Ilustrasi fokus spiritual dalam shalat.
Novel "Hafalan Shalat Delisa" karya Tere Liye adalah sebuah kisah yang sangat menyentuh, berlatar belakang tragedi tsunami Aceh pada tahun 2004. Inti dari cerita ini berkisah tentang seorang gadis kecil bernama Delisa, yang memiliki kecintaan luar biasa terhadap shalat. Namun, ujian terberat dalam hidupnya datang ketika ia harus menghadapi kehilangan besar dan proses pemulihan yang panjang.
Delisa adalah anak yang ceria dan sangat taat. Hubungannya dengan agama sangat erat, terutama melalui ritual shalat yang selalu ia lakukan dengan penuh kekhusyukan. Keberkahan dalam ibadahnya ini menjadi fondasi kekuatan mental dan spiritualnya sejak usia dini. Ia tinggal bersama keluarga besarnya di sebuah desa nelayan yang damai di Aceh.
Alur cerita mencapai titik krusial saat bencana tsunami menerjang. Dalam sekejap, kehidupan Delisa dan keluarganya berubah total. Ia terpisah dari orang tuanya dan saudara-saudaranya. Pada momen kepanikan dan kehancuran itu, secara ajaib, Delisa berhasil selamat, meskipun ia harus menanggung luka fisik dan trauma psikologis yang mendalam. Ia terdampar sendirian di tengah puing-puing kehancuran.
Setelah ditemukan dan dirawat di rumah sakit darurat, Delisa harus berjuang untuk beradaptasi dengan kenyataan barunya. Salah satu aspek paling menyedihkan dari perjalanannya adalah fakta bahwa ia kehilangan sebagian besar ingatan dan kemampuannya untuk berbicara untuk sementara waktu. Di tengah keputusasaan dan kerinduannya akan keluarga, satu-satunya hal yang menjadi jangkar emosional dan spiritualnya adalah hafalan shalatnya.
Delisa tidak bisa mengingat detail percakapan atau kenangan lain dengan jelas, namun gerakan dan bacaan shalatnya tetap melekat kuat dalam memorinya. Shalat menjadi bahasa universalnya saat kata-kata tak lagi mampu mengungkapkan rasa sakit, ketakutan, dan harapannya. Setiap kali ia melakukan gerakan shalat, ia merasa dekat dengan Tuhan dan, secara simbolis, ia merasa dekat dengan keluarganya yang hilang.
Kisah Delisa kemudian berfokus pada proses pemulihan. Ia diadopsi sementara oleh orang-orang baik yang membantunya melewati masa traumatis tersebut. Meskipun ia masih dihantui mimpi buruk dan rasa kehilangan yang tak terhingga, komitmennya pada shalat tidak pernah goyah. Bahkan, hafalan shalat tersebut menjadi semacam terapi penyembuhan.
Melalui interaksi dengan orang-orang baru, termasuk sosok yang memiliki koneksi dengan masa lalunya, Delisa perlahan mulai menemukan kembali dirinya. Namun, tema sentralnya tetap: bagaimana ketaatan pada ritual agama dapat memberikan ketenangan batin luar biasa bahkan ketika dunia di sekitarnya runtuh.
Alur cerita ini sangat kuat dalam menunjukkan bahwa iman dan ketaatan bukan sekadar ritual, tetapi sumber kekuatan sejati saat menghadapi tragedi. Hafalan shalat Delisa bukan hanya tentang menghafal urutan gerakan, tetapi tentang memegang teguh janji dan hubungan dengan Sang Pencipta di saat manusia terlemah. Novel ini meninggalkan pesan mendalam tentang ketabahan, kekuatan doa, dan bagaimana kenangan spiritual dapat menjadi pelindung terbaik dalam menghadapi kehilangan.
Pada akhirnya, perjalanan Delisa adalah simbolisasi harapan bagi banyak korban tsunami Aceh, menunjukkan bahwa meskipun kehilangan fisik tak terperikan, kekuatan spiritual akan selalu menemukan jalan untuk membangun kembali kehidupan.