Surat At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara’ah (Pembebasan), merupakan salah satu surat Madaniyah yang diturunkan pasca peristiwa penaklukan Mekkah dan umumnya menjelang serta setelah Perang Tabuk. Surat ini memiliki kekhasan yang mendalam, terutama karena ia diturunkan untuk membedakan secara tegas antara orang-orang mukmin sejati dengan mereka yang munafik (hipokrit) dan kafir.
Di antara ayat-ayat yang menegaskan batasan teologis dan sosial ini, Ayat 84 menempati posisi yang sangat penting dan sarat makna. Ayat ini memberikan perintah ilahi yang spesifik dan keras kepada Nabi Muhammad ﷺ mengenai perlakuan terhadap jenazah kaum munafik, khususnya dalam konteks upacara pemakaman dan doa.
Teks dan Terjemahan Ayat 84 Surat At-Taubah
I. Asbabul Nuzul dan Konteks Historis yang Melatarbelakangi
Ayat 84 ini tidak diturunkan dalam ruang hampa. Ayat ini memiliki Asbabul Nuzul (sebab turunnya) yang sangat spesifik, terkait erat dengan tokoh sentral kemunafikan di Madinah, yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul. Ibnu Ubay adalah pemimpin kaum Khazraj yang sebelum kedatangan Islam hampir diangkat sebagai raja Madinah. Kedatangan Nabi Muhammad ﷺ menggagalkan rencana tersebut, menanamkan kebencian mendalam di hati Ibnu Ubay, yang ia sembunyikan di balik tampilan keislaman formal.
1. Kehidupan Abdullah bin Ubay bin Salul
Selama bertahun-tahun, Ibnu Ubay menjadi duri dalam daging bagi komunitas Muslim, sering kali menyebarkan fitnah, memecah belah barisan, dan mengkhianati perjanjian. Puncak dari tindakan destruktifnya terjadi selama ekspedisi-ekspedisi besar, terutama saat Perang Uhud (ketika ia membelot bersama sepertiga pasukannya) dan dalam kasus Fitnah Al-Ifk (yang menuduh Siti Aisyah r.a. berbuat keji).
Ketika Ibnu Ubay wafat, putranya, Abdullah bin Abdullah bin Ubay (yang merupakan seorang mukmin sejati), datang kepada Rasulullah ﷺ dan memohon agar beliau mau menyalatkan jenazah ayahnya dan memberikan pakaian beliau sendiri sebagai kafan. Permintaan ini, yang didasarkan pada harapan putranya agar ayahnya mendapat sedikit kebaikan melalui berkah Rasulullah, disetujui oleh Nabi ﷺ karena sifat beliau yang penuh kasih sayang dan keinginan untuk membimbing manusia hingga akhir hayat.
2. Intervensi Ilahi
Nabi Muhammad ﷺ, didorong oleh kelembutan hatinya, telah bersiap untuk memimpin salat jenazah dan berdiri di sisi kuburan Ibnu Ubay. Namun, sebelum beliau sempat melaksanakan salat tersebut—atau dalam riwayat lain, di tengah-tengah persiapan—Ayat 84 ini turun. Ayat ini secara eksplisit melarang Nabi ﷺ melakukan dua hal:
- Melaksanakan salat jenazah (*Lā tuṣalli 'alā aḥadim minhum*).
- Berdiri di atas kubur mereka (*Wa lā taqum 'alā qabrihi*).
Penolakan ini bukan sekadar penolakan ritual, tetapi merupakan deklarasi ilahi yang memisahkan status spiritual seorang munafik yang meninggal dalam keadaan fasik dari komunitas mukmin. Ini adalah penegasan bahwa kemunafikan yang disembunyikan akhirnya dibongkar oleh Allah, dan pelakunya tidak berhak menerima penghormatan terakhir yang merupakan hak istimewa kaum beriman.
Peristiwa ini menjadi titik balik penting dalam sejarah Madinah. Jika sebelumnya kaum munafik hidup di antara kaum Muslimin dan diperlakukan secara lahiriah sebagai Muslim, setelah wahyu ini turun, identitas mereka di mata hukum Islam menjadi jelas: mereka telah dikategorikan sebagai orang yang kafir secara batiniah dan fasik secara perbuatan.
II. Analisis Tafsir Mendalam (Word by Word Exegesis)
Untuk memahami kedalaman larangan ini, perlu dilakukan telaah tafsir klasik dan modern terhadap setiap frasa dalam Ayat 84.
1. Larangan Salat Jenazah: ﴿وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا﴾
Frasa pertama ini adalah inti dari larangan. "Lā tuṣalli 'alā" berarti 'janganlah engkau salat atas', merujuk pada Salat Jenazah (Salat Al-Janazah), yang intinya adalah doa permohonan ampun dan rahmat bagi si mati. Larangan ini diperkuat oleh kata "abadan" (selama-lamanya/tidak akan pernah), yang menunjukkan permanennya larangan tersebut, bukan hanya untuk Ibnu Ubay, tetapi untuk semua yang memiliki karakteristik munafik yang sama.
Pandangan Para Mufassir:
- Al-Qurtubi: Beliau menjelaskan bahwa salat jenazah adalah penghormatan yang mencakup doa untuk pengampunan. Allah melarang ini karena Dia mengetahui bahwa para munafik telah divonis tidak akan diampuni karena kekafiran yang mereka sembunyikan. Melakukan salat bagi mereka akan menjadi sebuah kontradiksi teologis.
- Ibnu Katsir: Menghubungkan ayat ini langsung dengan kisah Ibnu Ubay. Ibnu Katsir menekankan bahwa setelah ayat ini turun, Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah lagi menyalatkan jenazah siapa pun yang beliau ketahui sebagai munafik, dan bahkan meminta kaum Muslimin untuk berhati-hati dalam memberikan penghormatan ritual kepada orang yang diduga fasik atau munafik secara terang-terangan.
- Syaikh Abdurrahman As-Sa'di: Melihat larangan ini sebagai pembersihan komunitas Muslim dari kontaminasi moral dan spiritual. Salat Jenazah adalah solidaritas iman; munafik tidak memiliki solidaritas itu.
Implikasi hukum dari larangan ini sangat besar. Ini menegaskan bahwa salat jenazah adalah hak eksklusif kaum mukmin. Siapa pun yang mati dalam keadaan kekafiran atau kemunafikan batin, secara syariat, tidak layak mendapatkan doa pengampunan publik dari kaum Muslimin.
2. Larangan Berdiri di Atas Kuburnya: ﴿وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِۦٓ﴾
Frasa kedua ini melengkapi larangan pertama. "Lā taqum 'alā qabrihi" berarti 'janganlah engkau berdiri di atas kuburnya'. Tindakan berdiri di kuburan setelah pemakaman, dalam tradisi Islam, dilakukan untuk berdoa kepada Allah agar jenazah diteguhkan saat menghadapi pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, atau untuk memohon ampunan secara umum.
Makna Larangan Berdiri:
Para ulama tafsir mengajukan beberapa interpretasi mengenai larangan berdiri ini:
- Doa dan Istighfar: Larangan utama adalah melarang Nabi ﷺ untuk mendoakan pengampunan (istighfar) bagi si mati. Karena Allah telah memastikan kekafiran batin mereka, maka doa pengampunan untuk mereka menjadi sia-sia dan dilarang.
- Penghormatan Sosial: Berdiri di kuburan adalah bentuk penghormatan dan pengakuan status dalam komunitas. Allah melarang Nabi ﷺ memberikan pengakuan sosial atau spiritual kepada mereka yang telah mengkhianati agama.
- Batasan Fisik: Meskipun larangan ini spesifik bagi Nabi ﷺ dan kaum munafik yang definitif, ulama fiqih juga mengambil pelajaran umum tentang batasan dan etika di area kuburan, memastikan bahwa ritual yang dilakukan di sana harus sesuai dengan kehendak Allah.
Larangan ini menegaskan bahwa bahkan di saat-saat paling akhir, tidak ada tempat bagi kasih sayang atau pengampunan formal dari Rasulullah bagi mereka yang batinnya menolak Allah dan Rasul-Nya.
3. Justifikasi Ilahi: ﴿إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ﴾
Bagian ini memberikan alasan (*ta'lil*) yang tegas mengapa larangan tersebut ditetapkan. Mereka dilarang menerima ritual keimanan karena "Innahum kafarū billāhi wa rasūlihi", yang berarti 'Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya'.
Penting untuk dicatat bahwa kekafiran kaum munafik (munafik *i'tiqadi* atau kemunafikan dalam keyakinan) adalah kekafiran yang disembunyikan. Mereka mengucapkan syahadat dengan lisan, tetapi hati mereka menolaknya. Ayat ini berfungsi sebagai wahyu yang menyingkapkan tabir dan mengumumkan status batiniah mereka kepada Nabi ﷺ. Status kekafiran inilah yang secara mutlak menghapus hak mereka atas salat jenazah dan doa pengampunan.
4. Kesimpulan Status: ﴿وَمَاتُوا وَهُمْ فَٰسِقُونَ﴾
Ayat ini ditutup dengan penegasan status akhir mereka: "Wa mātū wa hum fāsiqūn", 'dan mereka mati dalam keadaan fasik'.
Kata fasik secara etimologis berarti 'keluar' atau 'menyimpang' (dari ketaatan). Dalam konteks syariat, fasik adalah orang yang keluar dari perintah Allah. Dalam kasus munafik, kefasikan mereka adalah yang paling parah, karena itu didasarkan pada penolakan iman yang hakiki. Penegasan bahwa mereka mati dalam keadaan fasik menjadi penutup yang memastikan bahwa mereka tidak layak mendapat ampunan, karena mereka memilih jalan penyimpangan sampai akhir hayat.
III. Implikasi Fiqih dan Hukum Normatif
Ayat 84 Surat At-Taubah berfungsi sebagai sumber utama dalam menetapkan beberapa hukum fiqih penting dalam bidang *Jana'iz* (hukum jenazah) dan *Muwalaat* (loyalitas).
1. Status Hukum Salat Jenazah bagi Non-Muslim
Ayat ini secara definitif melarang salat jenazah bagi orang yang diketahui kafir atau munafik secara akidah. Para fukaha (ahli fiqih) sepakat bahwa salat jenazah hanya wajib dan sah bagi Muslim. Jika seseorang meninggal dalam keadaan kafir (baik asli, murtad, atau munafik akidah), maka tidak ada salat jenazah baginya. Ayat ini memperkuat prinsip teologis bahwa ampunan dan rahmat hanya diberikan kepada mereka yang meninggal dalam keadaan Islam.
Diskursus fiqih berkembang mengenai apakah larangan ini mutlak dilarang (haram) atau hanya makruh (dibenci). Ijma' (konsensus) ulama menetapkan bahwa mendoakan pengampunan bagi orang yang meninggal dalam keadaan syirik atau kekafiran adalah haram, berdasarkan ayat lain dalam surat yang sama (At-Taubah: 113): "Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik, meskipun mereka kaum kerabat..." Ayat 84 berfungsi sebagai aplikasi praktis dari prinsip ini, ditujukan secara khusus kepada Rasulullah ﷺ.
2. Perbedaan antara Munafik I'tiqadi dan Munafik Amali
Penting untuk membedakan jenis kemunafikan. Larangan dalam Ayat 84 merujuk pada munafiq i'tiqadi (kemunafikan dalam keyakinan), yaitu mereka yang secara batin kafir. Mereka adalah target utama ayat ini.
Adapun munafiq amali (kemunafikan dalam perbuatan), yaitu Muslim yang melakukan perbuatan yang merupakan ciri khas munafik (seperti berbohong, khianat janji, atau curang), mereka tetap dihukumi sebagai Muslim di dunia dan berhak disalatkan jenazahnya, meskipun perbuatannya tercela, selama ia tidak keluar dari batas iman.
Hukum yang lahir dari Ayat 84 ini adalah alat pembeda yang hanya bisa diterapkan secara pasti oleh Allah (sebagaimana yang dilakukan pada zaman Nabi melalui wahyu), atau bagi mereka yang secara lahiriah telah mengikrarkan kekafiran.
3. Etika di Kuburan (Ziarah dan Doa)
Larangan 'berdiri di atas kuburnya' telah memunculkan diskusi fiqih tentang adab ziarah kubur. Secara umum, ziarah kubur dianjurkan dalam Islam untuk mengingatkan akan kematian dan mendoakan jenazah Muslim. Namun, larangan pada munafik ini menunjukkan bahwa doa yang dilakukan di kuburan haruslah doa yang bermanfaat. Jika doanya (istighfar) tidak berguna atau dilarang (karena si mati kafir), maka tindakan berdiri di sana pun dilarang.
Para ulama juga menggunakan ayat ini untuk menekankan pentingnya niat saat ziarah. Ziarah harus bertujuan mendoakan si mati dan mengambil pelajaran, bukan bertujuan mencari berkah dari si mati yang fasik atau kufur.
IV. Analisis Linguistik dan Retorika Qur’an
Kekuatan pesan dalam Ayat 84 terletak pada pilihan kata-kata dan struktur gramatikal yang digunakan oleh Al-Qur'an. Analisis linguistik membantu kita mengapresiasi ketegasan larangan ini.
1. Penggunaan Kata ‘Abadan’ (أَبَدًا)
Kata 'abadan' yang berarti 'selama-lamanya' atau 'tidak akan pernah' memberikan penekanan mutlak dan temporalitas tak terbatas pada larangan salat jenazah. Dalam bahasa Arab, penambahan 'abadan' berfungsi untuk menafikan kemungkinan sedikit pun dalam waktu yang akan datang. Ini menunjukkan bahwa keputusan Allah mengenai status mereka adalah final dan tidak dapat dicabut.
2. Struktur Negatif: ‘Lā’ (لا)
Ayat ini menggunakan partikel negasi dan larangan yang tegas, 'Lā' (لا) dalam dua bentuk: 'Wa lā tuṣalli' dan 'Wa lā taqum'. Ini adalah bentuk larangan langsung (Nahi) yang dalam hukum Islam menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram (dilarang keras). Struktur ini memastikan tidak ada ruang untuk penafsiran kelonggaran dalam urusan ini.
3. Istilah Kunci: Fāsiqūn (فَٰسِقُونَ)
Penggunaan kata 'fāsiqūn' (orang-orang fasik) sebagai penutup, setelah mendefinisikan mereka sebagai 'kafarū' (kafir), menunjukkan adanya hirarki dalam dosa dan status. Kefasikan mereka adalah hasil dari kekafiran internal mereka. Hal ini mempertegas bahwa dosa mereka adalah dosa yang mematikan iman, bukan hanya dosa perbuatan biasa. Pilihan kata ini menyimpulkan bahwa keadaan mereka saat kematian adalah keadaan yang paling jauh dari rahmat ilahi.
V. Relevansi Kontemporer dan Pelajaran Spiritual
Meskipun Ayat 84 diturunkan dalam konteks historis yang sangat spesifik (kematian Abdullah bin Ubay), prinsip-prinsip yang dikandungnya memiliki relevansi abadi bagi umat Muslim.
1. Pentingnya Konsistensi Batin dan Lahir
Ayat ini adalah peringatan keras tentang bahaya kemunafikan. Kemunafikan adalah penyakit yang merusak tidak hanya individu, tetapi juga struktur komunitas. Islam menuntut kejujuran dan konsistensi; apa yang diucapkan di lisan harus diyakini dalam hati. Kekurangan konsistensi ini, terutama dalam hal dasar tauhid, membawa konsekuensi hukuman sosial dan spiritual yang definitif.
2. Batasan Ketaatan dan Loyalitas
Ayat 84 mengajarkan umat Muslim tentang prinsip Al-Wala' wal Bara' (Loyalitas dan Pelepasan Diri). Kita diizinkan dan dianjurkan untuk berbuat baik kepada tetangga non-Muslim dan berinteraksi secara sosial, namun batas loyalitas dan persatuan ritual (seperti salat jenazah, yang merupakan manifestasi persaudaraan iman) harus dijaga. Ayat ini mendefinisikan batas di mana persaudaraan ritual berakhir: yaitu ketika seseorang secara batin telah menolak Allah dan Rasul-Nya.
3. Peran Doa dalam Komunitas
Salat Jenazah adalah doa publik yang merupakan hak fundamental setiap Muslim. Larangan ini menegaskan bahwa doa publik ini adalah bentuk persaksian komunitas terhadap si mati. Ketika komunitas tidak diizinkan bersaksi, itu menandakan bahwa si mati telah kehilangan hak dasarnya sebagai anggota umat Muhammad ﷺ.
Dalam konteks modern, hal ini menjadi pelajaran bagi para pemimpin dan ulama untuk senantiasa mendasarkan keputusan dan persaksian mereka pada prinsip-prinsip syariah, tanpa terpengaruh oleh kepentingan sosial atau politik semata, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan keimanan fundamental.
VI. Perbandingan dengan Ayat-Ayat Lain tentang Munafik
Ayat 84 tidak berdiri sendiri; ia merupakan bagian integral dari serangkaian ayat dalam Surat At-Taubah yang secara spesifik menargetkan kaum munafik. Surat ini secara keseluruhan adalah "Surat Pembongkar" (Al-Fadhihah) karena ia menyingkap identitas dan perbuatan tersembunyi mereka.
1. At-Taubah Ayat 80: Ketidakbergunaan Istighfar
Ayat ini harus dibaca bersama dengan At-Taubah ayat 80:
Terjemahan: "Sama saja bagi mereka, kamu mohonkan ampunan atau tidak kamu mohonkan ampunan bagi mereka. Sekalipun kamu memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan mengampuni mereka."
Ayat 80 ini turun sebelum Ayat 84, tetapi keduanya terkait. Ayat 80 memberi tahu Nabi ﷺ bahwa permohonan ampunan beliau bagi para munafik tidak akan berhasil. Ayat 84 kemudian datang untuk memberikan larangan total dan permanen terhadap segala bentuk ritual yang mengandung permohonan ampunan (yaitu, salat jenazah) setelah kematian mereka, sehingga menghindari upaya-upaya yang sia-sia di masa depan.
2. Konsekuensi Hukum dan Akhirat
Para munafik digambarkan dalam Al-Qur'an sebagai kelompok terburuk. Surat An-Nisa’ (4:145) menegaskan bahwa mereka akan ditempatkan di lapisan terbawah neraka: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.”
Ayat 84, dengan larangannya, adalah cerminan dari vonis akhirat tersebut dalam bentuk hukum duniawi. Allah melalui larangan ritual ini mengumumkan pemutusan total antara nasib si munafik dengan rahmat yang diberikan kepada komunitas Muslim.
VII. Kedalaman Makna Spiritual Ayat 84
Di luar implikasi hukum dan historis, Ayat 84 mengandung hikmah spiritual yang mendalam mengenai otoritas kenabian dan kemahatahuan Allah.
1. Perlindungan terhadap Nabi ﷺ
Perintah ini adalah bentuk perlindungan ilahi terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Sifat alami Nabi adalah rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi semesta alam) dan beliau cenderung memberikan kemudahan dan ampunan. Ketika putra Ibnu Ubay memohon, Nabi ﷺ setuju untuk melaksanakan salat, bahkan memberikan pakaiannya sebagai kafan. Wahyu 9:84 mengoreksi tindakan yang didasarkan pada kelembutan hati Nabi, menegaskan bahwa dalam hal batas-batas teologis (tauhid dan iman), tidak ada kompromi yang diizinkan, bahkan oleh seorang Nabi sekalipun.
Hal ini mengajarkan kita bahwa rahmat Allah memiliki batas, dan batas itu adalah pengakuan total terhadap keesaan-Nya dan kenabian Rasul-Nya.
2. Penegasan Keadilan Mutlak
Ayat ini merupakan manifestasi dari keadilan Allah yang mutlak. Orang-orang munafik memanfaatkan status keislaman lahiriah mereka untuk menyabotase umat dari dalam. Jika mereka diizinkan menerima ritual jenazah yang sama dengan kaum mukmin sejati, hal itu akan merusak prinsip keadilan ilahi. Larangan ini memastikan bahwa perlakuan spiritual dan ritual harus selaras dengan kenyataan batiniah seseorang di hadapan Allah.
3. Pelajaran bagi Umat
Bagi umat Islam setelah Rasulullah ﷺ, Ayat 84 menjadi pengingat konstan bahwa nilai hakiki seseorang bukan terletak pada penampilan luar atau afiliasi sosial, melainkan pada kejujuran imannya. Meskipun kita tidak bisa memastikan siapa yang munafik secara batin (kecuali jika ada bukti kekafiran yang jelas dan terbuka), umat diperintahkan untuk menghindari perilaku munafik dan senantiasa mengevaluasi kejujuran hati mereka dalam beriman.
Larangan ini menjadi standar etika yang tinggi, mengingatkan bahwa setiap perbuatan, sekecil apa pun, akan dipertanggungjawabkan dan status akhir seseorang ditentukan oleh keimanan saat kematiannya.
VIII. Telaah Kontroversi Seputar Kafan Nabi
Satu aspek yang sering didiskusikan terkait kisah Ibnu Ubay adalah mengapa Nabi ﷺ bersedia memberikan jubah beliau untuk kafan Ibnu Ubay, padahal beliau telah mengetahui bahaya Ibnu Ubay. Jawaban terhadap kontroversi ini menunjukkan kompleksitas dan kedalaman karisma kenabian sebelum larangan definitif ini turun.
1. Penafsiran Tindakan Nabi Sebelum Larangan
Para ulama seperti Imam Muslim meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab r.a. mencoba mencegah Nabi ﷺ melakukan salat dan memberikan kafan tersebut, dengan berhujah menggunakan Ayat 80 (yang menyatakan istighfar bagi mereka sia-sia). Namun, Nabi ﷺ bersikeras dengan dua alasan:
- Harapan Rahmat: Nabi ﷺ ingin mengambil peluang sekecil apa pun agar Ibnu Ubay mungkin diampuni atau agar putra Ibnu Ubay, yang saleh, mendapatkan penghiburan.
- Tafsiran Fleksibel Ayat 80: Nabi ﷺ menafsirkan bahwa Ayat 80 (yang menyebut 'tujuh puluh kali') mungkin tidak berarti batas mutlak. Beliau mungkin berpikir bahwa jika beliau memohon ampunan lebih dari tujuh puluh kali, bisa jadi Allah akan mengabulkan.
Ketika Ayat 84 turun, ia mengakhiri semua keraguan dan fleksibilitas ini. Ayat 84 tidak hanya menguatkan Ayat 80, tetapi memperluasnya menjadi larangan total terhadap tindakan ritual publik (*salat* dan *qum 'ala qabrihi*).
2. Pelajaran dari Jubah Nabi
Meskipun larangan salat jenazah bersifat final, para ahli sejarah mencatat bahwa Ibnu Ubay tetap dikafani dengan jubah Nabi ﷺ. Sebagian ulama berpendapat bahwa pemberian kafan tersebut mungkin merupakan balasan kebaikan kepada putra Ibnu Ubay yang saleh, atau merupakan bentuk pemenuhan janji yang telah terlanjur diucapkan oleh Nabi ﷺ sebelum larangan tersebut turun, namun yang jelas, tindakan yang esensial (doa pengampunan) dilarang total.
Pemisahan antara pemberian jubah (yang mungkin bersifat sosial atau personal) dengan larangan salat jenazah (yang bersifat teologis dan ritual) menunjukkan adanya hierarki dalam perintah ilahi. Urusan iman dan status di hadapan Allah lebih utama dan tak bisa dinegosiasikan daripada urusan sosial atau kemanusiaan biasa.
Kesimpulan Akhir
Ayat 84 Surat At-Taubah adalah sebuah deklarasi ilahi yang monumental. Ia mematri garis tegas antara iman sejati dan kepura-puraan, antara Muslim dan munafik akidah. Dengan melarang Nabi Muhammad ﷺ melaksanakan salat jenazah dan berdiri di kuburan mereka, Allah menetapkan prinsip hukum abadi: tidak ada doa pengampunan ritual bagi mereka yang wafat dalam keadaan kekafiran dan kefasikan batin.
Ayat ini menegaskan otoritas Allah sebagai hakim tertinggi yang menyingkap apa yang tersembunyi di dalam hati manusia, menjadikannya pondasi penting bagi hukum jenazah dalam Islam, dan menjadi peringatan spiritual bagi setiap Muslim untuk menjaga kemurnian tauhid dan kejujuran niat hingga akhir hayat.