Bahasa Sunda, sebagai salah satu bahasa daerah terbesar di Indonesia, adalah sebuah cagar budaya linguistik yang menyimpan jejak peradaban purba di wilayah barat Pulau Jawa. Melampaui sekadar alat komunikasi sehari-hari, bahasa ini merupakan representasi evolusi sosiokultural, politik, dan spiritual masyarakat penuturnya selama ribuan tahun. Penelusuran asal usul Bahasa Sunda membawa kita pada sebuah perjalanan panjang, dimulai dari migrasi prasejarah hingga interaksi kompleks dengan bahasa-bahasa besar dunia.
Artikel ini akan mengupas tuntas dan secara sistematis akar mula Bahasa Sunda, meninjau bukti-bukti arkeologis dan epigrafis dari era kerajaan kuno, menganalisis struktur linguistik intinya, serta memahami bagaimana interaksi dengan Jawa, Sanskerta, dan bahasa kolonial membentuknya menjadi entitas yang dikenal hari ini. Pemahaman ini sangat krusial, mengingat Bahasa Sunda, dengan kekayaan dialek dan stratifikasi sosialnya (undak usuk basa), menawarkan jendela unik menuju sejarah nusantara.
Untuk memahami Bahasa Sunda, kita harus mundur jauh ke masa prasejarah, di mana Bahasa Sunda modern hanyalah salah satu cabang dari pohon linguistik raksasa yang dikenal sebagai rumpun bahasa Austronesia. Rumpun ini mencakup wilayah geografis yang amat luas, dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di timur, dan Taiwan di utara hingga Selandia Baru di selatan.
Linguistik komparatif menunjukkan bahwa Bahasa Sunda berakar kuat dalam sub-rumpun Malayo-Polinesia (MP). Berdasarkan teori migrasi "Out of Taiwan," penutur Proto-Austronesia (PAn) mulai bergerak dari Taiwan sekitar 4.000 hingga 3.000 SM, menyebar ke Filipina, dan kemudian ke Nusantara. Di Nusantara inilah PAn berevolusi menjadi Proto-Malayo-Polinesia (PMP).
Bahasa Sunda, bersama dengan Jawa, Melayu, dan beberapa bahasa Borneo, kemudian masuk dalam kelompok Bahasa Malayo-Polinesia Barat (MPB). Bukti akan keterkaitan ini terlihat jelas dalam kesamaan leksikal dasar dan rekonstruksi fonologis. Misalnya, kata untuk "mata" (*mata), "air" (*wair), "dua" (*dua), dan "lima" (*lima) dalam Bahasa Sunda Kuno memiliki korespondensi langsung dengan rekonstruksi PMP, menunjukkan retensi leksikon kuno yang signifikan.
Proses diferensiasi linguistik di Jawa bagian barat kemungkinan terjadi seiring dengan kedatangan gelombang migrasi yang terisolasi secara geografis oleh pegunungan Parahyangan. Isolasi ini memungkinkan perkembangan ciri khas fonologis dan morfologis yang membedakannya dari bahasa-bahasa kerabat di Sumatra (Melayu) atau Jawa bagian tengah dan timur (Jawa).
Meskipun sering dikelompokkan bersama Jawa dalam sub-kelompok yang lebih besar, linguistik modern memandang Sunda sebagai cabang tersendiri dalam rumpun Malayo-Polinesia Barat, bukan sekadar "dialek Jawa." Sunda menunjukkan inovasi dan konservasi unik. Misalnya, hilangnya sistem fonem retrofleks yang dominan pada Bahasa Jawa Kuno dan Modern adalah salah satu ciri pembeda. Selain itu, Sunda mempertahankan vokal netral /ə/ (pepet) yang lebih sering digunakan dibandingkan Jawa dalam posisi akhir kata.
Perbedaan sintaksis, terutama dalam penggunaan partikel dan struktur kalimat pasif, juga menguatkan status Sunda sebagai bahasa yang berevolusi secara independen sejak terpisah dari proto-bahasa regional ribuan tahun yang lalu. Kesamaan yang ada saat ini lebih banyak disebabkan oleh interaksi intensif, terutama pasca-Mataram, bukan karena asal-usul genetik yang sama persis dalam waktu dekat.
Era historis Bahasa Sunda dimulai dengan munculnya bukti-bukti tertulis, yang memberikan gambaran konkret mengenai bentuk bahasa tersebut ribuan tahun yang lalu. Fase ini erat kaitannya dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang berkuasa di Jawa bagian barat.
Kerajaan Tarumanagara (abad ke-4 hingga ke-7 M) adalah entitas politik paling awal yang meninggalkan jejak tertulis di Jawa Barat. Meskipun prasasti-prasasti seperti Ciaruteun, Kebon Kopi, dan Muara Cianten umumnya ditulis dalam aksara Pallawa dan Bahasa Sanskerta, keberadaan kerajaan ini menandai awal mula interaksi budaya yang masif di wilayah Sunda. Kontak ini membawa masuk kosakata Sanskerta dan konsep-konsep Hindu-Buddha yang pada akhirnya diserap dan dimodifikasi oleh bahasa lokal.
Para ahli menduga bahwa, meskipun elit menggunakan Sanskerta untuk tujuan keagamaan dan politik, masyarakat umum pastilah menggunakan bentuk awal Bahasa Sunda. Bukti linguistik ini disebut "substratum"—bahasa asli yang membentuk dasar tata bahasa dan fonologi, meskipun "superstratum" (Sanskerta) digunakan dalam dokumen resmi. Proses penyerapan kata Sanskerta seperti *raja* (dari *rājā*), *agama*, *dosa*, dan *siksa* ke dalam leksikon Sunda menunjukkan bahwa bahasa telah siap menyerap konsep abstrak dari luar.
Periode setelah Tarumanagara, khususnya era Kerajaan Sunda (Galuh dan Pajajaran), adalah masa keemasan Bahasa Sunda Kuno. Bahasa ini mulai termaktub dalam naskah-naskah lontar dan prasasti yang secara eksplisit menggunakan bahasa lokal, bukan lagi didominasi Sanskerta.
Karya monumental dari periode ini adalah naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (sekitar abad ke-16). Naskah ini adalah sumber utama untuk memahami tata bahasa, leksikon, dan bahkan etika sosial Bahasa Sunda Kuno. Bahasa yang digunakan dalam naskah ini sangat berbeda dari Bahasa Sunda Priangan modern. Beberapa ciri khas Sunda Kuno yang tercermin meliputi:
Analisis filologis terhadap naskah-naskah ini menunjukkan bahwa Bahasa Sunda Kuno memiliki struktur yang lebih konservatif, mempertahankan banyak fitur yang hilang dalam Bahasa Jawa Kuno, namun juga menunjukkan inovasi leksikal yang memisahkannya dari Melayu Kuno.
Prasasti Kawali di Ciamis, yang berasal dari masa Kerajaan Galuh, adalah salah satu contoh tertulis paling penting yang menggunakan Bahasa Sunda Kuno. Prasasti ini berfungsi sebagai deklarasi politik dan peringatan, menunjukkan bagaimana bahasa telah digunakan untuk tujuan pemerintahan dan pencatatan sejarah, bukan hanya ritual. Penggunaan bahasa vernakular dalam prasasti menunjukkan bahwa pada masa tersebut, Bahasa Sunda telah memiliki prestise sosial yang tinggi.
Transformasi dari Sunda Kuno ke Sunda Modern adalah proses yang memakan waktu berabad-abad, didorong oleh perubahan fonologis alami, penyederhanaan morfologis, dan tekanan dari bahasa-bahasa tetangga.
Salah satu perubahan fonologis paling signifikan dalam sejarah Sunda adalah evolusi bunyi vokal. Bahasa Sunda Modern terkenal dengan tujuh vokal: /a, i, u, e, o, ə, ɛ/. Vokal netral /ə/ (pepet) dan vokal tengah /ɛ/ (e taling) adalah ciri khas yang membedakannya dari Jawa, yang cenderung lebih kompleks dalam hal diftong dan vokal tengah.
Dalam Bahasa Sunda Kuno, banyak kata yang diakhiri dengan vokal, yang kini dalam Bahasa Sunda Modern telah berubah menjadi konsonan glottal stop (/ʔ/) atau mengalami penghilangan vokal (apokop). Namun, perubahan yang paling mencolok adalah kecenderungan asimilasi vokal. Misalnya, banyak kata yang dulunya memiliki vokal berbeda pada suku kata yang berdekatan kini cenderung seragam, memudahkan pengucapan dan mempercepat laju bicara.
Penghilangan dan perubahan posisi konsonan juga terjadi. Fenomena seperti lenisi (pelemahan konsonan) sering ditemukan. Contoh klasik adalah konsonan /h/ yang dalam banyak dialek Sunda Priangan cenderung tidak diucapkan di awal atau tengah kata, meskipun ia ada dalam ejaan standar (misalnya, *haté* sering diucapkan *até*). Fenomena ini menunjukkan adanya penyederhanaan artikulasi seiring waktu.
Bahasa Sunda, seperti kebanyakan bahasa Austronesia, bergantung pada sistem afiksasi (imbuhan) untuk mengubah makna dan fungsi gramatikal kata. Morfologi Sunda relatif konservatif dibandingkan Jawa, namun menunjukkan spesialisasi dalam beberapa jenis prefiks dan sufiks.
Prefiks yang paling sering digunakan dalam Bahasa Sunda adalah di- (pasif), N- (aktif, yang menyesuaikan bentuknya menjadi *ng-, ny-, m-, n-*), dan ka- (statis atau tidak disengaja). Infiks -ar- atau -al- untuk penanda jamak, yang merupakan fitur kuno Austronesia, masih digunakan secara produktif dalam Sunda (misalnya, *datang* menjadi *dararatang*), sebuah fitur yang jarang atau telah hilang dalam Bahasa Melayu standar.
Evolusi morfologis juga terlihat dalam pembentukan kata kerja transitif dan intransitif. Penggunaan pang- sebagai prefiks kausatif (*pangnyandakkeun* – tolong ambilkan) menunjukkan sintaksis yang padat dan efisien, menggabungkan aspek kausatif dan aplikatif dalam satu morfem. Kedalaman morfologis ini memastikan Bahasa Sunda mampu mengungkapkan nuansa makna yang kompleks tanpa memerlukan struktur kalimat yang panjang.
Struktur kalimat dasar Bahasa Sunda adalah SVO (Subjek-Verba-Objek), sejalan dengan kerabat Austronesianya. Namun, yang menarik adalah penggunaan partikel dan klitik yang memberikan informasi tambahan mengenai penekanan, pertanyaan, dan sikap pembicara.
Partikel seperti téh (menunjukkan topik atau penekanan) dan mah (kontras atau pembedaan) sangat penting dalam wacana Bahasa Sunda. Misalnya, kalimat "Buku ieu téh alus" (Buku ini *lah* yang bagus) menggunakan téh untuk menunjuk subjek secara definitif. Kehadiran partikel-partikel ini membantu memelihara kejelasan dalam komunikasi lisan dan menunjukkan bahwa sintaksis Sunda sangat menekankan pragmatika dan konteks sosial.
Bahasa Sunda tidak berkembang dalam isolasi. Interaksi intensif dengan bahasa-bahasa dari India, Timur Tengah, dan Eropa telah memperkaya leksikonnya, meskipun inti tata bahasanya tetap Austronesia murni.
Seperti telah disinggung, kontak dengan Sanskerta sejak era Tarumanagara merupakan kontak eksternal paling awal dan paling berdampak. Sanskerta tidak hanya menyumbang kosakata, tetapi juga mempengaruhi tata nama, konsep keagamaan, dan struktur kehormatan tertentu.
Kata-kata yang diserap dari Sanskerta (seperti *budi*, *dina*, *guru*, *cinta*) terintegrasi penuh ke dalam leksikon Sunda dan mengalami penyesuaian fonologis agar sesuai dengan sistem bunyi Sunda (misalnya, penghilangan aspirasi). Pengaruh ini begitu dalam sehingga banyak kata Sanskerta kini terasa sebagai kata Sunda asli.
Pengaruh terbesar dan paling kontroversial datang dari Bahasa Jawa, terutama setelah ekspansi Kesultanan Mataram ke wilayah Priangan pada abad ke-17. Tekanan politik dan kultural dari Mataram mengakibatkan perubahan sosiolinguistik radikal dalam Bahasa Sunda.
Sebelum Mataram, Bahasa Sunda Kuno memiliki sistem hormat, tetapi tidak serumit dan sesistematis Undak Usuk Basa (tingkatan bahasa) yang dikembangkan di Jawa. Di bawah hegemoni Mataram, elit Sunda mengadopsi dan menginternalisasi sistem tingkatan bahasa Jawa (Ngoko, Krama) untuk mengatur interaksi sosial berdasarkan status, usia, dan kekerabatan.
Sunda kemudian mengembangkan stratifikasi serupa: Basa Kasar (akrab/rendah), Basa Loma (netral/sehari-hari), Basa Sedeng, dan Basa Lemes (halus/hormat). Proses adopsi ini membutuhkan penyerapan ratusan leksikon Jawa Krama (halus) ke dalam Sunda, menggantikan kosakata Sunda Kuno yang asli untuk konsep-konsep kehormatan. Misalnya, kata "makan" memiliki bentuk *dahar* (loma) dan *tuang* (lemes, serapan dari Jawa).
Meskipun kontroversial, stratifikasi bahasa ini menjadi ciri khas Bahasa Sunda Priangan selama berabad-abad, mencerminkan kompromi antara identitas linguistik asli dan tuntutan hierarki sosial-politik. Meskipun terjadi upaya purifikasi pada era pasca-kemerdekaan untuk kembali menggunakan Basa Loma sebagai standar, sistem Undak Usuk tetap bertahan dalam konteks formal dan penghormatan.
Seiring dengan masuknya Islam (abad ke-15 dan seterusnya), Bahasa Sunda menyerap kosakata Arab, terutama yang berkaitan dengan agama, hukum, dan filsafat (misalnya, *kiamat*, *hukum*, *adil*). Kosakata ini sering kali masuk melalui Bahasa Melayu, yang berfungsi sebagai "lingua franca" di pesisir dan jalur perdagangan.
Selama era kolonial (abad ke-17 hingga ke-20), Bahasa Sunda berinteraksi dengan Bahasa Belanda. Meskipun pengaruhnya tidak sedalam Bahasa Jawa, kosakata Belanda tetap diserap, terutama dalam administrasi, teknologi, dan benda-benda modern. Contoh serapan Belanda meliputi *sépur* (spoor - kereta), *korsi* (stoel - kursi), dan *péso* (mes - pisau). Serapan-serapan ini menunjukkan adaptabilitas Bahasa Sunda terhadap modernitas.
Wilayah penuturan Bahasa Sunda sangat beragam secara geografis, membentang dari Banten di barat hingga sebagian Jawa Tengah di timur. Isolasi historis dan interaksi dengan bahasa tetangga menciptakan perbedaan dialek yang signifikan.
Dialek Priangan (Bandung, Garut, Tasikmalaya) umumnya dianggap sebagai standar atau "Sunda baku" karena sejarahnya sebagai pusat administrasi kolonial dan kebudayaan pasca-Mataram. Ciri khasnya adalah penggunaan yang paling ketat terhadap sistem Undak Usuk Basa dan fonologi yang relatif stabil (dengan kecenderungan meniadakan /h/). Dialek ini mendominasi media massa dan pendidikan.
Dialek Banten, khususnya Banten Selatan, adalah salah satu dialek yang paling konservatif dan unik. Dialek ini dikenal mempertahankan banyak kosakata Sunda Kuno yang telah hilang di Priangan. Secara sosiolinguistik, Dialek Banten cenderung menggunakan Basa Loma (netral) secara lebih dominan dan kurang terikat pada sistem tingkatan bahasa Jawa. Fonologi Banten juga menunjukkan variasi unik, seringkali mempertahankan bunyi yang lebih tua.
Dialek yang dituturkan di Bogor, Karawang, dan Bekasi menunjukkan pengaruh yang kuat dari Bahasa Betawi (yang sendiri merupakan kreol berbasis Melayu) dan Bahasa Indonesia. Ciri-ciri leksikal dan intonasi dialek ini sering kali lebih cepat dan kurang melodi dibandingkan Priangan, mencerminkan posisinya sebagai daerah kontak bahasa yang intensif.
Dialek Sunda yang berbatasan langsung dengan Cirebon dan Brebes (Jawa Tengah) menunjukkan fenomena "interferensi maksimum." Meskipun intinya adalah Sunda, kosakata dan struktur kalimat sering kali mengambil bentuk atau konstruksi dari Bahasa Jawa Cirebonan atau Brebes. Di daerah perbatasan ini, sering ditemukan penutur yang fasih menggunakan kedua bahasa dengan kode pencampuran (code mixing) yang sangat tinggi.
Keanekaragaman dialek ini membuktikan bahwa Bahasa Sunda bukanlah entitas tunggal yang statis, melainkan sebuah spektrum linguistik yang terus beradaptasi sesuai dengan lingkungan geografis, politik, dan demografis penuturnya.
Sejarah Bahasa Sunda juga tidak terlepas dari sejarah sistem penulisannya. Aksara berfungsi sebagai wadah visual yang membekukan dan melestarikan bahasa pada periode tertentu.
Aksara Sunda Kuno adalah aksara tradisional yang digunakan untuk menuliskan naskah-naskah lontar dan prasasti sejak abad ke-14 hingga ke-18. Aksara ini berakar dari Aksara Kawi, yang merupakan turunan dari Pallawa India. Aksara Sunda Kuno memiliki ciri khas yang lebih sederhana dibandingkan turunan Kawi lainnya, seperti Jawa atau Bali, karena ia diciptakan khusus untuk mengakomodasi sistem fonem Bahasa Sunda yang lebih ringkas.
Aksara ini menghilang dari penggunaan umum setelah jatuhnya Pajajaran dan masuknya pengaruh Mataram, di mana aksara Carakan (aksara Jawa) mulai digunakan. Meskipun demikian, Aksara Sunda Kuno tetap dipertahankan dalam naskah-naskah keagamaan dan mistis yang disimpan oleh kelompok-kelompok tertentu di pedalaman.
Pada periode setelah abad ke-17, di wilayah Priangan yang berada di bawah pengaruh Mataram, aksara yang dominan digunakan untuk menulis Bahasa Sunda adalah Carakan (sering disebut Cacarakan oleh orang Sunda). Cacarakan, secara teknis adalah Aksara Jawa dengan sedikit penyesuaian untuk kata-kata Sunda. Penggunaan aksara ini menjadi standar penulisan resmi hingga abad ke-20, ketika aksara Latin mulai diperkenalkan secara masif oleh pemerintah kolonial Belanda.
Saat ini, Aksara Latin adalah sistem penulisan standar yang digunakan oleh hampir semua penutur Sunda. Namun, sejak akhir abad ke-20, terdapat gerakan yang kuat untuk merevitalisasi dan membakukan kembali Aksara Sunda (Sunda Baku), yang didasarkan pada Aksara Sunda Kuno, namun dimodernisasi untuk tujuan pendidikan dan pencatatan publik. Revitalisasi ini merupakan upaya penting untuk menghubungkan kembali identitas Sunda modern dengan warisan literasi purba mereka, memastikan bahwa asal usul bahasa tidak hanya dipelajari melalui suara, tetapi juga melalui bentuk visualnya.
Perjalanan Bahasa Sunda dari bahasa kerajaan kuno hingga bahasa regional modern penuh dengan tantangan sosiolinguistik. Bagaimana bahasa ini bertahan dan beradaptasi di tengah arus globalisasi adalah pertanyaan penting di era kontemporer.
Meskipun sistem Undak Usuk Basa (tingkatan bahasa) memberikan kekayaan dan presisi dalam interaksi sosial, sistem ini juga menimbulkan kerumitan dan, dalam beberapa kasus, hambatan dalam pembelajaran bagi generasi muda. Kewajiban untuk selalu memilih kata yang tepat (lemes, loma, kasar) berdasarkan status lawan bicara memerlukan penguasaan leksikon yang sangat luas.
Pada generasi milenial dan Gen Z, terdapat kecenderungan untuk menyederhanakan tingkatan bahasa, sering kali berpegang pada Basa Loma (netral) atau Basa Sedeng, kecuali dalam situasi yang sangat formal. Tren ini merefleksikan perubahan nilai sosial menuju egaliterianisme, menjauh dari hierarki feodal yang melahirkan sistem tersebut.
Bahasa Sunda tetap menjadi bahasa pengantar yang vital di wilayah Jawa Barat, khususnya di rumah dan komunitas lokal. Ia diajarkan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah dasar dan menengah, dan merupakan subjek penelitian penting di universitas-universitas regional.
Penggunaan Sunda dalam media (televisi lokal, radio, dan platform digital) juga menunjukkan vitalitasnya. Namun, tantangan terbesarnya adalah persaingan dengan Bahasa Indonesia, yang dominan dalam ranah ekonomi, politik, dan teknologi. Banyak penutur Sunda kini mengalami "bilingualisme diglossia", di mana Sunda digunakan di rumah/informal, sementara Indonesia digunakan di luar rumah/formal.
Pemerintah Daerah Jawa Barat telah aktif dalam upaya konservasi dan revitalisasi bahasa. Inisiatif ini mencakup standardisasi ejaan (penggunaan Aksara Latin dan Aksara Sunda Baku), pengembangan materi pembelajaran digital, dan dukungan terhadap literatur serta seni pertunjukan berbahasa Sunda.
Masa depan Bahasa Sunda bergantung pada keberhasilannya beradaptasi dengan teknologi. Upaya penerjemahan antarmuka perangkat lunak, pembuatan konten digital Sunda (vlog, podcast, komik), dan integrasi bahasa ke dalam kurikulum modern adalah kunci untuk memastikan bahwa Bahasa Sunda, yang akarnya terentang dari Austronesia purba hingga Pajajaran yang agung, tetap relevan dan lestari bagi generasi mendatang. Dengan lebih dari 40 juta penutur, Bahasa Sunda adalah salah satu warisan linguistik terpenting yang wajib dilindungi dan dikembangkan.
Penelusuran asal usul Bahasa Sunda, dengan segala kerumitan historis dan dinamika linguistiknya, memberikan pelajaran berharga tentang ketahanan budaya. Bahasa ini adalah monumen hidup yang menceritakan kisah peradaban yang berakar kuat di tanah Pasundan.
Untuk benar-benar memahami "asal usul" Bahasa Sunda, penelitian harus melampaui sejarah politik dan menukik pada perbandingan leksikon inti. Retensi leksikal dari Proto-Austronesia (PAn) adalah penanda usia dan kekhasan genetik suatu bahasa. Sunda menunjukkan konservasi yang luar biasa dalam leksikon dasar kehidupan sehari-hari dan alam.
Banyak kata yang digunakan dalam Sunda modern dapat dilacak langsung ke rekonstruksi PAn dan PMP. Misalnya, kosakata angka dan bagian tubuh: *lima* (lima), *tilu* (tiga), *isi* (isi), *rambut*, *tina* (dari), dan *leungeun* (tangan) menunjukkan korespondensi fonologis yang sangat dekat dengan proto-bahasa. Ini menunjukkan bahwa fondasi utama komunikasi telah stabil sejak ribuan tahun lalu, jauh sebelum kontak dengan India.
Inovasi Sunda dalam leksikon terjadi ketika PMP mengalami fragmentasi. Contohnya adalah kata untuk "nasi" yang dalam Sunda adalah *sangu*, berbeda dari Melayu (*nasi*) atau Jawa (*sego*). Variasi leksikal regional ini menunjukkan adanya pembentukan identitas leksikal yang berbeda di Jawa Barat, terpisah dari rekan-rekan mereka di timur dan utara.
Karena masyarakat Sunda secara historis erat hubungannya dengan ekosistem hutan hujan tropis di pegunungan, leksikonnya sangat kaya dalam istilah-istilah botani, pertanian, dan geografi lokal. Kata-kata untuk berbagai jenis padi, metode irigasi, dan istilah geologis (seperti *curug* untuk air terjun, *pasir* untuk bukit, *leuwi* untuk lubuk sungai) tidak selalu memiliki padanan tunggal dalam bahasa serumpun, menunjukkan perkembangan leksikal in-situ yang unik di dataran tinggi Parahyangan.
Contohnya, sistem klasifikasi padi kering (*huma*) dan sawah basah sangat rinci, mencerminkan pentingnya komoditas ini dalam kehidupan Sunda Kuno. Kekayaan terminologi ini adalah warisan langsung dari adaptasi budaya Sunda terhadap lingkungan alamnya, sebuah aspek asal usul yang bersifat ekologis.
Karakteristik bunyi Bahasa Sunda, terutama pada dialek Priangan, seringkali dianggap sebagai ciri khas yang membedakannya secara auditif dari bahasa-bahasa Nusantara lainnya. Analisis fonetik mendalam mengungkap mengapa Bahasa Sunda terdengar seperti itu.
Fitur paling menonjol adalah penggunaan vokal /ə/ (pepet) yang sering dan vokal /ɛ/ (e taling) yang tajam. Meskipun vokal /ə/ juga ditemukan di Melayu dan Jawa, posisinya dan frekuensinya dalam Bahasa Sunda berbeda. Dalam Sunda, /ə/ sering terjadi di posisi yang dalam bahasa lain akan menjadi /a/ atau hilang. Contohnya, banyak nama tempat kuno yang mempertahankan bunyi /ə/ yang menunjukkan vokal ini adalah fitur kuno dan stabil.
Keterbatasan jumlah diftong dan kecenderungan untuk menjaga setiap vokal tetap murni dan jelas (tanpa gliding yang cepat) memberikan Bahasa Sunda intonasi yang tegas dan lugas, berbeda dengan Jawa yang cenderung lebih melodi dan memiliki vokal yang lebih tertutup.
Pembahasan asal usul Bahasa Sunda tidak lengkap tanpa membahas konsonan glotal /h/. Secara historis, /h/ adalah fonem yang kuat dan penting dalam PMP. Dalam Bahasa Sunda Kuno, /h/ dipertahankan di banyak posisi. Namun, pada dialek Sunda Priangan modern, /h/ sering mengalami penghilangan (protesis atau apokop) di posisi awal dan tengah kata (misalnya, *hurang* menjadi *urang*). Meskipun ejaan tetap mencantumkan 'h', pelafalan sehari-hari sering mengabaikannya.
Sebaliknya, beberapa dialek (terutama di daerah konservatif seperti Banten Selatan atau Baduy) justru mempertahankan /h/ dengan sangat kuat, bahkan memasukkan /h/ secara hiperkoreksi di mana secara etimologis tidak ada. Fenomena ini menunjukkan adanya tegangan historis antara konservasi bunyi kuno dan tren penyederhanaan artikulasi dalam dialek mayoritas.
Sebelum Melayu (dan kemudian Indonesia) menjadi lingua franca nasional, Bahasa Sunda telah memainkan peran penting, setidaknya di Jawa bagian barat. Posisi geografis Sunda yang berdekatan dengan jalur perdagangan Selat Sunda dan Banten, menjadikannya bahasa perantara yang penting di masa pelabuhan-pelabuhan kuno.
Meskipun Melayu menjadi bahasa perdagangan di pelabuhan besar seperti Banten, pengaruh Sunda terhadap Melayu di wilayah ini tidak dapat diabaikan. Banyak leksikon Sunda, terutama istilah-istilah agrikultural dan nama-nama lokal, diserap ke dalam varian Melayu yang digunakan di Jawa Barat. Kontak ini sudah terjadi sejak era Sriwijaya dan diperkuat selama periode Kesultanan Banten.
Perbedaan antara "Bahasa Sunda Pedalaman" (Parahyangan) dan "Bahasa Sunda Pesisir" (Utara dan Barat) mencerminkan dua jalur evolusi yang berbeda: satu mempertahankan kemurnian leksikal di bawah isolasi geografis, dan yang lain beradaptasi cepat dengan lingkungan multilingual perdagangan. Analisis ini menegaskan bahwa asal usul Bahasa Sunda harus dipahami tidak hanya sebagai garis keturunan genetik, tetapi juga sebagai hasil interaksi intensif antarbudaya yang berlangsung selama dua milenium.
Secara keseluruhan, perjalanan Bahasa Sunda adalah kisah adaptasi yang luar biasa, mulai dari akar Austronesia yang dalam, penyerapan Sanskerta yang mulia, penyesuaian terhadap hegemoni Jawa yang ketat, hingga perjuangan modern melawan homogenitas global. Bahasa ini berdiri sebagai pengingat akan kekayaan sejarah Pulau Jawa yang tidak hanya didominasi oleh satu suara, tetapi oleh polifoni budaya, di mana Bahasa Sunda memainkan nada yang fundamental dan abadi.