Dalam lautan luas ajaran Islam yang termaktub dalam Al-Qur'an, terdapat ayat-ayat yang memiliki kedalaman makna luar biasa dan relevansi abadi bagi kehidupan manusia. Salah satunya adalah firman Allah SWT dalam Surah Al Imraan ayat 66, yang sering kali menjadi titik renungan mendalam bagi umat Muslim. Ayat ini tidak hanya sekadar sebuah bacaan, melainkan sebuah panduan yang mengajak kita untuk memahami hakikat keimanan, kebenaran, dan bagaimana seharusnya kita berinteraksi dengan ajaran agama serta para pengembannya.
Surah Al Imraan, yang berarti "Keluarga Imran," adalah salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur'an. Surah ini banyak membahas tentang sejarah para nabi, keimanan, dan argumen-argumen teologis. Ayat 66 ini secara spesifik merujuk pada perdebatan atau keraguan yang muncul di kalangan sebagian orang terkait Nabi Ibrahim AS. Konteksnya adalah dialog teologis antara Nabi Muhammad SAW dengan kaum Yahudi dan Nasrani pada masanya. Kaum Yahudi mengklaim Ibrahim sebagai bagian dari mereka, begitu pula kaum Nasrani. Ayat ini hadir untuk menegaskan kebenaran ilahi dan menepis klaim-klaim yang tidak berdasar, sekaligus mengingatkan bahwa kitab suci Taurat dan Injil diturunkan jauh setelah masa kenabian Ibrahim AS.
"Mengapa kamu membantah tentang Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan setelah [masa kerasulan] beliau. Apakah kamu tidak berpikir?"
Terjemahan ini memberikan gambaran jelas. Allah SWT mengajak para penentang untuk menggunakan akal sehat mereka. Bagaimana mungkin mereka mengklaim Ibrahim sebagai pengikut agama yang belum diturunkan pada zamannya? Ini adalah argumen logis yang sangat kuat untuk menunjukkan bahwa inti ajaran para nabi, termasuk Ibrahim, adalah sama: mengesakan Allah dan tunduk pada kehendak-Nya. Kredibilitas Taurat dan Injil sebagai kitab suci yang diturunkan setelah Ibrahim justru memperkuat posisi Ibrahim sebagai nabi universal yang risalahnya menjadi dasar bagi kitab-kitab samawi berikutnya.
Ayat Al Imraan 66 menawarkan banyak pelajaran berharga yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam menghadapi informasi dan perbedaan pendapat:
Frasa "Apakah kamu tidak berpikir?" adalah seruan untuk menggunakan akal yang telah dianugerahkan Allah. Dalam menghadapi berbagai isu, baik keagamaan maupun sosial, kita diingatkan untuk tidak mudah menerima informasi mentah-mentah atau terbawa emosi. Diperlukan kemampuan untuk menganalisis, membandingkan, dan mencari kebenaran berdasarkan dalil yang kuat. Ini mendorong kita untuk menjadi pembelajar yang aktif, bukan sekadar penerima pasif.
Ayat ini menegaskan bahwa Nabi Ibrahim adalah nabi dari Allah yang mengajarkan tauhid (mengesakan Allah). Kitab-kitab yang diturunkan setelahnya, seperti Taurat dan Injil, seharusnya selaras dengan pokok ajaran Ibrahim. Perbedaan yang muncul dalam praktik atau pemahaman di kalangan umat agama samawi sering kali disebabkan oleh penyimpangan dari ajaran murni atau penambahan-penambahan yang tidak bersumber dari wahyu. Al Imraan 66 mengajak kita untuk kembali pada akar kebenaran ilahi yang tunggal.
Dalam konteks dialog antar umat beragama atau kelompok, ayat ini memberikan contoh bagaimana menghadapi klaim-klaim yang dibuat tanpa dasar yang kuat. Mengait-ngaitkan diri pada tokoh agama besar seperti Ibrahim hanya karena kesamaan nama leluhur atau wilayah geografis tanpa mengikuti ajaran luhur yang dibawanya adalah sebuah kekeliruan. Kita diajari untuk melihat substansi, bukan sekadar formalitas.
Penegasan kebenaran ajaran Ibrahim, yang kemudian diperkuat dan disempurnakan dalam Al-Qur'an yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, juga menyoroti posisi kenabian dan kerasulan penutup. Al-Qur'an adalah kitab suci terakhir yang membenarkan para nabi sebelumnya dan membawa risalah yang universal. Ayat ini menjadi pengingat tentang kemurnian ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Di era digital saat ini, di mana informasi tersebar begitu cepat dan sering kali bercampur dengan hoaks atau narasi yang menyesatkan, pelajaran dari Al Imraan 66 menjadi semakin relevan. Kita kerap dihadapkan pada berbagai tafsir, pandangan, dan klaim yang sering kali berbenturan. Ayat ini mengajarkan kita untuk selalu kembali pada sumber kebenaran yang otentik, menggunakan akal budi yang dibimbing wahyu, dan tidak mudah terprovokasi oleh perdebatan yang dangkal atau klaim yang tidak memiliki dasar ilmiah maupun spiritual yang kuat. Memahami Al Imraan 66 adalah langkah penting untuk memperkuat keimanan, menjaga kejernihan berpikir, dan menjadi pribadi yang lebih bijaksana dalam berinteraksi dengan ajaran agama dan sesama manusia.