Al-Qur'an adalah sumber petunjuk ilahi yang kaya akan hikmah dan pelajaran hidup. Salah satu ayat yang sering menjadi perenungan mendalam adalah Surat An Nahl (Lebah) ayat ke-73. Ayat ini menyentuh inti dari konsep ketuhanan dan bagaimana manusia seringkali terjebak dalam kesalahpahaman mengenai siapa yang berhak disembah.
Konteks Historis dan Makna Dasar
Ayat 73 dari Surah An Nahl diturunkan sebagai penegasan tunggalitas Allah (Tauhid) di tengah realitas masyarakat Arab Jahiliyah yang saat itu sangat kental dengan praktik politeisme (syirik). Mereka menyembah berhala, benda-benda langit, atau perantara lainnya, dengan keyakinan bahwa entitas-entitas tersebut memiliki kemampuan untuk memberikan rezeki atau menolong mereka.
Ayat ini secara lugas membatalkan klaim tersebut. Allah subhanahu wa ta'ala menegaskan bahwa segala sesuatu yang mereka sembah selain Dia—entah itu patung yang terbuat dari batu, dewa-dewa yang mereka ciptakan, atau apapun—tidak memiliki kemampuan sedikit pun (سُلْطَانًا - *sulthanan*) untuk memberikan rezeki. Rezeki, dalam arti luas mencakup pemberian kehidupan, penghidupan, kesehatan, dan keberkahan, sepenuhnya berada di tangan Sang Pencipta Yang Maha Kuasa.
Ilustrasi: Sumber tunggal (Allah) adalah pemberi rezeki, sementara yang lain tidak memiliki kuasa tersebut.
Kesesatan Logika Politeisme
Pesan fundamental dari An Nahl ayat 73 adalah penolakan terhadap logika yang cacat. Jika sebuah entitas yang disembah benar-benar memiliki kekuatan, bukankah ia harus mampu mengatur atau menghasilkan sesuatu yang esensial bagi kehidupan, seperti rezeki? Namun, ayat ini menegaskan bahwa mereka tidak mampu melakukannya, baik rezeki dari langit (seperti hujan, matahari, bintang-bintang yang keberadaannya vital) maupun rezeki dari bumi (seperti tumbuhan dan sumber daya alam lainnya).
Fakta empiris menunjukkan bahwa hujan turun atas kehendak Allah, bukan atas perintah patung dewa kesuburan. Tanaman tumbuh subur karena hukum alam yang diciptakan Allah, bukan karena persembahan yang diletakkan di hadapan berhala. Dengan menyoroti kegagalan mutlak entitas-entitas sembahan itu dalam aspek paling mendasar kehidupan (rezeki), Al-Qur'an mengajak akal sehat manusia untuk beralih sepenuhnya kepada Al Khaliq.
Relevansi Modern: Pengalihan Ketergantungan
Meskipun praktik penyembahan berhala secara fisik mungkin telah berkurang di banyak tempat, pesan An Nahl 73 tetap sangat relevan di era kontemporer. "Berhala" modern bisa berbentuk uang, kekuasaan, jabatan, teknologi, atau bahkan ideologi yang diagungkan melebihi batas kebenaran ilahi.
Ketika seseorang menaruh harapan penuh, rasa aman, dan pusat orientasi hidupnya pada pencapaian materi atau jabatan, padahal ia tahu bahwa semua itu bisa lenyap dalam sekejap tanpa kehendak Ilahi, maka ia telah melakukan bentuk syirik terselubung—yaitu menyembah "sesuatu yang tidak memiliki kuasa sedikit pun" untuk menjamin keabadian atau kebenaran hal tersebut.
Ayat ini mengingatkan bahwa ketenangan sejati hanya datang dari keterikatan pada Sumber segala sumber daya. Ketika kita menyadari bahwa sumber daya alam, stabilitas ekonomi, atau bahkan kesehatan kita tidak sepenuhnya dalam kendali kita (melainkan dalam kuasa yang jauh lebih besar), kita akan lebih mudah melepaskan ketergantungan obsesif pada hal-hal yang fana.
Kesimpulan
An Nahl ayat 73 adalah seruan keras untuk introspeksi dan pemurnian akidah. Ayat ini menelanjangi kepalsuan segala bentuk penyembahan selain Allah dengan menunjuk pada ketiadaan kuasa rizki pada mereka. Memahami dan merenungkan ayat ini akan mengarahkan hati seorang mukmin untuk bersyukur atas rezeki yang datang dari satu-satunya Sumber yang Maha Kuasa, serta menjauhkan diri dari ketergantungan buta pada ciptaan yang pasti lemah dan terbatas. Tawassul dan harapan sejati harus selalu kembali kepada Allah Azza wa Jalla.