Istilah alkitab deuterokanonika merujuk pada sekelompok kitab yang dimasukkan dalam kanon Perjanjian Lama oleh gereja-gereja Katolik dan Ortodoks, namun tidak dianggap kanonik oleh gereja-gereja Protestan dan Yudaisme rabinik. Nama "deuterokanonika" sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti "kanon kedua" atau "kanon sekunder," mengindikasikan statusnya yang berbeda dari kitab-kitab lain yang lebih diterima secara luas.
Perbedaan kanon Alkitab ini telah menjadi subjek diskusi teologis dan historis selama berabad-abad. Kitab-kitab deuterokanonika umumnya ditulis dalam bahasa Yunani Koine dan berasal dari periode antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang sering disebut sebagai Periode Intertestamental. Periode ini kaya akan pemikiran keagamaan, perkembangan budaya, dan pengaruh Helenistik.
Asal usul kitab-kitab deuterokanonika sangat terkait dengan terjemahan Septuaginta, yaitu terjemahan Alkitab Ibrani ke dalam bahasa Yunani yang dilakukan oleh para sarjana Yahudi di Aleksandria, Mesir, sekitar abad ke-3 hingga ke-2 SM. Dalam terjemahan ini, beberapa kitab yang tidak terdapat dalam kanon Ibrani yang kemudian ditetapkan dimasukkan bersama kitab-kitab lainnya.
Gereja Kristen mula-mula, yang banyak di antaranya berbicara dan menggunakan bahasa Yunani, mengadopsi Septuaginta sebagai teks Perjanjian Lama mereka. Oleh karena itu, kitab-kitab yang terdapat dalam Septuaginta, termasuk yang kini disebut deuterokanonika, secara alami diterima sebagai bagian dari Kitab Suci oleh banyak pemimpin gereja awal.
Namun, seiring berjalannya waktu, terutama setelah Reformasi Protestan pada abad ke-16, Martin Luther dan para reformator lainnya mulai mempertanyakan otoritas kitab-kitab ini. Mereka merujuk pada kanon Ibrani sebagai standar yang lebih otentik, yang tidak mencakup kitab-kitab tersebut. Konsili Trente (1545-1563) kemudian mengukuhkan kanon Katolik Roma, yang secara definitif memasukkan kitab-kitab deuterokanonika.
Kitab-kitab yang umumnya dianggap sebagai deuterokanonika dalam tradisi Katolik Roma meliputi:
Gereja Ortodoks Timur memiliki kanon yang sedikit lebih luas, terkadang menyertakan 3 Makabe, 4 Makabe, Mazmur 151, dan Kitab Doa.
Meskipun status kanoniknya diperdebatkan oleh sebagian komunitas Kristen, kitab-kitab deuterokanonika memiliki nilai teologis, historis, dan spiritual yang signifikan. Kitab-kitab ini menawarkan wawasan mendalam tentang kepercayaan, praktik keagamaan, dan kehidupan komunitas Yahudi pada periode yang penting dalam sejarah keselamatan.
Misalnya, Kitab Tobit mengajarkan tentang pentingnya iman, doa, amal, dan perlindungan ilahi. Kitab Yudit menyoroti keberanian dan peran perempuan dalam rencana Tuhan. Kitab Kebijaksanaan Salomo dan Yesus Sirakh berisi ajaran-ajaran hikmat yang mendalam, berfokus pada keadilan, kesalehan, dan jalan orang benar.
Kitab-kitab Makabe memberikan narasi historis yang berharga tentang perjuangan bangsa Yahudi melawan penindasan asing, khususnya pemberontakan Makabe melawan Kekaisaran Seleukia. Kisah-kisah ini sering kali dilihat sebagai gambaran awal dari perjuangan iman dalam menghadapi tantangan duniawi dan penolakan terhadap pengajaran agama.
Bagi gereja-gereja yang menerimanya, kitab-kitab deuterokanonika merupakan bagian integral dari Alkitab dan dianggap memiliki otoritas yang sama dengan kitab-kitab kanonik lainnya. Mereka berkontribusi pada pemahaman yang lebih kaya tentang warisan spiritual dan sejarah teologis Kekristenan, memperkaya khazanah ajaran dan inspirasi bagi para pembaca.
Memahami keberadaan dan isi dari alkitab deuterokanonika sangat penting untuk apresiasi yang lebih lengkap terhadap keragaman tradisi Kristen dan perkembangan pemahaman Kitab Suci sepanjang sejarah.