Setiap manusia dalam hidupnya pasti merenungkan, apa sebenarnya tujuan keberadaan saya di dunia ini? Pencarian makna eksistensi ini adalah perjalanan universal, dan bagi miliaran umat Islam, jawabannya terangkum indah dalam inti ibadah: shalat. Frasa "Tujuan hidup inna sholati"—yang berarti "Sesungguhnya shalatku"—bukan sekadar penggalan ayat, melainkan deklarasi fundamental tentang prioritas dan arah hidup seorang Muslim.
Ilustrasi: Shalat sebagai poros utama kehidupan.
Makna mendalam ini bersumber dari firman Allah SWT dalam Surat Al-An'am ayat 162: "Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.'" Ayat ini adalah manifesto totalitas. Tujuan hidup tidak lagi terfragmentasi antara urusan duniawi dan ukhrawi; semuanya terintegrasi dalam satu kesatuan tujuan agung.
Jika shalat menjadi pusat orientasi, maka setiap aktivitas lainnya secara otomatis harus selaras. Shalat adalah sarana pelatihan disiplin spiritual harian. Lima kali sehari kita diinstruksikan untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk materialisme, menghadap Pencipta, dan menegaskan kembali ketaatan. Ini bukan hanya ritual fisik, tetapi penataan ulang ulang fokus mental dan emosional.
"Ketika seseorang benar-benar memahami 'inna sholati', maka tidur, makan, bekerja, bahkan interaksi sosialnya akan terbingkai sebagai bagian dari ibadah yang lebih besar."
Bagaimana shalat secara praktis menentukan tujuan hidup? Pertama, ia menetapkan ritme. Dalam dunia modern yang serba cepat, mudah sekali tersesat tanpa jangkar. Shalat lima waktu berfungsi sebagai kompas yang secara teratur mengkalibrasi arah kita kembali ke utara spiritual. Ketika kita bersujud, kita sedang mengakui bahwa segala sumber kekuatan dan keberhasilan berasal dari Yang Maha Kuasa, menumbuhkan kerendahan hati sekaligus optimisme.
Kedua, shalat membentuk karakter. Disiplin yang diperlukan untuk menjaga shalat tepat waktu menanamkan sifat tanggung jawab dan ketelitian. Ketenangan yang dicari dalam rukuk dan sujud mengajarkan kita untuk menghadapi kesulitan hidup dengan ketenangan batin. Ketika seseorang berhasil menegakkan tiang agamanya, energi dan kejernihan pikirannya akan memancar ke aspek-aspek lain: pekerjaan menjadi lebih fokus, hubungan sosial menjadi lebih harmonis, dan pengambilan keputusan didasari oleh prinsip moral yang kuat.
Pencarian tujuan hidup seringkali terjebak dalam ambisi materi: jabatan, kekayaan, atau popularitas. Namun, deklarasi "hidupku untuk Allah" secara eksplisit menggeser perspektif ini. Kekayaan dan jabatan hanyalah sarana, bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah mencapai keridhaan ilahi (Ridwanullah).
Dalam konteks ini, bekerja keras bukan lagi sekadar demi menumpuk harta, melainkan sebagai bentuk jihad (perjuangan) dalam mencari nafkah yang halal dan memberikan manfaat bagi sesama. Tujuan hidup menjadi multidimensi: sukses di dunia diukur dari seberapa baik kita menggunakan karunia duniawi untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dan persiapan intensif untuk kehidupan abadi.
Penegasan bahwa "ibadahku untuk Allah" juga mencakup semua bentuk ketaatan, seperti berbuat baik kepada orang tua, menolong tetangga, menjaga lingkungan, dan berjuang melawan ketidakadilan. Semua itu menjadi bagian integral dari totalitas persembahan diri yang dimulai dari ruang shalat.
Menyimpulkan filosofi di balik tujuan hidup inna sholati adalah menyadari bahwa tidak ada pemisahan antara ibadah ritual (mahdah) dan ibadah sosial (ghairu mahdah). Shalat adalah jembatan penghubung yang memastikan bahwa energi spiritual yang kita peroleh dari sujud tidak terhenti di sajadah, melainkan mengalir menjadi energi positif dalam interaksi kita sehari-hari.
Ketika kesadaran ini tertanam kuat, maka pertanyaan "Apa tujuan hidupku?" memiliki jawaban yang jelas, terstruktur, dan menenangkan. Tujuan hidup adalah pengabdian penuh yang manifestasinya terlihat dalam setiap detik kehidupan, dimulai dan diakhiri dengan penghormatan tertinggi melalui shalat.