I. Memahami Konteks Historis Surah At-Taubah
Surah At-Taubah, surah ke-9 dalam Al-Qur’an, menempati posisi unik dalam hukum Islam. Ia adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan Basmalah. Surah ini diturunkan di Madinah, setelah peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Makkah) dan menjelang Perang Tabuk. Periode ini adalah puncak konsolidasi kekuasaan politik dan spiritual umat Islam, dan surah ini banyak membahas hukum-hukum terkait perjanjian, perang, dan hubungan dengan non-Muslim, khususnya kaum musyrikin.
Meskipun dikenal keras dalam menetapkan garis demarkasi antara kaum Mukmin dan Musyrikin—terutama setelah pelanggaran perjanjian berulang kali oleh pihak musuh—Surah At-Taubah juga menampilkan wajah Islam yang luar biasa humanis dan adil. Di tengah-tengah ayat-ayat yang memerintahkan penegasan kedaulatan, terselip mutiara etika yang menunjukkan bahwa tujuan akhir Islam bukanlah pemusnahan, melainkan petunjuk dan perdamaian.
Ayat yang menjadi fokus utama dalam kajian ini, Ayat 6, adalah jembatan antara kekerasan konflik dan kelembutan dakwah. Ayat ini menggariskan sebuah prinsip abadi tentang perlindungan, keamanan, dan kewajiban moral umat Islam terhadap individu musyrik yang semata-mata mencari kesempatan untuk mendengarkan firman Allah.
II. Tafsir Mendalam At-Taubah Ayat 6
(QS. At-Taubah [9]: 6)
Dan jika salah seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka adalah kaum yang tidak mengetahui.
A. Analisis Kata Kunci (Lughawi)
Memahami kedalaman ayat ini memerlukan pembedahan terhadap tiga frasa kunci yang membentuk kerangka hukum dan etika:
1. Istajāraka (اسْتَجَارَكَ): Meminta Perlindungan/Suaka
Kata ini berasal dari akar kata Jāra, yang berarti tetangga atau perlindungan. *Istijārah* adalah permintaan perlindungan resmi dalam kondisi bahaya. Dalam konteks ayat ini, meskipun perang sedang berlangsung (karena At-Taubah 5 berbicara tentang memerangi kaum musyrikin yang melanggar perjanjian), Ayat 6 memberikan pengecualian mutlak: jika musuh sekalipun secara individu meminta perlindungan, permintaan tersebut wajib dikabulkan.
Keharusan ini (wajib) menunjukkan bahwa Islam meletakkan nilai kemanusiaan dan kesempatan bertobat jauh di atas strategi militer. Ibnu Katsir menekankan bahwa ini adalah bentuk tawaran keamanan sementara (Aman Muwaqqat) yang tidak dapat ditarik kembali setelah diberikan, menjamin keselamatan total individu tersebut.
2. Fa’ajirhu (فَأَجِرْهُ): Maka Lindungilah Ia
Ini adalah perintah langsung. Perlindungan yang diberikan bukan sekadar janji, tetapi penjaminan keamanan fisik dari bahaya apa pun, termasuk dari tangan umat Islam sendiri. Ini mencakup pemberian makanan, tempat tinggal yang layak, dan jaminan bahwa ia tidak akan dianiaya atau disiksa selama masa perlindungan. Hukum Islam (Fiqh) menjabarkan bahwa status ini menjadikannya Musta’min (orang yang diberikan keamanan).
3. Hattā Yasma’a Kalāmallāh (حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ): Supaya Ia Sempat Mendengar Firman Allah
Ini adalah tujuan utama dari perlindungan tersebut. Perlindungan diberikan bukan hanya untuk kemanusiaan, tetapi untuk memberikan kesempatan terakhir bagi individu itu untuk memahami kebenaran. Ini menunjukkan prioritas utama dalam Islam: penyampaian pesan. Tujuannya adalah menghilangkan alasan ketidaktahuan (hujjah) yang mungkin dimiliki seseorang.
B. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Meskipun tafsir klasik tidak merinci satu kejadian tunggal yang pasti, konteks umum At-Taubah 6 sangat jelas terkait dengan pengumuman pemutusan perjanjian (Barā’ah) yang diberikan pada musim haji oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika batas waktu keamanan (empat bulan) diberikan kepada kaum musyrikin, muncul pertanyaan tentang nasib individu yang, meskipun secara politik bermusuhan, memiliki kecenderungan atau rasa ingin tahu terhadap Islam.
Ayat ini berfungsi sebagai katup pengaman etis. Ia memastikan bahwa meskipun kebijakan perang diberlakukan terhadap entitas politik yang melanggar janji, pintu hidayah dan dialog tetap terbuka bagi individu yang mencari cahaya. Ayat ini adalah refleksi nyata bahwa peperangan dalam Islam bersifat defensif dan politik, sementara dakwah adalah misi spiritual yang tak pernah berhenti.
III. Prinsip Keamanan (Al-Aman) dan Suaka dalam Fiqh
Ayat 6 At-Taubah menjadi landasan utama bagi Fiqh al-Aman (Yurisprudensi Perlindungan/Suaka) dalam hubungan internasional Islam. Konsep Aman yang disajikan di sini jauh melampaui sekadar diplomasi; ia merupakan kewajiban agama yang mengikat kaum Muslim.
A. Kewajiban Memberi Amanah Individual
Para fuqaha (ahli hukum Islam), seperti mazhab Hanafi dan Syafi'i, sepakat bahwa Amanah (perlindungan) yang diberikan oleh seorang individu Muslim biasa, bahkan yang bukan penguasa, bersifat mengikat, asalkan tujuannya adalah sesuai dengan ketentuan syariat (seperti untuk mendengar dakwah atau tujuan yang sah lainnya). Namun, pada kasus At-Taubah 6, perintahnya ditujukan kepada Rasulullah (dan secara ekstensi, kepada pemimpin Muslim), menjadikannya kewajiban institusional.
Perlindungan ini harus total. Setelah perlindungan diberikan, status musyrik itu berubah dari *harbi* (berada dalam status perang) menjadi *musta’min* (yang aman). Merugikan atau membahayakan musta’min adalah pelanggaran serius terhadap perjanjian Allah dan Rasul-Nya.
B. Durasi dan Batasan Perlindungan
Ayat tersebut menentukan durasi perlindungan dengan tegas: "hingga ia sempat mendengar firman Allah." Para ulama berdiskusi mengenai tafsir "mendengar firman Allah":
- **Tafsir Minimalis:** Mendengar pembacaan Al-Qur’an secukupnya untuk memahami pesan dasar.
- **Tafsir Luas (Lebih Umum Diterima):** Memberinya waktu yang cukup, mungkin beberapa hari atau minggu, untuk melakukan interaksi, diskusi, dan penyampaian pesan secara komprehensif, bukan sekadar mendengarkan bacaan, tetapi memahami hujjah (argumen kebenaran).
Selama periode ini, ia harus diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, dijamin keamanannya dan kebebasannya untuk memilih. Tujuan perlindungan ini adalah membuka hati, bukan memaksa masuk Islam.
Gambar 1: Perisai Keamanan (Aman) sebagai simbol jaminan perlindungan.
IV. Tujuan Dakwah dan Mendengarkan Kalamullah
Ayat 6 menekankan bahwa perlindungan fisik hanyalah sarana; tujuan utamanya adalah spiritual. Ini mengajarkan metodologi dakwah yang sangat penting, terutama dalam situasi permusuhan.
A. Menghilangkan Penghalang dan Prasangka
Ketika seseorang berada dalam ketakutan atau permusuhan, pikirannya tertutup. Dengan memberikan jaminan keamanan absolut, Islam secara efektif menghilangkan penghalang psikologis dan emosional. Ini memungkinkan firman Allah didengarkan tidak melalui lensa kebencian atau ketakutan, tetapi melalui akal dan hati yang relatif tenang.
Para ulama tafsir kontemporer, seperti Syaikh Mutawalli as-Sya’rawi, sering menyoroti bahwa Kalāmallāh (Firman Allah) memiliki daya tarik intrinsik. Kewajiban Muslim hanyalah memastikan bahwa firman tersebut tersampaikan dalam kondisi yang memungkinkan penerimaan secara adil.
B. Dakwah dengan Kekuatan Argumentasi (Hujjah)
Frasa "supaya ia sempat mendengar firman Allah" menyiratkan bahwa dakwah harus didasarkan pada argumentasi, bukti, dan keindahan bahasa serta makna Al-Qur’an, bukan pada tekanan politik atau fisik. Jika musyrik tersebut pada akhirnya menolak, penolakan itu dilakukan setelah ia benar-benar memahami apa yang ia tolak, sehingga tanggung jawab hidayah sepenuhnya kembali kepada Allah.
Ini adalah implementasi dari prinsip Qur'ani lainnya: "Tidak ada paksaan dalam agama" (QS. Al-Baqarah: 256). Bahkan di medan konflik, ketika seseorang menunjukkan niat untuk mencari kebenaran, kebebasan berkehendak (kebebasan hati nurani) harus dihormati dan dilindungi oleh negara Islam.
V. Prinsip Pengembalian yang Aman (Ablighu Ma'manahu)
Bagian terakhir dari ayat ini adalah yang paling menakjubkan dari perspektif etika perang dan diplomasi: “kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya (ma’manahu).”
A. Konsep Ma'manahu (Tempat yang Aman Baginya)
Ini merujuk pada wilayah kekuasaannya, yang mungkin masih menjadi wilayah perang (Dār al-Harb) atau tempat perlindungan suku asalnya. Kewajiban Muslim bukan hanya melindunginya di dalam wilayah Islam, tetapi juga menjamin keamanannya saat kembali ke wilayah musuh.
Kewajiban ini mencerminkan tingginya standar moral Islam. Setelah seseorang menjadi musta’min dan mendapatkan perlindungan, ia diamanatkan kepada kaum Muslim. Amanah ini tidak berakhir saat ia meninggalkan pintu gerbang kota, melainkan harus berakhir saat ia mencapai tempat di mana ia tidak lagi rentan terhadap bahaya—baik dari Muslim maupun dari musuhnya sendiri yang mungkin mencurigainya karena telah berinteraksi dengan Muslim.
B. Implikasi Etis Terhadap Amanah dan Trustworthiness
Tindakan mengantar kembali musyrik secara aman mengajarkan dunia bahwa kaum Muslim adalah pihak yang menepati janji, bahkan kepada musuh yang mencari suaka sementara. Ini meningkatkan reputasi negara Islam sebagai institusi yang adil dan beradab (Amanah). Dalam konteks yang lebih luas, ini adalah bentuk dakwah melalui perbuatan (Da’wah bil Hāl).
Para ahli fikih sepakat bahwa proses pengantaran ini harus dilakukan oleh pihak yang berkompeten dan mampu menjamin keselamatan, bahkan jika itu memerlukan penjagaan militer melintasi perbatasan konflik. Ini adalah investasi moral yang menunjukkan bahwa keadilan Islam tidak mengenal batas geopolitik atau permusuhan pribadi.
Gambar 2: Proses Mendengarkan Firman Allah (Dakwah) sebagai tujuan utama perlindungan.
VI. Hikmah dan Relevansi Abadi: "Kaum yang Tidak Mengetahui"
Ayat 6 ditutup dengan justifikasi perintah-perintah tersebut: “Demikian itu disebabkan mereka adalah kaum yang tidak mengetahui.” Ini adalah kunci untuk memahami mentalitas Islam terhadap non-Muslim yang bermusuhan.
A. Keberadaan Udzur (Alasan) Ketidaktahuan
Frasa ini menunjukkan bahwa permusuhan kaum musyrikin seringkali berakar pada ketidaktahuan (jahiliyyah) tentang hakikat ajaran Islam. Mereka mungkin dimotivasi oleh tradisi suku, informasi yang salah, atau propaganda permusuhan. Jika permusuhan mereka didorong oleh ketidaktahuan, maka kewajiban moral Muslim adalah menghilangkan ketidaktahuan tersebut melalui pendidikan dan penyampaian pesan yang jelas.
Imam Al-Qurtubi dan lainnya menjelaskan bahwa tindakan memberikan perlindungan dan kesempatan mendengar adalah untuk meniadakan hujjah (alasan pembenaran di hadapan Allah) mereka di hari kiamat. Allah tidak akan menyiksa suatu kaum kecuali setelah utusan-Nya menyampaikan pesan dengan jelas.
B. Penerapan Kontemporer Fiqh Al-Aman
Meskipun ayat ini diturunkan dalam konteks perang Madinah, prinsipnya bersifat universal dan relevan dalam isu-isu kontemporer:
- **Suaka Politik/Kemanusiaan:** Ayat ini mendukung konsep suaka bagi mereka yang melarikan diri dari bahaya dan mencari perlindungan di negara Muslim, terutama jika mereka ingin mempelajari Islam atau mencari kedamaian.
- **Jurnalis dan Utusan:** Perlakuan terhadap utusan, jurnalis, atau delegasi dari negara-negara non-Muslim harus sesuai dengan standar At-Taubah 6. Mereka harus diberikan jaminan keamanan penuh selama berada di wilayah Muslim, dan kembalinya mereka ke negara asal harus dijamin.
- **Jalan Damai dalam Konflik:** Ayat ini menjadi bukti bahwa Islam selalu membuka pintu dialog dan penghentian konflik sepihak demi tujuan spiritual (dakwah). Islam memisahkan antara entitas politik yang berperang dan individu yang mencari kebenaran.
VII. Kedalaman Jurisprudensi dan Pandangan Empat Mazhab
Prinsip yang terkandung dalam At-Taubah 6 telah menjadi bahan diskusi fundamental di kalangan empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) dalam mendefinisikan hubungan antara Dar al-Islam (Negara Islam) dan Dar al-Harb (Negara Perang).
A. Pandangan Mazhab Hanafi: Prioritas Aman di Atas Konflik
Mazhab Hanafi dikenal sangat fleksibel dalam urusan Aman. Mereka berpendapat bahwa tujuan utama dari peperangan adalah untuk menghilangkan penghalang dakwah, bukan untuk menghukum orang yang tidak bersalah. Oleh karena itu, bagi Hanafi, perintah perlindungan dalam At-Taubah 6 memiliki bobot hukum yang sangat tinggi. Mereka bahkan memperbolehkan Aman yang diberikan oleh seorang wanita atau budak, asalkan tujuannya adalah sah menurut syariat (termasuk mendengar Kalamullah).
Implementasi "Ablighu Ma'manahu" menurut Hanafi harus sangat ketat. Mereka mewajibkan biaya pengantaran ditanggung oleh negara Islam, menegaskan bahwa ini adalah bagian dari kewajiban moral Islam, bukan sekadar layanan yang bisa ditarik biaya.
B. Pandangan Mazhab Maliki dan Syafi’i: Status Hukum Musta’min
Mazhab Maliki dan Syafi’i juga mengakui kewajiban perlindungan. Namun, mereka cenderung lebih ketat dalam batasan durasi Aman. Status Musta’min (orang yang dilindungi) harus jelas dibatasi oleh tujuan yang disebutkan, yaitu "mendengar Firman Allah". Mereka berpendapat bahwa jika musta’min menyalahgunakan perlindungan untuk kegiatan mata-mata atau sabotase, status Amanah dapat dicabut.
Namun demikian, Syafi’i sepakat bahwa selama musta’min berada di bawah perlindungan, ia harus diperlakukan sama dengan dzimmi (non-Muslim yang tinggal di negara Islam) dalam hal perlindungan nyawa dan harta benda, mencerminkan keadilan absolut yang dijamin oleh ayat ini.
C. Kesepakatan dalam Kewajiban Pengantaran
Seluruh mazhab sepakat bahwa kewajiban mengantarkan kembali ke tempat yang aman (Ma’manahu) adalah elemen hukum yang tidak dapat diabaikan. Ini bukan hanya sunnah (anjuran), tetapi wajib. Jika musta’min tersebut memilih untuk tidak kembali setelah masa mendengar selesai, maka ia harus dihadapkan pada pilihan status hukum lainnya (misalnya, masuk Islam, menjadi Dzimmi jika wilayahnya damai, atau meninggalkan wilayah Islam dengan jaminan keamanan).
Tidak ada celah hukum dalam Islam untuk menahan seseorang yang datang mencari kebenaran, apalagi menyakitinya, setelah ia memilih untuk kembali ke habitat asalnya. Ini adalah puncak dari Siyasah Syar'iyyah (Kebijakan Berdasarkan Syariat) yang mementingkan etika di atas keuntungan politik sesaat.
VIII. Analisis Filosofis Terhadap Konsep Jahiliyyah dan Ignoransi
Penutup ayat ini, “ذلك بأنهم قوم لا يعلمون” (mereka adalah kaum yang tidak mengetahui), membuka diskusi filosofis tentang bagaimana Islam memandang dosa dan permusuhan yang timbul dari ketidaktahuan (ignoransi).
A. Jahiliyyah dan Ketidaktahuan Kontemporer
Jahiliyyah secara harfiah berarti kebodohan atau ketidaktahuan. Dalam sejarah Islam, ini merujuk pada kondisi sebelum datangnya wahyu. Namun, Ayat 6 mengaplikasikan konsep ini bahkan pada musuh yang secara militer terorganisir.
Ini mengajarkan bahwa permusuhan yang paling berbahaya bukanlah permusuhan yang didasarkan pada pengetahuan dan penolakan yang disengaja (seperti penolakan Firaun), melainkan permusuhan yang didasarkan pada kegelapan informasi. Tugas dakwah adalah membersihkan kegelapan tersebut. Jika seseorang telah terpapar informasi yang benar dan jelas (telah mendengar Kalamullah) namun tetap memilih permusuhan, barulah ia dianggap bertanggung jawab penuh atas tindakannya.
B. Etika Kesabaran dan Peluang Kedua
Ayat ini adalah manifestasi konkret dari sifat Allah yang Maha Penyayang (Ar-Rahman Ar-Rahim). Bahkan ketika pedang telah terhunus, masih ada kesempatan untuk dialog, refleksi, dan tobat. Ini menetapkan preseden bahwa kaum Muslim harus selalu mencari jalan paling damai dan paling etis dalam berinteraksi, dan harus selalu mengutamakan hidayah daripada hukuman.
Dalam studi perbandingan etika, prinsip yang diabadikan dalam At-Taubah 6 sering kali dianggap mendahului banyak prinsip kemanusiaan modern mengenai hak-hak tawanan dan suaka, karena ia menggabungkan keamanan fisik dengan tujuan moral yang tinggi—kesempatan untuk mendapatkan petunjuk ilahi.
IX. Kesimpulan: Pilar Kemanusiaan dalam Hukum Islam
Surah At-Taubah Ayat 6 berdiri sebagai pilar utama yang menopang etika kemanusiaan dan diplomasi Islam. Ia adalah bukti bahwa prinsip dasar Islam selalu mengutamakan komunikasi, keadilan, dan pemberian kesempatan bagi setiap individu untuk menemukan kebenaran.
Perintah untuk memberi perlindungan total (Aman), menyediakan waktu dan sarana untuk mendengar firman Allah (Kalamullah), dan memastikan pengantaran kembali yang aman (Ablighu Ma'manahu) menunjukkan kerangka moral yang lengkap dan tak bercacat. Ini menegaskan bahwa permusuhan militer tidak boleh mengorbankan misi utama umat Islam: menjadi rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil 'Alamin).
Ayat ini adalah pedoman abadi bagi umat Islam di semua lini zaman, mengajarkan bahwa bahkan dalam situasi yang paling sulit dan genting sekalipun, etika, janji, dan pencarian hidayah harus selalu dimenangkan di atas segala pertimbangan pragmatis atau strategis lainnya. Pemahaman yang komprehensif terhadap At-Taubah 6 wajib menjadi landasan bagi setiap kebijakan luar negeri dan interaksi sosial yang dilakukan oleh komunitas Muslim di seluruh dunia, memastikan bahwa wajah Islam yang sejati, yang penuh kasih dan adil, senantiasa terpancar.