Kerajaan Majapahit, puncak kejayaan Nusantara, sayangnya tidak luput dari alur kemelut yang mengancam stabilitasnya. Setelah wafatnya Hayam Wuruk, raja terbesar Majapahit, transisi kekuasaan menjadi titik rawan yang memicu serangkaian pergolakan internal. Periode ini dikenal sebagai masa-masa suram yang perlahan menggerogoti kekuatan adidaya yang pernah didirikan oleh Raden Wijaya.
Salah satu pemicu utama kemelut di Majapahit adalah suksesi kepemimpinan. Meskipun Majapahit memiliki struktur kekuasaan yang kuat, ketiadaan figur sentral sekuat Hayam Wuruk pasca kematiannya membuka celah bagi perebutan pengaruh. Persaingan antara keluarga bangsawan dan tokoh-tokoh penting kerajaan mulai memanas. Meskipun catatan sejarah sering kali terfragmentasi, indikasi adanya ketegangan politik sangat jelas terlihat.
Perpecahan ini diperparah dengan munculnya beberapa faksi yang saling bersaing memperebutkan loyalitas daerah bawahan. Loyalitas yang dulunya terpusat di Trowulan kini mulai terbagi. Para bupati atau penguasa daerah yang kuat mulai merasa memiliki otonomi lebih besar, memanfaatkan kekosongan otoritas pusat yang efektif. Inilah awal dari erosi wilayah kekuasaan Majapahit yang berlangsung secara bertahap namun pasti.
Titik balik paling signifikan dalam alur kemelut Majapahit adalah Perang Paregreg. Konflik saudara ini, yang terjadi pada awal abad ke-15, merupakan pertikaian sengit antara Wikramawardhana (yang didukung oleh Bhre Wirabhumi) dan Kusumawardhani. Meskipun sering kali dilihat sebagai sengketa pribadi, perang ini berdampak struktural yang fatal.
Perang Paregreg melemahkan fondasi militer dan ekonomi kerajaan. Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk mempertahankan wilayah dari ancaman luar, justru terkuras dalam pertikaian internal yang berkepanjangan. Kehancuran akibat perang saudara ini memberikan kesempatan emas bagi kekuatan-kekuatan lain yang selama ini berada di bawah dominasi Majapahit untuk melepaskan diri.
Sementara kemelut di Majapahit masih bergulir di internal, kekuatan dari utara mulai menunjukkan dominasinya: Kesultanan Demak. Berawal sebagai wilayah vasal yang tunduk, Demak memanfaatkan kondisi Majapahit yang limbung akibat perang saudara dan fragmentasi politik.
Para pedagang dan ulama penyebar agama Islam di pesisir utara Jawa berhasil membangun basis kekuatan politik dan militer yang solid. Ketika Majapahit semakin fokus pada masalah internal—terutama perebutan kekuasaan di pedalaman—kekuatan pesisir utara tumbuh tanpa hambatan berarti. Kehilangan pelabuhan-pelabuhan penting di utara secara ekonomi melumpuhkan Majapahit, yang sangat bergantung pada jalur perdagangan maritim. Secara bertahap, pusat gravitasi kekuasaan bergeser dari Jawa Timur ke Jawa Tengah bagian utara.
Rangkaian peristiwa ini membentuk alur kemelut yang tidak terhindarkan menuju keruntuhan. Setelah Perang Paregreg dan osilasi kekuasaan yang tidak stabil, Majapahit memasuki periode yang oleh beberapa sejarawan disebut sebagai masa "pelarian raja" atau masa di mana kekuasaan pusat menjadi ilusi. Pusat pemerintahan Majapahit sempat berpindah-pindah, mencerminkan ketidakmampuan mereka menguasai wilayah sendiri.
Fragmentasi ini akhirnya memecah kerajaan besar menjadi entitas-entitas yang lebih kecil, yang kemudian dikenal sebagai kerajaan-kerajaan penerus Majapahit. Meski warisan budayanya tetap hidup dalam ingatan kolektif, kekuatan politik terpadu yang pernah mendominasi Nusantara perlahan menghilang ditelan zaman, menjadi pelajaran abadi tentang bahaya disintegrasi akibat perebutan kekuasaan yang tak kunjung usai.