyah, dalam analisisnya, menekankan bahwa siapapun yang meyakini bolehnya mengikuti hukum selain syariat Allah, meskipun ia meyakini kebatilan hukum tersebut, maka ia telah keluar dari lingkup tauhid, sebab ia telah memberikan hak Tashri’ kepada selain Allah.

VI. Bahaya Pengagungan Berlebihan: Pelajaran dari Al-Masih

Ayat ini menyebut Al-Masih putra Maryam (Nabi Isa) sebagai bagian dari apa yang ‘dipertuhankan’ oleh Ahlul Kitab. Ini memberikan pelajaran penting tentang bahaya pengagungan terhadap tokoh suci, bahkan para Nabi dan Rasul.

A. Melampaui Batas Kemanusiaan

Dalam teologi Islam, para Nabi dan Rasul adalah manusia pilihan Allah yang diberikan wahyu (ma’shum/terjaga dari dosa besar), tetapi mereka tetaplah hamba. Pengagungan Nasrani terhadap Isa AS yang mengangkatnya menjadi ilah (Tuhan) adalah contoh ekstrem dari ghuluw (berlebihan) dalam agama.

Allah mengingatkan bahwa tujuan penciptaan dan pengutusan Rasul adalah hanya untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Semua perantara, baik Ahbar, Ruhban, maupun Nabi, berfungsi sebagai penunjuk jalan menuju Allah, bukan sebagai tujuan akhir penyembahan.

B. Penghinaan Terselubung

Menariknya, Al-Masih AS justru adalah pembawa ajaran tauhid. Dengan menyebutnya sebagai bagian dari syirik yang dilakukan oleh pengikutnya, Al-Qur’an membersihkan Nabi Isa dari tuduhan tersebut dan menempatkan kesalahan sepenuhnya pada pengikut yang menyimpang dari ajaran aslinya.

C. Peringatan bagi Umat Muhammad ﷺ

Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi umat Islam agar tidak jatuh ke dalam kesalahan yang sama, yaitu mengkultuskan figur-figur agama. Rasulullah ﷺ sendiri melarang pengkultusan dirinya:

“Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan dalam memuji Isa putra Maryam. Aku hanyalah hamba Allah dan utusan-Nya.” (HR. Al-Bukhari).

Peringatan ini mengikat umat Islam agar selalu memposisikan ulama dan pemimpin sebagai manusia yang rentan salah, yang ketaatannya harus diukur dengan timbangan wahyu, bukan otoritas pribadi.

VII. Penegasan Prinsip Tauhid: Laa Ilaaha Illa Huwa

Bagian akhir ayat 31 At-Taubah berfungsi sebagai penutup dan penegasan kembali doktrin inti Islam:

"...padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan."

Ayat ini merangkum seluruh misi kenabian: mengembalikan manusia pada fitrahnya, yaitu menyembah satu Tuhan yang berhak ditaati secara mutlak dalam segala aspek kehidupan.

A. Keberadaan Ilah Wahid

Frasa 'Ilaahan Wahidan' (Tuhan Yang Maha Esa) menegaskan keesaan Allah dalam segala hal, termasuk dalam hak legislasi. Tuhan Yang Satu ini adalah Rabb yang menciptakan dan juga Ilah yang disembah. Konsep ini menghancurkan dualisme otoritas.

B. Pengaruh Syirik Terhadap Manusia

Ketika seseorang mempertuhankan selain Allah—baik itu Ahbar, Ruhban, ideologi, atau hawa nafsu—maka ia telah mengotori kemurnian jiwanya dan menjauh dari tujuan penciptaannya. Syirik, dalam bentuk ketaatan buta, adalah ketidakadilan terbesar (kezaliman azhim) karena menempatkan ciptaan setara dengan Pencipta dalam hak-hak-Nya yang paling mendasar.

C. Subhaanahu Amma Yushrikun (Mahasuci Allah)

Penyucian di akhir ayat ini adalah deklarasi kemuliaan Allah. Allah Maha Suci dari kelemahan, kebutuhan, dan dari segala sekutu yang disematkan oleh manusia. Pernyataan ini menunjukkan bahwa perbuatan syirik manusia sama sekali tidak mengurangi keagungan Allah; sebaliknya, ia hanya merugikan pelakunya sendiri.

Pemurnian tauhid dari segala bentuk syirik, terutama syirik dalam ketaatan, adalah pondasi utama kebahagiaan dunia dan akhirat. Selama otoritas legislatif manusia dijadikan sandaran utama, selama itu pula umat akan kehilangan koneksi mereka dengan sumber hukum yang hakiki.

VIII. Kajian Fiqh dan Ushul Fiqh: Status Fatwa dan Hukum Manusia

Ayat 31 At-Taubah menjadi dalil utama dalam Ushul Fiqh (Prinsip-prinsip Jurisprudensi Islam) untuk membahas hubungan antara hukum syariat dengan Ijma’ (konsensus ulama) dan Qiyas (analogi).

A. Batasan Ijma’

Ijma’ para ulama adalah sumber hukum yang diakui setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, ayat ini memberi batas tegas: Ijma’ hanya sah jika ia berada dalam kerangka hukum yang ditetapkan oleh Allah. Jika Ijma’ (konsensus) atau fatwa kolektif suatu badan ulama menghasilkan penetapan halal atau haram yang bertentangan dengan Nash (teks) Al-Qur’an dan Sunnah yang Qath’i (pasti), maka ketaatan terhadap Ijma’ tersebut termasuk dalam kategori ‘mengambil Arbaban selain Allah’.

B. Konsep Ulul Amri dalam Ketaatan

Terdapat ayat lain yang memerintahkan ketaatan kepada Ulul Amri (pemegang kekuasaan), yaitu QS. An-Nisa: 59. Ayat ini dikaitkan dengan At-Taubah 31. Para ulama menjelaskan bahwa ketaatan kepada Ulul Amri bersifat kondisional, yaitu wajib selama mereka menaati Allah dan Rasul-Nya. Jika Ulul Amri menetapkan hukum yang secara jelas bertentangan dengan syariat, maka ketaatan menjadi gugur dan bahkan haram, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Khalik.

Keseimbangan antara penghormatan terhadap otoritas keilmuan dan penolakan terhadap ketaatan buta adalah esensi dari ayat 31 At-Taubah.

C. Pelajaran Bagi Ulama Muslim

Ayat ini juga merupakan peringatan keras bagi para ulama (Ahbar) dan ahli ibadah (Ruhban) di kalangan umat Islam. Mereka harus sangat berhati-hati agar tidak melewati batas otoritas mereka. Tugas mereka adalah menyampaikan hukum Allah, bukan menciptakannya. Seorang ulama yang terlalu diagungkan hingga perkataannya dianggap setara dengan wahyu, tanpa diperiksa keabsahan dalilnya, berisiko menjadi ‘Arbaban’ di mata pengikutnya, meskipun ia sendiri menolak penyembahan tersebut.

Inilah mengapa prinsip fundamental dalam kajian Islam adalah: Perkataan siapa pun dapat diterima atau ditolak, kecuali perkataan Rasulullah ﷺ.

Fenomena kultus individu, baik dalam tasawuf (pengkultusan Syaikh) maupun dalam fiqh (fanatisme mazhab), harus senantiasa diwaspadai melalui lensa At-Taubah 31 ini.

IX. Kontinuitas dan Evolusi Syirik Ketaatan

Sejarah menunjukkan bahwa syirik dalam ketaatan memiliki bentuk yang berevolusi seiring dengan perubahan peradaban, namun substansinya tetap sama: mengalihkan hak legislasi dari Allah kepada ciptaan.

A. Syirik Institusional

Di era modern, otoritas tertinggi seringkali diberikan kepada institusi dan badan internasional, bukan kepada individu (seperti pendeta atau rahib). Organisasi-organisasi ini mungkin menetapkan norma-norma global yang secara terang-terangan menentang prinsip-prinsip moral dan hukum ilahi (misalnya, definisi keluarga, hak asasi manusia yang bertentangan dengan syariat, atau sistem ekonomi yang berbasis riba masif).

Ketaatan terhadap narasi dan hukum yang ditetapkan oleh institusi ini, jika ketaatan tersebut bersifat mutlak dan mengesampingkan hukum Allah, merupakan manifestasi baru dari ‘mengambil Arbaban’.

B. Syirik Intelektual (The Authority of Reason)

Dalam kalangan sekuler, seringkali akal manusia (rationality) diangkat menjadi hakim tertinggi di atas wahyu. Ketika hukum dan moralitas sepenuhnya didasarkan pada keinginan dan pemikiran manusia semata, tanpa merujuk pada batasan ilahi, akal tersebut telah diletakkan pada posisi ‘Rabb’ (pemberi hukum). Islam menghargai akal, tetapi menetapkan bahwa akal harus tunduk pada batas-batas yang ditetapkan oleh Wahyu, terutama dalam hal Ghaib dan hukum-hukum wajib/haram.

C. Analisis Mendalam tentang Kebebasan dan Keterikatan

Ayat ini secara paradoksal berbicara tentang kebebasan sejati. Ketika seseorang dibebani oleh hukum-hukum yang dibuat oleh Ahbar, Ruhban, atau otoritas manusia, ia sebenarnya sedang diperbudak oleh hukum-hukum yang tidak sempurna, yang bisa berubah-ubah, dan penuh dengan kepentingan pribadi. Sebaliknya, ketika seseorang tunduk hanya kepada hukum Allah, ia mencapai kebebasan sejati, karena ia terbebas dari perbudakan kepada makhluk.

Hukum Allah adalah hukum yang sempurna, adil, dan konstan, dirancang untuk kebaikan manusia. Oleh karena itu, ketaatan pada hukum Allah adalah pembebasan, sedangkan ketaatan pada ‘Arbaban’ manusia adalah perbudakan terselubung.

Pentingnya Pemahaman Sumber Hukum

Umat Islam harus memiliki pemahaman mendasar tentang dari mana hukum itu berasal. Jika sumber hukum yang mereka ikuti memiliki otoritas untuk membatalkan hukum ilahi, maka mereka telah menggeser kiblat ketaatan mereka. Ini tidak berarti setiap perbedaan pendapat dalam fiqh adalah syirik; ini adalah tentang penolakan terhadap otoritas hukum Allah secara keseluruhan atau pengambilalihan hak Tashri’.

Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir menekankan bahwa syirik ini terletak pada pengakuan otoritas untuk mengubah batasan Allah. Selama suatu ijtihad ulama bertujuan untuk memahami dan mengaplikasikan hukum Allah—bukan menggantinya—maka itu adalah bagian dari ibadah. Namun, jika tujuannya adalah menetapkan hukum baru di luar kerangka wahyu, itu adalah syirik yang dikecam oleh ayat ini.

X. Kesimpulan Akhir: Kembali kepada Tauhid Murni

Surat At-Taubah ayat 31 merupakan salah satu ayat terpenting dalam Al-Qur’an yang menjelaskan hakikat Tauhid Uluhiyyah dan Rububiyyah. Ayat ini mengajarkan bahwa inti dari penyembahan (ibadah) adalah ketaatan yang sempurna dalam ranah legislatif.

Tiga bentuk penyimpangan utama yang diuraikan oleh ayat ini—mempertuhankan Ahbar (otoritas pengetahuan), Ruhban (otoritas spiritual/asketik), dan Al-Masih (otoritas yang diangkat di atas batas kemanusiaan)—semuanya bermuara pada satu kesalahan fatal: memberikan hak prerogatif Allah kepada makhluk.

Pesan abadi yang disampaikan adalah bahwa umat Islam wajib untuk menyembah dan taat hanya kepada Allah Yang Maha Esa. Ketaatan kepada siapapun—ulama, pemimpin, keluarga, bahkan diri sendiri—harus selalu terikat dan dibatasi oleh Syariat Allah. Jika ketaatan itu melanggar batasan Allah, maka ketaatan itu berubah menjadi syirik.

Ayat ini adalah fondasi untuk menjaga kemurnian akidah, menjamin kebebasan sejati, dan memastikan bahwa tidak ada perantara atau otoritas manusia yang dapat berdiri di antara hamba dan hak mutlak Allah sebagai satu-satunya Rabb dan Ilah. Mahasuci Allah dari segala bentuk penyekutuan yang mereka dan kita lakukan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi dalam ketaatan buta.

Keseluruhan ajaran Islam adalah sebuah seruan tunggal yang diulang di akhir ayat: لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia).

🏠 Homepage