Tafsir Mendalam Keagungan Dua Ayat Penutup Surah At-Taubah (Ayat 128-129): Puncak Rahmat dan Tawakkul

Surah At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara'ah (Pemutusan Hubungan), merupakan surah yang unik dalam Al-Qur'an karena ia tidak diawali dengan basmalah. Surah ini secara historis menggariskan prinsip-prinsip peperangan, perjanjian, dan penegasan iman yang murni. Meskipun demikian, di tengah ketegasan dan ketelitian hukum yang terkandung di dalamnya, surah ini mencapai klimaks emosional dan spiritual pada dua ayat penutupnya, yaitu ayat 128 dan 129.

Dua ayat ini seringkali dipandang sebagai ringkasan agung dari keseluruhan ajaran Islam, menegaskan dua pilar utama: kasih sayang Rasulullah ﷺ terhadap umatnya (Rahmatun lil ‘Alamin) dan kebergantungan mutlak kepada Allah ﷻ (Tawakkul). Keberadaan ayat-ayat ini di akhir surah yang sangat tegas memberikan kontras yang luar biasa, seolah-olah menjadi pelukan kasih sayang setelah sabetan pedang keadilan, menjadikannya sumber kekuatan, perlindungan, dan ketenangan bagi setiap mukmin.

Teks Suci Ayat Terakhir Surah At-Taubah

Dua ayat penutup ini memiliki kedudukan yang sangat istimewa, baik dalam segi sanad (mata rantai periwayatan) maupun keutamaan (fadhilah) pengamalannya. Berikut adalah lafazh mulia dari ayat 128 dan 129 Surah At-Taubah:

Ayat 128: Manifestasi Rahmat Nabi

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Laqad jā'akum rasūlum min anfusikum 'azīzun 'alaihi mā 'anittum ḥarīṣun 'alaikum bil-mu'minīna ra'ūfur raḥīm.

Terjemahan Makna: Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, terhadap orang-orang mukmin, dia amat belas kasihan lagi penyayang.

Ayat 129: Puncak Tawakkul Mutlak

فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُلْ حَسْبِىَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ
Fa in tawallau fa qul ḥasbiyallāhu lā ilāha illā huw, 'alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul-'arsyil-'aẓīm.

Terjemahan Makna: Kemudian jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung.”

Tafsir Mendalam Ayat 128: Karakteristik Kenabian yang Agung

Ayat 128 ini merupakan sebuah pujian dan penegasan Allah ﷻ tentang karakter utama Rasulullah Muhammad ﷺ. Setiap kata di dalamnya sarat dengan makna teologis dan psikologis yang mendalam, menggambarkan betapa paripurnanya kepemimpinan spiritual yang diutus untuk umat manusia.

1. Min Anfusikum (Dari Kaummu Sendiri)

Penegasan bahwa Rasulullah berasal dari Bani Hasyim, klan Quraisy, dan bagian dari manusia biasa. Frasa ini membawa dua implikasi utama. Pertama, Rasulullah memahami betul kultur, bahasa, dan kesulitan yang dialami kaumnya, sehingga ajarannya relevan dan mudah dipahami. Kedua, ini menepis klaim kaum musyrikin yang mungkin menuntut nabi dari kalangan malaikat. Allah memilih rasul dari jenis manusia agar ia dapat menjadi teladan praktis (Uswah Hasanah). Keberadaan Rasulullah yang berasal ‘dari diri mereka’ menciptakan ikatan empati yang kuat, membuktikan bahwa kesempurnaan takwa dapat dicapai oleh manusia biasa.

2. Azizun 'Alaihi Ma 'Anittum (Berat Terasa Olehnya Penderitaanmu)

Kata 'aziz (berat/sulit) merujuk pada betapa sakit dan pedihnya hati Rasulullah ketika melihat umatnya menderita. Penderitaan di sini tidak hanya merujuk pada kesulitan fisik duniawi, tetapi yang utama adalah penderitaan spiritual dan azab akhirat yang akan menimpa orang-orang yang tersesat. Kecintaan beliau bukanlah kecintaan yang pasif, melainkan kecintaan yang menghasilkan kepedihan batin atas setiap dosa atau kesulitan yang menimpa umatnya. Beliau rela menanggung beban dakwah yang luar biasa hanya agar umatnya selamat dari kesulitan dan murka ilahi. Hal ini menunjukkan bahwa risalah kenabian adalah tugas yang diemban dengan beban emosional yang amat besar, melampaui sekadar penyampaian hukum.

3. Harisun 'Alaikum (Sangat Menginginkan Bagimu)

Kata haris memiliki konotasi ‘kerakusan’ atau ‘keinginan yang kuat’ (dalam konteks positif). Rasulullah ﷺ ‘rakus’ dalam artian sangat berambisi dan bersungguh-sungguh agar seluruh umatnya memperoleh petunjuk dan keselamatan. Beliau tidak pernah lelah berdakwah, meskipun menghadapi penolakan dan penganiayaan. Keinginan beliau yang kuat ini tidak hanya terbatas pada keimanan semata, tetapi juga mencakup keinginan agar umatnya mencapai derajat kesempurnaan akhlak dan mendapatkan kemaslahatan di dunia dan akhirat. Rasa ingin yang membara ini adalah manifestasi langsung dari rahmat ilahi yang dititipkan kepada beliau.

4. Bil-Mu'minīna Ra'ūfur Raḥīm (Terhadap Orang-orang Mukmin, Amat Belas Kasihan Lagi Penyayang)

Ayat ini menutup dengan dua asma (nama) yang agung, yaitu Ra'uf (sangat belas kasih) dan Rahim (penyayang). Kedua sifat ini seringkali disematkan pada Allah ﷻ sendiri, namun di sini Allah mengatribusikannya kepada Rasulullah ﷺ. Penggunaan dua sifat ini secara berdekatan memberikan penekanan yang luar biasa pada kelembutan dan kasih sayang Nabi:

Penyandingan kedua sifat ini menegaskan bahwa kasih sayang Rasulullah meliputi pencegahan bahaya spiritual (Ra’uf) dan penyediaan kebaikan abadi (Rahim). Walaupun Surah At-Taubah penuh dengan peringatan keras dan perintah jihad, penutupnya mengingatkan bahwa di balik ketegasan tersebut, inti dari risalah adalah rahmat yang tak terbatas, yang puncaknya termanifestasi dalam diri Nabi Muhammad ﷺ.

Tafsir Mendalam Ayat 129: Fondasi Tawakkul dan Pengakuan Ketuhanan

Ayat 129 berfungsi sebagai penutup logis dan teologis bagi keseluruhan surah. Setelah Allah ﷻ menjelaskan kasih sayang dan upaya Rasul-Nya (ayat 128), ayat 129 memberikan solusi dan tempat berlindung utama jika segala upaya manusia, termasuk upaya kenabian yang paling sempurna, menemui penolakan. Ayat ini adalah deklarasi tawhid (keesaan) dan tawakkul (kebergantungan).

1. Fa In Tawallau (Maka Jika Mereka Berpaling)

Ini adalah kondisi universal: setelah upaya dakwah yang gigih, setelah kasih sayang yang luar biasa ditunjukkan oleh Rasul, masih saja ada manusia yang berpaling dan menolak kebenaran. Ayat ini mengajarkan bahwa penolakan tidak boleh menyebabkan keputusasaan atau kegagalan misi. Ketika menghadapi penolakan, seorang mukmin diajarkan untuk kembali kepada sumber kekuatan yang tak terbatas.

2. Fa Qul Hasbiyallāhu Lā Ilāha Illā Huw (Maka Katakanlah: Cukuplah Allah Bagiku, Tiada Tuhan Selain Dia)

Inilah inti dari tawakkul. Frasa Hasbiyallah berarti ‘Allah adalah Cukuplah Bagiku’ atau ‘Allah Penjamin/Pelindungku.’ Kata ini adalah benteng pertahanan spiritual. Ini adalah pengakuan bahwa jika seluruh dunia menolak dan memusuhi, selama Allah menjadi Pelindung, tidak ada kerugian yang hakiki. Ia menenangkan jiwa dari kekhawatiran akibat rencana jahat manusia atau keputusasaan atas penolakan dakwah.

Kalimat ini dilanjutkan dengan penegasan Tawhid: Lā Ilāha Illā Huw. Kebutuhan kepada Allah harus didasarkan pada pengakuan mutlak akan keesaan-Nya. Pengakuan ini memurnikan tawakkul dari segala bentuk syirik, memastikan bahwa sandaran yang dicari adalah Dzat yang Maha Tunggal dan Maha Kuasa, bukan pada sebab-sebab duniawi.

3. 'Alaihi Tawakkaltu (Hanya Kepada-Nya Aku Bertawakkal)

Pengulangan konsep tawakkul setelah pengakuan Tawhid menambah penekanan. Kata kerja tawakkaltu (aku bertawakkal) menunjukkan tindakan nyata kebergantungan hati. Ini bukan sekadar keyakinan pasif, tetapi penyerahan total segala urusan, hasil, dan masa depan kepada Allah setelah melakukan usaha maksimal (seperti yang dilakukan Nabi dalam berdakwah). Tawakkul adalah puncak dari keikhlasan, melepaskan keterikatan hati dari hasil yang tidak dikuasai oleh manusia.

4. Wa Huwa Rabbul-'Arsyil-'Aẓīm (Dan Dia Adalah Tuhan yang Memiliki 'Arsy yang Agung)

Penutup ayat ini sangat kuat. Pengakuan Tawhid dan Tawakkul disandarkan pada sifat Allah sebagai Rabbul-'Arsyil-'Aẓīm. 'Arsy (Singgasana) dalam konteks Islam merujuk pada makhluk Allah yang terbesar, yang meliputi seluruh alam semesta, menandakan kekuasaan dan kedaulatan Allah yang tak terbatas.

Mengapa Arsyul Azim disebutkan di sini? Tujuannya adalah untuk menanamkan keyakinan bahwa Dzat yang kita sandari (Tawakkal) adalah Penguasa mutlak atas alam semesta yang maha luas. Siapapun yang berada di bawah perlindungan Rabbul-'Arsyil-'Aẓīm, ia telah mendapatkan jaminan keamanan dari kekuatan terbesar di jagat raya. Ini memberikan keyakinan absolut bahwa tidak ada kekuatan lain yang mampu menandingi atau melewati kehendak-Nya.

Analisis Linguistik dan Keindahan Retorika (I'jaz)

Keagungan dua ayat penutup ini juga terletak pada konstruksi bahasanya yang luar biasa. Para ulama balaghah (retorika) menyoroti penggunaan kata-kata yang dipilih dengan sangat cermat, menciptakan sebuah karya sastra yang sekaligus merupakan wahyu ilahi:

Kontras dan Harmoni Sifat

Ayat 128 memuat tiga sifat yang menggambarkan perjuangan kenabian: kepedihan (*'azizun 'alaihi*), ketekunan (*harisun*), dan kasih sayang (*ra'ufur rahim*). Ketiga sifat ini menjelaskan tiga dimensi kenabian: penderitaan pribadi atas nasib umat, usaha maksimal dalam menyampaikan risalah, dan kasih sayang yang memeluk.

Penggunaan Asmaul Husna

Dalam tradisi tafsir, jarang sekali Allah mengatribusikan sifat Ra'uf dan Rahim kepada makhluk-Nya, kecuali dalam konteks ini kepada Nabi Muhammad ﷺ. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah adalah cerminan paling sempurna dari Rahmat Ilahi di alam semesta. Ini adalah keindahan retorika yang menghubungkan Rahmat Allah (sebagai sumber) dengan Rahmat Nabi (sebagai perwujudan dan penyampai).

Struktur Peringatan dan Solusi

Ayat 129 memiliki struktur yang mengajarkan langkah spiritual yang sempurna ketika menghadapi kegagalan atau penolakan. Dimulai dengan kondisi (jika mereka berpaling), diikuti oleh perintah (maka katakanlah), dan diakhiri dengan alasan pembenaran yang paling kuat (Dia adalah Rabbul-'Arsyil-'Aẓīm). Urutan ini mengajarkan bahwa respon pertama terhadap kesulitan adalah kembali kepada sumber Tawhid, bukan mencari solusi materi.

Asbabun Nuzul dan Kedudukan Khusus Dua Ayat Ini

Mengenai konteks turunnya dua ayat ini, terdapat pandangan khusus di kalangan ulama hadis. Meskipun Surah At-Taubah secara umum diturunkan di Madinah (terakhir), dua ayat penutup ini dikisahkan memiliki sanad yang sangat kuat dan keunikan dalam periwayatannya.

Diriwayatkan dari Yazid bin Zura'i, dari Rauh bin Al-Qasim, dari Ismail bin Abi Khalid, dari Abu Ishaq, dari Abdullah bin Yahya, dari Ali, bahwa dua ayat terakhir Surah At-Taubah ini adalah bagian dari Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Namun, dalam riwayat lain yang terkenal dari Zaid bin Tsabit (penghimpun Al-Qur'an), ia sempat kesulitan menemukan dua ayat ini kecuali pada satu orang sahabat, yaitu Khuzaimah bin Tsabit Al-Anshari. Beliau menemukan ayat ini hanya pada Khuzaimah, namun kemudian disahkan berdasarkan pengakuan Khuzaimah yang disamakan dengan kesaksian dua orang sahabat oleh Rasulullah ﷺ, karena kesungguhan dan keimanannya.

Kisah ini menegaskan betapa berharganya dan betapa pentingnya menjaga integritas setiap huruf Al-Qur'an. Meskipun Surah At-Taubah yang berisi perintah-perintah tegas seolah-olah telah selesai, Allah ﷻ memastikan bahwa penutup yang lembut dan penuh rahmat ini harus ada. Keunikan periwayatannya menunjukkan kedudukannya yang sangat tinggi sebagai penutup yang dijamin keaslian dan kemuliaannya.

Tawakkul Sebagai Inti Iman: Penjelasan Mendalam Frasa 'Hasbiyallahu'

Frasa Hasbiyallahu yang merupakan inti dari ayat 129 adalah salah satu kalimat zikir paling agung. Ia bukan sekadar ucapan lisan, tetapi deklarasi filosofi hidup. Makna tawakkul di sini mencakup beberapa tingkatan pemahaman yang harus dihayati oleh seorang mukmin:

1. Pengakuan Ketidakberdayaan Manusia

Tawakkul dimulai dari pengakuan jujur bahwa kekuatan dan upaya manusia memiliki batas. Tidak peduli seberapa keras kita berusaha, hasil akhir mutlak ada di tangan Allah. Kalimat Hasbiyallahu melepaskan diri dari penyakit hati seperti riya' (pamer) atau 'ujub (kagum diri) setelah mencapai keberhasilan, dan juga mencegah keputusasaan total saat menghadapi kegagalan besar.

2. Penyerahan Mutlak (Istislam)

Setelah usaha lahiriah dilakukan, penyerahan adalah tahap yang menentukan. Ini adalah penyerahan kehendak, di mana mukmin menerima ketetapan (qada) Allah dengan hati yang lapang. Jika hasilnya sesuai harapan, ia bersyukur. Jika hasilnya tidak sesuai, ia yakin bahwa itu adalah kebaikan yang tersembunyi, karena Allah (Rabbul-'Arsyil-'Aẓīm) yang menentukannya.

3. Pintu Gerbang Keamanan

Dalam sejarah Islam, kalimat Hasbiyallahu wa Ni'mal Wakil (yang merupakan frasa terkait) telah menjadi benteng bagi para Nabi. Nabi Ibrahim عليه السلام mengucapkannya ketika dilemparkan ke dalam api. Rasulullah ﷺ mengucapkannya ketika diancam oleh pasukan musuh. Ini mengajarkan bahwa kalimat ini adalah kunci untuk mengaktifkan bantuan ilahi di saat genting. Ketika seluruh jalan tertutup, kalimat ini membuka jalan keluar spiritual.

Kekuatan kalimat ini sedemikian rupa sehingga ia dianggap sebagai bagian dari Al-Qur'an yang memiliki daya perlindungan tertinggi. Pengucapan frasa ini secara ikhlas seolah-olah membuat hati mukmin terhubung langsung dengan Singgasana Agung Allah, Rabbul-'Arsyil-'Aẓīm, menjamin perlindungan dari segala musibah yang lebih kecil di bawahnya.

Visualisasi Kekuatan 'Arsyul Azim

Representasi Visual Tawakkul dan Arsyul Azim Kaligrafi Arab yang mewakili frasa Hasbiyallahu (Allah Cukuplah Bagiku), melambangkan perlindungan ilahi dan kebergantungan total pada kekuasaan Tuhan yang memiliki Arsy Agung. فَقُلْ حَسْبِىَ ٱللَّهُ Pelindung yang Memiliki Arsy yang Agung

(Simbolisasi kebergantungan hati mukmin kepada Allah ﷻ, Rabbul-'Arsyil-'Aẓīm)

Fadhilah dan Aplikasi Praktis (Wirid) Dua Ayat Penutup

Dua ayat ini memiliki fadhilah (keutamaan) yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari mukmin, menjadikannya salah satu wirid atau zikir harian yang dianjurkan oleh para ulama salaf dan khalaf.

Fadhilah Perlindungan dan Kecukupan

Para ulama tafsir dan hadis banyak meriwayatkan keutamaan membaca dua ayat ini secara konsisten, terutama kalimat Hasbiyallahu lā ilāha illā huw, 'alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul-'arsyil-'aẓīm. Dikatakan bahwa barangsiapa membacanya di waktu pagi dan petang, Allah akan mencukupkan segala urusannya yang penting, baik yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat. Kecukupan di sini meliputi perlindungan dari musuh, kelapangan rezeki, dan pertolongan dari kesulitan yang tak terduga.

Beberapa riwayat, meskipun terkadang diperdebatkan derajat sanadnya, secara konsisten menempatkan ayat ini sebagai doa pelindung yang setara dengan kunci-kunci surga, menekankan bahwa kekuatan kalimat ini terletak pada pengakuan Tawhid yang murni di dalamnya. Kalimat lā ilāha illā huw adalah kalimat tauhid yang paling dasar, dan ketika disandingkan dengan tawakkul kepada pemilik Arsy yang agung, kekuatannya menjadi tak tertandingi.

Pentingnya Pengamalan Setelah Shalat Subuh dan Ashar

Amalan yang paling sering ditekankan adalah pembacaan ayat 129 sebanyak tujuh kali setelah Shalat Subuh dan tujuh kali setelah Shalat Ashar. Jumlah tujuh (7) ini sering dihubungkan dengan angka perlindungan dalam tradisi Islam, dan pengamalan ini berfungsi sebagai ‘perisai’ spiritual untuk memulai dan menutup hari. Dengan mengucapkan ayat ini, seorang hamba memulai hari dengan menyerahkan seluruh potensi dan rencana kepada Allah, dan mengakhirinya dengan rasa syukur dan penyerahan total atas apa yang telah terjadi.

Implementasi Rahmat (Ayat 128) dalam Diri

Sementara ayat 129 mengajarkan tawakkul vertikal (hubungan hamba dengan Allah), ayat 128 mengajarkan respons horizontal (hubungan hamba dengan sesama). Mengimani bahwa Nabi adalah Ra'ufur Rahim harus mendorong mukmin untuk meneladani sifat tersebut. Kita tidak bisa hanya menuntut rahmat dari Allah tanpa berusaha menjadi sumber rahmat bagi orang lain. Teladan Nabi mengajarkan pentingnya empati, sabar, dan kesungguhan dalam mengajak manusia kepada kebaikan, bahkan ketika menghadapi penolakan, persis seperti yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ.

Solusi Spiritual dalam Kesulitan Ekonomi dan Sosial

Di masa-masa sulit, baik ekonomi maupun sosial, rasa cemas seringkali mendominasi. Ayat 129 menawarkan jalan keluar dari kecemasan tersebut. Ketika seseorang merasa tertekan, terancam, atau terpuruk secara finansial, pengakuan bahwa ‘Cukuplah Allah Bagiku’ mengalihkan fokus dari masalah yang tampak besar di mata manusia menjadi kekuatan Ilahi yang jauh lebih besar. Ini adalah terapi spiritual yang mengembalikan kendali emosi dan psikologis kepada Allah, menumbuhkan ketenangan yang abadi (sakinah) di tengah badai duniawi.

Penutup: Keagungan Yang Abadi

Dua ayat terakhir Surah At-Taubah adalah intisari dari ajaran Islam yang paripurna: perwujudan rahmat kenabian yang mendalam dan doktrin tawakkul yang tak tergoyahkan. Ayat 128 membuka tirai kasih sayang Rasulullah, seorang pemimpin yang memanggul kepedihan umatnya. Ayat 129 menutupnya dengan ajaran fundamental bahwa setelah semua usaha dan pengorbanan dilakukan, sandaran terakhir dan teragung adalah Allah, yang memiliki Singgasana yang Maha Agung.

Memahami dan mengamalkan dua ayat ini adalah kunci untuk mencapai ketenangan abadi. Setiap kali keraguan menghampiri atau ancaman mendekat, seorang mukmin diingatkan untuk mengucapkan, “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung.” Kalimat ini bukan sekadar zikir, melainkan manifesto iman yang menghubungkan hati yang lemah dengan Dzat yang Maha Kuat, menempatkan kehidupan di bawah jaminan Rabbul-'Arsyil-'Aẓīm.

Kajian mendalam atas setiap frasa, setiap makna, dan setiap sudut pandang tafsir yang ada menguatkan keyakinan bahwa dua ayat ini adalah anugerah terbesar bagi umat, penutup yang sempurna bagi surah yang tegas, dan sumber keberanian yang tidak akan pernah kering bagi mereka yang mencari perlindungan dan petunjuk sejati.

Kekuatan ayat-ayat ini melampaui batas bahasa dan zaman, mengalirkan kedamaian ke dalam jiwa setiap hamba yang bersedia menyerahkan kehendaknya sepenuhnya kepada keagungan Ilahi. Dialah Allah, yang meliputi segala sesuatu, dan kepada-Nya lah segala urusan kembali.

🏠 Homepage