Pendahuluan: Keutamaan Waktu dan Ayat Kunci
Waktu adalah salah satu anugerah terbesar dari Allah SWT yang telah diatur dengan ketelitian mutlak. Dalam Islam, perhitungan waktu, khususnya bulan, tidak hanya berfungsi sebagai penanda siklus harian atau musiman, tetapi juga sebagai penentu sah atau tidaknya pelaksanaan ibadah-ibadah fundamental seperti puasa Ramadhan, ibadah haji, dan penentuan masa iddah. Keteraturan ini adalah cerminan dari Keagungan Sang Pencipta. Namun, sebelum kedatangan Islam, semenanjung Arab menyaksikan praktik yang merusak ketetapan ilahi ini, sebuah praktik yang dikenal sebagai An-Nasi'.
Surah At-Tawbah ayat 37 berdiri sebagai deklarasi tegas yang menghancurkan tradisi sesat ini. Ayat ini tidak hanya mengharamkan interkalasi (penambahan bulan) tetapi juga mengaitkannya langsung dengan peningkatan kekufuran, menjadikannya masalah teologis yang sangat serius, bukan sekadar urusan administratif kalender.
"Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan (Nasi') itu adalah menambah kekafiran. Orang-orang kafir disesatkan dengan (perbuatan) itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang diharamkan Allah, lalu mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Setan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir." (QS. At-Tawbah [9]: 37)
Ayat ini adalah titik balik historis yang memastikan bahwa umat Islam selanjutnya akan mengikuti kalender bulan murni, yang tidak terikat pada musim atau kalender surya. Untuk memahami kedalaman larangan ini, kita harus menyelami konteks historis, tujuan di balik An-Nasi', dan mengapa Allah SWT menganggap praktik ini sebagai "penambahan kekafiran."
Anatomi Praktik An-Nasi': Interkalasi pada Masa Jahiliyah
Definisi Linguistik dan Terminologi
Secara bahasa, An-Nasi' (النَّسِيءُ) berasal dari kata kerja nasa'a (نَسَأَ), yang berarti menangguhkan, mengundur-undur, atau menunda. Dalam konteks kalender, An-Nasi' merujuk pada praktik menggeser atau menunda penetapan bulan-bulan suci (bulan haram) yang telah ditetapkan Allah SWT, atau menambahkan satu bulan ekstra ke dalam siklus dua belas bulan lunar agar kalender mereka sesuai dengan kalender matahari. Tujuan utama praktik ini adalah untuk menyelaraskan tahun lunar 354 hari dengan tahun surya 365 hari, sehingga ibadah haji dan pasar musiman (seperti Ukaz dan Dzul Majaz) selalu jatuh pada musim yang sama, yaitu musim yang paling kondusif untuk perjalanan dan perdagangan.
Allah SWT telah menetapkan bahwa dalam satu tahun terdapat dua belas bulan, empat di antaranya adalah bulan haram (suci), yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Pada bulan-bulan ini, peperangan dilarang keras, memberikan periode aman bagi para peziarah dan pedagang. Keseimbangan ini adalah rahmat ilahi. Namun, suku-suku Arab Jahiliyah, yang sering terlibat dalam konflik, merasa terbebani dengan larangan perang ini, terutama jika kesempatan strategis untuk menyerang musuh muncul di bulan haram.
Mekanisme Penggeseran Bulan
Praktik An-Nasi' dilaksanakan oleh sekelompok suku tertentu, yang paling terkenal adalah suku Kinanah, yang memiliki otoritas turun-temurun untuk mengatur kalender. Tokoh yang bertanggung jawab atas pengumuman penggeseran ini dikenal sebagai Qalammas atau Nasi' Master. Setiap tahun, atau setiap tiga tahun, tergantung pada sistem yang mereka gunakan, Qalammas akan berdiri di Makkah setelah musim haji dan mengumumkan penundaan atau pergeseran bulan haram:
- Penundaan Muharram: Misalnya, jika bulan Muharram telah tiba (yang secara hukum dilarang berperang), namun mereka ingin melanjutkan perang atau penyerangan yang sedang berlangsung. Maka, Qalammas akan mengumumkan bahwa Muharram pada tahun tersebut tidak lagi dianggap sebagai bulan haram.
- Penggantian Bulan: Sebagai gantinya, mereka akan menetapkan bulan Safar sebagai bulan haram, atau bahkan bulan lain di kemudian hari. Dengan demikian, mereka secara efektif menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah (perang di bulan Muharram) dan mengharamkan apa yang asalnya halal (perang di bulan Safar).
Sistem ini tidak hanya menggeser empat bulan suci, tetapi juga memasukkan bulan ke-13 (interkalasi) secara berkala untuk menjaga agar siklus haji tetap sinkron dengan musim tertentu. Melalui cara ini, mereka mengklaim memiliki kendali penuh atas hukum syariat, menentukan kapan larangan itu berlaku dan kapan larangan itu dicabut, semata-mata demi kepentingan pragmatis, ekonomi, dan militer.
Gambar 1: Representasi Praktik An-Nasi'
"Ziyadatun fil Kufr": Mengapa Nasi' Adalah Peningkatan Kekafiran
Ayat 37 secara eksplisit menyatakan bahwa An-Nasi' adalah "menambah kekafiran" (ziyadatun fil kufr). Istilah ini sangat berat dan menunjukkan bahwa praktik tersebut bukan hanya kesalahan hukum praktis, tetapi sebuah dosa besar yang menyerang dasar tauhid.
1. Merampas Hak Legislatif Allah
Kekafiran muncul karena melalui An-Nasi', suku-suku Jahiliyah mengklaim hak untuk mengubah hukum ilahi. Hukum tentang bulan haram ditetapkan langsung oleh Allah SWT. Ketika manusia, melalui Qalammas mereka, memutuskan bahwa Muharram boleh menjadi bulan halal (untuk perang) dan Safar menjadi bulan haram, mereka secara efektif menempatkan otoritas legislatif mereka di atas Otoritas Pencipta. Ini adalah inti dari syirik fil hukmi (menyekutukan Allah dalam hukum).
Mereka tidak hanya melanggar hukum, tetapi mereka melegislasi pelanggaran tersebut. Mereka menciptakan aturan baru, yang secara lahiriah terlihat seperti kepatuhan (karena mereka tetap menjaga empat bulan haram), tetapi pada hakikatnya adalah penyesatan total terhadap waktu ibadah dan larangan yang sesungguhnya.
2. Memutarbalikkan Nilai Agama
Ayat tersebut menjelaskan bahwa mereka "menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain." Manipulasi ini menciptakan kebingungan yang sistematis. Bagi orang-orang kafir yang sudah terbiasa dengan sistem yang tidak konsisten ini, mereka merasa nyaman dengan ketidakjelasan tersebut, karena mereka dapat memanfaatkannya sesuai kebutuhan mereka—perang diundur atau dipercepat, perjalanan haji selalu menyenangkan (karena di musim semi atau musim gugur, menghindari panas ekstrem). Mereka merasionalisasi dosa mereka, membuat perbuatan buruk (melanggar hukum ilahi) terlihat baik di mata mereka sendiri, sebuah proses yang dalam psikologi Al-Qur'an sering dikaitkan dengan bisikan Setan.
Para ulama tafsir, termasuk Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir, menekankan bahwa penyimpangan ini jauh lebih buruk daripada kekafiran biasa karena ia menyerang fondasi keimanan. Kekafiran biasa adalah penolakan, sedangkan An-Nasi' adalah peniruan dan penyesatan yang dilakukan atas nama agama, menciptakan ilusi bahwa mereka masih menghormati jumlah bulan haram sambil merusak identitas hakiki bulan-bulan tersebut.
3. Korelasi dengan Syirik
Pada hakikatnya, An-Nasi' adalah bentuk syirik karena memberikan kekuasaan kepada manusia yang seharusnya hanya dimiliki oleh Allah. Praktik ini menunjukkan tingkat kemandirian dari perintah ilahi yang ekstrem. Ini adalah upaya untuk mendominasi waktu, sebuah dimensi yang mutlak berada dalam genggaman kekuasaan Allah. Ketika seseorang merasa berhak mengubah struktur waktu yang telah ditetapkan, ia telah melampaui batasnya sebagai hamba.
Kekafiran tersebut berlipat ganda karena ia menyesatkan orang lain. Suku-suku yang lebih lemah atau yang datang dari jauh untuk haji akan terpaksa mengikuti kalender yang salah ini, sehingga seluruh komunitas tersesat dari hukum Allah, menjadikan dosa Qalammas bersifat kolektif dan struktural.
Konteks Historis dan Motivasi Ekonomi di Balik Nasi'
Untuk memahami mengapa praktik yang berisiko teologis ini dilakukan secara massal, kita harus melihat realitas kehidupan di Jazirah Arab pada masa Jahiliyah. Kehidupan mereka didominasi oleh dua faktor utama: perdagangan dan perang suku.
Perang Suku dan Kebutuhan akan Fleksibilitas Militer
Konflik antara suku-suku, seperti Bani Kinanah, Hawazin, dan Quraisy, adalah hal yang rutin. Bulan haram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) memberikan jeda kritis selama empat bulan. Namun, jeda ini sering kali mengganggu strategi militer. Misalnya, jika perang telah menguntungkan satu suku, namun tiba-tiba Muharram (bulan haram pertama setelah haji) datang, mereka terpaksa menghentikan momentum kemenangan mereka. Dengan An-Nasi', mereka bisa "meminjam" Muharram dan menggantinya dengan Safar, sehingga mereka bisa menyelesaikan pertempuran penting sebelum gencatan senjata yang sebenarnya dimulai.
Ini adalah kalkulasi yang sangat duniawi: kepentingan militer diutamakan di atas perintah langit. Mereka beranggapan bahwa selama mereka memenuhi jumlah empat bulan haram (meskipun identitas bulan-bulan tersebut berubah), mereka telah memenuhi kewajiban agama, padahal mereka telah melanggar kesucian waktu yang spesifik.
Pengaruh Perdagangan dan Pasar Musiman
Faktor ekonomi mungkin adalah pendorong utama praktik interkalasi. Siklus bulan lunar murni memiliki sekitar 354 hari. Ini berarti bahwa setiap tahun, kalender lunar akan bergeser sekitar 11 hari dibandingkan dengan kalender surya (musim). Akibatnya, haji dan festival musiman seperti pasar Ukaz (pusat perdagangan dan sastra) akan berganti musim secara bertahap, berputar melalui musim panas, musim gugur, musim dingin, dan musim semi dalam periode sekitar 33 tahun.
Bagi pedagang Makkah, perubahan musim ini sangat tidak disukai. Mereka ingin memastikan bahwa haji dan pasar besar selalu jatuh pada musim yang paling nyaman untuk perjalanan (tidak terlalu panas atau dingin) dan di saat panen telah selesai, memastikan adanya persediaan dan uang tunai yang beredar. Dengan menyisipkan bulan tambahan setiap beberapa tahun (interkalasi), mereka secara efektif "mengunci" haji dan pasar di musim yang optimal secara ekonomi. Inilah yang membuat An-Nasi' diterima luas, meskipun secara teologis cacat—karena ia melayani kepentingan pragmatis para elit dagang.
Sosok di Balik Otoritas Nasi'
Kekuasaan untuk menetapkan kalender ini dipegang secara turun-temurun. Salah satu tokoh paling terkenal dalam sejarah Nasi' adalah **Hudzaifah bin Fuqaim bin Adi** dari Kinanah. Para sejarawan mencatat bahwa pengumuman Nasi' adalah acara yang meriah dan penting, memberikan otoritas agama dan sipil yang besar kepada individu yang memegang peran tersebut. Kekuasaan ini menunjukkan bagaimana otoritas agama telah diubah menjadi alat politik dan ekonomi, mengendalikan siklus kehidupan masyarakat Arab melalui manipulasi waktu suci.
Sangat penting untuk dicatat bahwa dalam Islam, siklus pergeseran musim ini justru menjadi rahmat. Ketika haji berganti-ganti musim, ini memastikan bahwa seluruh umat Islam, di seluruh geografis dan kondisi iklim yang berbeda, akan mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan haji di musim yang nyaman bagi mereka, meskipun mereka harus menanggung ketidaknyamanan yang sama dengan umat lain di tahun yang berbeda. Hal ini memastikan kesetaraan mutlak di hadapan waktu ilahi.
Pemulihan Kalender Islam Murni: Haikal Waktu yang Teguh
Pewahyuan QS. At-Tawbah 37 bukan sekadar larangan, melainkan proklamasi pemulihan. Ia mengembalikan kalender kepada wujud aslinya yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sejak penciptaan langit dan bumi, sebagaimana yang disebutkan dalam Surah At-Tawbah ayat 36: "Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram..."
Deklarasi Haikal Waktu di Hajjatul Wada'
Titik puncak dari penegasan kembali kalender murni ini terjadi pada Haji Perpisahan (Hajjatul Wada') yang dilaksanakan Nabi Muhammad SAW. Dalam khutbah bersejarahnya di Arafah, Nabi SAW secara resmi mengumumkan berakhirnya praktik An-Nasi'.
"Sesungguhnya zaman telah berputar sebagaimana keadaannya pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri dari dua belas bulan, di antaranya empat bulan haram. Tiga bulan berturut-turut: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab Mudhar yang terletak antara Jumada dan Sya'ban." (HR. Bukhari dan Muslim)
Pengumuman ini, yang terjadi pada tanggal 9 Dzulhijjah, menandai kepastian bahwa siklus lunar telah kembali ke posisi yang benar secara astronomis dan syar'i. Ini berarti bahwa ibadah haji yang dilaksanakan pada tahun itu, dan ibadah-ibadah selanjutnya, didasarkan pada perhitungan yang murni dan tidak tercemar oleh manipulasi manusia. Pernyataan "zaman telah berputar sebagaimana keadaannya pada hari Allah menciptakan langit dan bumi" adalah penegasan teologis yang sangat kuat, menyatakan bahwa penyimpangan yang berlangsung selama ratusan tahun telah dihapuskan dan waktu ilahi telah direhabilitasi.
Implikasi Teologis Kalender Lunar Murni
Mengapa Islam bersikeras pada kalender lunar murni, yang selalu bergeser relatif terhadap musim? Jawabannya terletak pada prinsip keadilan dan ketundukan total:
- Ketundukan Total: Dengan menggunakan siklus bulan, umat Islam bergantung sepenuhnya pada tanda-tanda alam yang diciptakan Allah, melepaskan diri dari sistem kalender berbasis surya yang sering dikaitkan dengan perayaan pagan atau kepentingan pertanian spesifik.
- Kesetaraan Ibadah: Ketika Ramadhan (puasa) dan Dzulhijjah (haji) bergeser, setiap generasi dan setiap komunitas di seluruh dunia akan mendapatkan giliran untuk mengalami ibadah tersebut dalam kondisi yang berbeda—panas, dingin, siang panjang, atau siang pendek. Ini mengajarkan bahwa pengorbanan harus konstan dan tidak boleh dihindari demi kenyamanan musiman.
- Kehidupan yang Dinamis: Kalender lunar memastikan bahwa hidup umat Islam selalu dinamis, tidak terikat pada kekakuan musim. Ia mengingatkan bahwa hukum Allah mengatasi keterbatasan fisik bumi.
Kesucian bulan-bulan haram—yang dilarang berperang di dalamnya—kembali memiliki makna penuh. Larangan tersebut berfungsi sebagai pelatihan kedisiplinan dan pengakuan terhadap batas-batas yang ditetapkan Allah, batas-batas yang tidak dapat diubah oleh keserakahan militer atau keuntungan dagang. Penghormatan terhadap empat bulan haram adalah manifestasi dari ketundukan terhadap struktur waktu yang telah diatur oleh Sang Khalik.
Pelajaran Kontemporer dari Larangan Nasi'
Meskipun praktik interkalasi kalender telah hilang dari praktik Islam arus utama, prinsip-prinsip yang melatarbelakangi larangan An-Nasi' tetap relevan dan memberikan pelajaran mendalam bagi umat Islam modern tentang bahaya inovasi dalam agama (bid'ah) dan mengedepankan kepentingan duniawi di atas syariat.
Bahaya Rasionalisasi Dosa
Inti dari kekafiran Nasi' adalah upaya untuk menipu diri sendiri dan Allah. Mereka ingin mendapatkan manfaat duniawi (perang atau perdagangan yang lancar) sambil tetap merasa saleh karena "menghormati" jumlah bulan haram. Ini adalah pelajaran tentang bagaimana manusia sering kali mencoba menemukan celah dalam hukum syariat untuk mengakomodasi hawa nafsu atau kepentingan ekonomi.
Dalam konteks modern, hal ini terwujud ketika umat berusaha memanipulasi hukum-hukum Islam (misalnya, hukum ekonomi, pernikahan, atau politik) dengan alasan maslahah (kemaslahatan) yang bersifat sementara, padahal manipulasi tersebut secara jelas bertentangan dengan nas yang qath'i (teks yang pasti). Setiap upaya untuk mengubah batasan halal dan haram demi kenyamanan atau keuntungan duniawi adalah gema dari praktik Nasi' Jahiliyah.
Konsistensi dalam Hukum dan Waktu
Allah menginginkan agar syariat-Nya tegak dan konsisten. Dalam menentukan waktu ibadah, Islam tidak memberikan ruang untuk fleksibilitas manusia. Penetapan waktu puasa, haji, dan salat adalah tetap dan murni, berdasarkan pengamatan astronomis dan tanda-tanda alam yang tidak dapat dimanipulasi. Ini mengajarkan pentingnya menjaga kemurnian metodologi dalam menjalankan ibadah, dan menolak setiap penambahan atau pengurangan yang tidak memiliki dasar dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Penolakan terhadap An-Nasi' adalah penolakan terhadap pembenaran diri. Umat Islam diajarkan untuk menerima hukum Allah secara utuh, bahkan jika hukum tersebut menimbulkan kesulitan atau ketidaknyamanan dalam urusan duniawi. Kesulitan yang timbul dari siklus haji yang berpindah musim (misalnya, haji di musim panas yang ekstrem) adalah bagian dari ujian dan kesalehan yang diminta, sebuah pengingat bahwa ibadah adalah kepatuhan total, bukan pilihan yang didasarkan pada selera duniawi.
An-Nasi' dan Isu Kontemporer Penentuan Hilal
Meskipun tidak identik, diskusi kontemporer mengenai penentuan awal bulan (khususnya Ramadhan dan Syawal) terkadang menyentuh prinsip yang sama. Ketika ada upaya untuk menetapkan kalender Islam secara permanen, yang berpotensi mengabaikan metode rukyatul hilal (melihat bulan) atau perhitungan astronomi yang spesifik, para ulama sering merujuk kembali kepada semangat At-Tawbah 37. Prinsipnya adalah: Waktu ibadah harus mengikuti ketetapan ilahi (bulan baru yang tampak), bukan ketetapan manusia (kalender yang kaku demi kemudahan administrasi). Setiap sistem yang mengklaim otoritas mutlak dalam menentukan waktu ibadah, melebihi ketentuan syariat, berpotensi mengulang kesalahan Nasi', meski dalam bentuk yang lebih halus.
Melestarikan integritas kalender lunar adalah melestarikan integritas ibadah. Jika waktu ibadah dikompromikan, seluruh struktur syariat akan goyah. Surah At-Tawbah 37 memberikan fondasi teologis bahwa urusan waktu adalah urusan Allah, dan campur tangan manusia dalam menetapkan waktu suci adalah intervensi yang mendekati kekafiran.
Kedalaman Tafsir Lanjutan: Syariat, Waktu, dan Keadilan
Ayat 37 dari Surah At-Tawbah tidak hanya membahas masalah kalender, tetapi juga menyentuh aspek filosofis yang lebih dalam mengenai hubungan manusia dengan hukum ilahi dan konsep keadilan. Hukum Allah tidak hanya adil dalam substansi, tetapi juga dalam aplikasinya, dan manipulasi waktu adalah manipulasi keadilan itu sendiri.
Keadilan Melalui Keteraturan
Allah SWT menciptakan langit dan bumi dengan keteraturan mutlak. Siklus bulan, yang menjadi dasar kalender Islam, adalah bagian dari keteraturan kosmis ini. Keadilan syariat ditegakkan melalui keteraturan ini. Ketika para pelaku An-Nasi' mencampuri siklus ini, mereka menciptakan ketidakadilan: ketidakadilan bagi suku-suku yang patuh, ketidakadilan bagi para musafir yang bingung kapan harus merasa aman di bulan haram, dan ketidakadilan bagi generasi mendatang yang harus menjalankan ibadah berdasarkan waktu yang salah.
Ibnu Abbas RA dan Mujahid, dalam tafsir mereka, menekankan bahwa An-Nasi' adalah salah satu bentuk penolakan terhadap hukum Allah yang paling jelas karena ia melibatkan otoritas publik dalam melanggar syariat. Penyesatan ini dilakukan secara terbuka dan disahkan oleh otoritas, sehingga dampaknya menyebar luas, merusak kesadaran moral masyarakat Jahiliyah secara keseluruhan mengenai konsep halal dan haram.
Peran Qalammas sebagai Pemimpin Kesesatan
Tradisi Arab pra-Islam menempatkan Qalammas (pemimpin Nasi') pada posisi kekuasaan yang tinggi. Mereka tidak hanya mengatur kalender tetapi juga dianggap memiliki semacam otoritas spiritual untuk menafsirkan kehendak Tuhan mengenai perang dan damai. Kekuasaan ini, yang secara eksklusif dikuasai oleh segelintir orang dari suku Kinanah, menunjukkan bagaimana otoritas agama yang tidak sah dapat disalahgunakan untuk mempertahankan hegemoni ekonomi dan politik.
Islam menghancurkan struktur hierarki ini. Dengan mengharamkan An-Nasi', Islam menegaskan bahwa penentuan waktu suci adalah milik setiap Muslim (melalui pengamatan hilal), bukan monopoli elit tertentu. Ini adalah demokratisasi waktu ibadah dan penetapan hukum, sebuah langkah maju yang signifikan menuju masyarakat yang adil.
Hubungan dengan Riba dan Kelebihan
Beberapa ulama kontemporer menarik analogi antara An-Nasi' dengan Riba (bunga/riba). Riba adalah "kelebihan" dalam transaksi finansial yang tidak adil. An-Nasi' juga dapat dilihat sebagai "kelebihan" atau penambahan yang tidak adil dalam siklus waktu dan hukum syariat. Dalam kedua kasus, manusia berusaha mendapatkan keuntungan (uang atau waktu/kenyamanan) melalui manipulasi yang dilarang, yang pada akhirnya merusak keseimbangan sosial dan teologis.
Karena An-Nasi' menyebabkan mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah, ini menciptakan kekufuran baru. Mereka tidak hanya ingkar terhadap perintah, tetapi mereka membalikkan perintah. Sebuah perbuatan yang awalnya hanya kesalahan administratif berubah menjadi deklarasi permusuhan terhadap struktur syariat yang fundamental. Inilah mengapa Al-Qur'an menggunakan frasa "menambah kekafiran" – karena kekafiran yang dilakukan di sini memiliki lapisan kompleksitas dan penipuan diri yang jauh lebih dalam.
Penghapusan An-Nasi' secara definitif memastikan bahwa umat Islam tidak akan pernah lagi mencari kenyamanan duniawi dengan mengorbankan integritas kalender. Sistem ini menetapkan prinsip bahwa kepatuhan harus total dan tanpa modifikasi, terutama dalam hal-hal yang berkaitan langsung dengan penentuan waktu ibadah yang telah ditetapkan secara ilahi.
Penolakan terhadap manipulasi waktu juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang universal. Karena kalender lunar tidak terikat pada musim atau geografis tertentu, ajaran Islam dapat diterapkan secara adil kepada setiap orang di setiap belahan dunia, dari kutub hingga khatulistiwa. Ini adalah keindahan dari ketetapan ilahi yang melampaui kepentingan lokal Makkah atau suku Quraisy semata.
Praktik An-Nasi' telah lama menjadi bayang-bayang kelam di Jazirah Arab, yang menunjukkan bagaimana keserakahan dan kebutuhan duniawi dapat mendorong manusia untuk menentang hukum Tuhan. Ayat 37 At-Tawbah bukan hanya larangan historis; ia adalah sebuah pengingat abadi akan pentingnya menjaga kemurnian syariat, menolak inovasi, dan tunduk sepenuhnya pada ketetapan Allah yang sempurna dan adil, baik dalam urusan besar maupun dalam detail waktu.
Dalam sejarah peradaban, manipulasi waktu sering kali menjadi instrumen kekuasaan. Mengendalikan kapan orang berdagang, berperang, atau beribadah adalah cara untuk mengendalikan masyarakat. Islam mengambil kembali kendali waktu dari tangan manusia dan mengembalikannya kepada Allah SWT, menjamin bahwa ibadah tidak akan pernah menjadi alat politik atau ekonomi. Inilah makna terdalam dari integritas kalender Islam: memastikan bahwa setiap gerakan kita dalam ibadah didasarkan pada ketetapan langit, bukan kalkulasi dunia.
Ayat ini mengajarkan bahwa kekafiran seringkali muncul bukan hanya dari penolakan terang-terangan, tetapi dari modifikasi halus terhadap perintah ilahi yang bertujuan untuk mencari kenyamanan. Ketika modifikasi tersebut dilakukan dengan alasan religius (yaitu, mereka berdalih tetap menghormati empat bulan haram), bahayanya menjadi lebih besar karena ia menciptakan penyesatan internal dalam hati pelakunya.
Kekafiran yang ditambahkan melalui An-Nasi' adalah sebuah struktur kebohongan yang rumit. Mereka menipu diri sendiri dengan mengira bahwa mereka masih berada di bawah payung agama, padahal mereka telah mengambil langkah besar keluar dari batasan syariat. Kesadaran akan bahaya ini harus selalu dimiliki oleh umat, agar tidak terjebak dalam jebakan modernisasi hukum agama yang mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan sejak hari Allah menciptakan langit dan bumi.
Maka, pemahaman mendalam tentang At-Tawbah 37 adalah kunci untuk memahami filsafat waktu dalam Islam. Waktu adalah ibadah, dan ibadah harus murni. Keteraturan siklus bulan adalah keindahan Islam, yang harus dipertahankan dari segala bentuk intervensi manusia. Dengan demikian, kita menjaga keimanan kita dari penambahan kekafiran.
Penghapusan An-Nasi' merupakan manifestasi nyata dari upaya Islam untuk membersihkan tradisi-tradisi yang bertentangan dengan tauhid murni. Tindakan ini juga memastikan bahwa umat Islam beribadah dengan kepastian dan keseragaman, di mana waktu ibadah (baik itu haji atau puasa) tidak tunduk pada perubahan politik atau ekonomi. Kepatuhan kepada kalender lunar murni adalah sebuah janji ketundukan total kepada Allah SWT, yang adalah Sang Penguasa Waktu.
Setiap detail yang terkandung dalam Surah At-Tawbah ayat 37, mulai dari kata 'Nasi'' hingga 'menambah kekafiran', dan kemudian penjelasan bahwa 'mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain', secara komprehensif menggambarkan mekanisme penyesatan yang dilakukan oleh Iblis melalui agen-agen manusianya. Praktik ini menegaskan kembali prinsip bahwa tidak ada kompromi dalam hukum fundamental yang ditetapkan oleh Allah. Tidak ada otoritas manusia yang boleh melampaui otoritas ilahi dalam menentukan batas-batas halal dan haram.
Larangan An-Nasi' juga berfungsi sebagai fondasi bagi integritas moral dan sosial. Ketika masyarakat Jahiliyah secara terstruktur melanggar kesucian waktu, ini menunjukkan keruntuhan moral yang mendalam. Dengan mengembalikan waktu kepada Tuhannya, Islam memulihkan tatanan moral. Kepatuhan terhadap waktu yang benar menumbuhkan disiplin, kejujuran, dan keadilan, nilai-nilai yang sangat diperlukan untuk membangun sebuah peradaban yang berlandaskan tauhid. Kerusakan kalender adalah cermin kerusakan jiwa. Perbaikan kalender adalah awal dari perbaikan jiwa. Ini adalah pesan abadi yang terkandung dalam firman Allah SWT di Surah At-Tawbah 37.
Keagungan sistem kalender Islam yang murni, yang tidak tunduk pada musim, yang tidak dapat dibeli dengan kepentingan militer, adalah bukti keunggulan syariat. Ia adalah sistem yang tidak mengenal kompromi terhadap kebutuhan duniawi, melainkan menuntut adaptasi duniawi kepada hukum langit. Ini adalah inti dari pemurnian yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ke Jazirah Arab, menghancurkan fondasi-fondasi kekufuran yang terselubung dalam bentuk tradisi keagamaan yang sudah usang dan telah dimanipulasi.
Penting bagi setiap Muslim untuk merenungkan konsekuensi dari An-Nasi' dan bagaimana praktik-praktik serupa dapat muncul dalam bentuk modern, di mana hukum syariat ditekuk atau dimanipulasi untuk tujuan pragmatis. Kekuatan ayat ini terletak pada peringatan bahwa bahkan tindakan yang terlihat kecil atau administratif (seperti pergeseran kalender) dapat memiliki konsekuensi teologis yang sangat besar, mencapai tingkat "penambahan kekafiran."
Dengan demikian, Surah At-Tawbah ayat 37 adalah mercusuar yang menerangi jalan bagi umat, memastikan bahwa kita tidak pernah tersesat dari waktu yang telah ditetapkan, dan bahwa ibadah kita selalu berakar pada kebenaran murni yang diturunkan dari Yang Maha Bijaksana.