Pengantar Anatomi dan Patofisiologi Amandel
Amandel, atau secara medis dikenal sebagai tonsil palatina, adalah sepasang jaringan limfoid yang terletak di kedua sisi belakang tenggorokan (faring). Tonsil merupakan bagian integral dari Cincin Waldeyer, sebuah sistem pertahanan imun yang berfungsi sebagai garis pertahanan pertama tubuh terhadap patogen yang masuk melalui mulut dan hidung.
Fungsi Vital Tonsil dalam Imunitas Tubuh
Pada masa kanak-kanak, tonsil memainkan peran krusial dalam "mendidik" sistem imun dengan memproduksi antibodi terhadap mikroorganisme yang dihirup atau dicerna. Tonsil menghasilkan sel B dan sel T, yang merupakan komponen kunci dalam respons imun adaptif dan bawaan. Namun, karena posisinya yang strategis di jalur masuk patogen, tonsil rentan terhadap infeksi dan peradangan, suatu kondisi yang dikenal sebagai tonsilitis atau radang amandel.
Klasifikasi Tonsilitis
Tonsilitis diklasifikasikan berdasarkan durasi dan frekuensi kejadian:
- Tonsilitis Akut: Infeksi mendadak yang biasanya berlangsung antara 7 hingga 10 hari. Gejala muncul tiba-tiba dan parah.
- Tonsilitis Kronis: Peradangan tonsil yang berkepanjangan (lebih dari beberapa minggu) dan seringkali melibatkan tonsil yang telah mengalami kerusakan struktural atau pembentukan kriptus (kantong) berisi sisa makanan, sel mati, dan bakteri.
- Tonsilitis Berulang (Recurrent Tonsillitis): Serangan akut yang sering terjadi. Kriteria umum seringkali merujuk pada 7 episode dalam satu tahun, 5 episode per tahun selama dua tahun berturut-turut, atau 3 episode per tahun selama tiga tahun berturut-turut.
Gambar 1: Lokasi Amandel yang mengalami Peradangan Akut.
Etiologi dan Diagnosis: Kapan Antibiotik Diperlukan?
Keputusan penggunaan antibiotik adalah inti dari penatalaksanaan tonsilitis. Antibiotik hanya efektif melawan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Mengidentifikasi penyebab tonsilitis (viral atau bakteri) merupakan langkah diagnostik yang paling penting.
Penyebab Viral (Mayoritas Kasus)
Sekitar 70% hingga 80% kasus tonsilitis akut, terutama pada anak di bawah usia 5 tahun, disebabkan oleh virus. Virus yang umum meliputi:
- Adenovirus
- Rhinovirus
- Influenza dan Parainfluenza Virus
- Coronavirus
- Epstein-Barr Virus (EBV), yang menyebabkan Mononukleosis (sering disebut 'kissing disease'), yang juga dapat menyebabkan tonsilitis yang sangat parah.
Tonsilitis viral tidak memerlukan antibiotik dan ditangani dengan terapi suportif (istirahat, hidrasi, pereda nyeri/demam).
Penyebab Bakteri (Fokus Pengobatan)
Penyebab bakteri yang paling signifikan dan paling sering memerlukan intervensi antibiotik adalah Streptococcus grup A beta-hemolitik (GABHS), atau Streptococcus pyogenes. Infeksi GABHS sangat penting untuk didiagnosis dan diobati secara tuntas karena potensi komplikasinya yang serius, yang disebut sekuela non-supuratif.
Pentingnya Diagnosis GABHS
Meskipun GABHS hanya menyebabkan 15-30% kasus tonsilitis pada anak dan 5-15% pada orang dewasa, pengobatannya mutlak diperlukan untuk:
- Mempercepat resolusi gejala (meskipun hanya sedikit).
- Mencegah penularan ke orang lain.
- Mencegah sekuela serius seperti Demam Rematik Akut (DRA) dan Glomerulonefritis Pasca-Streptokokus (GNPS).
Alat Diagnostik dan Kriteria Klinis
Dokter menggunakan kriteria klinis (seperti Skala Centor atau modifikasi Skor Centor) dan tes laboratorium untuk membedakan antara infeksi viral dan bakteri sebelum meresepkan antibiotik:
- Skor Centor/FeverPAIN: Memberikan poin untuk eksudat tonsil, pembengkakan kelenjar getah bening, riwayat demam, tidak adanya batuk, dan usia. Skor tinggi sangat menyarankan infeksi GABHS.
- Tes Cepat Antigen Streptokokus (RADT): Memberikan hasil dalam hitungan menit. Jika positif, antibiotik diberikan. Namun, akurasinya bervangtung pada kualitas tes.
- Kultur Tenggorokan: Standar emas untuk konfirmasi GABHS. Hasilnya membutuhkan waktu 24-48 jam. Ini sering digunakan untuk mengonfirmasi hasil RADT yang negatif pada anak-anak.
Penggunaan antibiotik tanpa diagnosis bakteriologis yang kuat merupakan praktik yang tidak bertanggung jawab dan berkontribusi langsung pada krisis resistensi antimikroba global.
Pilar Terapi Antibiotik untuk Amandel Bakteri
Ketika infeksi GABHS telah dikonfirmasi, tujuannya adalah membasmi bakteri sepenuhnya. Pemilihan antibiotik didasarkan pada efikasi terhadap GABHS, profil keamanan, ketersediaan, dan biaya. Penicillins tetap menjadi obat pilihan pertama karena efikasinya yang tinggi dan rendahnya resistensi GABHS terhadap kelas obat ini.
Pilihan Lini Pertama: Kelompok Penisilin
Penisilin V (Fenoksimetilpenisilin) dan Amoksisilin adalah fondasi pengobatan GABHS. Mereka adalah antibiotik β-laktam yang bekerja dengan mengganggu sintesis dinding sel bakteri, menyebabkan lisis dan kematian sel.
Penisilin V (Fenoksimetilpenisilin)
Ini adalah pengobatan oral standar. Diberikan 2-3 kali sehari, seringkali selama 10 hari penuh. Meskipun rasanya kurang enak, kepatuhan 10 hari sangat penting untuk eradikasi total, mencegah Demam Rematik.
Amoksisilin
Amoksisilin sering disukai pada anak-anak karena rasanya yang lebih enak dan regimen dosis yang lebih sederhana. Meskipun Amoksisilin memiliki spektrum yang sedikit lebih luas daripada Penisilin V, efikasinya terhadap GABHS sebanding. Durasi pengobatan juga idealnya 10 hari.
Penisilin G Benzatin (Injeksi)
Dalam kasus di mana kepatuhan pasien diragukan (misalnya, pada pasien yang mungkin tidak menyelesaikan 10 hari pengobatan oral) atau pada populasi dengan risiko tinggi Demam Rematik, suntikan tunggal Penisilin G Benzatin dosis tunggal dapat diberikan. Injeksi ini memastikan kadar obat terapeutik dipertahankan selama periode yang cukup untuk membunuh GABHS.
Alternatif untuk Pasien Alergi Penisilin
Alergi terhadap penisilin adalah kondisi umum. Dokter perlu membedakan antara alergi yang sebenarnya (tipe I hipersensitivitas) dan efek samping non-alergi. Untuk pasien yang benar-benar alergi, alternatif dipilih:
Makrolida
Kelas makrolida mengikat subunit 50S ribosom bakteri, menghambat sintesis protein. Pilihan utama meliputi Eritromisin, Azitromisin, dan Klaritromisin.
- Azitromisin: Sering disukai karena regimen dosis yang singkat (biasanya 5 hari), yang meningkatkan kepatuhan. Namun, di beberapa wilayah, tingkat resistensi GABHS terhadap makrolida mulai meningkat.
- Eritromisin: Obat yang efektif tetapi sering menyebabkan masalah gastrointestinal yang signifikan.
Sefalosporin
Pada kasus alergi penisilin yang non-anfilaksis (ruam ringan, dll.), sefalosporin generasi pertama (misalnya, Sefaleksin) atau generasi kedua (misalnya, Sefuroksim) dapat digunakan. Sefalosporin juga merupakan β-laktam tetapi memiliki struktur cincin yang berbeda, menawarkan risiko reaktivitas silang yang lebih rendah terhadap penisilin (sekitar 1-5%).
Penting: Kotrimoksazol (Trimethoprim-sulfamethoxazole) dan tetrasiklin tidak direkomendasikan untuk pengobatan tonsilitis streptokokus karena tingkat kegagalan eradikasi yang tinggi.
Farmakologi dan Mekanisme Aksi: Membasmi GABHS
Pemahaman mendalam tentang cara kerja antibiotik membantu menjelaskan mengapa kepatuhan dosis dan durasi sangat krusial, terutama untuk mencegah penyakit sekunder autoimun seperti Demam Rematik.
Target Molekuler β-Laktam
Penisilin dan Sefalosporin adalah β-laktam. Cincin β-laktam yang reaktif adalah kunci mekanisme kerjanya. Mereka menargetkan Protein Pengikat Penisilin (PBP), yang merupakan enzim transpeptidase yang bertanggung jawab untuk pembentukan ikatan silang dalam struktur peptidoglikan dinding sel bakteri. Ketika β-laktam mengikat PBP, dinding sel menjadi lemah dan tidak stabil. Karena GABHS tidak memiliki enzim β-laktamase yang signifikan (enzim yang membuat bakteri resisten terhadap penisilin), penisilin sangat efektif.
Durasi pengobatan 10 hari tidak hanya bertujuan membunuh mayoritas bakteri, tetapi juga memastikan eliminasi total dari koloni yang bertahan, sehingga mengurangi kemungkinan GABHS memproduksi antigen M yang memicu respons autoimun tubuh.
Farmakokinetik Kunci: Waktu vs. Konsentrasi
Penisilin adalah antibiotik yang bergantung pada waktu (time-dependent killers). Artinya, efikasinya sangat bergantung pada berapa lama konsentrasi obat dalam darah dan jaringan (khususnya tonsil) berada di atas Konsentrasi Inhibisi Minimum (MIC) bakteri target. Untuk mencapai hal ini, dosis harus teratur, dan interval 10 hari harus dipatuhi. Menghentikan pengobatan lebih awal, bahkan jika gejala mereda, dapat menyebabkan:
- Relaps infeksi.
- Gagal membasmi koloni kecil, meningkatkan risiko Demam Rematik.
- Seleksi bakteri yang lebih resisten.
Fenomena 'Carrier' (Pembawa Asimtomatik)
Sekitar 5% hingga 20% anak-anak dapat menjadi pembawa GABHS asimtomatik, di mana bakteri ada di tenggorokan tanpa menyebabkan gejala atau respons imun yang signifikan. Pedoman saat ini umumnya tidak merekomendasikan pengobatan antibiotik untuk pembawa asimtomatik karena:
- Risiko Demam Rematik dari kondisi pembawa sangat rendah.
- Pengobatan dapat menyebabkan efek samping dan mempromosikan resistensi obat.
- Sulit untuk membedakan antara status pembawa dan infeksi aktif yang sebenarnya.
Namun, pengobatan mungkin dipertimbangkan jika ada riwayat Demam Rematik di keluarga atau selama wabah di komunitas tertutup.
Ancaman Global: Resistensi Antibiotik dan Amandel
Meskipun GABHS secara historis tetap sensitif terhadap penisilin, resistensi terhadap makrolida telah menjadi perhatian yang signifikan di banyak negara. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat, terutama pada kasus viral, mendorong evolusi bakteri yang resisten.
Mekanisme Resistensi Makrolida pada GABHS
Resistensi terhadap makrolida (seperti Azitromisin) terjadi melalui beberapa mekanisme, yang paling umum adalah modifikasi target (ribosom). Bakteri mengembangkan gen (sering disebut gen erm) yang menyebabkan metilasi ribosom 23S, yang mencegah makrolida mengikat ribosom secara efektif, sehingga menghambat sintesis protein bakteri.
Peran Dokter dan Pasien dalam Pencegahan
Untuk menanggulangi resistensi, strategi pengelolaan antibiotik (Antibiotic Stewardship) harus diterapkan secara ketat:
- Diagnosis Tepat: Hanya meresepkan antibiotik setelah konfirmasi bakteriologis (RADT/Kultur), bukan hanya berdasarkan gejala klinis.
- Durasi Penuh: Mengedukasi pasien tentang pentingnya menyelesaikan seluruh kursus 10 hari (kecuali untuk Azitromisin yang 5 hari), bahkan jika mereka merasa lebih baik.
- Pilihan Tepat: Mengutamakan penisilin sebagai lini pertama. Jika alergi, gunakan sefalosporin sebelum beralih ke makrolida, dan selalu pertimbangkan pola resistensi lokal.
- Edukasi Publik: Menghilangkan mitos bahwa antibiotik dapat menyembuhkan semua sakit tenggorokan atau flu.
Gambar 2: Kegagalan Antibiotik akibat Seleksi Bakteri yang Resisten.
Komplikasi Amandel dan Implikasi Pengobatan
Tujuan utama pemberian antibiotik, khususnya pada GABHS, adalah pencegahan komplikasi supuratif (bernanah) dan non-supuratif (autoimun).
Komplikasi Supuratif Lokal
Abses Peritonsiler (Quinsy)
Ini adalah komplikasi yang paling umum dan serius dari tonsilitis akut yang tidak diobati atau diobati secara tidak memadai. Abses peritonsiler adalah kumpulan nanah di antara kapsul tonsil dan otot faring. Gejalanya termasuk nyeri tenggorokan unilateral yang sangat parah, trismus (kesulitan membuka mulut), suara "hot potato" (suara bergumam), dan deviasi uvula ke sisi yang berlawanan.
Tatalaksana abses peritonsiler memerlukan drainase bedah (aspirasi atau insisi) dan antibiotik intravena (IV) spektrum luas, seringkali yang mencakup anaerob (misalnya, Klindamisin atau kombinasi Amoksisilin/Asam Klavulanat).
Selulitis Peritonsiler
Ini adalah infeksi jaringan lunak di sekitar tonsil tanpa pembentukan abses yang nyata. Pengobatan biasanya adalah antibiotik dosis tinggi, seringkali IV pada awalnya, tanpa perlu drainase.
Komplikasi Non-Supuratif (Penyakit Autoimun)
Komplikasi ini timbul karena adanya kesamaan molekuler (mimikri molekuler) antara antigen pada GABHS (terutama protein M) dan protein pada jantung, sendi, atau ginjal manusia. Sistem imun menyerang bakteri dan jaringan tubuh sendiri secara bersamaan.
1. Demam Rematik Akut (DRA)
DRA adalah penyakit inflamasi yang melibatkan jantung (paling serius), sendi, otak, dan kulit. Jika tidak ditangani, ia dapat berkembang menjadi Penyakit Jantung Rematik (PJR), penyebab utama penyakit jantung yang didapat di negara berkembang. Pengobatan tuntas GABHS dalam 9 hari pertama infeksi sangat efektif mencegah DRA.
2. Glomerulonefritis Pasca-Streptokokus (GNPS)
GNPS adalah peradangan ginjal yang terjadi setelah infeksi streptokokus (baik tenggorokan atau kulit). Tidak seperti DRA, GNPS tidak selalu dapat dicegah dengan antibiotik yang diberikan setelah infeksi dimulai, tetapi pengobatan tetap penting untuk mengatasi infeksi awal.
Tonsilektomi: Indikasi Bedah dan Tatalaksana Kronis
Jika infeksi tonsilitis telah menjadi masalah kronis atau berulang, atau jika tonsil menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan, intervensi bedah (tonsilektomi) mungkin diperlukan.
Indikasi Absolut dan Relatif
Keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus mempertimbangkan risiko operasi versus manfaat jangka panjang. Indikasi utama meliputi:
- Obstruksi Jalan Napas: Tonsil yang sangat besar (hipertrofi) yang menyebabkan Apnea Tidur Obstruktif (OSA), kesulitan menelan (disfagia), atau gangguan bicara. Ini adalah indikasi absolut, terutama pada anak-anak.
- Tonsilitis Berulang (Kriteria Paradise): Seperti disebutkan sebelumnya (7 kali dalam setahun, 5 kali per tahun selama 2 tahun, atau 3 kali per tahun selama 3 tahun), yang mengganggu kualitas hidup atau absensi sekolah/kerja.
- Abses Peritonsiler Berulang: Jika pasien mengalami abses peritonsiler yang berulang.
- Halitosis Kronis: Bau mulut kronis yang disebabkan oleh Tonsilolit (batu amandel) atau detritus yang terperangkap dalam kripta tonsil yang rusak.
- Kecurigaan Keganasan: Tonsil yang membesar secara asimetris yang menimbulkan kecurigaan limfoma atau karsinoma.
Tonsilitis Kronis dan Biofilm
Dalam tonsilitis kronis, bakteri (seringkali kombinasi GABHS, Haemophilus influenzae, dan anaerob) membentuk lapisan pelindung yang disebut biofilm di dalam kripta tonsil. Biofilm membuat bakteri hampir tidak dapat dijangkau oleh antibiotik oral standar, yang menjelaskan mengapa infeksi ini terus berulang. Dalam kasus ini, intervensi bedah adalah satu-satunya cara untuk menghilangkan sumber infeksi kronis.
Teknik dan Risiko Tonsilektomi
Tonsilektomi dapat dilakukan dengan teknik "dingin" (diseksi pisau) atau teknik energi panas (elektrokauter, radiofrekuensi, atau laser). Komplikasi utama setelah tonsilektomi meliputi nyeri pascaoperasi (sangat umum) dan perdarahan (risiko serius, terutama perdarahan sekunder 5-10 hari pasca operasi).
Pedoman Pengobatan Lanjutan dan Manajemen Kasus Khusus
Penatalaksanaan tonsilitis memerlukan fleksibilitas berdasarkan riwayat medis pasien, usia, dan risiko komplikasi.
Manajemen Kegagalan Terapi Antibiotik
Kegagalan klinis terjadi ketika gejala pasien tidak membaik setelah 48-72 jam pengobatan antibiotik lini pertama. Penyebab kegagalan bisa beragam:
- Non-Kepatuhan: Pasien tidak menyelesaikan durasi 10 hari.
- Infeksi Viral Campuran: Adanya infeksi viral yang menyertai infeksi bakteri.
- Bakteri Pelindung (Beta-Laktamase): Kehadiran bakteri lain (misalnya, Staphylococcus aureus atau H. influenzae) yang menghasilkan enzim β-laktamase. Enzim ini menghancurkan penisilin, melindungi GABHS (yang tidak resisten terhadap penisilin) melalui 'efek perisai'.
- Resistensi Sejati: Jarang terjadi pada penisilin, tetapi mungkin terjadi pada makrolida.
Strategi Pengobatan Ulang
Jika kegagalan terjadi, langkah selanjutnya melibatkan perubahan regimen:
- Pindah ke Amoksisilin/Asam Klavulanat (Augmentin): Kombinasi ini mengatasi bakteri pelindung penghasil β-laktamase.
- Pindah ke Klindamisin: Obat ini efektif melawan GABHS dan banyak anaerob serta tidak dihambat oleh β-laktamase.
- Sefalosporin Generasi Kedua atau Ketiga: Untuk memastikan cakupan yang lebih luas.
Pertimbangan Pediatrik
Pada anak-anak, risiko Demam Rematik adalah prioritas tertinggi. Oleh karena itu, diagnosis GABHS harus dipastikan sebelum memulai antibiotik, namun sekali dimulai, kepatuhan 10 hari tidak dapat ditawar. Dosis antibiotik harus disesuaikan ketat berdasarkan berat badan anak.
Penggunaan Kortikosteroid (Deksametason)
Dalam kasus tonsilitis akut yang parah, terutama dengan pembengkakan signifikan yang menyebabkan disfagia (sulit menelan) atau obstruksi jalan napas, dosis tunggal kortikosteroid (seperti Deksametason) dapat diberikan. Kortikosteroid adalah anti-inflamasi kuat yang dapat mengurangi pembengkakan tonsil dengan cepat, memberikan kenyamanan signifikan dan mempercepat pemulihan, namun selalu harus diberikan bersama antibiotik jika penyebabnya bakteri.
Tantangan dan Masa Depan Penanganan Amandel di Indonesia
Di Indonesia, masalah tonsilitis tidak hanya berkaitan dengan pengobatan individual tetapi juga masalah kesehatan publik yang terkait erat dengan prevalensi Demam Rematik dan praktik penggunaan antibiotik yang suboptimal.
Pentingnya Pengurangan Beban Demam Rematik
Indonesia masih memiliki beban Demam Rematik yang signifikan, terutama di daerah dengan akses kesehatan terbatas. Program pencegahan sekunder (pemberian Penisilin G Benzatin setiap 3-4 minggu kepada pasien yang sudah didiagnosis PJR) sangat penting, tetapi pencegahan primer—yaitu, mengobati semua kasus GABHS secara tuntas—adalah garis pertahanan pertama.
Peningkatan Akses Diagnosis Cepat
Di fasilitas kesehatan primer (Puskesmas), seringkali sulit membedakan viral dan bakteri. Peningkatan ketersediaan dan pelatihan penggunaan RADT akan secara signifikan mengurangi peresepan antibiotik yang tidak perlu untuk tonsilitis viral, yang merupakan pendorong utama resistensi.
Antibiotic Stewardship di Layanan Primer
Program pengendalian penggunaan antibiotik harus ditekankan pada tingkat komunitas. Ini melibatkan pelatihan tenaga kesehatan untuk:
- Menghindari peresepan 'hanya untuk jaga-jaga' (just-in-case prescribing).
- Menjelaskan kepada pasien mengapa antibiotik tidak diperlukan untuk sakit tenggorokan viral.
- Memilih antibiotik lini pertama yang sempit spektrum (Penisilin V atau Amoksisilin) sebelum beralih ke spektrum yang lebih luas.
Tonsilitis dan Mikrobioma Faring
Penelitian modern menyoroti interaksi kompleks antara GABHS dan mikrobioma normal tenggorokan. Disbiosis (ketidakseimbangan) bakteri di tenggorokan mungkin berkontribusi pada kerentanan terhadap tonsilitis berulang. Pendekatan masa depan mungkin melibatkan penggunaan probiotik yang dirancang khusus untuk memulihkan flora normal faring, yang secara alami dapat menghambat pertumbuhan GABHS, mengurangi ketergantungan pada antibiotik.
Pengelolaan amandel adalah contoh sempurna di mana prinsip 'tiga pilar'—Diagnosis akurat, Pengobatan tepat waktu dan tuntas, dan Pencegahan Komplikasi—harus berjalan beriringan. Memastikan bahwa antibiotik hanya digunakan saat ada indikasi bakteri, dan digunakan sesuai dosis dan durasi penuh, bukan hanya menyelamatkan pasien dari komplikasi, tetapi juga melindungi efektivitas obat ini untuk generasi mendatang.
Peran Antibiotik dalam Mencegah Demam Rematik (Penekanan)
Demam Rematik (DR) adalah komplikasi non-supuratif yang paling ditakuti dari infeksi GABHS yang tidak diobati. Mekanisme pencegahan oleh antibiotik adalah kompleks. Dengan membasmi GABHS, antibiotik secara efektif menghentikan sumber antigen M yang memicu reaksi silang autoimun. Periode kritis untuk intervensi ini adalah sekitar 9 hingga 10 hari sejak onset gejala. Jika pengobatan dimulai dalam jendela waktu ini, risiko DR hampir sepenuhnya dihilangkan. Namun, jika pengobatan ditunda, pembentukan antibodi sudah terjadi, dan risiko DR meningkat, meskipun pengobatan antibiotik masih diperlukan untuk mencegah penularan dan membersihkan infeksi yang tersisa. Ini menegaskan bahwa diagnosis dini dan inisiasi pengobatan yang cepat adalah prioritas utama dalam kasus tonsilitis yang dicurigai streptokokus.
Resistensi Makrolida dan Implikasinya
Di beberapa wilayah urban di Asia Tenggara, tingkat resistensi GABHS terhadap makrolida seperti Azitromisin dan Eritromisin telah dilaporkan melebihi 20%. Hal ini menjadi masalah serius karena makrolida adalah lini kedua yang umum untuk pasien alergi penisilin. Tingginya angka resistensi ini sering dikaitkan dengan penggunaan Azitromisin yang meluas dan terkadang tidak tepat untuk infeksi saluran pernapasan atas yang bersifat viral. Jika resistensi terhadap makrolida mencapai tingkat yang tidak dapat diterima, dokter terpaksa beralih ke Klindamisin, yang memiliki potensi efek samping yang lebih serius (termasuk risiko infeksi Clostridium difficile) atau Sefalosporin yang lebih mahal, memberikan tekanan finansial pada sistem kesehatan.
Keterlibatan Kripta Tonsil dalam Tonsilitis Kronis
Tonsil memiliki struktur permukaan yang tidak rata, penuh dengan lekukan yang disebut kripta. Kripta tonsil yang normal berfungsi memperluas area kontak untuk pengambilan sampel antigen. Namun, pada tonsilitis kronis, kripta ini menjadi sangat dalam, buntu, dan menjadi tempat stagnasi sisa makanan dan sel epitel, menciptakan lingkungan anaerobik yang ideal untuk pertumbuhan bakteri polimikrobial dan pembentukan biofilm. Biofilm ini bertindak sebagai benteng yang melindungi bakteri dari penetrasi antibiotik sistemik dan juga dari sel-sel imun tubuh. Kondisi ini membuat terapi antibiotik oral berulang kali gagal, dan seringkali tonsilektomi menjadi satu-satunya solusi definitif untuk menghilangkan sarang infeksi kronis ini.
Perbandingan Penatalaksanaan Tonsilitis Pada Dewasa vs. Anak
Meskipun GABHS merupakan perhatian utama pada kedua kelompok, risiko sekuela sangat berbeda. Pada orang dewasa, risiko Demam Rematik sangat rendah (meskipun tidak nol), yang mengurangi tekanan untuk pengobatan 10 hari yang ketat. Namun, orang dewasa lebih rentan terhadap komplikasi supuratif seperti Abses Peritonsiler. Fokus pengobatan pada dewasa seringkali lebih kepada resolusi gejala dan mencegah abses, sedangkan pada anak, fokus utama adalah pencegahan seumur hidup Demam Rematik. Selain itu, anak-anak dengan tonsilitis berulang juga sering menjadi kandidat tonsilektomi karena risiko Apnea Tidur Obstruktif yang lebih tinggi dibandingkan dewasa.
Teknik Diagnostik di Masa Depan
Masa depan penanganan tonsilitis mungkin melibatkan penggunaan diagnostik molekuler cepat (seperti PCR berbasis titik perawatan) yang dapat mendeteksi GABHS dengan akurasi tinggi dan cepat, bahkan lebih baik daripada RADT, yang memungkinkan dokter untuk membuat keputusan pengobatan yang tepat dalam hitungan jam dan menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu.
Ringkasan Protokol Klinis dan Edukasi Pasien
Pengelolaan amandel harus selalu mengikuti protokol berbasis bukti. Berikut adalah ringkasan langkah-langkah yang harus diambil oleh profesional kesehatan dan pengetahuan yang harus dimiliki pasien:
Langkah Kritis untuk Profesional
- Skrining Awal: Gunakan Skor Centor untuk menilai probabilitas infeksi GABHS.
- Konfirmasi Etiologi: Lakukan RADT atau kultur tenggorokan untuk semua pasien yang memenuhi kriteria skrining. JANGAN meresepkan antibiotik hanya berdasarkan visualisasi tonsil atau demam.
- Pilihan Obat Lini Pertama: Jika GABHS positif, resepkan Penisilin V atau Amoksisilin (10 hari penuh).
- Penanganan Alergi: Jika alergi non-anfilaksis, gunakan Sefaleksin. Jika alergi anafilaksis, gunakan Klindamisin atau Azitromisin (5 hari). Pantau pola resistensi lokal.
- Konseling Kepatuhan: Tegaskan perlunya menyelesaikan seluruh dosis 10 hari untuk mencegah DR.
Poin Edukasi Pasien
- Antibiotik Bukan Obat Sakit Tenggorokan: Jelaskan bahwa mayoritas sakit tenggorokan disebabkan oleh virus.
- Kepatuhan Dosis: Jika diresepkan, antibiotik harus diminum sampai habis. Menghentikan lebih awal dapat membuat bakteri menjadi lebih kuat dan meningkatkan risiko komplikasi jangka panjang.
- Penanganan Gejala Viral: Untuk tonsilitis viral, fokus pada hidrasi, istirahat yang cukup, dan pereda nyeri/demam (Parasetamol atau Ibuprofen).
- Tanda Bahaya: Ajari pasien untuk mencari bantuan medis segera jika mereka mengalami nyeri unilateral yang parah (Quinsy), kesulitan bernapas, atau gejala Demam Rematik (nyeri sendi berpindah, ruam aneh).
Dalam konteks kesehatan masyarakat yang berkelanjutan, interaksi antara pasien dan profesional kesehatan dalam penanganan tonsilitis menentukan keberhasilan pengendalian penyakit serius seperti Demam Rematik, sekaligus melindungi aset berharga kita: efektivitas antibiotik.