Simbolisme perintah bekerja dan pengawasan ilahi (Amal dan Pengawasan).
Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur’an, dikenal sebagai surah yang tidak diawali dengan *Basmalah* karena fokusnya yang kuat pada peringatan, perjanjian, dan konsekuensi tindakan. Di tengah-tengah surah yang membahas isu-isu krusial terkait munafik, jihad, dan kebenaran iman, terdapat satu ayat yang memberikan penekanan fundamental pada etos kerja dan akuntabilitas: Ayat 105.
Ayat ini, yang sering dirujuk dalam diskusi tentang profesionalisme dan dedikasi dalam Islam, berfungsi sebagai jembatan antara tindakan spiritual (*ibadah*) dan tindakan duniawi (*muamalah*). Ayat ini bukan sekadar izin untuk bekerja, melainkan sebuah perintah tegas yang diikuti dengan janji pengawasan abadi. Untuk memahami kekuatannya, kita perlu menyelami teks aslinya, transliterasi Latinnya, dan lapis-lapis tafsir yang melingkupinya.
Ayat 105 dari Surah At-Taubah (Surah ke-9) adalah perintah langsung dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat manusia. Perintah ini berpusat pada tindakan dan konsekuensinya.
Wa quli'malū fasayarallāhu 'amalakum wa rasūluhū wal-mu'minụn(a), wa saturaddūna ilā 'ālimil-gaibi wasy-syahādati fayunabbi'ukum bimā kuntum ta'malụn(a).
"Dan katakanlah (Muhammad), 'Bekerjalah! Maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.'"
Penting untuk dicatat bahwa transliterasi Latin berfungsi sebagai jembatan bagi pembaca yang mungkin belum fasih dalam membaca huruf Arab, namun harus selalu diiringi dengan pemahaman bahwa keindahan dan ketepatan linguistik Al-Qur'an hanya dapat dicapai melalui pembacaan teks aslinya (Arab).
Ayat ini diturunkan (menurut beberapa riwayat tafsir, seperti Ibnu Kathir) dalam konteks pembahasan tentang orang-orang yang bertaubat setelah sebelumnya melakukan kesalahan, khususnya mereka yang enggan ikut berperang atau yang menahan harta. Ayat ini memberikan harapan sekaligus peringatan: bahwa taubat harus diiringi dengan aksi nyata—bekerja dan beramal saleh.
Kata kerja *I'malū* adalah bentuk perintah (fi’il amr) dari akar kata *‘amila* (bekerja/melakukan). Penggunaan perintah ini menunjukkan kewajiban (wujub) bagi seorang Muslim untuk mengisi hidupnya dengan amal atau pekerjaan yang bermanfaat. Perintah ini bersifat sangat luas, mencakup:
Ini adalah inti etika kerja dalam Islam yang diangkat oleh ayat ini. Pekerjaan yang dilakukan tidak hanya dilihat oleh diri sendiri, tetapi disaksikan oleh tiga entitas mulia, yang masing-masing membawa konsekuensi berbeda:
Pengawasan ini adalah yang paling utama dan absolut. Allah SWT melihat segala sesuatu, baik yang tersembunyi (*sirr*) maupun yang tampak (*jahr*). Pengawasan Ilahi ini memastikan bahwa pekerjaan yang dilakukan harus didasarkan pada *Ikhlas* (ketulusan). Meskipun konteks awalnya mungkin terkait dengan amal taubat, maknanya diperluas pada segala jenis pekerjaan. Kesadaran bahwa Allah melihat setiap detail, niat, dan upaya, memberikan motivasi tertinggi untuk mencapai kualitas terbaik (*ihsan*).
Ibnu Kathir dan para mufasir lainnya menjelaskan bahwa Rasulullah SAW melihat pekerjaan umatnya melalui dua cara:
Ini merujuk pada aspek akuntabilitas sosial dan publik. Pekerjaan seorang Muslim harus berdampak positif, terbuka, dan dapat dievaluasi oleh komunitas. Jika pekerjaan itu berupa pelayanan publik, perdagangan, atau kepemimpinan, ia akan dilihat, dinilai, dan disaksikan oleh sesama mukmin. Ini menciptakan prinsip transparansi, mutu, dan tanggung jawab etis dalam masyarakat. Ini juga yang melahirkan konsep syura (musyawarah) dan nasihat (nasehat antar sesama).
Bagian kedua ayat ini mengalihkan fokus dari pengawasan di dunia menuju perhitungan di akhirat. Setelah bekerja dan disaksikan, manusia pasti akan kembali kepada *‘ālimil-gaibi wasy-syahādah* (Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata). Gaib merujuk pada niat dan rahasia hati yang tidak dilihat siapapun, sementara *syahadah* merujuk pada amal yang terlihat publik.
Janji *fayunabbi'ukum bimā kuntum ta'malūn(a)* (lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan) adalah puncak dari akuntabilitas. Allah tidak hanya akan melihat (seperti pada bagian pertama), tetapi juga akan *memberitahukan* (Yunabbi'ukum) secara rinci semua yang telah dilakukan. Ini adalah penegasan bahwa setiap amal, sekecil apapun, akan dipertanggungjawabkan secara sempurna, baik niatnya (gaib) maupun pelaksanaannya (nyata).
Untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam, kita perlu membedah setiap frasa kunci dalam transliterasi Latin ini, memahami akar kata dan implikasi tata bahasanya dalam Bahasa Arab.
Merupakan kata perintah tunggal (*fi'il amr*). Ini menunjukkan bahwa perintah untuk bekerja bukanlah saran, melainkan sebuah wahyu yang wajib disampaikan dan dipatuhi. Perintah ini menekankan peran Rasulullah SAW sebagai penyampai pesan Tuhan yang otoritatif.
Ini adalah kata kerja perintah jamak. Penggunaan bentuk jamak ini mengindikasikan bahwa kewajiban bekerja ini berlaku untuk seluruh umat, bukan hanya individu tertentu. Akar katanya adalah *‘ayn-mīm-lām* (ع م ل), yang memiliki makna universal untuk tindakan, pekerjaan, atau amal. Makna ini sangat berbeda dengan *kasb* (usaha mencari penghidupan) atau *fi’il* (sekadar melakukan sesuatu). *‘Amal* membawa konotasi tindakan yang memiliki tujuan dan nilai.
Frasa ini menggunakan huruf *fa* (maka/sehingga), yang menunjukkan hubungan sebab-akibat langsung: Bekerja, *maka* konsekuensinya adalah Allah akan melihat. *Sayarā* menggunakan prefix *sa-* yang dalam tata bahasa Arab menunjukkan masa depan yang dekat atau kepastian. Ini menekankan bahwa pengawasan Allah adalah keniscayaan yang akan terus berlangsung.
Kata *‘amal* (pekerjaan) disandarkan kepada pronomina jamak *kum* (kalian). Penekanan pada ‘pekerjaanmu’ menunjukkan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas *amal* (pekerjaan) pribadinya, meniadakan konsep tanggung jawab kolektif di hadapan Tuhan, meskipun amal tersebut memiliki dampak sosial.
Ini adalah kata kerja pasif (*fi'il majhul*) yang menunjukkan kepastian kembali ke hadapan Tuhan. Akar kata *radda* berarti kembali. Kata ini memberikan perspektif bahwa kehidupan dunia, tempat amal dilakukan, hanyalah perjalanan sementara sebelum kembali kepada Sang Pencipta.
Ini adalah penegasan sifat Allah yang Maha Sempurna. Penggabungan *gaib* (yang tersembunyi, niat, rahasia hati) dan *syahadah* (yang terlihat, tindakan fisik) mencakup seluruh spektrum aktivitas manusia. Tidak ada sudut pekerjaan, niat, atau pemikiran yang luput dari pengetahuan-Nya.
Ayat 105 Surah At-Taubah bukan hanya sejarah teologis, melainkan cetak biru untuk etos kerja Muslim di segala zaman. Ayat ini mempromosikan apa yang kini kita sebut sebagai budaya akuntabilitas berlapis.
Ayat ini secara eksplisit meninggikan status kerja. Ketika pekerjaan fisik atau duniawi dilakukan dengan niat yang benar (*gaib*) dan standar yang tinggi (*syahadah*), pekerjaan tersebut secara otomatis diintegrasikan ke dalam domain ibadah. Muslim tidak boleh memisahkan antara pekerjaan di masjid dan pekerjaan di pasar atau laboratorium.
Pekerjaan yang bernilai ibadah harus memenuhi kriteria:
Tanpa pengawasan yang disadari, banyak amal duniawi yang mudah tergelincir menjadi sekadar rutinitas tanpa nilai spiritual. Kesadaran bahwa Allah, Rasul, dan mukminin sedang melihat, menjaga kualitas niat agar tetap murni.
Perintah *I'malū* adalah antitesis terhadap kemalasan. Kemalasan dipandang sebagai penyakit yang menghambat kemajuan individu dan kolektif. Ayat ini memberikan dorongan intrinsik yang jauh lebih kuat daripada insentif finansial semata.
Namun, aspek pengawasan juga menimbulkan tantangan etis terkait *Riya’* (pamer/menunjukkan amal untuk pujian manusia). Bagaimana seorang Muslim bekerja keras karena sadar dilihat oleh mukminin, tanpa jatuh ke dalam perangkap *Riya’*? Jawaban terletak pada hierarki pengawasan:
Seorang pekerja Muslim yang sejati bekerja dengan kualitas terbaiknya karena tahu pengawasan Ilahi bersifat menyeluruh (niat dan hasil), sementara pengawasan sosial berfungsi sebagai koreksi dan penjamin integritas.
Di era globalisasi, di mana banyak pekerjaan bersifat abstrak (seperti layanan digital atau manajemen), Ayat 105 tetap sangat relevan. Ia mengajarkan:
Ketika bekerja dalam sistem yang rentan terhadap manipulasi atau penyimpangan, kesadaran bahwa Allah melihat setiap transaksi digital atau keputusan etika adalah benteng terkuat melawan korupsi dan kecurangan. Ini adalah implementasi dari *‘ālimil-gaibi wasy-syahādati* dalam dunia profesional.
Pemimpin, manajer, atau pejabat publik yang menerapkan etika ayat ini akan secara sukarela membuka diri terhadap pengawasan (wal-mu'minun) karena mereka memahami bahwa transparansi adalah bagian dari perintah agama. Mereka sadar bahwa otoritas mereka hanya sementara sebelum mereka kembali (wa saturaddūna) kepada Hakim yang abadi.
Pesan tentang urgensi bekerja dan akuntabilitas adalah tema berulang dalam Al-Qur'an. Ayat 105 At-Taubah diperkuat ketika diletakkan bersebelahan dengan ayat-ayat lain, seperti:
Allah berfirman, "...Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Ayat ini menekankan syarat amal saleh: harus ikhlas (tidak menyekutukan) dan harus benar (saleh). Ayat 105 Surah At-Taubah memberikan kerangka kerja bagaimana amal saleh itu dilakukan—yaitu dengan kesadaran bahwa ia diawasi dan akan dipertanggungjawabkan secara menyeluruh, mencakup dimensi publik dan privat.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
Ayat Al-Zalzalah ini menggarisbawahi presisi perhitungan di hari akhirat. Hal ini sejalan dengan janji dalam At-Taubah 105, *fayunabbi'ukum bimā kuntum ta'malūn(a)*. Pemberitahuan rinci (Yunabbi'ukum) memastikan bahwa bahkan amal seberat debu (zarrah) tidak akan terlewatkan. Ayat 105 memotivasi aksi, sementara Al-Zalzalah menjamin perhitungan yang adil atas aksi tersebut.
Perintah *I'malū* memiliki konsekuensi teologis yang mendalam terkait dengan konsep kehendak bebas (*ikhtiyar*) dan takdir (*qadar*).
Jika Allah telah memerintahkan, "Bekerjalah!" (*I'malū*), ini menegaskan bahwa manusia memiliki kapasitas dan tanggung jawab untuk memilih tindakan mereka. Ayat ini secara eksplisit menolak pandangan fatalisme ekstrem yang menyatakan bahwa segala sesuatu telah ditetapkan tanpa adanya peran aktif manusia. Perintah ini menuntut aksi, bukan pasivitas.
Dalam konteks teologi Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, ayat ini diletakkan dalam kerangka *kasb* (usaha atau perolehan). Manusia berusaha (melakukan *amal*), dan Allah yang menciptakan amal tersebut. Namun, tanggung jawab penuh atas usaha itu tetap berada di pundak manusia, karena niat dan pilihan berada dalam kendali mereka.
Mengingat pengawasan berlapis ini, amal yang diterima harus melewati saringan ketat:
Jika seseorang beramal dengan niat baik tetapi hasilnya buruk (karena kurang profesionalisme, misalnya), pengawasan *wal-mu'minūn* berfungsi untuk menuntut perbaikan mutu. Jika amal tampak hebat di mata publik tetapi niatnya buruk, ia gagal pada pengawasan *fasayarallāhu*. Hanya amal yang lulus kedua saringan ini yang akan dibalas secara sempurna di hari perhitungan.
Frasa *'ālimil-gaibi wasy-syahādati* mengandung pelajaran vital tentang keseimbangan. Muslim dituntut untuk peduli pada amal yang terlihat (seperti kejujuran dalam berdagang atau ketepatan waktu dalam ibadah), namun pada saat yang sama, mereka dilarang melupakan amal gaib (seperti pengendalian diri, introspeksi, dan membersihkan hati dari dendam atau *hasad*).
Banyak manusia hanya fokus pada *syahadah* (yang terlihat oleh orang lain) untuk mendapatkan pujian. Ayat ini mengingatkan bahwa yang menjadi penentu pahala sejati adalah pengetahuan Allah tentang *gaib* (niat yang tersembunyi). Oleh karena itu, pekerjaan spiritual membersihkan hati harus dilakukan seiring dengan pekerjaan fisik menghasilkan karya.
Ayat ini seringkali dianggap sebagai dasar teologis bagi kebangkitan dan peradaban Islam. Jika setiap Muslim memegang teguh prinsip Ayat 105, hasilnya adalah masyarakat yang beradab dan maju.
Dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan, *I'malū* berarti melakukan penelitian yang sungguh-sungguh, jujur, dan inovatif. Seorang ilmuwan Muslim yang menghayati Ayat 105 tidak akan memanipulasi data (*gaib*) dan akan memastikan bahwa temuannya memberikan manfaat nyata bagi masyarakat (*syahadah* dan *wal-mu'minūn*).
Pengetahuan dianggap sebagai amal yang terus mengalir (*amal jariyah*). Perintah bekerja mencakup bekerja keras untuk memahami alam semesta, yang merupakan ayat-ayat (tanda-tanda) kekuasaan Allah. Oleh karena itu, pengembangan sains dan teknologi menjadi bagian integral dari tuntutan ayat ini.
Konsep *wal-mu'minūn* menjadi saksi menciptakan landasan bagi masyarakat sipil yang kritis dan berpartisipasi aktif. Di sini, pengawasan sosial bukan sekadar gosip, melainkan tugas kolektif untuk memastikan keadilan dan kualitas. Jika sesama mukmin menyaksikan kecurangan atau ketidakprofesionalan, mereka memiliki kewajiban moral untuk memberikan nasehat dan koreksi, sesuai dengan prinsip *amar ma'ruf nahi munkar*.
Mekanisme pengawasan ini mendorong setiap individu untuk menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab, karena mereka tahu bahwa amal mereka akan dievaluasi di hadapan publik dan Tuhan.
Ayat 105 Surah At-Taubah, dengan transliterasi Latinnya *Wa quli'malū fasayarallāhu 'amalakum wa rasūluhū wal-mu'minūn(a)*, adalah salah satu ayat paling fundamental yang menetapkan hubungan antara iman dan perbuatan. Ayat ini menolak dualisme antara spiritualitas dan materialitas, menyatukan keduanya dalam satu perintah kerja yang komprehensif.
Ayat ini membuka pintu taubat dan harapan (bagi mereka yang sebelumnya lalai), sekaligus menutup pintu alasan bagi siapa pun yang bermalas-malasan. Intisari pesannya adalah bahwa hidup adalah kesempatan untuk beramal, dan setiap amal adalah saksi yang akan diangkat dan dibeberkan di hari akhir.
Pada akhirnya, terlepas dari pengakuan atau cemoohan dunia, setiap jiwa akan kembali kepada Yang Maha Mengetahui segala rahasia hati dan segala perbuatan yang kasat mata. Kesadaran akan janji *wa saturaddūna ilā 'ālimil-gaibi wasy-syahādati fayunabbi'ukum bimā kuntum ta'malūn(a)* adalah benteng terakhir seorang Muslim dalam menjaga integritas, kualitas, dan kesungguhan dalam setiap aspek kehidupannya.
Maka, kewajiban kita, sebagai umat yang diperintah, adalah untuk terus menerus menghadirkan pekerjaan terbaik, niat paling murni, dan kontribusi paling nyata, karena Allah dan seluruh komunitas beriman senantiasa menjadi saksi atas apa yang kita usahakan, detik demi detik.
Dalam kerangka pemahaman *qul i'malu*, dimensi spiritual pekerjaan jauh melampaui sekadar mencari rezeki halal. Ia menyentuh ranah *tazkiyatun nafs* (pembersihan jiwa). Pekerjaan yang dilakukan dengan kesadaran akan pengawasan ilahi (fasayarallahu) memiliki fungsi ganda:
Setiap tantangan dalam pekerjaan—kejenuhan, konflik etika, atau godaan untuk memotong jalan pintas—menjadi ladang uji ketaqwaan. Jika seseorang memilih kejujuran di tengah tekanan, ia sedang mengamalkan taqwa secara praktis. Ayat 105 mengubah tekanan kerja menjadi latihan spiritual yang konstan. Kesadaran bahwa Allah melihat bukan hanya hasil akhir, tetapi prosesnya, adalah sumber ketenangan dan kekuatan moral.
Sifat *Siddiq* (jujur dan benar) adalah ciri khas para nabi dan orang-orang saleh. Dalam pekerjaan, *Siddiq* termanifestasi sebagai keterbukaan, akurasi, dan kepatuhan pada janji. Ketika Rasulullah SAW menjadi saksi (wa rasuluhu), hal ini mengikat Muslim pada standar kebenaran tertinggi yang dicontohkan oleh beliau. Pekerjaan yang benar dan jujur adalah bukti iman yang dihayati, yang mustahil dipisahkan dari integritas spiritual. Ini adalah lapisan etis yang membuat pekerjaan seorang Muslim tidak hanya profesional, tetapi juga suci.
Peran orang-orang mukmin sebagai saksi (*wal-mu'minun*) memerlukan kajian lebih lanjut, karena ini adalah mekanisme kontrol sosial yang sangat unik dalam Islam. Fungsi ini mencakup beberapa aspek krusial dalam pembentukan masyarakat madani:
Jika pekerjaan seorang individu telah melalui pengawasan dan penerimaan komunitas mukmin, hal itu menghasilkan kepercayaan (*tsiqah*). Dalam ekonomi Islam, *tsiqah* adalah mata uang yang lebih berharga daripada uang tunai. Seorang pedagang yang *amal*-nya disaksikan baik oleh mukminin akan mendapatkan kredibilitas pasar yang kokoh. Ayat ini secara tidak langsung membangun mekanisme jaminan kualitas yang berbasis pada integritas moral bersama.
Pengawasan *wal-mu'minun* bukan hanya tentang penghakiman, tetapi juga tentang dukungan. Ketika seorang Muslim melihat saudaranya berjuang dalam pekerjaan yang benar, ia memiliki tanggung jawab untuk membantu (*ta’awun*). Jika pekerjaan itu adalah proyek kolektif, maka seluruh komunitas mukmin berfungsi sebagai tim pengawas dan tim pendukung, memastikan standar kerja kolektif tetap tinggi demi kemaslahatan umat.
Jika *amal* yang dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat cenderung merusak, pengawasan oleh *wal-mu'minun* bertindak sebagai alarm sosial. Ini adalah dasar bagi prinsip musyawarah dalam tata kelola, di mana keputusan dan tindakan penting harus dapat diakses dan diperiksa oleh perwakilan umat yang adil.
Transliterasi Latin *wa saturaddūna ilā 'ālimil-gaibi wasy-syahādati fayunabbi'ukum bimā kuntum ta'malūn(a)* adalah penutup ayat yang berfungsi sebagai motivasi jangka panjang.
Seringkali, pekerjaan yang dilakukan dengan ikhlas tidak mendapatkan pengakuan dari manusia (*wal-mu'minun*). Dalam situasi ini, ingatan akan perhitungan akhirat menjadi penyejuk. Walaupun dunia mungkin tidak melihat atau menghargai, Yang Maha Mengetahui (Al-Ghaib) telah mencatat niat dan usaha yang tersembunyi. Ini memberikan ketahanan emosional bagi para pekerja ikhlas yang seringkali terpinggirkan.
Kata *yunabbi’ukum* (memberitakan) jauh lebih kuat daripada sekadar 'menghitung'. Pemberitaan ini menyiratkan adanya presentasi, pengungkapan, dan pendedahan lengkap atas catatan amal. Di Hari Kiamat, Allah tidak hanya menghitung, tetapi Dia akan menjelaskan secara rinci (memberitakan) kepada setiap individu, pekerjaan apa yang telah ia lakukan, dan mengapa ia mendapat balasan tertentu. Ini adalah pengadilan yang sempurna, di mana setiap orang menjadi saksi atas dirinya sendiri, dan semua rahasia dibongkar. Keyakinan pada pemberitaan ini mendorong kepastian moral yang tiada bandingannya di dunia.
Dengan demikian, Surah At-Taubah Ayat 105, yang berpusat pada perintah bekerja dan janji akuntabilitas universal, adalah teks sentral yang mendefinisikan etos kerja, etika sosial, dan orientasi spiritual seorang Muslim dalam menjalani kehidupan dunia yang fana menuju perhitungan di akhirat yang abadi. Ayat ini adalah panggilan abadi menuju tindakan yang berbobot dan bermakna.