Dalam ajaran Islam, ketaatan merupakan salah satu pilar penting dalam menjalankan kehidupan seorang Muslim. Ketaatan ini bukan sekadar kepatuhan buta, melainkan sebuah bentuk penghambaan yang tulus kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Di dalam Al-Qur'an, Allah SWT telah menetapkan sebuah kaidah fundamental yang menjadi panduan bagi umat Islam dalam menentukan siapa yang patut ditaati, yaitu dalam Surat An-Nisa ayat 59. Ayat ini memberikan penjelasan yang gamblang mengenai tingkatan ketaatan dan kepada siapa saja seorang Muslim diperintahkan untuk menaati.
Surat An-Nisa, yang berarti "Wanita", adalah surat Madaniyah yang terdiri dari 176 ayat. Ayat 59 dari surat ini memiliki makna yang mendalam dan sangat relevan bagi seluruh umat Islam, di mana pun dan kapan pun mereka berada. Ayat ini menjadi landasan dalam mengatur hubungan sosial dan pemerintahan dalam tatanan masyarakat Muslim, menekankan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan melalui kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Ilahi.
Ayat ini secara tegas memerintahkan umat Islam untuk menaati tiga pihak utama: Allah SWT, Rasulullah SAW, dan ulil amri (pemimpin atau penguasa yang adil). Ketaatan kepada Allah adalah kewajiban tertinggi, karena Dialah sumber segala kebenaran dan hukum. Ketaatan kepada Rasulullah SAW adalah konsekuensi logis dari keimanan kepada Allah, karena beliau adalah utusan-Nya yang membawa ajaran dan petunjuk dari-Nya. Rasulullah SAW telah menjelaskan dan mempraktikkan ajaran Allah dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menaatinya berarti menaati Allah.
Selanjutnya, ayat ini juga memerintahkan untuk menaati ulil amri. Siapakah ulil amri ini? Para ulama menafsirkan ulil amri sebagai para pemimpin, penguasa, atau pemerintah yang menjalankan urusan kaum Muslimin dengan adil dan berdasarkan syariat Allah. Ketaatan kepada mereka bersifat terikat, selama mereka tidak memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini penting untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan kemaslahatan umat. Tanpa kepemimpinan yang ditaati, sebuah masyarakat akan mudah terpecah belah dan dilanda kekacauan.
Bagian penting lainnya dari ayat ini adalah perintah untuk mengembalikan perselisihan kepada Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Frasa "fain tanaza'tum fi syai'in, faruddūhu ilā Allāhi wa-r-rasūli" menegaskan bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah. Ketika terjadi perbedaan pendapat, baik di antara sesama Muslim maupun antara rakyat dan pemimpin, maka penyelesaiannya harus merujuk pada nash-nash syariat yang ada. Ini adalah mekanisme krusial untuk memastikan bahwa setiap keputusan dan tindakan senantiasa selaras dengan kehendak Ilahi, bukan berdasarkan hawa nafsu atau kepentingan sesaat.
Ketentuan ini menjadi jaminan bahwa keadilan dan kebenaran akan selalu ditegakkan. Dengan berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah, umat Islam dapat terhindar dari penyimpangan dan kesesatan. Ayat ini juga secara implisit mengajarkan pentingnya musyawarah dan penyelesaian konflik secara damai, serta mengingatkan bahwa keimanan sejati diwujudkan melalui ketaatan dan kepatuhan pada hukum Allah, yang berujung pada kebaikan dunia dan akhirat. Kehidupan yang harmonis dan penuh berkah hanya dapat terwujud jika landasan utamanya adalah kepatuhan kepada Sang Pencipta dan ajaran-Nya.
Memahami dan mengamalkan isi dari Surat An-Nisa ayat 59 adalah sebuah keniscayaan bagi setiap Muslim. Ayat ini memberikan kerangka kerja yang jelas untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara, menekankan pentingnya otoritas yang sah, keadilan, dan penyelesaian masalah berdasarkan wahyu. Dengan demikian, umat Islam dapat senantiasa berada di jalan yang diridhai Allah SWT, menuju keselamatan dan kebahagiaan abadi.