Al-Qur'an adalah petunjuk paripurna bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan duniawi menuju kebahagiaan abadi. Di antara lautan ayat yang menuntun, terdapat ayat-ayat spesifik yang mengandung janji dan peringatan penting. Salah satu ayat yang sering menjadi perenungan adalah Surah An-Nahl (Lebah) ayat ke-9. Ayat ini secara ringkas namun padat menjelaskan tentang hakikat bimbingan ilahi dan siapa yang bertanggung jawab atas penetapannya.
Ayat ini memberikan kepastian bahwa Allah SWT tidak pernah membiarkan hamba-Nya tersesat tanpa arah. Keberadaan petunjuk (dalalah) adalah sebuah karunia yang harus disyukuri dan diikuti.
Frasa kunci dalam ayat ini adalah "wa lillahi ilayhi ihdatus-sabil", yang secara harfiah berarti "dan bagi Allah adalah kewajiban menunjukkan jalan." Kewajiban ini bersifat mutlak, menegaskan bahwa sumber utama dari segala petunjuk yang benar hanya berasal dari Pencipta semesta alam. Ini menepis anggapan bahwa kebenaran bisa ditemukan melalui spekulasi murni atau metode yang terputus dari wahyu.
Jalan yang dimaksud di sini adalah jalan kebenaran, jalan Islam, jalan yang membawa kepada keridhaan-Nya dan keselamatan di akhirat. Allah telah menyediakan peta jalan tersebut melalui para nabi, rasul, dan kitab-kitab suci-Nya. Jalan ini jelas, lurus, dan tidak berliku-liku.
Ayat tersebut kemudian memberikan kontras yang tajam dengan menyebutkan, "wa minha jairun" (dan di antara jalan-jalan itu ada yang bengkok). Jalan yang bengkok ini melambangkan segala bentuk kesesatan, ideologi yang menyesatkan, hawa nafsu yang tidak terkendali, dan perbuatan yang menjauhkan manusia dari fitrah penciptaannya. Jalan ini mungkin tampak menarik atau mudah pada awalnya, namun ujungnya adalah kehancuran dan penyesalan.
Perbedaan antara jalan lurus dan bengkok ini sengaja dijadikan nyata oleh Allah. Ini adalah bagian dari ujian (fitnah). Jika semua jalan terlihat sama, maka tidak akan ada nilai bagi ketaatan dan pilihan sadar seorang mukmin. Keberadaan jalan yang bengkok berfungsi sebagai ujian pembeda bagi mereka yang memiliki mata hati untuk melihat dan hati yang mau tunduk pada kebenaran.
Bagian penutup ayat, "wa law sya'a la hadakum ajma'iin" (dan sekiranya Allah menghendaki, tentulah Dia memberikan petunjuk kepada kamu semuanya), adalah inti dari konsep ikhtiyar (pilihan bebas) manusia. Allah mampu memaksa seluruh umat manusia untuk beriman dan berada di jalan yang lurus. Namun, karena kehendak-Nya yang Maha Bijaksana, Dia memilih untuk memberikan manusia kapasitas memilih.
Jika semua orang dipaksa taat, maka konsep pahala, dosa, keimanan, dan pengabdian akan kehilangan maknanya. Kehendak Allah untuk tidak memaksa ini menunjukkan kemurahan-Nya yang luar biasa; Dia menyediakan panduan, namun keputusan untuk mengikuti atau menolaknya diserahkan kepada akal dan hati masing-masing individu. Keimanan yang sejati adalah hasil dari pilihan sadar yang didasari oleh perenungan dan bimbingan ilahi yang telah disajikan.
Ilustrasi visualisasi dua pilihan jalan berdasarkan An-Nahl 16:9.
Memahami An-Nahl ayat 9 memberikan beberapa implikasi penting. Pertama, seorang muslim harus senantiasa bergantung kepada Allah untuk mendapatkan petunjuk. Ini berarti menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai referensi utama dalam setiap pengambilan keputusan spiritual maupun duniawi.
Kedua, ayat ini menuntut tanggung jawab pribadi. Karena Allah telah menyediakan jalan yang jelas, menempuh jalan yang bengkok adalah bentuk penolakan terhadap kemudahan yang ditawarkan-Nya. Pengakuan bahwa ada pilihan yang salah (jalan bengkok) mendorong seorang mukmin untuk lebih berhati-hati dan selalu memohon perlindungan dari kesesatan.
Ketiga, ayat ini menumbuhkan rasa syukur. Kemampuan untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batil, serta kemudahan akses terhadap ilmu yang mengarahkan kepada kebenaran, adalah nikmat yang tak ternilai harganya. Rasa syukur ini mendorong seorang hamba untuk berjalan teguh di atas Shirat al-Mustaqim, jalan yang telah Allah tetapkan sebagai kewajiban-Nya untuk ditunjukkan.
Intinya, An-Nahl 16:9 adalah pengingat bahwa petunjuk adalah anugerah, kesesatan adalah pilihan, dan pertanggungjawaban atas pilihan tersebut berada di tangan manusia, meskipun semua kembali kepada kehendak akhir Allah SWT.