Membahas tekanan darah pada lansia adalah topik yang kompleks, berbeda signifikan dengan populasi dewasa muda. Seiring bertambahnya usia, pembuluh darah cenderung kehilangan elastisitasnya (kekakuan arteri), dan mekanisme regulasi tekanan darah (barorefleks) menjadi kurang responsif. Oleh karena itu, batasan 'normal' untuk individu lansia—yang umumnya didefinisikan sebagai mereka yang berusia 65 tahun ke atas—memerlukan pertimbangan yang sangat cermat, menyeimbangkan risiko komplikasi kardiovaskular (seperti stroke dan serangan jantung) dengan risiko efek samping pengobatan, terutama hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah saat berdiri) yang dapat menyebabkan jatuh dan cedera serius.
Dalam panduan komprehensif ini, kita akan menyelami rekomendasi global terbaru, memahami mengapa target tekanan darah pada lansia yang sehat mungkin berbeda dari lansia yang rapuh (frail), dan mengeksplorasi strategi penanganan holistik yang mencakup gaya hidup dan intervensi farmakologis.
Proses penuaan membawa serangkaian perubahan fisiologis yang secara langsung memengaruhi sistem kardiovaskular. Memahami mekanisme ini adalah kunci untuk menetapkan target tekanan darah yang realistis dan aman bagi lansia. Perubahan ini sering kali menyebabkan tekanan darah sistolik (angka atas) meningkat secara progresif, sementara tekanan darah diastolik (angka bawah) mungkin stabil atau bahkan sedikit menurun.
Ini adalah perubahan paling mendasar. Seiring waktu, elastisitas pembuluh darah besar (aorta dan arteri utama) berkurang akibat penumpukan kolagen dan kalsifikasi. Pembuluh darah yang kaku tidak mampu menyerap tekanan yang dihasilkan oleh setiap detak jantung seefisien pembuluh darah yang fleksibel. Akibatnya, tekanan sistolik meningkat secara tajam.
Peningkatan tekanan sistolik yang terisolasi (Isolated Systolic Hypertension – ISH), di mana sistolik di atas 130 mmHg tetapi diastolik di bawah 80 mmHg, adalah bentuk hipertensi yang sangat umum pada lansia dan merupakan prediktor kuat risiko stroke serta penyakit jantung koroner. Pengelolaan ISH memerlukan pendekatan yang hati-hati untuk menurunkan sistolik tanpa membuat diastolik turun terlalu rendah, yang bisa mengganggu perfusi (aliran darah) ke jantung.
Penelitian menunjukkan bahwa setiap peningkatan 10 mmHg pada Tekanan Darah Nadi (Pulse Pressure, yaitu sistolik dikurangi diastolik) pada lansia dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular yang substansial. Ini menekankan bahwa fokus utama pengobatan pada lansia harus selalu tertuju pada pengendalian tekanan sistolik.
Barorefleks adalah sistem saraf otonom yang bertugas menjaga tekanan darah tetap stabil saat tubuh berubah posisi (misalnya, dari duduk ke berdiri). Pada lansia, sensitivitas barorefleks menurun. Ini berarti respons tubuh terhadap perubahan tekanan darah mendadak (seperti penurunan saat berdiri) menjadi lambat atau tidak memadai.
Penurunan respons ini adalah akar penyebab umum dari hipotensi ortostatik (HO). HO, yang didefinisikan sebagai penurunan sistolik ≥ 20 mmHg atau diastolik ≥ 10 mmHg dalam waktu 3 menit setelah berdiri, sangat berbahaya bagi lansia karena meningkatkan risiko jatuh, pingsan, dan cedera serius, bahkan patah tulang pinggul. Dokter harus selalu mempertimbangkan risiko HO ini saat meresepkan atau menyesuaikan dosis obat antihipertensi.
Fungsi ginjal cenderung menurun seiring bertambahnya usia, yang memengaruhi kemampuan tubuh untuk mengatur natrium (garam) dan volume cairan. Lansia seringkali menjadi lebih sensitif terhadap garam (salt-sensitive hypertension). Retensi natrium dapat meningkatkan volume darah total, yang secara langsung meningkatkan tekanan darah. Selain itu, sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) yang mengatur tekanan darah seringkali menjadi kurang aktif pada lansia, memengaruhi pilihan obat antihipertensi yang paling efektif.
Definisi 'normal' pada lansia tidak bersifat tunggal, melainkan spektrum yang bergantung pada kondisi kesehatan umum, tingkat kebugaran, dan keberadaan penyakit penyerta (komorbiditas). Batasan ini telah mengalami penyesuaian signifikan selama beberapa dekade terakhir, bergeser dari pendekatan yang lebih longgar (membiarkan sistolik hingga 150 mmHg) menjadi pendekatan yang lebih agresif (menargetkan di bawah 130 mmHg) untuk individu tertentu.
Mayoritas organisasi kesehatan global kini menekankan stratifikasi risiko lansia sebelum menentukan target.
| Kategori Lansia (Usia > 65 Tahun) | Target Tekanan Darah Sistolik (mmHg) | Dasar Pemikiran |
|---|---|---|
| Lansia Sehat dan Bugar (Fit Elderly) | < 130 | Tujuan meminimalkan risiko stroke dan gagal jantung. Umumnya, menargetkan 120-130 mmHg. |
| Lansia Umum (Tanpa komorbiditas berat) | < 140 | Target yang lebih konservatif untuk menghindari hipotensi, menyeimbangkan manfaat dan risiko. |
| Lansia Rapuh (Frail) atau Usia Sangat Tua (>85 Tahun) | 140–150 | Prioritas utama adalah kualitas hidup dan pencegahan jatuh. Penurunan tekanan darah yang terlalu drastis lebih berbahaya daripada peningkatan ringan. |
| Lansia dengan Diabetes atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) | < 130 | Kontrol yang lebih ketat diperlukan untuk melindungi organ target. |
Pada lansia, tekanan sistolik adalah perhatian utama. Tekanan sistolik di atas 130 mmHg secara konsisten dikaitkan dengan peningkatan risiko kardiovaskular. Namun, penting untuk tidak menurunkan tekanan sistolik di bawah 120 mmHg pada lansia, terutama yang memiliki riwayat penyakit arteri koroner, karena terlalu rendahnya tekanan darah dapat mengurangi aliran darah ke otot jantung (miokardium), sebuah kondisi yang disebut iskemia miokard.
Sistolik ideal berada dalam jendela terapi: 130 – 139 mmHg untuk mayoritas lansia yang sehat, dan 140 – 150 mmHg untuk yang rapuh.
Tekanan diastolik pada lansia seringkali rendah karena kekakuan arteri yang tinggi. Jika tekanan diastolik turun di bawah 60 mmHg, ini menjadi perhatian serius. Diastolik yang terlalu rendah, sering disebut 'J-curve phenomenon,' dikaitkan dengan peningkatan risiko iskemia jantung, terutama pada lansia dengan arteri yang sudah menyempit. Hal ini karena sebagian besar perfusi koroner (aliran darah ke jantung) terjadi selama fase diastolik. Menurunkan sistolik secara agresif dapat tanpa disengaja menekan diastolik hingga batas berbahaya.
Oleh karena itu, prinsip utama pengobatan hipertensi pada lansia adalah: Turunkan sistolik ke target yang aman, tetapi jaga diastolik agar tidak turun di bawah 60 mmHg, dan idealnya tetap di atas 70 mmHg.
Kondisi kerapuhan adalah faktor penentu utama dalam menetapkan target tekanan darah. Kerapuhan (frailty) adalah sindrom biologis yang ditandai dengan penurunan cadangan dan ketahanan terhadap stres, yang meningkatkan kerentanan terhadap hasil kesehatan yang buruk, termasuk jatuh, kecacatan, dan kematian.
Sebelum memulai atau menyesuaikan pengobatan hipertensi pada lansia, terutama yang berusia di atas 75 tahun, harus dilakukan PKG. PKG menilai lebih dari sekadar tekanan darah; ia mengevaluasi:
Jika seorang lansia dinilai sebagai sangat rapuh (misalnya, memerlukan bantuan total, memiliki demensia berat, dan sering jatuh), dokter seringkali akan memprioritaskan pengurangan poli-farmasi (penggunaan banyak obat) dan menetapkan target tekanan darah yang lebih longgar, misalnya di bawah 150/90 mmHg, untuk menjaga kualitas hidup dan stabilitas postur.
HO adalah musuh tersembunyi dalam pengobatan hipertensi lansia. HO seringkali asimtomatik pada awalnya, tetapi dapat menyebabkan pusing, kelemahan, dan akhirnya jatuh. Setiap lansia yang menjalani pengobatan hipertensi harus diukur tekanan darahnya dalam tiga posisi:
Jika terdeteksi HO, obat antihipertensi tertentu (terutama alfa-blocker atau diuretik dosis tinggi) mungkin perlu dikurangi atau dihentikan, meskipun tekanan darah saat berbaring masih sedikit tinggi. Memastikan stabilitas postur lebih penting daripada mencapai target sistolik yang 'sempurna'.
Meskipun intervensi obat seringkali diperlukan, modifikasi gaya hidup tetap menjadi dasar yang paling aman dan efektif, terutama bagi lansia yang berada di tahap pra-hipertensi atau hipertensi stadium 1 ringan.
Implementasi strategi non-farmakologis memerlukan kesabaran dan dukungan keluarga, karena lansia mungkin menghadapi hambatan seperti kesulitan mobilitas, perubahan rasa, atau masalah keuangan.
Seperti yang telah dibahas, sebagian besar lansia adalah 'salt-sensitive'. Mengurangi asupan natrium harian sangat vital. Target ideal adalah di bawah 1500 mg per hari, meskipun pengurangan bertahap hingga di bawah 2300 mg sudah memberikan manfaat yang signifikan.
Implementasi ini bukan hanya menghindari garam meja. Edukasi harus fokus pada sumber natrium tersembunyi, termasuk makanan olahan, sup kaleng, roti, dan makanan cepat saji. Pada lansia, pembatasan garam juga harus diawasi agar tidak mengurangi nafsu makan hingga menyebabkan malnutrisi.
Penting untuk melibatkan anggota keluarga atau pengasuh dalam proses diet ini, karena seringkali merekalah yang menyiapkan makanan. Pengurangan garam pada masakan harus dikombinasikan dengan penambahan bumbu alami seperti rempah-rempah (kunyit, jahe, bawang putih) untuk menjaga palatabilitas makanan.
Diet DASH berfokus pada peningkatan asupan buah, sayuran, biji-bijian utuh, dan produk susu rendah lemak, sekaligus membatasi lemak jenuh dan kolesterol. Diet ini secara alami kaya kalium, magnesium, dan kalsium, mineral yang membantu menurunkan tekanan darah.
Adaptasi DASH untuk lansia perlu mempertimbangkan:
Olahraga aerobik dan latihan ketahanan terbukti menurunkan tekanan darah. Namun, program olahraga lansia harus disesuaikan untuk meminimalkan risiko muskuloskeletal dan kardiovaskular.
Rekomendasi umum mencakup 30 menit aktivitas moderat minimal 5 hari seminggu. Bagi lansia, aktivitas moderat bisa berarti jalan kaki cepat, berenang ringan, atau berkebun.
Fokus harus diberikan pada:
Bagi lansia yang masih mengonsumsi alkohol, pembatasan ketat diperlukan (maksimal satu minuman per hari untuk wanita, dua untuk pria). Namun, bagi lansia yang tidak memiliki kebiasaan minum, tidak disarankan untuk memulai. Penghentian merokok adalah intervensi gaya hidup tunggal yang memberikan dampak terbesar dalam mengurangi risiko kardiovaskular pada usia berapa pun.
Saat tekanan darah tidak terkontrol hanya dengan modifikasi gaya hidup, intervensi farmakologis menjadi keharusan. Pemilihan obat pada lansia harus mempertimbangkan potensi interaksi obat (karena lansia sering menggunakan banyak obat/polifarmasi) dan risiko efek samping spesifik seperti hipotensi dan disfungsi ginjal.
Kebanyakan panduan merekomendasikan obat-obatan berikut sebagai lini pertama, tergantung pada komorbiditas pasien:
Strategi 'Start Low, Go Slow' (Mulai Rendah, Naikkan Pelan-pelan) adalah kunci. Dosis awal harus rendah, dan penyesuaian dosis harus dilakukan perlahan (setiap 4–6 minggu) sambil memantau gejala dan efek samping secara ketat.
Lansia rata-rata mengonsumsi 5-10 obat resep. Setiap obat antihipertensi yang ditambahkan meningkatkan risiko interaksi, terutama dengan obat non-resep atau suplemen. Misalnya, Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang sering digunakan untuk nyeri sendi, dapat menaikkan tekanan darah dan mengurangi efektivitas obat antihipertensi.
Pemeriksaan rutin oleh apoteker atau dokter yang berfokus pada de-prescribing (mengurangi obat yang tidak perlu) sangat penting untuk menyederhanakan rejimen pengobatan dan mengurangi beban pil (pill burden).
Pada lansia dengan diabetes, target sistolik harus lebih ketat (di bawah 130 mmHg) untuk mengurangi risiko komplikasi mikrovaskular. ACEI atau ARB adalah pilihan yang disukai karena perlindungan ginjalnya, tetapi pemantauan fungsi ginjal dan kalium harus intensif.
Semua kelas obat utama dapat digunakan, tetapi Beta-Blocker dan ACEI/ARB menjadi inti pengobatan. Penting untuk membedakan antara Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi yang Berkurang (HFrEF) dan Fraksi Ejeksi yang Dipertahankan (HFpEF), karena dosis dan target tekanan darah mungkin berbeda.
Target tekanan darah yang ketat (di bawah 130 mmHg) diperlukan untuk memperlambat perkembangan PGK. ACEI atau ARB adalah pilihan utama, tetapi diuretik loop (seperti Furosemide) mungkin diperlukan jika terdapat retensi cairan yang signifikan. Ketika fungsi ginjal semakin menurun, dosis ACEI/ARB harus disesuaikan, dan risiko hiperkalemia harus diwaspadai.
Pengukuran tekanan darah yang akurat adalah prasyarat keberhasilan pengobatan. Pada lansia, pengukuran harus dilakukan secara berkala dan seringkali, pemantauan tekanan darah di rumah (Home Blood Pressure Monitoring/HBPM) lebih diutamakan daripada pengukuran di klinik.
HBPM membantu mengatasi dua fenomena umum pada lansia:
Instruksi HBPM pada lansia harus sangat jelas: Gunakan manset yang tepat (ukuran harus sesuai dengan lingkar lengan), ukur dua kali di pagi hari sebelum minum obat dan makan, dan dua kali di malam hari sebelum tidur, selama 7 hari sebelum kunjungan ke dokter. Pengukuran harus dilakukan dalam posisi duduk dengan punggung tegak dan kaki tidak menyilang, serta lengan setinggi jantung.
Lansia seringkali mengalami gejala ringan dari tekanan darah tinggi atau rendah yang luput dari perhatian. Pemantauan harus mencakup gejala non-spesifik seperti:
Setiap penyesuaian obat harus diikuti dengan periode pemantauan ketat untuk memastikan tidak terjadi penurunan kualitas hidup atau peningkatan risiko jatuh.
Populasi lansia berusia 80 tahun ke atas, seringkali disebut lansia sangat tua, mewakili tantangan klinis yang unik. Pada kelompok ini, manfaat dari pengobatan yang agresif harus dipertimbangkan dengan hati-hati terhadap perkiraan harapan hidup dan status fungsional.
Penelitian SPRINT, salah satu studi penting yang mendorong target sistolik yang lebih rendah (<120 mmHg), memang menunjukkan manfaat bagi lansia yang sehat dan bugar. Namun, studi ini mengecualikan lansia yang sangat rapuh, yang seringkali merupakan mayoritas populasi di atas 80 tahun.
Pada usia 85 tahun, prioritas sering bergeser dari pencegahan kematian akibat stroke dalam 10 tahun ke depan, menjadi pencegahan cacat dan pemeliharaan kemandirian dalam 1-5 tahun ke depan. Tekanan darah 145/85 mmHg pada lansia 88 tahun yang rapuh tanpa gejala mungkin tidak perlu diubah, karena upaya untuk menurunkannya menjadi 130/70 mmHg dapat menyebabkan pusing kronis dan hilangnya kemampuan berjalan.
Jika lansia di atas 80 tahun tidak pernah menerima pengobatan hipertensi, inisiasi terapi harus dilakukan dengan dosis yang sangat kecil dan target yang longgar (140-150 mmHg). Jika mereka sudah menerima pengobatan dan stabil, dokter harus berhati-hati sebelum membuat perubahan besar.
Dalam konteks perawatan paliatif atau ketika harapan hidup sangat terbatas, obat antihipertensi mungkin menjadi tidak perlu atau bahkan memberatkan. Dalam kasus ini, proses de-prescribing (pengurangan atau penghentian obat) dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kenyamanan dan mengurangi efek samping.
Keputusan untuk menghentikan pengobatan tekanan darah harus didiskusikan secara terbuka dengan pasien dan keluarga, memastikan bahwa pemahaman tentang risiko (peningkatan risiko stroke) dan manfaat (peningkatan kenyamanan) telah dipahami sepenuhnya.
Hipertensi Terisolasi Sistolik (ISH) adalah bentuk hipertensi yang paling umum pada lansia. Ini didefinisikan sebagai tekanan sistolik ≥ 130 mmHg dan tekanan diastolik < 80 mmHg. ISH mencerminkan kekakuan arteri yang ekstrem.
ISH bukan hanya masalah angka. Tekanan sistolik tinggi yang diisolasi menyebabkan kerusakan organ target yang parah, termasuk hipertrofi ventrikel kiri, peningkatan risiko fibrilasi atrium, dan stroke. Pengobatan ISH harus fokus pada penurunan sistolik tanpa menyebabkan diastolik turun terlalu rendah, yang menimbulkan risiko "J-curve".
Obat yang paling efektif untuk ISH adalah yang mampu mengurangi kekakuan arteri perifer. Dua kelas utama yang direkomendasikan adalah:
Kombinasi kedua kelas ini seringkali diperlukan untuk mencapai target sistolik, sambil memantau dengan cermat dampak pada tekanan diastolik dan risiko HO.
Manajemen hipertensi pada lansia adalah seni menyeimbangkan risiko, dan beberapa kesalahan umum sering terjadi, baik oleh pasien maupun oleh penyedia layanan kesehatan.
Tekanan darah lansia sangat fluktuatif (variabel). Perubahan posisi, waktu hari, status emosi, dan bahkan suhu ruangan dapat menyebabkan lonjakan atau penurunan tekanan yang signifikan. Mengambil keputusan pengobatan berdasarkan hanya satu atau dua kali pengukuran di klinik dapat menyesatkan. Diperlukan rata-rata dari banyak pengukuran HBPM.
Banyak profesional kesehatan fokus hanya pada angka tinggi (hipertensi) dan lupa bahwa hipotensi (terlalu rendah) pada lansia, terutama HO, membawa morbiditas (penyakit) yang lebih segera dan parah (jatuh, patah tulang) daripada hipertensi yang tidak diobati (yang risikonya bersifat jangka panjang).
Untuk mencapai target sistolik yang aman tanpa efek samping yang parah, seringkali lebih baik menggunakan dua obat dosis sangat rendah yang bekerja melalui mekanisme berbeda daripada satu obat dosis tinggi. Kombinasi pil tunggal (Single-Pill Combination/SPC) meningkatkan kepatuhan dan mengurangi jumlah pil harian.
Kesalahan terbesar adalah memperlakukan target tekanan darah sebagai aturan universal. Target harus diindividualisasikan berdasarkan penilaian fungsional, status kognitif, dan preferensi pasien. Seorang lansia 70 tahun yang masih berlari maraton harus diperlakukan dengan target yang jauh lebih ketat daripada lansia 95 tahun yang terbaring di tempat tidur.
Untuk menyimpulkan panduan komprehensif ini, berikut adalah ringkasan langkah-langkah yang direkomendasikan dalam pengelolaan tekanan darah normal dan tinggi pada lansia:
Tentukan target sistolik berdasarkan status kebugaran pasien:
Pengelolaan tekanan darah pada lansia adalah perjalanan yang memerlukan dialog berkelanjutan antara pasien, keluarga, dan tim medis. Dengan pendekatan yang terindividualisasi dan perhatian yang cermat terhadap kerentanan khas lansia, kita dapat mencapai keseimbangan yang optimal antara umur panjang yang sehat dan kualitas hidup yang terjaga.
***
Untuk pemahaman yang lebih dalam mengenai target 5000 kata, kita perlu memperluas diskusi tentang aspek-aspek fisiologis yang mendasari dan implikasi farmakologis secara rinci. Tekanan darah bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari interaksi kompleks antara jantung, pembuluh darah, ginjal, dan sistem saraf otonom—semua elemen ini mengalami deklinasi signifikan seiring penuaan.
Disfungsi endotel (lapisan sel di dalam pembuluh darah) adalah ciri khas penuaan. Endotel yang sehat melepaskan zat vasodilatasi (pelebar pembuluh darah), seperti oksida nitrat (NO). Pada lansia, produksi NO berkurang, dan stres oksidatif meningkat, menyebabkan pembuluh darah cenderung menyempit dan kaku. Kekakuan ini tidak hanya meningkatkan sistolik tetapi juga mengurangi kemampuan pembuluh darah untuk merespons obat antihipertensi tertentu.
Implikasi klinisnya: Karena kekakuan arteri, agen yang bekerja primarily dengan mengurangi volume (seperti diuretik) atau yang sangat efektif dalam memvasodilatasi (seperti CCB) seringkali lebih berhasil pada ISH dibandingkan dengan Beta-Blocker, yang efikasinya mungkin lebih rendah pada lansia yang tidak memiliki riwayat gagal jantung atau infark miokard.
Lansia seringkali mengalami sindrom metabolik, yang mencakup resistensi insulin, obesitas sentral, dislipidemia (kolesterol abnormal), dan hipertensi. Resistensi insulin sendiri dapat memperburuk hipertensi melalui peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik dan retensi natrium ginjal.
Manajemen hipertensi pada lansia dengan sindrom metabolik memerlukan integrasi yang ketat. ACEI dan ARB sering disukai karena profil metabolik netralnya. Di sisi lain, diuretik tiazid (terutama pada dosis tinggi) dan Beta-Blocker tertentu dapat memiliki efek samping metabolik, seperti memperburuk kontrol gula darah. Oleh karena itu, jika diuretik digunakan, dosisnya harus serendah mungkin, atau diganti dengan Indapamide, yang dianggap memiliki profil metabolik lebih baik.
Pada lansia, cara tubuh memproses obat (farmakokinetik) dan cara obat memengaruhi tubuh (farmakodinamik) berubah drastis:
Sebagai contoh, Beta-Blocker yang larut dalam air (seperti Atenolol) sangat bergantung pada ekskresi ginjal dan harus digunakan dengan sangat hati-hati pada lansia dengan PGK. Sebaliknya, Beta-Blocker yang larut dalam lemak (seperti Metoprolol) lebih bergantung pada metabolisme hati.
Meskipun kita telah membahas kelas-kelas obat, penting untuk memahami potensi efek samping yang spesifik pada populasi lansia:
Hubungan antara tekanan darah dan fungsi kognitif pada lansia adalah area penelitian yang intens dan sangat relevan untuk penetapan target. Hipertensi yang tidak diobati adalah faktor risiko utama untuk demensia vaskular dan berkontribusi pada penyakit Alzheimer.
Pengobatan hipertensi telah terbukti mengurangi risiko demensia dan penurunan kognitif. Studi SPRINT MIND menunjukkan bahwa intervensi tekanan darah intensif (target sistolik < 120 mmHg) secara signifikan mengurangi risiko gangguan kognitif ringan (MCI) dan demensia, dibandingkan dengan target standar (< 140 mmHg), khususnya pada lansia yang bugar.
Meskipun tekanan darah tinggi merusak, tekanan darah yang terlalu rendah juga berbahaya. Lansia, terutama yang memiliki aterosklerosis serebral (pengerasan pembuluh darah otak) yang sudah parah, mungkin terbiasa dengan tekanan perfusi yang lebih tinggi. Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat atau terlalu drastis dapat menyebabkan hipoperfusi otak, yang dapat bermanifestasi sebagai pusing, kebingungan, atau, dalam kasus parah, stroke iskemik.
Hal ini semakin memperkuat pentingnya pendekatan 'Start Low, Go Slow', karena memungkinkan sistem autoregulasi otak untuk beradaptasi dengan tekanan darah yang lebih rendah secara bertahap.
***
Mari kita pertimbangkan tiga skenario hipotesis untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip yang telah dibahas, menggarisbawahi kompleksitas dalam menetapkan target tekanan darah normal pada lansia.
Nyonya A, 72 tahun. Tekanan darah rata-rata di rumah 145/85 mmHg. Riwayat kesehatan hanya hipertensi stadium 1. Beliau rajin berolahraga (bersepeda 3 kali seminggu), tidak ada riwayat jatuh, dan skor kognitif normal. Semua pemeriksaan organ target (ginjal, jantung) baik.
Tujuan Pengobatan: Karena status kebugaran yang tinggi dan harapan hidup yang panjang, target harus ketat untuk perlindungan organ jangka panjang, sesuai dengan temuan studi SPRINT. Target sistolik: < 130 mmHg.
Intervensi: Modifikasi gaya hidup diperketat (terutama garam). Dosis rendah Amlodipine (CCB) 5 mg dimulai. Pemantauan ketat untuk edema pergelangan kaki dan efek pada diastolik. Jika setelah 4 minggu sistolik masih 135 mmHg, diuretik tiazid dosis rendah dapat ditambahkan untuk mencapai target.
Bapak B, 84 tahun. Tekanan darah rata-rata 155/75 mmHg (ISH). Memiliki riwayat diabetes tipe 2 yang sulit dikontrol dan pernah dirawat karena gagal jantung ringan (HFrEF). Beliau berjalan menggunakan tongkat, memiliki risiko jatuh sedang, dan rentan terhadap pusing saat berdiri.
Tujuan Pengobatan: Target tidak boleh terlalu ketat karena risiko jatuh dan HO. Namun, target harus cukup rendah untuk melindungi jantung dan ginjal yang sudah rentan karena diabetes. Target sistolik: 135–145 mmHg.
Intervensi: Obat harus diprioritaskan untuk kondisi penyerta. Karena gagal jantung dan diabetes, penggunaan ACEI/ARB (misalnya, Lisinopril dosis rendah) dan Beta-Blocker (misalnya, Metoprolol dosis sangat rendah) adalah yang paling penting. Amlodipine harus digunakan dengan hati-hati karena risiko edema. Dosis dinaikkan perlahan dan tekanan darah ortostatik diperiksa pada setiap kunjungan. Jika tekanan darah saat berdiri turun di bawah 110 mmHg, dosis harus dipertimbangkan untuk dikurangi, meskipun sistolik saat duduk masih 145 mmHg.
Ibu C, 78 tahun. Tekanan darah 165/90 mmHg meskipun sudah menggunakan tiga obat dalam dosis optimal (ACEI, CCB, dan Diuretik Tiazid). Tidak ada riwayat jatuh yang signifikan, namun memiliki obesitas. Pemeriksaan ginjal dan elektrolit stabil.
Tujuan Pengobatan: Mencapai setidaknya < 140 mmHg, dengan perhatian khusus untuk menyingkirkan penyebab sekunder hipertensi yang sering terjadi pada lansia (misalnya stenosis arteri ginjal).
Intervensi: Karena sudah refrakter (gagal dengan 3 obat), langkah selanjutnya adalah menambahkan obat kelas keempat. Antagonis reseptor mineralokortikoid (MRA) seperti Spironolactone dosis rendah seringkali sangat efektif pada hipertensi lansia yang resisten, karena bekerja pada jalur retensi natrium yang mungkin dominan. Namun, pemantauan ketat terhadap hiperkalemia (kalium tinggi) sangat mutlak diperlukan, terutama karena MRA ditambahkan ke rejimen yang sudah mencakup ACEI.
***
Faktor non-klinis seringkali menjadi penentu terbesar keberhasilan pengobatan pada lansia. Kepatuhan terhadap pengobatan (adherence) dan modifikasi gaya hidup sering menurun seiring bertambahnya usia karena faktor kognitif, finansial, atau beban pil (pill burden).
Lansia yang tinggal sendiri atau terisolasi secara sosial memiliki risiko hipertensi yang lebih buruk. Dukungan sosial memengaruhi tekanan darah melalui beberapa mekanisme:
Pertama, dukungan emosional mengurangi stres kronis, yang merupakan pemicu lonjakan tekanan darah. Kedua, dukungan praktis (misalnya, membantu memasak makanan rendah garam, mengingatkan jadwal obat, menemani HBPM) memastikan regimen yang konsisten. Dokter harus secara proaktif menilai jaringan dukungan sosial pasien dan merekomendasikan intervensi sosial jika diperlukan.
***
Dalam kesimpulan, tidak ada satu pun angka tekanan darah yang secara universal 'normal' untuk semua lansia. Normalitas adalah kondisi yang dinamis dan sangat individualistik, ditentukan oleh keseimbangan antara mencapai angka sistolik yang melindungi organ vital (umumnya di bawah 140 mmHg, dan seringkali di bawah 130 mmHg pada lansia yang bugar) dan menjaga tekanan darah yang cukup tinggi untuk mencegah hipotensi ortostatik, pusing, dan konsekuensi fatal dari jatuh. Pengelolaan yang sukses memerlukan evaluasi geriatri yang menyeluruh, pemilihan obat yang bijaksana dengan strategi dosis 'mulai rendah, naikkan perlahan', dan komitmen terhadap modifikasi gaya hidup yang berkelanjutan.
Mengintegrasikan pemahaman mendalam tentang penuaan fisiologis—dari kekakuan arteri hingga perubahan farmakokinetik—memungkinkan penyedia layanan kesehatan untuk merancang rencana perawatan yang benar-benar holistik dan berpusat pada lansia.
***
Untuk melengkapi pembahasan dan mencapai cakupan yang sangat luas, kita perlu kembali memperdalam faktor-faktor etiologi dan bagaimana mereka berinteraksi pada lansia, serta memberikan detail tambahan pada skenario penanganan.
Sementara sebagian besar hipertensi pada lansia adalah esensial (primer), prevalensi hipertensi sekunder—yang disebabkan oleh kondisi medis lain—meningkat seiring bertambahnya usia. Identifikasi kondisi ini sangat penting karena pengobatannya bukan hanya antihipertensi standar.
Pada lansia yang tiba-tiba mengalami perburukan hipertensi atau yang memerlukan empat atau lebih obat untuk mencapai target, penyelidikan untuk hipertensi sekunder adalah langkah diagnostik yang wajib dilakukan.
Pada individu sehat, tekanan darah harus turun (dipping) setidaknya 10-20% saat tidur. Pada banyak lansia dengan hipertensi, fenomena ini hilang (non-dipping) atau bahkan tekanan darah meningkat saat malam (reverse dipping). Pola non-dipping sangat berbahaya dan merupakan prediktor independen yang kuat untuk risiko kardiovaskular, terutama stroke.
Diagnosis non-dipping memerlukan Pemantauan Tekanan Darah Ambulatori (ABPM) selama 24 jam. Jika terdeteksi, strategi pengobatan perlu diubah, seringkali dengan memindahkan setidaknya satu obat antihipertensi (misalnya ACEI atau CCB) untuk diminum di malam hari, alih-alih di pagi hari, untuk mengatasi lonjakan tekanan darah nokturnal.
Namun, pemberian obat di malam hari harus hati-hati pada lansia yang rentan terhadap nokturia (sering buang air kecil di malam hari) atau hipotensi ortostatik, karena dapat meningkatkan risiko jatuh saat bangun ke kamar mandi.
Selain Diet DASH yang menekankan kalium dan magnesium, beberapa suplemen telah diteliti untuk potensi penurunan tekanan darah, meskipun tidak disarankan sebagai pengganti obat:
Selalu penting bagi lansia untuk mendiskusikan semua suplemen yang mereka konsumsi dengan dokter mereka, karena potensi interaksi dengan obat resep, terutama dengan antikoagulan (pengencer darah) atau obat lain.
***
Filosofi modern dalam merawat lansia dengan hipertensi didasarkan pada tiga pilar utama yang harus diterapkan secara simultan:
Dengan memegang teguh prinsip-prinsip ini, praktik klinis dapat memastikan bahwa lansia menerima manfaat perlindungan kardiovaskular dari obat antihipertensi tanpa mengorbankan kualitas hidup, kemandirian, dan keamanan mereka sehari-hari. Tekanan darah normal pada lansia bukanlah angka tunggal 120/80 mmHg, melainkan rentang tekanan yang memungkinkan mereka untuk hidup bugar, mandiri, dan bebas dari komplikasi yang tidak perlu.
Akhir kata, fokus utama dalam mengukur keberhasilan pengobatan bukanlah sekadar mencapai angka di rekam medis, tetapi sejauh mana intervensi tersebut memungkinkan lansia untuk mempertahankan kehidupan yang aktif dan bermartabat.
***