Surah Ali Imran, ayat 90 hingga 100, merupakan bagian dari Al-Qur'an yang sarat makna, menyajikan rangkaian ajaran dan refleksi mendalam mengenai keimanan, konsekuensi dari kekufuran, serta pentingnya menjaga akidah di tengah berbagai ujian kehidupan. Ayat-ayat ini membimbing kaum beriman untuk senantiasa waspada, berpegang teguh pada kebenaran, dan memahami dampak pilihan-pilihan mereka di dunia dan akhirat. Pembahasan mendalam mengenai ayat-ayat ini seringkali menjadi topik kajian penting bagi umat Islam.
Ayat 90 dari Surah Ali Imran membuka pembahasan dengan pertanyaan retoris yang mengusik kesadaran: "Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, serta mereka telah menyaksikan bahwa Rasul itu benar dan bukti-bukti telah datang kepada mereka? Dan Allah tiada menunjuki orang-orang yang zalim." Ayat ini secara tegas menggambarkan kondisi seseorang yang telah merasakan manisnya iman, menyaksikan kebenaran risalah, namun kemudian berpaling dan memilih kekufuran. Ini adalah kerugian terbesar yang bisa menimpa seorang hamba.
Kekafiran setelah keimanan bukanlah sekadar perubahan keyakinan biasa, melainkan sebuah kemunduran spiritual yang dahsyat. Seseorang yang sudah mengenali cahaya kebenaran, lalu memilih kembali ke dalam kegelapan, menunjukkan adanya penyakit dalam hati atau kegagalan dalam menghadapi ujian keimanan. Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim, yang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, termasuk menempatkan kebenaran sebagai kesesatan dan sebaliknya. Zalim di sini mencakup kezaimannya terhadap diri sendiri dengan menolak hidayah.
Ayat 91 hingga 93 menyoroti konsekuensi mengerikan bagi mereka yang memilih kekufuran, bahkan jika mereka menebus diri dengan emas sebanyak bumi. "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati dalam keadaan kafir, maka tidak akan diterima dari seseorang di antara mereka emas sepra-perak sebanyak pun, kalaupun mereka menebus diri dengan emas yang sebanyak itu. Bagi mereka itu siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong." Pengorbanan sebesar apapun di dunia tidak akan mampu menebus dosa kekufuran yang berlanjut hingga kematian. Emas sebanyak bumi, yang merupakan simbol kekayaan dan kemampuan tebusan di dunia, menjadi tak berarti di hadapan murka Allah.
Namun, ayat-ayat ini tidak menutup pintu harapan sepenuhnya. Dalam banyak tafsir, ditekankan bahwa jika kekufuran tersebut belum mencapai titik akhir, yaitu kematian, maka pintu taubat senantiasa terbuka. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Ayat-ayat selanjutnya dalam Surah Ali Imran seringkali menekankan pentingnya taubat nasuha (taubat yang sesungguhnya) dan kembali kepada jalan yang lurus.
Surah Ali Imran secara keseluruhan dikenal sebagai surah yang membahas perdebatan mengenai hakikat Nabi Isa 'alaihissalam dan peneguhan keesaan Allah. Di dalam ayat 90-100 ini, terdapat pula penegasan mengenai pentingnya menjaga konsistensi iman, terutama ketika dihadapkan pada situasi yang menguji keyakinan. Ujian dapat datang dalam berbagai bentuk: godaan materi, tekanan sosial, keraguan internal, atau bahkan ancaman fisik.
Manusia diciptakan dengan potensi untuk beriman, namun juga dengan kelemahan. Oleh karena itu, menjaga keimanan memerlukan usaha berkelanjutan:
Beberapa bagian dari ayat-ayat ini juga dikaitkan dengan konteks sejarah terkait kaum Yahudi pada masa Rasulullah SAW. Ayat 95 misalnya, menyeru agar mengikuti agama Ibrahim, yang lurus dan hanif. Ini menjadi pengingat bahwa agama tauhid adalah agama para nabi, dan penyimpangan yang terjadi pada sebagian kaum Yahudi di Madinah menjadi pelajaran. Mereka dahulu memegang kitab Taurat, namun kemudian menyembunyikan kebenaran dan menolak risalah Nabi Muhammad SAW, padahal mereka mengetahui kebenarannya.
"Kalian sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebahagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (Ali Imran: 92)
Ayat 92 dari Surah Ali Imran merupakan kaidah emas dalam Islam. Kebajikan sejati tidak hanya diukur dari keyakinan di hati, tetapi juga dari tindakan nyata, yaitu menginfakkan harta yang paling dicintai. Ini menunjukkan bahwa iman yang benar akan termanifestasi dalam kedermawanan dan pengorbanan. Harta yang dicintai, yang paling membuat kita berat untuk melepaskannya, adalah ujian yang sesungguhnya terhadap keikhlasan dan keyakinan kita bahwa apa yang ada di sisi Allah jauh lebih baik dan kekal.
Dengan memahami Surah Ali Imran ayat 90-100, kita diingatkan akan pentingnya menjaga mercusuar keimanan di dalam dada. Ujian adalah keniscayaan hidup, tetapi iman yang kokoh adalah jangkar yang akan menuntun kita melewati badai dengan selamat, menuju ridha dan surga-Nya.