Dalam Al-Qur'an, surah Ali-Imran memiliki tempat istimewa dengan banyaknya ayat yang menjelaskan prinsip-prinsip fundamental ajaran Islam, termasuk panduan untuk membentuk komunitas Muslim yang kuat dan berintegritas. Di antara ayat-ayat penting tersebut adalah ayat 104 hingga 105, yang secara tegas menyerukan pembentukan "umat pertengahan" atau ummatan wasatan. Ayat-ayat ini bukan sekadar perintah ibadah semata, melainkan sebuah cetak biru sosial dan moral yang mengarahkan umat Islam untuk menjadi teladan dan pembawa rahmat bagi semesta.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali-Imran: 104)
Ayat 104 ini menggarisbawahi pentingnya keberadaan sebuah kelompok dalam umat Islam yang memiliki misi dakwah yang jelas. Misi ini mencakup tiga pilar utama: pertama, ad-da'wah ilal khair (menyeru kepada kebaikan); kedua, al-amru bil ma'ruf (menyuruh kepada kebaikan atau kebenaran); dan ketiga, an-nahyu 'anil munkar (mencegah dari kemungkaran). Perintah ini bersifat kolektif, menunjukkan bahwa tanggung jawab ini bukan hanya individu, melainkan juga tugas yang diemban oleh sebuah kominitas yang terorganisir. Kebaikan yang dimaksud di sini sangat luas, mencakup segala hal yang membawa maslahat bagi individu, masyarakat, dan bahkan seluruh alam semesta, sejalan dengan esensi ajaran Islam itu sendiri.
Menyuruh kepada yang ma'ruf berarti mengajak dan membimbing orang lain untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta hal-hal yang sesuai dengan fitrah manusia yang baik. Sementara itu, mencegah dari kemungkaran adalah upaya untuk menghentikan, mengurangi, atau bahkan menghilangkan segala bentuk perbuatan dosa, maksiat, dan segala hal yang dilarang oleh syariat Islam. Kedua aspek ini, yaitu mengajak kebaikan dan mencegah keburukan, harus dijalankan secara seimbang. Umat yang menjalankan misi ini digambarkan sebagai al-muflihun, yaitu orang-orang yang beruntung dan akan meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. Keberuntungan ini adalah buah dari perjuangan mereka dalam menegakkan nilai-nilai kebaikan.
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang telah berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat." (QS. Ali-Imran: 105)
Ayat 105 menjadi pelengkap dari ayat sebelumnya. Jika ayat 104 menyerukan pembentukan komunitas yang positif dan konstruktif, ayat 105 memberikan peringatan keras agar umat Islam tidak menempuh jalan yang justru kontraproduktif, yaitu perpecahan dan perselisihan. Perintah untuk tidak menjadi seperti kaum-kaum terdahulu yang telah berpecah belah setelah menerima petunjuk yang jelas dari Allah adalah sebuah peringatan yang sangat penting. Ini mengingatkan bahwa perselisihan yang terjadi di antara umat Muslim, apalagi setelah datangnya dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunnah yang gamblang, merupakan sumber kehancuran dan akan mendatangkan azab yang pedih.
Konsep "umat pertengahan" atau ummatan wasatan yang dibahas dalam ayat-ayat ini juga memiliki makna mendalam dalam konteks Islam. Kata "wasatan" berarti pertengahan, adil, atau yang terbaik. Umat Muslim diperintahkan untuk menjadi umat yang moderat, tidak ekstrem dalam pemahaman maupun praktik agama, serta mampu menyeimbangkan antara kewajiban duniawi dan ukhrawi. Ini berarti menjauhi sikap berlebihan, baik dalam kerohanian yang mengabaikan kehidupan dunia, maupun dalam urusan dunia yang melupakan tanggung jawab spiritual. Keseimbangan ini menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan beradab.
Mengintegrasikan kedua ayat ini, kita dapat melihat bahwa menjadi "umat pertengahan" tidak hanya berarti memiliki pemahaman agama yang lurus dan seimbang, tetapi juga secara aktif berkontribusi pada kebaikan masyarakat dan mencegah kemungkaran. Hal ini memerlukan upaya kolektif yang didasarkan pada ukhuwah (persaudaraan) Islamiyah dan saling mengingatkan dalam kebenaran serta kesabaran. Sebaliknya, perpecahan dan perselisihan, apalagi yang didasari oleh egoisme dan perbedaan pandangan yang dangkal, adalah musuh utama bagi kemajuan dan kekuatan umat.
Untuk mewujudkan idealitas ini, umat Islam perlu terus-menerus belajar dan memahami ajaran agamanya secara mendalam, mengamalkannya dengan ikhlas, serta senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan. Diplomasi yang baik, saling menghargai perbedaan pendapat yang didasari ilmu, serta fokus pada tujuan bersama untuk meraih keridhaan Allah adalah kunci untuk menghindari jurang perpecahan yang diperingatkan dalam surah Ali-Imran ayat 105. Dengan demikian, umat Muslim dapat benar-benar menjadi mercusuar kebaikan dan teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana yang diharapkan oleh ajaran Islam.