Surat Ali Imran, yang berarti "Keluarga Imran," merupakan salah satu surat Madaniyah terpanjang dalam Al-Qur'an. Di dalamnya terkandung berbagai ajaran penting mengenai akidah, hukum, sejarah, dan tuntunan hidup. Di antara ayat-ayatnya yang sarat makna, ayat 104 hingga 110 memiliki posisi strategis dalam menjelaskan jati diri umat Islam dan prinsip-prinsip fundamental yang harus dipegang teguh. Ayat-ayat ini memerintahkan untuk menjadi umat pertengahan, mengajak pada kebaikan, serta melarang perpecahan dan permusuhan.
Ayat 104 dari Surat Ali Imran berbunyi:
Ayat ini secara tegas membentuk identitas umat Islam sebagai "umat pertengahan" atau ummatan wasathan. Konsep "pertengahan" di sini memiliki makna yang luas. Ia mencakup keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, tidak ekstrem di satu sisi dan tidak lalai di sisi lain. Lebih dari itu, ia adalah umat yang memiliki misi dakwah yang mulia: menyeru kepada kebaikan, mengajak pada perbuatan baik (makruf), dan mencegah kemungkaran. Tugas ini bukanlah beban, melainkan sebuah amanah yang jika dijalankan dengan sungguh-sungguh akan mendatangkan keberuntungan di dunia dan akhirat. Keberuntungan (muflihun) di sini diartikan sebagai meraih kesuksesan hakiki, yaitu kebahagiaan abadi di sisi Allah.
Selanjutnya, ayat 105 dan 106 memberikan peringatan keras kepada mereka yang tidak mengambil pelajaran dari ajaran Allah dan cenderung berdebat kusir atau mengikuti hawa nafsu:
Peringatan ini sangat relevan di era modern yang serba terhubung. Kemudahan informasi seringkali disalahgunakan untuk menyebarkan perpecahan, kesalahpahaman, dan permusuhan. Umat Islam diperingatkan agar tidak meniru nasib buruk orang-orang terdahulu yang terpecah belah setelah menerima petunjuk yang jelas. Hari Kiamat akan menjadi saksi nyata dari akibat perpecahan dan kekufuran. Wajah yang berseri-seri adalah balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, sedangkan wajah yang legam adalah bagi mereka yang mengingkari kebenaran dan terus dalam kesesatan. Ayat ini juga menekankan bahwa siksa yang diterima adalah konsekuensi logis dari penolakan terhadap kebenaran setelah mengetahui dan bahkan pernah beriman.
Berbeda dengan nasib orang yang berselisih, ayat 107 dan 108 menjelaskan balasan yang menanti bagi orang-orang yang teguh beriman dan bertakwa:
Bagi mereka yang konsisten memegang kebenaran, berpegang pada ajaran agama, dan senantiasa berusaha taat kepada Allah, balasan yang dijanjikan adalah rahmat Allah yang luas dan kekal di dalam surga. Keberadaan di dalam rahmat Allah ini adalah puncak kebahagiaan yang tidak terhingga. Allah Maha Adil dan tidak pernah menzalimi hamba-Nya. Semua ketetapan-Nya adalah kebenaran dan didasarkan pada kebijaksanaan-Nya yang sempurna. Ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah bukti kebenaran Ilahi yang harus diterima dan diamalkan.
Ayat terakhir dalam rentetan ini menegaskan kembali otoritas mutlak Allah atas segala sesuatu dan hakikat penciptaan manusia:
Ayat 109 mengingatkan bahwa segala sesuatu, baik yang ada di langit maupun di bumi, adalah milik Allah semata. Semua urusan akan kembali kepada-Nya. Hal ini menegaskan bahwa tidak ada kekuatan lain yang berhak disembah selain Allah. Kemudian, ayat 110 mempertegas kembali kemuliaan umat Islam sebagai umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kemuliaan ini bukan tanpa sebab, melainkan karena mereka melaksanakan tiga tugas utama: beriman kepada Allah, menyeru kepada kebaikan, dan mencegah kemungkaran. Penting untuk dicatat bahwa ayat ini juga memuji sebagian dari Ahli Kitab yang beriman, namun mengingatkan bahwa mayoritas dari mereka telah menyimpang dari ajaran yang benar (fasik).
Secara keseluruhan, ayat-ayat Al Imran 104-110 memberikan panduan komprehensif bagi umat Islam. Mereka diajak untuk menjadi teladan dalam perilaku dan dakwah, menjaga persatuan, serta tidak terjerumus dalam perpecahan dan perselisihan. Dengan berpegang teguh pada keimanan dan menjalankan ajaran amar makruf nahi munkar, umat Islam dapat meraih predikat sebagai umat terbaik dan mendapatkan rahmat serta keridaan Allah SWT.