UUD 1945 yang Belum Diamandemen: Telaah Aspek Orisinal

Hukum

Representasi visual konsep dasar hukum konstitusi

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan norma hukum tertinggi di Indonesia. Meskipun telah mengalami empat kali perubahan signifikan melalui proses amandemen sejak akhir era Orde Baru, studi mengenai naskah aslinya—yakni UUD 1945 yang belum diamandemen—tetap menjadi penting. Memahami teks orisinal ini memungkinkan kita untuk menelusuri visi para pendiri bangsa (the founding fathers) sebelum intervensi historis mengubah struktur ketatanegaraan secara mendasar.

Karakteristik Lembaga Negara Dalam Naskah Orisinal

Salah satu perbedaan paling mencolok antara UUD 1945 sebelum amandemen dengan yang berlaku saat ini adalah struktur lembaga negara, khususnya mengenai peran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam teks asli, MPR memegang kedaulatan tertinggi dan memiliki kekuasaan yang sangat luas. MPR didefinisikan sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi, yang melahirkan anggapan bahwa Indonesia menganut sistem MPR sebagai supralembaga.

Sebelum amandemen, Presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar dan dipilih oleh MPR, bukan secara langsung oleh rakyat. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa jabatan lima tahun, dan dapat dipilih kembali oleh MPR tanpa batasan periode. Struktur ini berbeda kontras dengan sistem presidensial modern yang menekankan pemisahan kekuasaan yang lebih tegas dan akuntabilitas langsung kepada pemilih. Keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah ciri khas fundamental dari konstitusi awal.

Kewenangan Kekuasaan Kehakiman yang Berbeda

Dalam UUD 1945 yang belum diamandemen, Mahkamah Agung (MA) memang telah eksis, namun tidak ada lembaga Mahkamah Konstitusi (MK). Konstitusi asli menitikberatkan peran MA sebagai lembaga yudikatif tertinggi dengan kewenangan mengadili pada tingkat kasasi. Konstitusi ini belum menggarisbawahi secara eksplisit mengenai pengujian undang-undang terhadap konstitusi (judicial review) yang kini menjadi domain utama MK. Ketiadaan MK menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan konstitusionalitas peraturan perundang-undangan dilaksanakan melalui ranah yang berbeda, seringkali diasumsikan berada di tangan MA atau melalui mekanisme politik di MPR.

Selain itu, pembahasan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) pada naskah orisinal cenderung lebih ringkas dan terintegrasi di dalam pasal-pasal mengenai tujuan negara, dibandingkan dengan bab khusus HAM yang diperluas secara substansial pasca amandemen. Meskipun semangat penghormatan terhadap hak-hak dasar sudah termuat, elaborasi dan jaminan normatifnya jauh lebih terperinci dalam naskah hasil amandemen.

Sistem Pemerintahan dan Keseimbangan Kekuasaan

Naskah asli UUD 1945 seringkali digambarkan memiliki nuansa campuran antara sistem presidensial dan parlementer, meskipun secara formal diklasifikasikan sebagai presidensial. Hal ini disebabkan oleh pengaruh MPR yang kuat dan kedekatan hubungan antara eksekutif (Presiden) dengan badan legislatif (DPR). Pertanggungjawaban Presiden kepada MPR memberikan ruang bagi MPR untuk sewaktu-waktu dapat memberhentikan Presiden, sebuah mekanisme yang lebih menyerupai kontrol parlementer dibandingkan presidensial murni.

Memahami UUD 1945 yang belum diamandemen adalah jendela untuk merefleksikan bagaimana Indonesia berupaya menata organisasinya di masa transisi kemerdekaan, ketika tantangan utama adalah konsolidasi negara dari ancaman internal dan eksternal. Ketidaksempurnaan atau fleksibilitas yang ada dalam teks awal tersebut kemudian menjadi dasar argumentasi kuat bagi para reformis di era selanjutnya untuk mengamandemennya demi mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis, akuntabel, dan sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, telaah historis ini bukan sekadar kajian akademis, melainkan juga penelusuran akar pemikiran ketatanegaraan bangsa Indonesia.

🏠 Homepage