Melihat Kembali Naskah Dasar Negara Republik Indonesia
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah konstitusi pertama Republik Indonesia yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Naskah asli UUD 1945 ini mencerminkan semangat revolusi, kebutuhan mendesak untuk membentuk negara, dan ideologi yang baru lahir. Struktur dan semangatnya berbeda signifikan dari naskah yang berlaku setelah serangkaian amandemen besar yang dilakukan pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21.
Sebelum amandemen, UUD 1945 dirancang dengan asumsi bahwa negara Indonesia masih dalam kondisi transisi dan perlu kepemimpinan yang kuat. Ini terlihat dari struktur kekuasaan yang cenderung terpusat. Fokus utama naskah asli adalah penegasan kedaulatan rakyat melalui sistem perwakilan, namun dengan mekanisme kontrol yang relatif minim dibandingkan dengan versi pasca-amandemen. Pasal-pasal yang mengatur hubungan antara lembaga negara, terutama antara Presiden dan lembaga legislatif, menunjukkan sifat eksekutif yang dominan.
Salah satu ciri paling menonjol dari UUD 1945 sebelum amandemen adalah singkatnya dan fleksibilitasnya yang luar biasa. Naskah asli hanya terdiri dari 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, dan 2 ayat aturan tambahan. Fleksibilitas ini, yang awalnya dianggap kekuatan dalam masa perjuangan, kemudian menjadi sumber perdebatan ketika negara memasuki era demokrasi yang lebih matang.
Dalam naskah asli, MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) memegang kekuasaan tertinggi sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat. Presiden dipilih oleh MPR dan bertanggung jawab kepada MPR. Ini sangat berbeda dengan sistem presidensial modern yang kita kenal saat ini, di mana presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Selain itu, konsep tentang Hak Asasi Manusia (HAM) belum sejelas dan selengkap dalam bab tersendiri seperti yang ditambahkan pada amandemen kedua. Meskipun ada ketentuan mengenai hak warga negara, penekanannya lebih pada kewajiban bernegara.
Pembukaan UUD 1945, dengan lima alinea-nya yang melegenda, tetap menjadi inti filosofis yang tak tersentuh oleh amandemen manapun. Alinea keempat Pembukaan, yang memuat dasar negara Pancasila, tujuan negara, dan bentuk negara (Republik Kesatuan), adalah fondasi ideologis yang dipertahankan seutuhnya. Namun, ketika kita mengkaji Batang Tubuh, perubahannya sangat kentara.
Sebagai contoh, pembahasan mengenai lembaga negara dalam naskah asli tidak merinci secara eksplisit keberadaan lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusi (MK) atau Komisi Yudisial (KY). Lembaga peradilan, misalnya, diatur secara lebih umum di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sistem Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga memiliki mandat yang berbeda. Perubahan substansial ini menunjukkan bahwa UUD 1945 sebelum amandemen dirancang untuk sistem pemerintahan yang sangat berbeda, yang lebih mengutamakan efektivitas dalam situasi darurat ketimbang mekanisme checks and balances yang ketat.
Memahami teks asli UUD 1945 adalah kunci untuk mengapresiasi perjalanan konstitusional Indonesia. Naskah 1945 merupakan dokumen kemenangan kemerdekaan. Kekuatan dan kelemahannya—terutama potensi sentralisasi kekuasaan—terungkap seiring dengan bertambahnya usia republik. Kritik terhadap pasal-pasal yang memberi ruang besar bagi kekuasaan eksekutif menjadi salah satu pemicu utama tuntutan reformasi.
Oleh karena itu, mempelajari UUD 1945 sebelum amandemen bukan sekadar kajian historis, melainkan pemahaman mendalam tentang titik tolak konstitusional bangsa. Ini membantu kita membandingkan filosofi negara pendiri dengan tuntutan demokrasi modern, di mana akuntabilitas publik, supremasi hukum, dan perlindungan hak asasi menjadi parameter utama sebuah konstitusi yang hidup dan berkembang.