Pengantar ke Surah At-Taubah dan Konteks Sejarah
Surah At-Taubah, yang merupakan surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki karakteristik unik karena menjadi satu-satunya surah yang tidak diawali dengan *Basmalah* (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang). Keunikan ini sering kali dihubungkan dengan fokus utama surah ini, yaitu deklarasi pemutusan hubungan dan pernyataan perang terhadap para pelanggar perjanjian yang telah berulang kali menunjukkan pengkhianatan terhadap umat Muslim.
Deklarasi pemutusan ini, yang dimulai dari ayat pertama surah, mengatur kembali hubungan antara kaum Muslimin dengan suku-suku Arab yang telah menjalin perjanjian. Namun, dalam semangat keadilan yang selalu dijunjung tinggi dalam Islam, Al-Qur'an membuat pengecualian. Ayat 7 hadir sebagai poros penting yang menegaskan bahwa prinsip keadilan dan kesetiaan terhadap perjanjian harus tetap ditegakkan bagi mereka yang tidak melanggar kesepakatan.
Ayat ini diturunkan pada periode kritis, setelah Fathu Makkah (Penaklukan Makkah) dan sebelum Haji Wada' (Haji Perpisahan), ketika Rasulullah ﷺ harus mengkonsolidasikan pemerintahan Islam di Jazirah Arab. Ayat ini secara spesifik membedakan antara musuh yang berkhianat dan sekutu yang memegang teguh janji mereka, bahkan jika sekutu tersebut masih berada dalam kekufuran. Ini menunjukkan bahwa fondasi hubungan diplomatik dalam Islam adalah *kepercayaan* dan *pemenuhan janji*, bukan semata-mata afiliasi agama.
Lafadz dan Terjemah Surat At-Taubah Ayat 7
Untuk memahami kedalaman hukum dan etika yang terkandung di dalamnya, mari kita telaah teks Arab dari Surat At-Taubah ayat 7:
Analisis Linguistik dan Konsep Al-'Ahd (Perjanjian)
1. Pertanyaan Retoris: كَيْفَ يَكُونُ (Bagaimana mungkin ada)
Ayat ini dimulai dengan pertanyaan retoris yang kuat, mengisyaratkan ketidakmungkinan hubungan kepercayaan setelah pengkhianatan berulang. Pertanyaan ini berfungsi untuk mengecam tindakan mereka yang telah melanggar perjanjian secara sepihak. Setelah deklarasi pemutusan hubungan total pada ayat-ayat sebelumnya, ayat 7 memberikan jeda hukum yang tegas.
2. Inti Persoalan: عَهْدٌ (Al-'Ahd / Perjanjian)
Kata ‘Ahd (perjanjian atau ikatan) di sini merujuk pada perjanjian damai dan keamanan yang sebelumnya telah disepakati antara kaum Muslimin dan suku-suku musyrik. Dalam konteks ayat ini, 'Ahd bermakna jaminan perlindungan dan non-agresi. Allah menegaskan bahwa, secara umum, perjanjian tersebut tidak lagi valid karena pelanggaran serius yang dilakukan oleh mayoritas kaum musyrik.
3. Pengecualian yang Spesifik: إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدتُّمْ عِندَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Ini adalah bagian krusial yang mengaitkan perjanjian tersebut secara historis dengan peristiwa Hudaibiyah. Meskipun perjanjian Hudaibiyah terjadi beberapa tahun sebelumnya, rujukan "di dekat Masjidil Haram" mengacu pada keseriusan dan sakralitas perjanjian yang dibuat di tanah suci. Para mufassir sepakat bahwa pengecualian ini merujuk kepada suku-suku yang, meskipun musyrik, tetap memegang teguh kesepakatan damai mereka, tidak membantu musuh Muslimin, dan tidak menunjukkan tanda-tanda pengkhianatan.
Asas Keadilan dan Istiqamah (Kesetiaan yang Lurus)
1. Syarat Kunci: فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ (Selama mereka berlaku lurus/setia terhadapmu)
Kata Istiqamah berasal dari akar kata yang berarti lurus, tegak, atau konsisten. Dalam konteks perjanjian, *istiqamah* berarti mematuhi semua klausul perjanjian tanpa penyimpangan, penipuan, atau pengkhianatan terselubung. Ini adalah syarat utama yang diberikan Allah. Jika pihak non-Muslim menunjukkan konsistensi dalam menjaga perdamaian dan memenuhi kewajiban perjanjian, maka perjanjian itu harus dihormati. Hal ini menegaskan bahwa etika Islam tidak mengenal diskriminasi dalam hal penghormatan perjanjian; janji adalah janji, terlepas dari perbedaan keyakinan.
Dalam ilmu Siyar (Hukum Internasional Islam), prinsip ini sangat mendasar. Selama musuh menunaikan janjinya, kaum Muslimin tidak boleh melakukan agresi. Ini bukan sekadar toleransi, melainkan sebuah kewajiban hukum yang terikat pada iman dan ketakwaan. Kualitas perjanjian tersebut harus diukur dari tindakan nyata, bukan hanya dari kata-kata yang diucapkan.
2. Kewajiban Timbal Balik: فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ (Maka hendaklah kamu berlaku lurus/setia pula terhadap mereka)
Ini adalah perintah langsung dari Allah yang mendasari prinsip resiprositas atau timbal balik. Jika mereka lurus, maka kaum Muslimin harus lebih lurus lagi. Perintah ini menekankan bahwa pihak Muslimin tidak boleh menjadi pihak yang pertama kali membatalkan, melanggar, atau mencari celah dalam perjanjian, bahkan ketika ada kesempatan untuk mendapatkan keuntungan militer atau politik. Kesetiaan kaum Muslimin harus mutlak dan mencerminkan akhlak kenabian.
Prinsip istiqamah timbal balik ini jauh melampaui kepentingan sesaat. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ini adalah manifestasi dari nama-nama Allah seperti Al-'Adl (Yang Maha Adil) dan Al-Wafiy (Yang Maha Menepati Janji). Umat Islam diwajibkan untuk merefleksikan sifat-sifat keilahian ini dalam interaksi mereka, terutama dalam urusan perjanjian yang sensitif dan krusial.
Taqwa sebagai Puncak Etika Perjanjian
1. Penutup Ayat: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ (Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa)
Ayat 7 ditutup dengan pernyataan yang sangat penting: motivasi tertinggi untuk menepati janji adalah Taqwa (ketakwaan). Menepati perjanjian dengan orang-orang musyrik yang setia bukanlah sekadar strategi politik, tetapi merupakan ibadah dan manifestasi takut kepada Allah.
Ayat ini mengajarkan bahwa takwa bukan hanya tentang ritual pribadi, tetapi juga tentang moralitas publik, etika perang, dan hubungan diplomatik. Seorang yang bertakwa adalah orang yang menempatkan keadilan dan pemenuhan janji di atas kebencian atau kepentingan pribadi. Cinta Allah (yuhibbul-muttaqīn) dijadikan imbalan atas tindakan etis dan adil yang ditunjukkan dalam hubungan paling sulit sekalipun.
Taqwa dalam konteks perjanjian meliputi beberapa aspek: kehati-hatian agar tidak melanggar batasan Allah, kejujuran dalam bernegosiasi, dan kesabaran dalam menanggung kesulitan selama perjanjian itu berlaku. Ketika kaum Muslimin memegang teguh janji mereka karena Allah, mereka telah mencapai derajat *muttaqin* yang dicintai oleh-Nya.
(Ilustrasi SVG: Representasi simbolis perjanjian yang dibuat di dekat Masjidil Haram, menekankan kesetiaan)
2. Kontras dengan Musyrikin yang Berkhianat
Ayat ini berfungsi sebagai kontras tajam terhadap ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang kaum musyrikin yang tidak memiliki kesetiaan sama sekali. Mereka adalah kaum yang, jika mendapat kesempatan, tidak menghormati kerabat maupun perjanjian. Dengan membedakan dua kelompok musyrikin—yang setia dan yang khianat—Islam mengajarkan prinsip keadilan yang universal: hukuman hanya jatuh kepada yang bersalah, sementara kesetiaan harus dihargai dan dibalas dengan kesetiaan.
Dalam pandangan Ibn Katsir dan ulama tafsir lainnya, keberadaan ayat 7 ini merupakan bukti kemuliaan syariat Islam yang melarang kaum Muslimin untuk berbuat zalim, bahkan ketika berhadapan dengan lawan politik. Prinsip ini memastikan bahwa Islam tidak pernah menjadi pihak yang memulai permusuhan atau mengabaikan janji yang sah.
Implikasi Syariat dan Hukum (Fiqh) dari Ayat 7
1. Validitas Perjanjian Damai Jangka Panjang
Ayat 7 memberikan dasar hukum yang kuat untuk validitas perjanjian damai (gencatan senjata atau non-agresi) yang dibuat oleh negara Islam dengan negara non-Muslim. Selama pihak lain memenuhi ketentuan perjanjian mereka (istiqamah), perjanjian tersebut harus dihormati sampai batas waktu yang ditentukan. Pelanggaran hanya dibolehkan jika ada bukti nyata dari pengkhianatan pihak lawan.
Para ahli fiqh sepakat bahwa perjanjian yang dirujuk dalam ayat ini adalah yang memiliki jangka waktu tertentu, seperti Perjanjian Hudaibiyah yang berdurasi sepuluh tahun. Walaupun ayat-ayat permulaan Surah At-Taubah menyatakan pemutusan hubungan, pengecualian pada Ayat 7 menunjukkan bahwa pemutusan hubungan itu hanya berlaku bagi mereka yang telah melanggar perjanjian, atau mereka yang tidak memiliki perjanjian sama sekali.
2. Konsep Pemberian Masa Aman (Aman)
Ayat ini berkaitan erat dengan konsep Aman (jaminan keamanan). Bagi kelompok musyrikin yang disebutkan dalam Ayat 7, mereka masih menikmati masa aman yang terjamin oleh Allah dan Rasul-Nya. Jaminan ini tidak dapat ditarik secara sepihak oleh kaum Muslimin tanpa alasan yang sah, yaitu pelanggaran istiqamah dari pihak musyrik itu sendiri. Keadilan menuntut bahwa sebelum perjanjian dibatalkan, pihak lawan harus diperingatkan jika ada indikasi pelanggaran, kecuali jika pelanggaran tersebut jelas dan terbuka.
Bahkan, jika pihak lawan hanya melanggar sebagian kecil dari perjanjian, ulama fiqh menekankan pentingnya menimbang dampak pelanggaran tersebut sebelum mengambil tindakan drastis. Prinsip dasarnya tetap: selama mereka berlaku lurus, kita harus berlaku lurus. Ini menjamin stabilitas dan prediktabilitas dalam hubungan antarnegara.
3. Tafsir Terkait Ayat 4 (Pembedaan Mutlak)
Penting untuk menghubungkan Ayat 7 dengan Ayat 4 dari Surah At-Taubah, yang menyatakan: “kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka dan mereka tidak mengurangi sedikit pun (isi perjanjianmu) dan tidak (pula) menolong seorang pun yang memusuhi kamu.” Ayat 4 dan 7 saling menguatkan, menegaskan bahwa kriteria utama pengecualian bukanlah agama, melainkan kesetiaan dan ketaatan terhadap klausul perjanjian yang telah disepakati bersama. Ayat 7 secara spesifik menyinggung lokasi perjanjian di dekat Masjidil Haram (Hudaibiyah) sebagai penguat historis, sementara Ayat 4 memberikan definisi umum tentang musyrikin yang harus dihormati perjanjiannya.
Kehadiran dua ayat yang serupa ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang masalah pemenuhan janji. Hukum Islam mengharuskan transparansi dan kejujuran mutlak dalam interaksi, bahkan dengan pihak yang memiliki ideologi berbeda. Kegagalan dalam menegakkan kesetiaan ini dianggap sebagai kemunafikan dan jauh dari prinsip ketakwaan yang dicintai Allah.
Refleksi Etika dan Spiritual: Membangun Kepercayaan di Tengah Konflik
1. Fondasi Akhlak Kenabian
Surat At-Taubah Ayat 7 adalah cerminan dari akhlak Rasulullah ﷺ yang dijuluki *Al-Amin* (Yang Terpercaya) bahkan sebelum kenabian. Ayat ini mengajarkan bahwa kekuatan sebuah peradaban Islam tidak terletak hanya pada kekuatan militer, tetapi pada kekuatan moral untuk menepati janji di saat-saat paling sulit. Kepercayaan adalah mata uang yang jauh lebih berharga daripada kemenangan sesaat.
Dalam ajaran spiritual, menepati janji adalah salah satu cabang utama dari keimanan. Pelanggaran janji, atau *ghadr*, dianggap sebagai salah satu ciri khas kemunafikan. Meskipun ayat ini membahas perjanjian dengan non-Muslim, pelajaran etisnya berlaku universal: seorang Muslim sejati harus menjadi pribadi yang paling terpercaya di muka bumi.
2. Istiqamah: Konsistensi Moral
Konsep *istiqamah* yang ditekankan dalam ayat ini melampaui kepatuhan perjanjian semata. Secara spiritual, *istiqamah* adalah konsistensi dalam ketaatan kepada Allah, yang tercermin dalam konsistensi dalam keadilan terhadap sesama manusia. Jika seseorang mampu berlaku lurus dan adil kepada musuhnya, ia pasti akan berlaku lebih adil kepada sahabatnya dan dirinya sendiri. Oleh karena itu, *istiqamah* dalam perjanjian adalah ujian spiritual bagi ketakwaan individu dan kolektif umat Islam.
Konsistensi moral ini menuntut kaum Muslimin untuk senantiasa mengevaluasi niat mereka. Apakah mereka menepati janji karena takut akan balasan duniawi, atau karena kecintaan mereka kepada Allah yang menyukai orang-orang yang bertakwa? Jawaban yang benar adalah yang kedua, mengubah tindakan diplomatik dan politik menjadi amal ibadah yang mendatangkan pahala.
3. Keadilan Sebagai Ciri Khas
Ayat ini berfungsi sebagai bukti kuat bahwa Islam berdiri di atas prinsip keadilan universal, bahkan dalam situasi perang. Keadilan (al-'adl) dalam Islam tidak bersifat relatif atau sektarian. Ia harus diberikan kepada setiap orang yang berhak menerimanya, tanpa memandang latar belakang. Memenuhi hak pihak lain yang telah menunaikan kewajibannya, meskipun mereka berstatus musyrik, adalah perintah Ilahi yang tidak dapat diganggu gugat. Ini membedakan etika Islam dari sistem etika lainnya yang mungkin membenarkan pengkhianatan terhadap musuh demi keuntungan internal.
Keputusan untuk mematuhi perjanjian ini bahkan ketika kekuatan Muslim sedang meningkat—seperti pada periode setelah penaklukan Makkah—adalah demonstrasi etika yang luar biasa. Kekuatan tidak boleh menjadi alasan untuk menindas atau melanggar janji; sebaliknya, kekuatan harus digunakan untuk menegakkan janji dan keadilan.
Relevansi Ayat 7 dalam Dinamika Hubungan Internasional Kontemporer
1. Prinsip Hukum Internasional
Dalam konteks modern, Surat At-Taubah Ayat 7 memberikan landasan teologis yang solid bagi umat Islam untuk terlibat aktif dalam hukum dan diplomasi internasional. Prinsip *istiqamah* dalam perjanjian adalah padanan dari prinsip *Pacta sunt servanda* (perjanjian harus dipatuhi) yang merupakan dasar hukum perjanjian internasional modern.
Bagi negara-negara berpenduduk Muslim, ayat ini adalah pengingat bahwa komitmen internasional yang sah harus dihormati. Selama negara-negara lain, tanpa memandang ideologi mereka, mematuhi perjanjian damai dan kerja sama, maka negara Muslim diwajibkan untuk membalasnya dengan kesetiaan yang sama atau bahkan lebih baik.
Ketika terjadi ketegangan atau konflik, ayat ini mendorong para pemimpin untuk membedakan antara musuh yang berkhianat dan pihak yang masih memegang teguh komitmennya. Pendekatan yang adil dan berhati-hati ini menghindari eskalasi konflik yang tidak perlu dan mempertahankan jalur komunikasi serta kepercayaan, meskipun di tengah perbedaan politik yang tajam.
2. Pemutusan Hubungan vs. Pemeliharaan Hubungan
Ayat-ayat awal Surah At-Taubah berbicara tentang pemutusan hubungan (bara’ah), tetapi Ayat 7 memberikan klarifikasi penting: pemutusan tersebut tidak bersifat totaliter atau diskriminatif secara membabi buta. Ia adalah pemutusan yang adil, yang mengecualikan kelompok minoritas yang terbukti setia. Ini adalah pelajaran penting bagi komunitas Muslim di seluruh dunia: penting untuk memisahkan antara sikap ideologis yang berbeda dengan tuntutan etis untuk berlaku adil dan menepati janji dalam kehidupan bermasyarakat.
Jika suatu komunitas atau kelompok non-Muslim di suatu negara telah menunjukkan loyalitas dan komitmen untuk hidup damai, mereka harus dijamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka, sesuai dengan makna *istiqamah* yang diajarkan oleh ayat ini. Diskriminasi atau penganiayaan terhadap kelompok yang setia dilarang keras oleh ajaran Al-Qur'an.
3. Mendefinisikan Pengkhianatan
Ayat ini memaksa kita untuk secara hati-hati mendefinisikan apa itu pelanggaran atau pengkhianatan. Pengkhianatan yang membenarkan pemutusan perjanjian haruslah pelanggaran yang signifikan (seperti membantu musuh atau melanggar klausul utama), bukan sekadar perbedaan pendapat atau friksi kecil. Kaum Muslimin harus memiliki standar bukti yang tinggi sebelum menuduh pihak lain melanggar perjanjian dan membenarkan pembatalan *‘Ahd*.
Kehati-hatian ini adalah bagian dari takwa. Karena Allah mencintai orang yang bertakwa, maka proses pengambilan keputusan dalam urusan perjanjian harus dilakukan dengan musyawarah mendalam, konsultasi hukum, dan menjauhi emosi atau kepentingan sesaat. Dalam hal ini, ayat 7 berfungsi sebagai penyeimbang moral terhadap ketegasan ayat-ayat *bara’ah*.
4. Kedalaman Istiqamah: Sebuah Telaah Lanjutan
Konsep *istiqamah* dalam ayat ini perlu dibedah lebih dalam. Dalam bahasa Arab, kata ini memiliki konotasi berdiri tegak tanpa bengkok. Dalam konteks perjanjian, *istiqamah* bukan hanya berarti tidak menyerang, tetapi juga menjaga integritas perjanjian secara keseluruhan. Ini mencakup larangan: menyebarkan informasi rahasia yang merugikan, melakukan provokasi terselubung, atau memberikan bantuan logistik kepada musuh-musuh pihak Muslim. Jika pihak non-Muslim melakukan semua ini secara konsisten, maka mereka telah memenuhi syarat *istiqamah*.
Sebaliknya, *istiqamah* dari pihak Muslim haruslah *istiqamah* yang proaktif dalam keadilan. Bukan sekadar menahan diri dari melanggar janji, tetapi memastikan bahwa semua hak yang dijamin dalam perjanjian dipenuhi secara penuh dan tanpa penundaan. Misalnya, jika perjanjian mencakup hak dagang atau perjalanan, kaum Muslimin harus memfasilitasinya, karena ini adalah manifestasi dari janji *fastaqīmū lahum* (berlaku lurus pula terhadap mereka).
Ayat ini secara tidak langsung juga mengajarkan pentingnya membuat perjanjian yang jelas dan terperinci. Perjanjian yang dibuat di masa Rasulullah ﷺ (seperti Hudaibiyah) sangat rinci agar tidak ada ruang untuk salah tafsir. Hal ini memastikan bahwa evaluasi terhadap *istiqamah* pihak lain dapat dilakukan secara objektif berdasarkan klausul yang telah disepakati, bukan berdasarkan dugaan atau sentimen.
5. Membedah Makna ‘Indal Masjidil Haram’
Frasa ‘indal Masjidil Haram (di dekat Masjidil Haram) menambah dimensi spiritual pada perjanjian ini. Lokasi ini adalah tempat yang disucikan, tempat di mana sumpah dan janji memiliki bobot yang lebih besar. Dengan menekankan lokasi perjanjian, Al-Qur'an mengingatkan semua pihak (baik Muslim maupun musyrik) akan kesakralan janji yang diucapkan di tanah suci. Bagi kaum Muslimin, ini berfungsi sebagai penekanan moral bahwa perjanjian yang dibuat di bawah kesaksian tempat suci tidak boleh diabaikan, memperkuat kewajiban takwa mereka.
Dalam tafsir klasik, lokasi ini dianggap penting karena ia menunjuk pada mereka yang memiliki ikatan perjanjian yang kuat dan diakui secara luas. Ini bukan perjanjian baru, melainkan penegasan kembali perjanjian lama yang terbukti masih dihormati oleh pihak tertentu. Dengan demikian, ayat ini tidak memerintahkan kaum Muslimin untuk membuat perjanjian baru di tengah deklarasi pemutusan, tetapi untuk menghormati perjanjian lama yang masih valid dan terjaga.
Kontinuitas Prinsip Etika dalam Seluruh Al-Qur'an
Prinsip yang terkandung dalam Surat At-Taubah Ayat 7 bukanlah anomali dalam syariat Islam, melainkan kelanjutan dari prinsip-prinsip etika yang diajarkan dalam surah-surah Makkiyah maupun Madaniyah lainnya. Beberapa ayat yang menguatkan keharusan menepati janji meliputi:
- Surat Al-Ma'idah Ayat 1: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Penekanan pada pemenuhan kontrak dan janji secara umum).
- Surat An-Nahl Ayat 91: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya…” (Perintah langsung untuk menepati janji).
- Surat Al-Isra' Ayat 34: “...dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Menghubungkan pemenuhan janji dengan pertanggungjawaban di Hari Kiamat).
Ayat 7 Surah At-Taubah menempatkan prinsip-prinsip umum ini dalam konteks politik dan militer yang paling sensitif. Bahkan ketika umat Islam dihadapkan pada situasi yang mengharuskan mereka untuk mengambil tindakan keras (seperti deklarasi *bara’ah*), etika yang lebih tinggi harus tetap dipertahankan. Ini adalah bukti bahwa syariat Islam tidak pernah mengorbankan moralitas demi keuntungan strategis sesaat. Keadilan harus berjalan, meskipun itu berarti menahan diri dari menyerang musuh yang setia.
Konsekuensi Melanggar Janji Tanpa Alasan
Seandainya kaum Muslimin melanggar perjanjian dengan kelompok musyrikin yang setia (*istiqamah*), tindakan itu akan memiliki konsekuensi serius. Pertama, mereka akan kehilangan cinta Allah (karena Allah menyukai *muttaqin*, dan pelanggaran janji adalah lawan dari takwa). Kedua, hal itu akan merusak reputasi moral umat Islam di mata dunia, memberikan pembenaran bagi pihak lain untuk membalas dendam atau melanggar perjanjian di masa depan. Islam menghindari tindakan yang menciptakan siklus pengkhianatan dan kekerasan.
Para ulama menekankan bahwa jika kaum Muslimin melanggar perjanjian yang sah, mereka secara esensial meniru perilaku kaum musyrikin yang telah dikutuk dalam ayat-ayat sebelumnya. Perilaku yang adil dan jujur ini adalah pembeda utama antara iman dan kekufuran dalam hal etika sosial dan politik. Dengan demikian, menepati janji menjadi indikator nyata dari kualitas iman seseorang.
Kesimpulan: Cahaya Keadilan di Tengah Perang
Surat At-Taubah Ayat 7 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam syariat yang mengatur hubungan internasional dan etika perang. Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun Islam harus tegas dalam menghadapi pengkhianatan dan permusuhan yang berulang, ia tidak pernah meninggalkan prinsip keadilan dan kesetiaan mutlak terhadap perjanjian yang masih valid.
Ayat ini berfungsi sebagai pedoman abadi bahwa standar etika Muslim haruslah yang tertinggi. Kesetiaan dan kepatuhan terhadap janji (istiqamah) yang ditunjukkan oleh kaum non-Muslim harus dibalas dengan kesetiaan dan kepatuhan yang sama dari pihak Muslim, karena hal itu adalah tuntutan dari ketakwaan yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dengan menerapkan prinsip ini, umat Islam menunjukkan bahwa hukum mereka bersifat universal, adil, dan berdasar pada moralitas transenden, bukan kepentingan duniawi yang fana.
Kewajiban untuk berlaku lurus selama pihak lain berlaku lurus adalah landasan kuat bagi koeksistensi damai, dan pada akhirnya, merupakan jalan yang mengantarkan pelakunya kepada derajat *muttaqin* (orang-orang yang bertakwa) yang mendapatkan kecintaan Ilahi.
***
Penguatan Dalil: Penerapan Filosofi Istiqamah
Menggali lebih dalam, aplikasi filosofi *istiqamah* dalam Surat At-Taubah Ayat 7 tidak hanya terbatas pada perjanjian formal antara negara atau suku, tetapi meresap ke dalam setiap aspek kehidupan Muslim, menegaskan koherensi antara iman, hukum, dan moralitas. Imam Al-Ghazali, dalam telaahnya mengenai akhlak, sering kali mengaitkan *istiqamah* dengan konsistensi batiniah dan lahiriah. Dalam konteks ayat ini, konsistensi lahiriahnya adalah pemenuhan janji, sementara konsistensi batiniahnya adalah niat tulus karena mengharap ridha Allah.
1. Peran Niat dalam Perjanjian
Ayat ini menyiratkan bahwa pemenuhan perjanjian oleh kaum Muslimin harus didasari niat takwa. Jika kaum Muslimin menepati janji hanya karena takut akan konsekuensi militer atau politik, maka tindakan tersebut adalah pragmatisme, bukan ibadah. Hanya ketika pemenuhan janji itu dilakukan sebagai ketaatan kepada perintah Allah ("Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa"), barulah ia mencapai derajat amal saleh. Niat ini membedakan seorang Muslim dari pihak mana pun yang mungkin menepati janji karena kebetulan atau kepentingan sesaat.
Kualitas *istiqamah* dari pihak Muslim harus lebih unggul dan lebih murni. Mereka menepati janji bukan hanya karena pihak lawan menepati janji, tetapi karena ketaatan mereka kepada Dzat Yang Maha Menepati Janji. Ini adalah standar etika yang sangat tinggi, menuntut agar umat Islam bertindak dengan keutamaan (fadhilah) yang melampaui keharusan hukum semata.
2. Implikasi Terhadap Perdamaian Jangka Panjang
Ayat 7 memberikan fondasi bagi perdamaian jangka panjang yang didasarkan pada kepercayaan, bukan paksaan. Dengan menghormati perjanjian yang ada, Islam menciptakan lingkungan yang memungkinkan pihak-pihak yang berbeda keyakinan untuk hidup berdampingan. Jika Islam mengajarkan untuk membatalkan perjanjian tanpa alasan yang sah, citra yang tercipta adalah agama yang tidak dapat dipercaya, yang bertentangan dengan ajaran fundamental Al-Qur'an.
Sebagian mufassir kontemporer juga melihat ayat ini sebagai dorongan untuk membangun jembatan diplomatik. Bahkan setelah deklarasi pemutusan hubungan dengan mayoritas kaum musyrik yang khianat, Allah masih menyisakan ruang untuk kelompok yang loyal. Ruang ini penting untuk masa depan, menunjukkan bahwa pintu untuk negosiasi dan hubungan yang jujur tidak pernah tertutup total bagi mereka yang memilih jalan kejujuran.
3. Pandangan Historis Mengenai Pelaksanaan Ayat 7
Sejarah Islam penuh dengan contoh bagaimana Rasulullah ﷺ dan para Khalifah Rasyidin melaksanakan prinsip ini dengan ketat. Bahkan dalam peperangan terberat, mereka memastikan bahwa perjanjian dengan pihak netral atau pihak yang tidak menunjukkan agresi dijaga dengan sungguh-sungguh. Pelaksanaan Ayat 7 ini membuktikan bahwa penegasan kekuasaan Islam selalu disandingkan dengan penegakan hukum dan etika. Kaum Muslimin tidak pernah memandang perjanjian sebagai taktik sementara yang bisa dibuang ketika mereka menjadi kuat.
Jika kita mempelajari periode menjelang pemutusan hubungan yang diumumkan di Makkah, dapat dilihat betapa hati-hatinya Rasulullah ﷺ dalam mengidentifikasi siapa saja yang termasuk dalam pengecualian. Pembedaan yang sangat jelas antara pihak yang harus diperangi dan pihak yang harus diberikan perlindungan sesuai perjanjian adalah manifestasi langsung dari perintah ilahi dalam Ayat 7 dan 4.
4. Hukum Tentang Pembatalan Perjanjian
Ayat 7 juga secara implisit memberikan panduan tentang kapan perjanjian dapat dibatalkan. Pembatalan hanya sah jika pihak lawan menghentikan *istiqamah* mereka, yaitu jika mereka secara terbuka melanggar klausul perjanjian, seperti memberikan bantuan kepada musuh atau menunjukkan permusuhan. Dan, berdasarkan ayat-ayat lain dalam At-Taubah dan tradisi Nabi, jika ada kekhawatiran kuat bahwa pihak lawan akan berkhianat, kaum Muslimin harus mengumumkan pembatalan perjanjian secara terbuka kepada pihak lawan sebelum memulai tindakan militer, agar tidak ada unsur penipuan.
Prinsip ini, yang dikenal sebagai *nabdz* (pengumuman pembatalan), memastikan bahwa tindakan Muslim selalu transparan dan etis. Mereka tidak boleh memanfaatkan ketidaktahuan pihak lawan. Kewajiban untuk mengumumkan pembatalan adalah bagian integral dari *istiqamah* Muslim. Oleh karena itu, Ayat 7 tidak hanya mengatur pemenuhan janji, tetapi juga mengatur proses pembatalan janji agar tetap sesuai dengan syariat.
5. Keseimbangan Antara Keras dan Lunak
Surah At-Taubah secara keseluruhan dikenal karena nada kerasnya terhadap orang munafik dan musuh yang berkhianat. Namun, Ayat 7 (bersama Ayat 4) adalah pilar keseimbangan. Ia menunjukkan bahwa syariat Islam selalu menawarkan jalan keluar yang adil dan damai bagi mereka yang memilih untuk berlaku jujur. Kerasnya deklarasi *bara’ah* (pemutusan) adalah respons terhadap pengkhianatan yang nyata, tetapi kelunakan Ayat 7 adalah jaminan universal bagi mereka yang memilih untuk setia.
Keseimbangan ini sangat penting untuk dipahami oleh umat Muslim, mencegah interpretasi yang terlalu kaku atau ekstrem terhadap surah ini. Ayat ini memastikan bahwa setiap tindakan militer atau diplomatik Islam selalu dilandasi oleh prinsip keadilan tertinggi, yang merupakan keharusan takwa.
Dalam kesimpulannya yang lebih mendalam, Surat At-Taubah Ayat 7 adalah bukti nyata bahwa pemenuhan janji—bahkan terhadap mereka yang berbeda keyakinan—adalah jembatan menuju derajat ketakwaan yang paling tinggi. Ini adalah perintah abadi yang melampaui zaman dan tempat, menegaskan bahwa keadilan dan kesetiaan adalah sifat yang paling dicintai oleh Allah.