Alt Text: Simbol representasi ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dalam tradisi Islam, ditunjukkan dengan buku terbuka dan cahaya panduan.
Dr. Syamsuddin Arif adalah salah satu pemikir kontemporer terkemuka yang memfokuskan kajiannya pada krisis epistemologi yang melanda dunia Islam akibat penetrasi sekularisme dan liberalisme. Pemikirannya bukan sekadar reaksi, melainkan sebuah proyek konstruktif yang berakar pada tradisi intelektual Islam klasik, bertujuan untuk mengembalikan kejernihan ilmu melalui bingkai pandangan alam Islam yang kokoh. Kontribusinya sangat signifikan dalam diskursus Islamisasi Ilmu Pengetahuan (IIP) di Indonesia dan Asia Tenggara, menantang asumsi-asumsi mendasar yang dibawa oleh modernitas.
Pokok pangkal pemikiran Syamsuddin Arif bermula dari pengamatan tajam terhadap kondisi ilmu pengetahuan modern. Ia menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dominan saat ini, yang dihasilkan di Barat, tidaklah netral atau universal dalam arti sesungguhnya. Ilmu tersebut—mulai dari ilmu alam hingga ilmu sosial—dibangun di atas fondasi metafisik dan asumsi ontologis yang bersifat spesifik, yakni asumsi sekularistik, agnostik, dan seringkali humanistik radikal. Asumsi-asumsi ini secara inheren bertentangan dengan prinsip-prinsip mendasar ajaran Islam, terutama konsep Tauhid.
Masalahnya menjadi akut ketika ilmu-ilmu ini diimpor dan diterapkan secara membabi buta di dunia Islam, menghasilkan alienasi intelektual dan moral. Ilmu yang seharusnya membawa manfaat dan mendekatkan manusia kepada kebenaran, justru berfungsi sebagai alat sekularisasi terselubung. Ini terjadi karena ilmu modern telah menghilangkan dimensi transenden (wahyu) dari ruang lingkup pengetahuannya, membatasi realitas hanya pada apa yang empiris dan rasionalistik-positivistik. Konsekuensinya, para cendekiawan Muslim didorong untuk memisahkan keyakinan agama mereka dari praktik intelektual mereka sehari-hari.
Kebutuhan untuk melakukan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (IIP) yang diperjuangkan oleh Syamsuddin Arif, sejajar dengan visi Sayyed Muhammad Naquib Al-Attas, bukan hanya sekadar menambahkan label 'Islam' pada disiplin ilmu yang sudah ada, atau mengutip ayat-ayat suci pada bab pendahuluan. Jauh lebih mendalam, ini adalah proyek dekonstruksi dan rekonstruksi epistemologis dan ontologis total. Tujuannya adalah memurnikan ilmu dari unsur-unsur asing yang secara implisit membawa pandangan alam (worldview) yang menyimpang, kemudian menanamkannya kembali ke dalam kerangka pandangan alam Islam.
Dalam banyak karyanya, Syamsuddin Arif secara sistematis mengurai bagaimana sekularisme telah meracuni pikiran. Sekularisme, baginya, bukanlah sekadar pemisahan agama dari negara—itu adalah konsep yang jauh lebih invasif. Sekularisme adalah pandangan alam yang membatasi realitas hanya pada dunia empiris dan pengalaman inderawi (dunia sensory). Ia menyingkirkan realitas transenden, konsep kebenaran mutlak, dan otoritas wahyu dari diskursus publik dan, yang paling penting, dari definisi ilmu pengetahuan itu sendiri.
Konsekuensi dari sekularisme dalam ilmu pengetahuan adalah relativisme. Jika tidak ada kebenaran mutlak yang diakui oleh wahyu, maka semua klaim kebenaran—moral, etika, bahkan ilmiah—menjadi relatif terhadap waktu, budaya, atau individu yang mengucapkannya. Relativisme ini, menurut Syamsuddin Arif, adalah antitesis terhadap struktur keyakinan Islam yang dibangun di atas kepastian (yaqin) dan otoritas ilahi. Ketika relativisme merajalela di lembaga pendidikan Muslim, ia meruntuhkan fondasi moral dan merusak pemahaman mahasiswa tentang hakikat eksistensi.
Kritiknya terhadap sekularisme seringkali melibatkan analisis historis filsafat Barat, menunjukkan bagaimana konsep-konsep seperti otonomi rasio, humanisme radikal, dan skeptisisme metodologis merupakan respons spesifik terhadap sejarah Kristen-Barat dan bukan kebenaran universal. Mengadopsi kerangka kerja ini berarti mengadopsi pula narasi sejarah dan krisis yang tidak relevan, bahkan merusak bagi peradaban Muslim. Oleh karena itu, langkah awal dalam Islamisasi adalah dekonstruksi, yaitu mengidentifikasi dan menolak asumsi-asumsi sekularistik yang tersembunyi dalam metodologi dan terminologi ilmu modern.
Konsep sentral dalam seluruh bangunan pemikiran Syamsuddin Arif adalah Pandangan Alam Islam (Tasawwur Islami). Pandangan alam ini adalah kerangka konseptual yang komprehensif, mencakup seluruh realitas, yang mendefinisikan hakikat Tuhan (Allah), wahyu, penciptaan, manusia, pengetahuan, waktu, dan tujuan akhir. Ia menegaskan bahwa pandangan alam ini adalah kunci untuk memahami dan memecahkan krisis peradaban modern.
Pandangan Alam Islam berpusat pada Tauhid. Tauhid tidak hanya berarti keesaan Tuhan, tetapi juga kesatuan realitas, kebenaran, dan ilmu pengetahuan. Dari Tauhid, Syamsuddin Arif menguraikan elemen-elemen fundamental yang harus menjadi landasan setiap disiplin ilmu:
Berbeda dengan metafisika Barat yang seringkali bersifat monistik (segala sesuatu adalah materi) atau dualistik (pikiran dan materi terpisah tanpa koneksi transenden), metafisika Islam yang diuraikan oleh Syamsuddin Arif bersifat dualistik dalam hal realitas (Dunia dan Akhirat), namun monoteistik dalam hal Sumber (Allah). Realitas dibagi menjadi dua tingkatan: al-Haqq (Kebenaran Mutlak, yaitu Allah) dan al-Khalq (Ciptaan, yaitu alam semesta).
Segala sesuatu di alam semesta ini, termasuk manusia dan fenomena alam, memiliki makna dan tujuan karena mereka adalah tanda-tanda (ayat) dari Pencipta. Ilmu pengetahuan dalam konteks ini adalah upaya untuk membaca dan memahami tanda-tanda tersebut, baik yang tertulis (wahyu) maupun yang terhampar di alam. Dengan demikian, ontologi Islam menolak pandangan bahwa alam semesta adalah kebetulan yang tidak berarti atau mesin mekanistik yang otonom. Ini secara langsung menolak nihilisme yang muncul dari pandangan alam sekular.
Pemahaman yang benar tentang eksistensi (wujud) juga mencakup pengakuan terhadap hierarki wujud—dari realitas transenden (Allah), realitas spiritual (malaikat, jin), hingga realitas fisik (materi). Ilmu pengetahuan yang Islami harus mengakomodasi seluruh hierarki ini, tidak hanya membatasi diri pada realitas fisik semata, sebagaimana yang dilakukan oleh positivisme modern. Kegagalan untuk mengakui hierarki ini adalah kegagalan untuk memahami hakikat manusia itu sendiri.
Menurut pandangan alam Islam, manusia diciptakan dengan fitrah (potensi dan kecenderungan bawaan) untuk mengenal dan mengabdi kepada Allah. Manusia adalah khalifah (wakil Tuhan) di bumi, memiliki tanggung jawab moral dan intelektual. Potensi ini hanya dapat diwujudkan melalui ilmu dan adab.
Konsep adab (disiplin diri, tata krama, etika) menjadi sangat krusial dalam epistemologi Syamsuddin Arif. Adab adalah kondisi prasyarat untuk memperoleh ilmu yang benar. Ilmu tanpa adab dapat menjadi bencana, karena ilmu yang didapat tanpa disiplin spiritual dan moral akan digunakan untuk kepentingan egoistik atau merusak. Adab menempatkan sesuatu pada tempatnya yang benar: menempatkan Allah di tempat tertinggi, wahyu sebagai sumber utama, dan akal serta indra sebagai instrumen sekunder yang tunduk pada wahyu.
Ketiadaan adab dalam epistemologi modern memungkinkan ilmuwan untuk mengklaim otonomi mutlak, menempatkan rasio di atas wahyu, dan memperlakukan alam semesta sebagai objek eksploitasi tanpa batas etika. Syamsuddin Arif berargumen bahwa Islamisasi pengetahuan harus dimulai dari Islamisasi subjek, yaitu ilmuwan itu sendiri, melalui penanaman adab. Tanpa adab, semua upaya reformasi kurikulum dan metodologi hanya akan menjadi kosmetik belaka.
Perbedaan paling fundamental antara kerangka ilmu Islam yang diusulkan oleh Syamsuddin Arif dan epistemologi Barat terletak pada sumber dan struktur pengetahuan. Epistemologi Islam mengakui dua sumber utama pengetahuan yang pasti (yaqin): wahyu (Al-Quran dan Sunnah) dan akal/indra (observasi empiris dan rasionalitas), di mana wahyu berfungsi sebagai penentu tertinggi dan panduan bagi akal dan indra.
Syamsuddin Arif menunjukkan bahwa filsafat Barat modern cenderung terjebak dalam ekstremisme: antara rasionalisme ekstrem (yang menganggap rasio manusia sebagai penentu kebenaran mutlak) atau empirisme/positivisme ekstrem (yang hanya mengakui data inderawi). Kedua ekstrem ini gagal mencapai kebenaran holistik.
Rasionalisme tanpa batas wahyu dapat menghasilkan spekulasi tak berujung (seperti yang terjadi pada skolastisisme Barat yang kemudian ditolak), sementara empirisme absolut membatasi realitas hanya pada hal-hal yang dapat diukur, sehingga gagal menangkap makna, tujuan, dan realitas spiritual. Epistemologi Islam, sebaliknya, mengajukan keseimbangan di mana akal adalah instrumen yang kuat yang ditugaskan untuk memahami wahyu dan alam, namun bukan penguasa independen yang dapat menolak wahyu.
Ia menekankan bahwa wahyu menyediakan kerangka kerja dan batasan etis yang mencegah pengetahuan akal dan empiris jatuh ke dalam relativisme moral dan spiritual. Misalnya, ilmu biologi modern mungkin dapat menjelaskan mekanisme kehidupan, tetapi hanya wahyu yang dapat menjelaskan hakikat kehidupan, tujuan penciptaan, dan ke mana kehidupan itu akan menuju (Akhirat). Inilah yang hilang dari ilmu pengetahuan sekular.
Proyek Islamisasi yang diadvokasi oleh Syamsuddin Arif bukanlah proses yang sederhana, melainkan metodologi bertahap yang membutuhkan ketekunan intelektual yang tinggi. Metodologi ini melibatkan dua langkah besar:
Langkah pertama adalah menganalisis secara kritis disiplin ilmu modern. Ini berarti mengidentifikasi dan membedah unsur-unsur asing yang menyusup ke dalam konsep, teori, terminologi, dan metodologi ilmu tersebut. Ini mencakup pertanyaan-pertanyaan seperti:
Dekonstruksi ini membutuhkan pemahaman yang sangat mendalam terhadap filsafat Barat dan Islam secara simultan. Syamsuddin Arif menuntut agar sarjana Muslim tidak hanya menjadi konsumen pasif teori Barat, tetapi kritikus yang tajam yang mampu mengungkap bias-bias sekular yang tersembunyi.
Setelah asumsi-asumsi sekular dibersihkan, ilmu tersebut direkonstruksi berdasarkan Pandangan Alam Islam. Rekonstruksi ini melibatkan:
Proses rekonstruksi ini menghasilkan ilmu yang koheren secara internal, etis secara moral, dan relevan secara spiritual bagi peradaban Muslim. Ia menegaskan bahwa hasil akhir dari Islamisasi adalah ilmu yang tidak hanya efektif secara teknis tetapi juga memberdayakan secara spiritual dan moral.
Peran Syamsuddin Arif tidak hanya terbatas pada teori filosofis. Sebagai intelektual yang aktif dalam lembaga-lembaga pendidikan dan kajian (terutama yang terkait dengan INSISTS dan Gontor), ia telah menerjemahkan pemikiran filosofis yang kompleks menjadi bahan yang dapat diakses dan relevan untuk pendidikan tinggi dan madrasah. Kontribusinya mencakup beberapa domain utama:
Salah satu kekuatan utama pemikirannya adalah kemampuannya untuk mengklarifikasi terminologi filosofis yang sering disalahpahami atau digunakan secara sembarangan oleh kaum Muslim modern. Ia secara cermat membedakan antara istilah-istilah yang memiliki akar Islam yang sah (misalnya, ‘rasionalitas’ dalam arti ‘aql) dan istilah-istilah yang sarat muatan sekular (misalnya, ‘rasionalisme’ dalam arti otonomi mutlak dari wahyu).
Misalnya, ia sering menyoroti penggunaan kata ‘pluralisme’ yang sering dikacaukan dengan ‘toleransi’. Menurutnya, Islam sangat menganjurkan toleransi (tasamuh), tetapi pluralisme (dalam arti bahwa semua agama adalah sama dan semua klaim kebenaran adalah setara) adalah pandangan teologis yang bertentangan dengan Tauhid. Klarifikasi terminologis ini sangat penting untuk mencegah penetrasi ideologi asing di bawah kedok istilah yang tampak baik.
Lebih jauh lagi, Syamsuddin Arif sering menekankan pentingnya penggunaan bahasa Arab dan istilah teknis Islam yang otentik, bukan sebagai bentuk konservatisme linguistik, melainkan sebagai upaya untuk menjaga keutuhan konsep. Ketika konsep-konsep Islam diterjemahkan secara paksa ke dalam kerangka terminologis Barat, seringkali maknanya terdistorsi atau tersekularisasi. Memahami istilah-istilah seperti tawhid, adab, nafs, ‘ilm, dan hikmah dalam konteks asalnya adalah langkah krusial dalam melawan imperialisme intelektual.
Syamsuddin Arif juga memberikan kritik keras terhadap teori-teori perubahan sosial dan modernisasi yang berasumsi bahwa sekularisasi adalah keniscayaan historis (seperti tesis Weber atau Durkheim). Ia berpendapat bahwa asumsi ini adalah narasi yang bersifat sirkular dan sarat nilai Barat, yang didorong oleh pengalaman sejarah Eropa. Ia menolak gagasan bahwa dunia Muslim harus menjalani proses pencerahan (Enlightenment) yang sama untuk mencapai kemajuan.
Kemajuan, dari sudut pandang Islamisasi, tidak diukur semata-mata dari kemajuan teknologi atau pertumbuhan ekonomi, tetapi dari realisasi adab dan keadilan. Perubahan sosial yang benar harus dimulai dari perubahan intelektual, yaitu melalui restorasi pandangan alam yang benar. Selama pikiran Muslim masih dijajah oleh kerangka sekular, semua reformasi politik atau ekonomi hanya akan bersifat superfisial dan sementara.
Oleh karena itu, proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang diusungnya bukan hanya proyek akademik di menara gading, tetapi merupakan inti dari proyek peradaban. Jika ilmuwan dan intelektual Muslim gagal mengatasi krisis epistemologis ini, mereka akan terus menghasilkan generasi yang terputus dari tradisi intelektual mereka sendiri, yang menderita skizofrenia intelektual—mempercayai Tauhid di masjid, tetapi mempraktikkan relativisme di laboratorium atau ruang kuliah.
Pikiran Syamsuddin Arif memiliki implikasi yang mendalam bagi sistem pendidikan Islam di semua tingkatan. Jika Pandangan Alam Islam adalah fondasi, maka kurikulum dan metodologi pengajaran harus disesuaikan untuk mencerminkan kesatuan ilmu.
Pendidikan Islam seringkali terfragmentasi, memisahkan ilmu agama (naqli, berdasarkan teks) dari ilmu umum (‘aqli, berdasarkan akal/observasi). Syamsuddin Arif menekankan bahwa pemisahan ini adalah warisan dari sekularisasi pendidikan. Dalam kerangka Islam yang benar, semua ilmu adalah satu, karena semua adalah ayatullah (tanda-tanda Allah). Ilmu fisika adalah studi tentang tanda-tanda Allah dalam materi, sama seperti Tafsir adalah studi tentang tanda-tanda Allah dalam Kitab Suci.
Integrasi ini menuntut para pengajar ilmu umum untuk memahami dasar-dasar teologi dan filsafat Islam, dan sebaliknya, para ulama agama harus memiliki pemahaman mendasar tentang ilmu alam dan sosial. Pendidikan harus menghasilkan individu yang memiliki adab yang utuh, yang mampu melihat dimensi metafisik di balik fenomena fisik.
Integrasi ini juga mencegah ‘fetisisme ilmu’ (pemuliaan ilmu tanpa mempertanyakan tujuan moralnya). Ilmu pengetahuan, baginya, harus selalu terikat pada tujuan yang lebih tinggi, yaitu mendekatkan manusia pada Allah dan menghasilkan keadilan di bumi. Ketika ilmu disekularisasi dan diasingkan dari tujuan spiritual ini, ilmuwan dapat dengan mudah menjadi budak teknologi atau pasar. Syamsuddin Arif secara tegas menentang pandangan bahwa ilmu adalah tujuan akhir; ilmu adalah sarana (wasilah) menuju kebenagiaan (sa'adah).
Agar Islamisasi Ilmu Pengetahuan berhasil pada tingkat universitas, Syamsuddin Arif percaya bahwa penanaman pandangan alam harus dimulai sejak dini. Konsep-konsep dasar seperti Tauhid, penciptaan, dan tanggung jawab moral harus ditanamkan secara sistematis, tidak hanya sebagai hafalan, tetapi sebagai kerangka interpretasi yang utuh terhadap realitas. Pendidikan dasar harus membekali anak didik dengan imunitas intelektual terhadap racun-racun sekularisme yang akan mereka hadapi di masa depan.
Jika seorang Muslim telah memiliki pandangan alam yang kokoh, ketika ia mempelajari teori evolusi Barat atau teori ekonomi liberal, ia tidak akan merasa terguncang atau terpaksa memilih antara keyakinan dan ilmu. Sebaliknya, ia akan mampu menganalisis, mengambil yang benar, dan menolak asumsi-asumsi yang bertentangan dengan Tauhid, tanpa harus menolak ilmu itu sendiri. Ini adalah hasil dari penanaman adab dan epistemologi yang benar.
Meskipun Syamsuddin Arif lebih banyak mengkritik Modernisme dan Sekularisme, pemikirannya juga menyediakan alat yang kuat untuk menghadapi tantangan Post-Modernisme. Post-Modernisme, dengan penekanannya pada dekonstruksi narasi besar, skeptisisme radikal, dan penolakan terhadap kebenaran objektif, sebenarnya adalah kelanjutan logis dari relativisme sekular yang ia kritik.
Jika Modernisme mencoba menyingkirkan Tuhan untuk memuliakan akal, Post-Modernisme pada akhirnya menyingkirkan akal itu sendiri setelah menyadari kegagalannya mencapai kebenaran mutlak. Dalam kondisi ini, Syamsuddin Arif menawarkan pelabuhan yang aman: kebenaran absolut yang berpusat pada Wahyu (Allah), yang melampaui kelemahan dan keterbatasan baik rasionalisme Modern maupun nihilisme Post-Modern.
Pandangan alam Islam menawarkan kembali kepastian (yaqin) yang dirindukan oleh jiwa modern yang tersesat. Kepastian ini bukan kepastian dogmatis yang menolak akal, melainkan kepastian yang dihasilkan dari integrasi harmonis antara wahyu, akal, dan indra. Dengan demikian, proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan bukan hanya relevan untuk dunia Muslim, tetapi juga menawarkan model peradaban alternatif bagi dunia yang dilanda kebingungan dan krisis moral universal.
Inti dari seruan Syamsuddin Arif adalah restorasi etos keilmuan Muslim yang otentik. Etos ini menuntut tanggung jawab yang jauh lebih besar daripada sekadar menjadi ahli teknis dalam bidang spesialisasi tertentu. Intelektual Muslim, menurutnya, harus menjadi pewaris tradisi kenabian (waratsatul anbiya’), yang berarti mereka harus mampu memimpin masyarakat menuju kebenaran dan keadilan.
Etos ini menekankan bahwa ilmu harus dicari untuk mendapatkan ridha Allah, bukan semata-mata untuk status sosial, kekayaan, atau kekuasaan. Ini adalah perbedaan mendasar dengan etos keilmuan sekular yang seringkali memandang ilmu sebagai alat untuk dominasi (baik terhadap alam maupun manusia). Ketika ilmu dicari dengan adab dan niat yang benar, ia akan menghasilkan teknologi dan kebijakan yang beretika, yang menghormati lingkungan dan martabat manusia.
Ia sering mengingatkan bahwa sejarah Islam dipenuhi dengan contoh-contoh di mana ilmuwan adalah juga ulama dan filosof (seperti Ibn Sina, Al-Farabi, atau Al-Ghazali), yang tidak pernah memisahkan studi mereka tentang alam dari studi mereka tentang wahyu. Kebangkitan peradaban Islam di masa kini, menurutnya, akan sangat bergantung pada seberapa sukses para intelektual kontemporer dalam mengintegrasikan kembali kedua dimensi ilmu yang telah dipisahkan oleh pandangan alam sekular.
Karya-karya Syamsuddin Arif secara implisit menunjukkan bahwa krisis internal umat Islam—fragmentasi sosial, konflik ideologi, dan kelemahan politik—sebagian besar berakar pada fragmentasi intelektual. Ketika pandangan alam umat terpecah (antara yang sekular murni dan yang tradisionalis sempit), visi tentang kebenaran dan tujuan hidup menjadi kabur.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah proyek penyatuan. Dengan mengembalikan Tauhid sebagai pusat epistemologi dan ontologi, ia berharap dapat membangun kesamaan dasar intelektual yang memungkinkan umat Islam bersatu di bawah satu pandangan alam yang koheren dan benar. Kesatuan ini, pada gilirannya, adalah prasyarat untuk kebangkitan kembali kekuatan peradaban Islam yang mampu menawarkan solusi bagi masalah-masalah global.
Secara keseluruhan, Syamsuddin Arif hadir sebagai pemikir yang tegas dan konsisten dalam proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Ia memberikan peta jalan yang jelas, tidak hanya untuk mengkritik kegagalan modernitas, tetapi juga untuk membangun fondasi intelektual yang kuat dan abadi bagi generasi Muslim mendatang, berakar pada kemurnian pandangan alam Islam dan disiplin adab yang menyeluruh. Proyek intelektualnya merupakan seruan untuk kembali kepada kebenaran mutlak dan menolak relativisme yang merusak jiwa dan peradaban.
Pembahasan mendalam mengenai kontribusi Syamsuddin Arif dalam ranah pemikiran Islam kontemporer menegaskan kembali bahwa perjuangan melawan sekularisasi bukan hanya perjuangan politik atau ritual, melainkan terutama perjuangan intelektual yang harus dimenangkan di tingkat epistemologi dan ontologi. Tanpa membersihkan ilmu dari asumsi-asumsi asing, upaya kebangkitan peradaban akan selalu sia-sia, karena fondasi pemikirannya sendiri telah tergerus. Ilmu yang Islami adalah ilmu yang menyelamatkan, ilmu yang mengenalkan manusia pada hakikat dirinya dan Tuhannya. Inilah inti pesan yang terus digaungkan oleh Syamsuddin Arif.
Perjuangan Syamsuddin Arif dalam memurnikan ilmu pengetahuan adalah sebuah usaha tanpa henti untuk mengembalikan martabat manusia sebagai makhluk yang berakal dan beradab, yang ilmunya harus tunduk pada kehendak Ilahi. Ini adalah warisan intelektual yang terus memberikan inspirasi bagi para sarjana dan aktivis pendidikan di seluruh dunia Muslim yang berupaya membangun kembali institusi keilmuan berdasarkan fondasi Tauhid yang kuat dan tak tergoyahkan. Setiap disiplin ilmu, dari kosmologi hingga sosiologi, harus dilihat dan dipelajari melalui lensa ini, memastikan bahwa pengetahuan yang diperoleh tidak hanya informatif tetapi juga transformatif dan menyelamatkan jiwa.
Secara praktis, karya-karya beliau menyediakan kerangka kurikuler yang menantang institusi pendidikan Islam tradisional maupun modern. Ia menuntut agar institusi tersebut berhenti meniru model Barat yang gagal dan mulai berinvestasi dalam pengembangan kurikulum yang secara eksplisit mengajarkan pandangan alam Islam. Ini melibatkan pengembangan teks-teks akademik baru, penggunaan metodologi pengajaran yang menumbuhkan adab, dan penekanan pada sintesis antara warisan keilmuan Islam (turath) dan tantangan ilmiah kontemporer.
Konsep adab yang dihidupkan kembali oleh Syamsuddin Arif berfungsi sebagai jembatan yang hilang antara ilmu dan moralitas. Di dunia yang semakin maju secara teknologi tetapi mundur secara etika, penekanan pada disiplin diri, kerendahan hati intelektual, dan pengakuan terhadap batas-batas pengetahuan manusia adalah obat yang paling dibutuhkan. Ilmuwan yang beradab adalah ilmuwan yang mengakui bahwa kebenaran tertinggi berada di luar jangkauan eksperimen laboratorium semata, dan bahwa setiap penemuan hanyalah penguat bagi keagungan Pencipta.
Lebih jauh lagi, Syamsuddin Arif memperingatkan bahwa bahaya terbesar bagi umat Islam saat ini bukanlah kurangnya sumber daya material, melainkan kekurangan kejelasan intelektual dan kekacauan konseptual. Kekalahan intelektual mendahului kekalahan militer atau ekonomi. Selama pemikir Muslim masih mengoperasikan sistem berpikir yang didasarkan pada asumsi sekular atau liberal, mereka akan terus tanpa sengaja memperkuat struktur ideologis yang melemahkan keyakinan mereka sendiri. Inilah mengapa proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan bukan hanya sebuah kemewahan akademis, melainkan keharusan peradaban.
Kritik tajamnya terhadap rasionalitas Barat juga mencakup analisis mendalam tentang relativisme budaya dan historisisme. Ia menunjukkan bagaimana pandangan bahwa semua kebenaran adalah produk sejarah atau budaya secara efektif meniadakan klaim universal Islam. Jika kebenaran Islam hanyalah kebenaran budaya abad ketujuh di Arab, maka ia kehilangan relevansinya bagi dunia modern. Syamsuddin Arif dengan gigih mempertahankan bahwa Islam, sebagai wahyu Ilahi, membawa kebenaran trans-historis dan trans-kultural, dan ilmu yang dibangun di atasnya juga memiliki validitas universal.
Untuk memahami sepenuhnya sumbangan Syamsuddin Arif, kita harus melihatnya sebagai bagian dari gerakan intelektual global yang berupaya melawan hegemoni pemikiran Barat tanpa jatuh ke dalam anti-intelektualisme. Ia menggunakan alat-alat filsafat yang paling canggih—logika, metafisika, dan epistemologi—untuk menunjukkan batas-batas alat-alat tersebut ketika dilepaskan dari panduan wahyu. Ini adalah strategi yang kuat: menggunakan rasio untuk membuktikan pentingnya wahyu, dan menggunakan sejarah untuk membuktikan kelemahan sekularisme.
Pekerjaan Syamsuddin Arif memberikan pembenaran filosofis yang kuat bagi upaya banyak institusi pendidikan yang kini berjuang untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan. Ia menyediakan bahasa dan kerangka konseptual yang memungkinkan para pendidik dan sarjana untuk mengatasi dilema lama antara mempertahankan identitas Islam dan mengejar keunggulan ilmiah. Solusinya bukanlah kompromi, melainkan sintesis yang transformatif, di mana ilmu pengetahuan berkembang dalam kerangka Tauhid.
Kunci dari seluruh pemikirannya adalah penolakan terhadap dualisme yang dibawa oleh sekularisme. Dualisme antara spiritual dan material, antara akal dan hati, antara dunia dan akhirat. Pandangan alam Islam yang ia pertahankan adalah pandangan yang holistik dan monistik (dalam konteks Tauhid), di mana semua aspek eksistensi terjalin dalam jaringan makna yang tunggal dan terpadu. Misi intelektualnya adalah memulihkan keutuhan ini dalam diri setiap Muslim dan dalam setiap disiplin ilmu.
Dalam konteks Indonesia dan kawasan yang rentan terhadap pergeseran ideologis, pemikiran Syamsuddin Arif berperan sebagai benteng. Dengan memberikan analisis yang jelas tentang bahaya-bahaya liberalisme dan sekularisme radikal, ia membekali para mahasiswa dan cendekiawan muda dengan perangkat intelektual untuk mempertahankan keyakinan mereka di tengah badai ideologi yang kompleks. Ini adalah layanan peradaban yang tidak ternilai, yang memastikan bahwa generasi penerus memiliki akar yang kuat dalam tradisi intelektual Islam yang kaya.
Pengaruh Syamsuddin Arif melampaui ruang kuliah. Karyanya telah menjadi rujukan penting bagi organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pendidikan dan dakwah intelektual, yang menyadari bahwa mengubah masyarakat dimulai dengan mengubah cara mereka berpikir. Dengan fokus yang tak tergoyahkan pada epistemologi—bagaimana kita tahu apa yang kita tahu—ia memastikan bahwa reformasi yang diupayakan berakar pada kebenaran yang solid, bukan hanya pada emosi atau reaksi sesaat terhadap modernitas.
Singkatnya, sumbangan Syamsuddin Arif adalah sebuah panggilan peradaban untuk mengembalikan ilmu pengetahuan pada tempatnya yang benar: sebagai sarana untuk mengenal Allah (ma'rifah) dan menegakkan keadilan (‘adl). Ini adalah panggilan untuk menjembatani jurang antara keilmuan sekular yang dingin dan spiritualitas yang tidak berdasar, melalui kerangka pandangan alam Islam yang utuh, etis, dan komprehensif. Upaya ini akan terus relevan dan mendesak selama sekularisme tetap menjadi kekuatan dominan yang membentuk wacana global.
Dengan penekanannya pada kehati-hatian dalam menerima konsep-konsep Barat dan pentingnya pemahaman mendalam terhadap warisan intelektual Islam, ia memastikan bahwa Islamisasi bukan proyek yang reaktif atau apologetik, melainkan sebuah proyek proaktif yang didasarkan pada keyakinan diri intelektual. Umat Islam memiliki kerangka filosofis dan epistemologis mereka sendiri, yang secara inheren lebih unggul dan menyeluruh daripada sistem pemikiran yang muncul dari krisis historis peradaban lain. Tugas Syamsuddin Arif adalah mengingatkan dan mengajarkan bagaimana mengoperasikan sistem pemikiran yang unggul ini.
Penjelasan yang berulang dan mendalam tentang elemen-elemen pandangan alam—Tauhid, wahyu, insan, dan adab—menunjukkan bahwa tidak ada jalan pintas menuju Islamisasi ilmu. Itu adalah proses yang menuntut ketelitian, kejelasan konseptual, dan keteguhan moral. Ilmu pengetahuan modern telah berhasil menguasai teknologi dan materi, tetapi gagal dalam memberikan makna dan bimbingan moral. Syamsuddin Arif menunjukkan bahwa Islamisasi ilmu adalah jawaban terhadap kehampaan spiritual peradaban modern, menawarkan tidak hanya solusi teknis tetapi juga pemenuhan spiritual dan kebahagiaan sejati (sa'adah).
Dalam konteks akademik yang lebih luas, karyanya berfungsi sebagai bantahan terhadap klaim bahwa Islam tidak memiliki filsafat ilmu yang koheren. Dengan menggali tradisi para ulama klasik dan menyajikannya dalam bahasa yang relevan untuk abad kontemporer, ia membuktikan bahwa Islam menawarkan fondasi metafisik yang lebih kuat dan lebih stabil untuk ilmu pengetahuan daripada fondasi sekular yang rentan terhadap skeptisisme dan relativisme. Pandangan alam Islam, sebagaimana diuraikan oleh Syamsuddin Arif, adalah warisan yang harus dijaga, dipelajari, dan diwujudkan dalam setiap aspek kehidupan intelektual dan praktik sehari-hari.
Krisis yang dihadapinya, yaitu krisis identitas dan epistemologi, mengharuskan solusi yang bersifat mendasar dan menyeluruh. Mengutip kembali intisari pemikirannya: restorasi peradaban Islam dimulai bukan dengan mengubah struktur politik atau ekonomi, melainkan dengan membersihkan dan menguatkan pandangan alam yang menjadi dasar dari semua tindakan dan ilmu. Ini adalah tugas abadi, yang telah diemban oleh para pemikir besar Islam sepanjang sejarah, dan Syamsuddin Arif berdiri tegak dalam barisan mereka, menyeru kepada kesadaran dan kemurnian ilmu.